Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

14

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem pemerintahan Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan selalu mengalami perkembangan. Saat sekarang ini sistem pemerintahan didasarkan pada Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berdasar pada UUD 1945 yang menganut asas desentralisasi memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan dalam segala bidang. Dalam otonomi yang bertanggung jawab dan sebagai perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah. 15 Atas dasar pemikiran di atas, prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah yang dijadikan pedoman dalam undang-undang No. 22 Tahun 1999, yaitu: a. Digunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. b. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di daerah kabupaten dan daerah kota. c. Asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota, dan desa. Tugas dan kewajiban pada pemerintahan otonomi daerah tingkat provinsi dilaksanakan oleh Gubernur, daerah kabupaten dilaksanakan oleh Bupati dan di daerah kota dilaksanakan oleh Walikota. Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD provinsi, Bupati dan Walikota bertanggung jawab kepada DPRD kabupatenwalikota. Selanjutnya dapat dipahami bahwa sistem pemerintahan menekankan pada otonomi daerah maka kewajiban dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah dan mengelolanya untuk kepentingan daerah pula. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia. mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Bagi Propinsi Jawa Tengah, otonomi daerah merupakan tantangan yang tidak ringan. Sebagai konsekuensi atas pelaksanaan UU No. 22 dan UU No. 25 Tahun 1999 adalah bahwa daerah harus mampu mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab dalam memberdayakan 1 1 16 masyarakat, lembaga ekonomi, politik, hukum, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah NKRI. Di sisi lain kemampuan keuangan pemerintah daerah masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, dalam rangka desentralisasi kepada setiap daerah dituntut untuk dapat membiayai diri sendiri daerah sendiri melalui sumber-sumber keuangan yang dikuasainya. Peran pemerintah daerah dalam menggali dan mengembangkan berbagai potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah Halim, 2001: 8. Daerah yang didasari atas kesadaran bahwa peluang bagi daerah untuk membuktikan kemandiriannya. Otonomi daerah harus diarahkan pada keberhasilannya dengan dukungan pendanaan yang memadai melalui perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah daerah tidak dapat dipungkiri lagi harus menitikberatkan pada peningkatan kualitas pelayanan pada masyarakat. Maka melalui pengolaan keuangan daerah, selain bertujuan untuk meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan, juga ditujukan bagi peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat. Salah satu argumen dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah pemerintah daerah harus memiliki sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan otonominya. Kapasitas keuangan pemerintah daerah akan menentukan kemampuan pemerintah daerah dalam 17 menjalankan fungsi-fungsi pemerintahannya Suwandi, 2000. Rendahnya kemampuan keuangan daerah sering menimbulkan siklus negatif, yaitu rendahnya tingkat pelayanan masyarakat yang pada gilirannya akan mengundang campur tangan pusat, atau bahkan dapat menyebabkan dialihkannya sebagian fungsi-fungsi pemerintah daerah ke tingkat pemerintahan yang lebih atas. Hal tersebut dapat dilihat dari Propinsi Jawa Tengah yang memilki 35 Daerah Tingkat II yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 6 Kota memiliki penerimaan dan pengeluaran keuangan pemerintahan yang masing-masing berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya, yang mana setiap pengeluaran pemerintah yang dilakukan berdasarkan kepemilikan pendapatan yang berupa penerimaan dari potensi-potensi daerah, atau yang lebih dikenal dengan Pendapatan Asli Daerah yang antara lain komponen komponennya terdiri dari penerimaan pajak dan retribusi daerah, penerimaan laba Badan Usaha Milik Daerah BUMD dan penerimaan lain-lainnya yang sah. Akan tetapi ada fakta bahwa daerah tidak akan mampu membiayai pengeluarannya baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan jika hanya menggandalkan dari sektor Pendapatan Asli Daerah, oleh karena itu pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan untuk pemberian bantuan dalam keuangan pemerintah daerah dengan dana perimbangan. Dana perimbangan termuat pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa transfer dari pemerintah berupa Dana Alokasi Umum DAU, Dana Alokasi Khusus DAK dan Dana bagi hasil digunakan 18 untuk pelaksanaan kewenangan Pemda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Saragih 2003, dana bagi hasil berperan sebagai penyeimbang fiskal antara pusat dan daerah dari pajak yang dibagihasilkan. DAU berperan sebagai pemerataan fiskal antardaerah fiscal equalization di Indonesia. Sedangkan DAK berperan sebagai dana yang didasarkan pada kebijakan yang bersifat darurat. Diluar dari ketiga fungsi tersebut, untuk secara detailnya, penggunaan dana tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah kabupatenkota yang bersangkutan. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah kabupatenkota dapat menggunakan dana ini dengan efektif dan efisien untuk peningkatan pelayanan pada masyarakat dengan disertai pertanggungjawaban atas penggunaan dana tersebut. Dana perimbangan tersebut diberikan sesuai dengan potensi daerah masing-masing atau arti lainnya daerah yang satu tidak sama dengan daerah lainnya, makin besar potensi daerah tersebut maka semakin besar dana perimbangan yang diberikan untuk melakukan pengeluarannya yang kita ketahui berupa pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, seperti contohnya adalah pada tahun 2007 Kabupaten Cilacap yang merupakan Kota yang memiliki sumber daya alam berupa minyak yang cukup banyak mempunyai tingkat pengeluaran pemerintah sebesar Rp. 1.067.102.839.000 dengan tingkat PAD sebesar Rp. 82.143.538.000 mendapatkan dana perimbangan sebesar Rp. 1.024.420.644.000. Hal tersebut kita bandingkan dengan Kabupaten Sragen yang memiliki pengeluaran pemerintah sebesar Rp. 701.934.395.000 dengan jumlah PADnya sebesar Rp. 65.157.983.000 dan 19 dana perimbangannya sebesar Rp. 740.548.294.000, yang mana Kabupaten Sragen ini tidak memiliki potensi daerah yang besar atau dalam arti lainnya tidak memilki sumber daya alam yang potensial, selain itu jumlah penduduknya juga terpaut jauh, apabila di Kabupaten Cilacap memiliki jumlah penduduk sebesar 1.608.488 jiwa di Kabupaten Sragen hanya sebesar 844.893 jiwa www.bkbn.co.id, 2007. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diduga ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai pengeluaran pemerintah 35 Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Tengah. Beberapa variabel tersebut diduga mempunyai pengaruh signifikan terhadap nilai pengeluaran pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis dalam penulisan skripsi ini memilih judul : ” PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH PAD, DANA PERIMBANGAN, DAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH DI PROPINSI JAWA TENGAH PERIODE TAHUN ANGGARAN 2005- 2007 ” .

B. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Kemandirian Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era Disentralisasi Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2012

6 112 101

Pengaruh Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Propinsi Aceh dengan Dana Otonomi khusus sebagai Moderator

1 75 166

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan Dan Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah Terhadap Belanja Daerah Dengan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebagai Variabel Moderating Pada Propinsi Sumatera Utara

4 79 97

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Jumlah Penduduk Dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Belanja Daerah Pada Pemda Di Sumatera Utara

0 46 101

Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Terhadap Pengalokasian Belanja Modal Studi Kasus Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Periode Tahun 2009 - 2013

7 91 132

ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD), DANA PERIMBANGAN DAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH DI PROVINSI LAMPUNG

0 6 17

ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD), DANA PERIMBANGAN DAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH DI PROVINSI LAMPUNG

0 19 74

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA PERIMBANGAN TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Dana Perimbangan Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Tengah.

1 4 17

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA PERIMBANGAN TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Dana Perimbangan Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Tengah.

0 2 15

Pengaruh PAD dan dana perimbangan terhad

0 0 12