Massal Kementrian Kesehatan RI, 2011. Identifikasi korban mati penting dilakukan karena ini merupakan suatu upaya memenuhi hak asasi manusia HAM dan
pemenuhan aspek legal sipil juga keluarga korban, seperti pada korban kasus ledakan bom atau korban akibat terorisme lainnya Depkes, 2010
Untuk melakukan identifikasi pada kasus bencana massal diperlukan suatu tim yang terdiri dari beberapa orang ahli yang disebut tim DVI. Tim DVI terdiri dari
anggota kepolisian dan dokterdokter gigi forensik Kementrian Kesehatan RI, 2011. Disaster Victim Identification DVI adalah suatu prosedur identifikasi korban
meninggal akibat bencana yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun ilmiah yang mengacu pada prosedur DVI Interpol BNPB, 2011. Proses identifikasi
ini penting dilakukan bukan hanya untuk mengetahui penyebab bencana, tetapi juga untuk menenangkan keluarga karena dapat diketahuinya identitas korban secara pasti
Prawestiningtiyas dan Algozi, 2009.
2.4.1. Tahapan Identifikasi
Menurut Kementrian Kesehatan RI 2011 proses DVI dibagi menjadi lima fase, yaitu fase TKP, fase post mortem, fase ante mortem, fase rekonsiliasi, dan
fase debriefing.
Fase pertama yaitu olah TKP. Hal-hal yang perlu dilakukan tim DVI, yaitu melakukan olah TKP sebelum korban dipindahkan dari lokasi, memasang label
pada tubuh korban, tidak melepas seluruh perlengkapan pribadi yang terpasang pada korban, mengumpulkan dan mencatat barang-barang yang tidak melekat,
mengisi formulir Interpol DVI meliputi : perkiraan umur, tanggal dan lokasi korban ditemukan, kemudian formulir dimasukkan kedalam kantung jenazah
Kementrian Kesehatan RI, 2011. Fase post mortem adalah fase pemeriksaan jenazah. Pada fase ini tim DVI
bertugas menerima jenazahpotongan jenazah dan barang bukti dari TKP, mengelompokkannya berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah,
dan barang-barang. Selanjutnya, membuat foto jenazah, mengambil sidik jari
Universitas Sumatera Utara
dan memeriksa golongan darah, melakukan pemeriksaan sesuai formulir Interpol DVI yang tersedia, memeriksa properti yang melekat pada korban,
melakukan pemeriksaan gigi-geligi, mengambil sampel DNA, menyimpan jenazah yang sudah diperiksa, melakukan pemeriksaan barang-barang
kepemilikan, dan mengirimkan data-data yang diperoleh ke unit pembanding data Kementrian Kesehatan RI, 2011.
Pada fase ante mortem, tim DVI bertugas untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari kelurga korban atau orang yang melapor kehilangan
anggota keluarga, mengumpulkan foto semasa hidup dan data-dataciri-ciri korban. Selanjutnya, mengambil sampel DNA pembanding, memasukkan data-
data kedalam formulir Interpol DVI lalu mengirim data ke Unit Pembanding Data Kementrian Kesehatan RI, 2011.
Fase keempat adalah fase rekonsiliasi, yaitu fase penggabungan data fase TKP, fase post mortem, dan fase ante mortem. Jika terdapat banyak kecocokan
data, maka korban telah berhasil diidentifikasi. Selanjutnya, membuat surat keterangan kematian untuk korban yang telah berhasil dikenali dan surat-surat
lainnya yang diperlukan Kementrian Kesehatan RI, 2011. Fase terakhir, fase debriefing yaitu mengumpulkan seluruh anggota tim dan
instansi terkait untuk melakukan evaluasi terhadap keseluruhan proses identifikasi, agar proses identifikasi selanjutnya lebih baik lagi Kementrian
Kesehatan RI, 2011. Kelima fase tersebut harus dikerjakan sesuai standar pada setiap kasus
bencana. Namun, terdapat banyak kendala yang sering dijumpai dalam pelaksanaannya seperti, jumlah jenazah yang terlalu banyak, jumlah dokter
forensik yang kurang, tempat penyimpanan jenazah yang minim, dan kurang koordinasi antara instansi atau individu yang terlibat Henky dan Safitri, 2012.
2.4.2. Metode dan Teknik Identifikasi