Krisis Lingkungan yang Terjadi di Sumatera Selatan

36 kelestarian fungsi lingkungan hidup dan terhindarnya kerusakan lingkungan dikemudian hari. Undang Undang no 32 tahun 2009, 2009 Sumatera Selatan merupakan Provinsi yang memiliki kekayaan alam yang besar. Karenanya kekayaan alam tersebut dapat mencukupi kebutuhan masyarakat yang hidup didalamnya. Akan tetapi, jika pemanfaatan sumber daya alamnya tidak bijaksana maka resiko kerusakan lingkungan dan bencana alam masih tetap akan terjadi. Selain di ranah regional, ditingkat lokal yakni lingkup provinsi Sumatera Selatan memiliki Peraturan Gubernur nomor 54 tahun 2015 tentang Uraian Tugas dan Fungsi Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Selatan. Kebijakan ini ditetapkan dengan tujuan yang kiranya sama dengan tujuan Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 yakni terjaganya lingkungan alam dan terhindarnya kerusakan lingkungan serta tersedianya sumber daya alam bagi generasi sekarang dan generasi masa akan datang. Peraturan Gubernur no 54 tahun 2015, 2015 Kenyataannya, meskipun sudah memiliki kebijakan dan regulasi untuk mengatur pengelolaan lingkungan hidup, banyak provinsi di Indonesia yang memiliki masalah lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Salah satunya adalah provinsi Sumatera Selatan. Banyak sekali faktor yang menyebabkan kerusakan ini hingga melahirkan bencana. Diantaranya adalah alih fungsi hutan, kurang bijaksananya pengelolaan lingkungan, dan pembakaran hutan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan ini memiliki efek domino, yang kemudian dapat menyebabkan berubahnya aspek lain yang cukup merugikan seperti perubahan iklim dan pemanasan global. Indonesia memiliki dua musim, yakni musim penghujan dan musim kemarau Akan tetapi, musim ini juga dapat menandakan musim bencana alam yang umum terjadi di Indonesia. Seperti musim hujan yang berarti meningkatkan resiko bencana banjir dan musim kemarau yang 37 meningkatkan resiko bencana kekeringan dan dibeberapa wilayah meningkatkan resiko kebakaran hutan. Ini membuktikan bahwa kerusakan lingkungan memang telah terjadi. Terlebih di provinsi Sumatera Selatan. Sumatera Selatan sering kali dilanda bencana banjir dan tanah longsor dimusim penghujan. Padahal Sumatera Selatan tercatat memiliki lahan gambut yang luasnya sekitar 1.254.502,34 hektare. Wetlands International, 2003 Fungsi lahan gambut antara lain adalah, meredam banjir dengan kemampuan lahan untuk menampung air, mencegah terjadinya kekeringan karena dapat memasok air ketika musim kemarau dan beberapa fungsi hidrologis dan ekologis lain yang begitu menguntungkan. Namun lahan gambut yang luas serta berfungsi menghindarkan dari bencana tidak cukup kuat untuk melindungi Sumatera Selatan dari bencana. Agaknya sulit dipercaya apabila provinsi yang memiliki hutan dan juga lahan gambut yang luas serta daerah serapan air yang luas pula justru hampir selalu longsor dan banjir saat musim penghujan. Lahan gambut sendiri adalah bentang lahan yang tersusun oleh tanah hasil dekomposisi tidak sempurna dari vegetasi pepohonan yang tergenang air sehingga kondisinya anaerobik. Material organik tersebut terus menumpuk dalam waktu lama sehingga membentuk lapisan-lapisan dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Tanah jenis banyak dijumpai di daerah-daerah jenuh air seperti rawa, cekungan, atau daerah pantai. Sebagian besar lahan gambut masih berupa hutan yang menjadi habitat tumbuhan dan satwa langka. Hutan gambut mempunyai kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Karbon tersimpan mulai dari permukaan hingga di dalam dalam tanah, mengingat kedalamannya bisa mencapai lebih dari 10 meter. Fahmi, 2016 Seringkali kita dengar, banjir dan tanah longsor serta kebakaran dikota besar. Tetapi di daerah yang penuh dengan kekayaan alam seperti Sumatera Selatan cukup mencengangkan. Seharusnya provinsi yang memiliki lahan gambut yang luas lebih sejahtera dan lebih aman dari 38 bencana. Tetapi bencana rutin singgah didaerah mereka setiap musimnya. Jawabannya mungkin karena kegiatan manusia yang ada disana. Kegiatan pembukaan hutan untuk industri ekstraktif dan membuka lahan pertanian menyebabkan daerah serapan air menjadi berkurang hingga menimbulkan kerawanan bencana longsor dan banjir. Ketika lahan gambut dipergunakan untuk keperluan tersebut maka air harus dikeringkan, pepohonan alami yang tumbuh di atas lahan itu harus ditebang dan gambut harus digali karena untuk tanaman Kelapa Sawit, gambut yang tebal akan menyebabkan pohon mudah tumbang. Proses ini menyebabkan banyak karbon dilepaskan ke atmosfer dan memperburuk dampak perubahan iklim. Lebih-lebih lagi bila pembukaan lahan baru dilakukan dengan cara membakar agar bisa cepat ditanami dan biayanya relatif lebih murah. Pengeringan pada lahan gambut menyebabkan tidak dapat kembalinya kemampuan menahan air. Sekali air dikeluarkan, gambut akan kehilangan sebagian kemampuannya untuk menyimpan air. Di musim kemarau akan rawan kebakaran. Proses kebakaran hutan gambut merupakan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer dan memusnahkan keanekaragaman hayati hutan. Sebaliknya di musim hujan hutan tidak bisa menyerap air dengan baik yang menyebabkan bencana banjir. Fahmi, 2016 Pada kondisi alami lahan gambut tidak mudah terbakar, karena sifatnya yang menyerap dan menahan air secara maksimal. Sehingga pada musim hujan dan musim kemarau, di daerah setempat, tidak terjadi perbedaan kondisi yang ekstrim. Ketika keseimbangan ekologisnya terganggu akibat pemanfaatannya yang kurang perhitungan berdampak pada perubahan iklim dan berdampak pula pada perubahan pola cuaca. Subiksa, 2008 39 Gambar 1.2 Peta Areal Bekas Terbakar 2015 Sumber: Sriwijya Post, 2009 Kenyataannya, mayoritas lahan gambut di Sumatera Selatan telah berubah menjadi hutan tanaman industri selanjutnya HTI. Sebanyak 738.137,84 hektare lahan gambut dijadikan lahan perkebunan sawit. HTI tersebar diberbagai kabupaten di Sumatera Selatan. Kawasan hutan yang ada di Sumatera Selatan terdapat 3.777.457 hektar atau 3,4 dari luasan kawasan hutan yang ada di Indonesia. Dari luasan Hutan tersebut terdiri dari; Hutan Lindung memiliki luas 539.645 hektar, Hutan Konservasi 711.778 hektar dan Hutan Produksi 2.525.034 hektar. Sriwijya Post, 2009 40 Dari hasil studi citra satelit tahun 2002 dan tahun 2005, menunjukan bahwa 62,13 dari kawasan hutan atau seluas 2.344.936 ha telah menjadi kawasan yang tidak produktif tidak berhutan lagi, dan 37,87 atau seluas 1.429.521 ha kawasan hutan yang masih memiliki tegakanberhutan Dari informasi dan data ini, menunjukan bahwa kondisi Hutan yang ada di Sumatera Selatan sudah mengalami degradasi yang cukup tinggi atau terhitung tingkat degradasinya sebesar 100.000 ha per tahun. Untuk kondisi akhir tahun 2008. Berdasarkan asumsi di atas kondisi hutan Sumsel hanya tinggal 1.129.000 ha. Sriwijya Post, 2009 Kerusakan lahan gambut banyak terjadi karena aktivitas manusia, misalnya konversi hutan gambut menjadi lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan. Lahan gambut di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mengalami laju kerusakan tertinggi. Kerusakan terbesar diakibatkan oleh konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan pulp. Fahmi, 2016 Banyak pihak yang tidak terlalu memikirkan bahwa terjaganya ekosistem lahan gambut amat berguna untuk menekan dampak buruk perubahan iklim. Dimana dampak buruk yang diredam oleh lahan gambut tersebut berguna tidak hanya untuk wilayah pemilik lahan gambut tetapi juga seluruh dunia. Lahan gambut yang besar dan luas dipandang sebagai lahan yang harus diolah dengan cara memusnahkan serasah yang ada diatas tanah gambut. Hal ini terjadi karena masih adanya pemikiran mengolah gambut dengan skema pemikiran pasar dan bukan skema pemikiran skema penanggulangan emisi. Singkatnya, banyak pihak yang lebih memikirkan untuk mencukupi kebutuhan jangka pendek dalam mengolah gambut dengan menanaminya dengan tumbuhan yang dibutuhkan pasar dengan mengolah gambut yang juga dapat merusak dan menganggu ekosistem ketimbang memikirkan jangka panjang mengenai mengolah gambut dan mencari alternatif untuk 41 menyesuaikan diri dengan ekosistem gambut yang ada serta memikirkan mekanisme berkelanjutan untuk tetap menjaga lahan gambut. Gambar 1.3 Peta Perkembangan Izin Usaha Perkebunan 2015 Sumber: Wijaya, 2016 Peta diatas membuktikan, bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit dan akasia memiliki peran dalam bencana kabut asap serta kebakaran lahan yang terjadi di Sumatera Selatan. Pembukaan dan pengalihfungsian lahan gambut secara masif telah dilakukan oleh perusahaan untuk merubah lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit dan akasia di lahan gambut dan hutan yang masih tergolong luas. Akan tetapi, akibat yang ditimbulkan amatlah merugikan bagi lingkungan. 42

BAB IV KERJASAMA ANTARA WORLD AGROFORESTRY CENTRE ICRAF DAN

PROVINSI SUMATERA SELATAN MELALUI PROGRAM LAMA-I Penjabaran mengenai pentingnya mitigasi bencana serta upaya bersama yang dilakukan World Agroforestry Centre ICRAF dan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan akan dibahas di Bab IV yang juga merupakan bab inti dari skripsi ini. Setelah penjabaran mengenai Keterlibatan World Agroforestry Centre dan Problem Lingkungan di Sumatera Selatan, bab ini akan dijabarkan untuk menganalisa upaya yang telah dilakukan World Agroforestry Centre ICRAF dengan Pemerintah Sumatera Selatan dalam penanganan perubahan iklim. A. Mitigasi Bencana di Provinsi Sumatera Selatan Krisis lingkungan yang terjadi di Sumatra Selatan belakangan ini menunjukkan mitigasi bencana perlu untuk menanggulangi kerusakan dan juga bencana yang kerap terjadi. Mitigasi sendiri mengandung pengertian serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Undang-undang no 24 tahun 2007, 2007 Krisis bencana yang ada di Indonesia khususnya di Provinsi Sumatera Selatan banyak diakibatkan oleh kegiatan manusia. Namun mitigasi bencana nampaknya sulit dilakukan karena mitigasi belum menjadi kesadaran masyarakat meskipun mereka sadar bahwa mereka tinggal di lingkungan rawan bencana. Masyarakat Indonesia cenderung pasrah mengenai apa saja yang terjadi meskipun bencana yang kerap terjadi tersebut karena ulah mereka sendiri. Padahal sangatlah mungkin apabila mereka memahami bahwa mitigasi dapat dilakukan berbarengan dengan pemenuhan kebutuhan maka resiko bencana akan menurun. Maka inilah tantangan dari upaya mitigasi itu sendiri. 43 Mitigasi bencana nyatanya belum menjadi budaya dan kesadaran masyarakat Indonesia. Contohnya, BMKG Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika selalu memberikan informasi mengenai perkiraan cuaca. Apabila perkiraan cuaca hujan, baiknya masyarakat mempersiapkan diri atau bahkan jika mungkin tidak bepergian keluar rumah. Tetapi masyarakat cenderung memiliki sifat acuh tak acuh dan pasrah terhadap resiko bencana yang terjadi. Mereka tidak memanfaatkan informasi yang telah disediakan BMKG tersebut dengan sikap yang benar. Selain itu, banyak masyarakat yang pasif dan tidak tangguh pada situasi pasca bencana. Ini dapat dikarenakan masyarakat yang mendapatkan bencana terbiasa mendapatkan bantuan dan santunan pemerintah dan swasta. Dyah, 2016 Penanggulangan bencana sendiri memiliki tujuan yang amat penting yakni, memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana. Selanjutnya, penanggulangan bencana ini dapat mendorong semangat bergotong royong, kesetiakawanan dan kedermawanan serta membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta. Undang-undang no 24 tahun 2007, 2007 Tujuan yang paling penting yakni memberikan perlindungan dari ancaman bencana adalah tujuan yang seharusnya disadari masyarakat karena pada dasarnya tidak ada siapapun di dunia ingin yang didera bencana.. Peran serta partisipasi kemitraan publik dan swasta juga ditekankan didalam tujuan penanggulangan bencana seperti yang tercantum dalam Undang-undang no 24 tahun 2007. Maksud partisipasi kemitraan publik dan swasta dikarenakan bencana adalah salah satu kejadian dimana berbagai pihak dapat berbagi peran karena pemerintah tentu memiliki keterbatasan. Karenanya, diharapkan semua pihak dapat saling melengkapi dan memberikan solidaritas untuk aksi mitigasi dan yang terpenting disaat bencana terjadi. Kenyataannya, banyak yang pihak yang hanya bergerak saat bencana terjadi atau setelah bencana terjadi saja. Hal ini menunjukkan