Krisis Lahan yang terjadi di Sumatera Selatan
33
Walhi Sumatera Selatan, 2016 Sejak itu, masyarakat Sumatera Selatan dan para transmigran mulai banyak yang menjadi petani yang mengolah lahan tak produktif tersebut.
Hutan yang dapat diperuntukkan hal lain yang diberikan kepada para transmigran untuk digarap, tidak serta merta dapat menjadi lahan produktif. Para transmigran harus berusaha untuk
mengolah lahan dan mencari tanaman yang cocok untuk lahan tersebut dengan percobaan berulangkali. Memerlukan waktu bertahun-tahun untuk merubah lahan tak produktif tersebut
menjadi lahan yang dapat menghasilkan komoditas. Namun saat lahan garapan mereka telah menjadi lahan poduktif karena kerja keras mereka, justru kini lahan tersebut berubah menjadi
lahan sengketa. Saat ini, 600 petani di Desa Nusantara desa para eks transmigran berusaha
mempertahankan lahan garapan mereka dari kepungan kebun sawit. Kini, banyak perusahaan yang telah mendapatkan Hak Guna Usaha selanjutnya HGU tepat di lahan yang telah diberikan
pemerintah dahulu untuk para transmigran yang telah digarap mereka sejak tahun 1991. Hal ini menimbulkan sengketa karena tiba-tiba para transmigran diberitahu bahwa lahan yang mereka
olah selama ini telah di HGU oleh perusahaan kelapa sawit. Padahal saat transmigran datang ke tanah Sriwijaya, hutan yang dijadikan lahan mereka tidak serta-merta dapat ditanami. Butuh
waktu dan perjuangan hingga lahan mereka bisa menghasilkan panen yang baik. Saat lahan sudah baik karena terus diolah dengan rajin justru lahan ini berada dibawah HGU oleh
perusahaan Selatan Agro Makmur Lestari. Para mantan transmigran berupaya untuk tetap menjaga lahan yang telah mereka perjuangkan
sejak tahun 1991 dan melakukan mediasi bahkan hingga 15 kali. Lahan mereka sudah dibahas 13 kali di tingkat kabupaten dan tingkat pemerintah provinsi. Serta telah dibahas 2 kali di Badan
Pertanahan Nasional di Jakarta. Akan tetapi sampai saat ini masyarakat masih belum mengerti
34
bagaimana bisa HGU perusahaan berada ditanah mereka, dan bagaimana kepastian selanjutnya. Hal ini semakin mengkhawatirkan saat banyak lahan disekitar desa transmigran mulai ditanami
kelapa sawit sehingga sawah mereka mulai dikepung kelapa sawit. Tidak hanya sampai disitu, lahan milik para eks transmigran kini tidak mendapatkan bantuan pemerintah karena status lahan
mereka yang masih berstatus sengketa. Sengketa lahan ini tidak hanya terjadi di desa Nusantara di kabupaten Ogan Komering Ilir
yang dihuni mantan transmigran. Ada banyak kasus sengketa serupa yang terjadi di Sumatera Selatan sendiri. Banyaknya perusahaan yang mendadak memiliki HGU diatas lahan garapan
masyarakat yang sebelumnya bertani semakin menambah panjang daftar lahan sengketa antara masyarakat dengan perusahaan. Konflik sengketa ini terjadi berkepanjangan sehingga
menyulitkan petani dan juga menghambat produktivitas perusahaan sehingga dari pihak petani maupun perusahaan sama-sama merugi.
Padahal petani di desa Nusantara ini seharusnya diberi gelar pahlawan pangan karena dapat mengolah lahan yang tidak produktif menjadi lahan yang subur, selain itu mereka tetap bertani
meskipun lahan mereka telah dikepung kelapa sawit, mereka juga tetap bertani meskipun pemerintah tidak memberikan bantuan pupuk. Disaat banyak lahan telah berubah menjadi kebun
sawit mereka tetap menanam padi. Hidup mereka jauh dari kesibukan kota, akan tetapi kehidupan mereka selalu diusik oleh pembuat kebijakan di kota dan juga orang-orang kota
dengan kepetingannya di perusahaan. Selain itu, Desa Nusantara ini telah membuktikan bahwa mereka dapat hidup dengan damai
dengan cara hidup berdampingan dengan mengolah lahan gambut dengan bijaksana. Disaat pemerintah sedang sibuk berdiskusi mengenai upaya untuk menjaga kelestarian lahan gambut,
masyarakat desa ini telah mempraktekkan cara terbaik untuk mengolah lahan gambut seluas
35
1200 ha. Walhi Sumatera Selatan, 2016 Masyarakat ini telah menunjukkan cara yang arif untuk hidup berdampingan dengan alam selama belasan tahun.
Sayangnya, perjuangan mereka tidak mendapat apresiasi. Mereka bahkan tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah baik bantuan infrastruktur maupun bantuan teknis. Justru mereka diberi
hadiah yang amat mengejutkan yakni tanah mereka telah di HGU oleh PT Selatan Agro Makmur Lestari yang HGUnya dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Ogan Komering
Ilir. Konflik di desa Nusantara ini merupakan potret krisis dari terancamnya kelestarian lahan dan pangan yang berlangsung di Sumatera Selatan. Pangan ada karena ketersediaan lahan,
kedaulatan lahan ada karena adanya akses masyarakat.