Hubungan antara pesiliensi dengan prestasi belajar anak binaa yayasan SMART Ekselensia Indonesia

(1)

HUBUNGAN ANTARA RESILIENSI DENGAN PRESTASI BELAJAR ANAK BINAAN YAYASAN SMART EKSELENSIA INDONESIA Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana psikologi

Disusun oleh:

Masdianah

106070002260

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Potensi siswa atau prestasi belajar siswa adalah hal utama yang menjadi perhatian dalam dunia pendidikan. Keberhasilan pendidikan juga tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan itu sendiri. Prestasi merupakan hasil penilaian pendidikan atas perkembangan dan kemajuan siswa dalam belajar. Prestasi menunjukkan hasil dari pelaksanaan kegiatan belajar siswa yang diikuti di sekolah dan diukur melalui penguasaan materi yang telah diajarkan guru serta nilai-nilai yang terkandung dalam kurikulum yang sudah ditetapkan. M. Ngalim Purwanto (1988) menyatakan prestasi belajar merupakan hasil penilaian yang dilakukan untuk memperoleh data atau informasi sampai dimana penguasaan atau pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang dipelajarinya selama jangka waktu tertentu yang dinyatakan dalam bentuk angka. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.

Dalam mencapai prestasi belajar, siswa banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terjadi disekitar kehidupan, baik yang datang dari kondisi internal siswa itu sendiri maupun lingkungan dimana individu tersebut berada. Beberapa ahli ((M. Ngalim Purwanto : 1990, Muhibbin Syah :2006, dan Noeh:1993) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar


(3)

seseorang yaitu faktor yang datang dari diri individu sendiri disebut faktor internal seperti minat, motivasi, bakat, intelegensi, tingkat religiusitas dan spiritualitas siswa sedangkan faktor yang datang dari luar individu atau lingkungan sosial disebut sebagai faktor eksternal seperti keluarga (termasuk status sosial ekonomi orang tua), lingkungan sekitar (dukungan sosial masyarakat), sarana dan prasarana sekolah.

Tekanan yang terjadi dalam kehidupan merupakan proses yang tidak

terkecuali dialami oleh semua individu, salah satunya adalah tekanan akibat

kemiskinan, namun yang membedakan antara individu yang satu dengan lainnya

adalah pada keberhasilan individu dalam beradaptasi dengan tekanan-tekanan

yang ada. Bagi individu yang mampu beradaptasi dengan baik, mereka akan

menghasilkan perfoma-perfoma positif dalam hidupnya, sebaliknya bagi individu

yang kurang mampu beradaptasi mereka akan tetap berada dalam kondisi tidak

menyenangkan tersebut. Istilah yang menggambarkan kualitas pribadi yang memungkinkan individu dan komunitasnya untuk tumbuh walaupun berada dalam ketidakberuntungan disebut resiliensi (Connor:2006). Resiliensi menurut Richardson, dkk dalam Henderson dan Milstein (2003) merupakan proses mengatasi masalah seperti gangguan, kekacauan, tekanan, atau tantangan hidup, yang pada akhirnya membekali individu dengan perlindungan tambahan dan kemampuan untuk mengatasi masalah sebagai hasil dari situasi yang dihadapi.

Resiliensi tidak hanya dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, melainkan setiap orang, termasuk remaja. Remaja yang resilien dicirikan sebagai individu yang memiliki kompetensi secara sosial, dengan ketrampilan-ketrampilan


(4)

hidup seperti: pemecahan masalah, berpikir kritis, kemampuan mengambil inisiatif, kesadaran akan tujuan dan prediksi masa depan yang positif bagi dirinya sendiri. Mereka memiliki minat-minat khusus, tujuan-tujuan yang terarah, dan motivasi untuk berprestasi di sekolah dan dalam kehidupan (Henderson & Milstein, 2003). Umumnya, mereka yang memiliki resiliensi ini terdorong untuk mengatasi keterbatasan mereka. Setiap keterbatasan yang dimiliknya menantang kemampuan anak untuk menghadapi, mengatasi, belajar, serta mengubahnya (Gortberg,1999).

Sementara dalam konteks yang terkait dengan pendidikan, Linquanti (dalam Howard 1999) memberikan definisi resiliensi sebagai kualitas dalam diri anak yang walaupun dihadapkan dengan kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup tidak mengalami kegagalan dalam hal kehidupan akademisnya. Mendukung pernyataan tersebut, Nears (2007) juga menyebutkan bahwa anak yang tidak dapat mengatasi tantangan yang ada dengan efektif akan lebih tidak menyenangi sekolah dan lebih jarang berpartisipasi dalam kegiatan di kelas.

Untuk dapat mengkategorikan anak sebagai anak yang resilien sebelumnya harus terdapat dua kriteria yang harus dipenuhi (Ibeagha dkk, 2004). Pertama, terdapat sebuah keadaan yang merupakan ancaman atau sifatnya berbahaya bagi individu tersebut seperti cacat, kekerasan, kemiskinan, bencana alam, perceraian, dan sebagainya. Kedua, individu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan tidak menyenangkan tersebut dengan baik.


(5)

Keadaan yang sifatnya berbahaya dan mengancam anak serta memungkinkan timbulnya hasil negatif dari kejadian yang dialami disebut sebagai faktor resiko (Mash dan Wolfe, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi anak dalam perkembangannya berasal dari empat sumber yaitu genetik, faktor prenatal, faktor penanganan kesehatan perinatal dan faktor dari keadaan lingkungan.

Dengan adanya faktor resiko, maka akan timbul apa yang disebut sebagai faktor protektif. Faktor protektif adalah hal-hal yang membantu individu bertahan dari dampak yang diakibatkan dari tekanan yang diterima, membantu mengatasi keadaan tidak menyenangkan tersebut dan mampu menyesuaikan diri dalam keadaan mengancam tersebut (Ibeagha dkk, 2004). Seperti faktor resiko, faktor protektif juga berasal dari sumber eksternal dan internal. Menurut Benard (2004) faktor protektif internal atau asset internal individu terdiri dari empat kategori penyusun yaitu kompetensi sosial, pemecahan masalah, otonomi dan kesadaran akan tujuan dan masa depan. Kategori ini dimiliki individu dengan kadar yang berbeda-beda, namun akumulasi dari keempat kategori tersebut menentukan tingkat resiliensi individu. Sementara faktor protektif eksternal seorang anak didapat dari keluarga, sekolah dan lingkungan mereka sehari-hari (Howard, 1999). Faktor protektif eksternal ini lebih bersifat mendukung faktor protektif internal yang sudah ada dalam individu (Benard, 2004).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gutman, Samerof dan Cole (2003) ditemukan bahwa anak-anak yang mengalami kondisi sulit mampu untuk mencapai tingkat yang tinggi dalam motivasi dan performansi akademik. Sedangkan individu dengan resiliensi rendah cenderung mempersepsi masalah


(6)

sebagai suatu beban dalam hidupnya. Masalah yang dipandang sebagai beban akan membuat dirinya lebih mudah merasa terancam dan cepat merasa frustasi. Sedangkan Menurut Jew, Green, dan Kroger (1999), individu yang memiliki skor yang tinggi dalam resiliensi cenderung menunjukkan kemampuan akademik yang baik daripada individu yang memiliki resiliensi yang rendah. Demikian pula menurut Grotberg (1995) bahwa terdapat berbagai faktor spesifik dalam resiliensi, salah satunya adalah prestasi akademik. Moss dan Laurent (2001), mengemukakan bahwa performansi akademik merupakan suatu hal yang penting dan menjadi pertanda kesuksesan di dunia sebenarnya. Individu yang memiliki resiliensi tinggi akan melihat tugas pendidikan sebagai suatu tantangan bagi dirinya untuk berprestasi. Tantangan yang ada akan mendorong anak untuk memiliki semangat yang tinggi dalam belajar. Sedangkan bagi individu yang memiliki resiliensi rendah cenderung cepat menjadi frustasi dalam menghadapi tugas pendidikan.

Martin dan Marsh (2006), mengatakan bahwa resiliensi meningkatkan kemungkinan anak untuk sukses di sekolah dan berbagai aspek lain dalam hidup mereka meskipun terdapat rintangan atau kejadian yang tidak menyenangkan terjadi. Siswa yang resilien adalah mereka yang mampu menunjukkan performa tinggi dan tetap termotivasi dalam belajar meskipun terdapat berbagai hal yang menekan dan menurunkan resiko akan menurunny performa mereka (Alva dalam Nears 2007).

Namun, setiap individu memiliki kondisi yang berbeda untuk mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif dengan menghasilkan


(7)

performa-performa positif dalam hidupnya, salah satunya adalah memiliki prestasi belajar yang baik , adapula individu yang gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menyenangkan tersebut. Hal ini disebabkan kualitas resiliensi tidak sama pada setiap orang . Kualitas resiliensi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat usia, taraf perkembangan, intensitas seseorang dalam menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan, serta seberapa besar dukungan sosial dalam pembentukan resiliensi orang tersebut (Gortberg, 1999).

Sekolah Menengah Akselerasi (Internat) Ekselensia Indonesia adalah sekolah model yang didirikan oleh Dompet Dhuafa pada tahun 2004 dengan peserta didik seluruhnya berasal dari anak-anak kurang mampu namun memiliki potensi akademik dan kecerdasan lain yang tinggi. Siswa SMART Ekselensia Indonesia, selain berasal dari keluarga yang kurang mampu juga berasal dari anak yang orang tuanya meninggal, korban daerah konflik, korban bencana alam, perceraian, serta korban kekerasan dalam rumah tangga yang diambil dari perwakilan seluruh Indonesia melalui proses penseleksian. Sekolah ini tidak memungut biaya dari peserta didiknya. Sesuai dengan namanya (Sekolah Menengah Akselerasi/SMART), jenjang sekolah ini adalah gabungan SLTP dan SLTA dengan program akselerasi 5 tahun dan seluruh peserta didik diberikan materi pelajaran terpadu dalam lingkungan berasrama (Internat/Boarding School). Sekolah ini digagas untuk meningkatkan harkat dan derajat kaum dhuafa melalui program pendidikan dan pembinaan yang komprehensif dan berkesinambungan.

Adapun program-program yang diberikan di SMART Ekselensia Indonesia terdiri dari program matrikulasi, program kurikuler, program asrama,


(8)

program ekstrakurikuler, serta program akselerasi. Program-program di atas diberikan agar siswa menjadi manusia belajar yang berbudi mulia, mandiri, berprestasi, dan berjiwa sosial

Fenomena yang terjadi pada anak binaan yayasan SMART Ekselensia Indonesia adalah bahwa pada kenyataanya tidak semua siswa- siswanya mampu bertahan dan berprestasi dengan baik. Ada siswa yang mampu berprestasi dengan baik bahkan menjadi lebih baik setelah menempuh program-program yang sudah diberikan, namun ada juga siswa yang gagal dan tidak mampu bertahan dengan kondisi yang dihadapinya.

Berdasarkan latar belakang di atas , peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara resiliensi dengan prestasi belajar anak binaan Yayasan SMART Ekselensia Indonesia”

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah

Untuk penelitian yang lebih terarah maka peneliti akan membatasi masalah pada hal-hal yang berhubungan dengan resiliensi dan prestasi belajar

Resiliensi merupakan kualitas atau karakteristik individual yang berkaitan dengan perkembangan positif dan kesuksesan dalam individu tersebut (Benard : 2004). Resiliensi dalam penelitian ini dibatasi pada faktor resiko ekternal saja seperti kemiskinan, orang tua meninggal, korban daerah konflik, korban bencana alam, perceraian, serta korban kekerasan dalam rumah tangga.


(9)

Prestasi belajar merupakan hasil penilaian aktivitas belajar siswa yang

dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat

mencerminkan hasil yang sudah dicapai peserta didik dalam periode tertentu

(Tirtonegoro :1984) .

1.2.2 Perumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: “Apakah ada hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dengan prestasi belajar anak binaan Yayasan SMART Ekselensia Indonesia ?”

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara resiliensi dengan prestasi belajar anak binaan Yayasan SMART Ekselensia Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Peneliti berharap agar hasil penelitian ini dapat memberikan konstribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan prestasi peserta didik dalam belajar dan dapat menjadi literatur tambahan dalam ilmu psikologi pendidikan khususnya psikologi belajar dalam upaya peningkatan prestasi belajar siswa.


(10)

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak sekolah mengenai ada tidaknya hubungan resiliensi dengan prestasi belajar siswanya sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan prestasi belajar siswa

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pelajaran dan motivasi bagi para pembaca yang kehidupannya jauh lebih baik dari anak-anak di Yayasan SMART Ekselensia Indonesia untuk lebih meningkatkan prestasinya khususnya prestasi dalam belajar

1.5 Sistematika Penulisan Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi beberapa bagian bab untuk memudahkan pembahasan dalam setiap bab, yaitu:

BAB 1 : PENDAHULUAN

Berisi tentang penjelasan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, sistematika penulisan

BAB 11 : KAJIAN TEORITIS TEORITIS

Membahas tentang berbagai konsep mengenai prestasi belajar, resiliensi, kerangka berpikir, dan hipotesis.


(11)

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Meliputi pendekatan dan metode penelitian, definisi konseptual dan operasional variabel, tekhnik pengambilan sampel, pengumpulan data yaitu metode dan instrumen penelitian, tekhnik uji instrumen, tekhnik analisis data serta prosedur penelitian

BAB 1V : HASIL PENELITIAN

Terdiri dari gambaran umum subjek, deskripsi data, dan hasil pengujian hipotesis


(12)

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Prestasi Belajar

Pada hakekatnya setiap siswa ingin berprestasi dalam belajarnya. Namun, untuk mencapai prestasi dalam belajar dituntut dorongan atau semangat belajar yang sungguh-sungguh dan disiplin yang tinggi dalam belajar. Ada beberapa pendapat ahli yang mengungkapkan definisi tentang prestasi belajar, diantaranya yaitu;

Menurut Parmono Ahmadi (2009) prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran disekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah pelajaran . Menurut pengertian di atas, prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai

Sedangkan menurut Tirtonegoro (1984) bahwa prestasi belajar merupakan

penilaian aktivitas belajar siswa yang dinyatakan dalam bentuk symbol, angka,

huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai peserta

didik dalam periode tertentu.

Prestasi belajar menurut Sumardi Suryabrata (2005) sebagai hasil dari suatu

proses yang biasanya dinyatakan dalam bentuk kuantitatif (angka) yang khusus

diberikan untuk proses evaluasi misalnya rapor, hasil ini dibagikan kepada siswa


(13)

siswa dikatakan memiliki prestasi baik apabila menjadi juara kelas ataupun

memiliki nilai yang baik.

Selanjutnya Davis dalam Darwyan Syah (2009) mengatakan bahwa dalam setiap proses belajar akan selalu terdapat hasil nyata yang dapat diukur. Hasil

nyata yang dapat dikur dinyatakan sebagai prestasi belajar seseorang.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar

adalah taraf keberhasilan siswa dari kegiatan atau usaha belajarnya dalam

mempelajari setiap mata pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau skor

dalam periode waktu tertentu

2.1.1 Aspek-aspek Prestasi Belajar

Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajar atau prestasi belajar ideal meliputi segenap ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Menurut Muhibbin Syah (2003) dan Benyamin Bloom dalam Darwyan Syah (2009) aspek-aspek prestasi belajar meliputi tiga ranah yaitu: ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Adapun penjelasaanya sebagai berikut:

Tabel 2.1

Ranah Indikator A. Kognitif

1. Pengetahuan - mampu mengetahui tentang hal-hal khusus, peristilahan, fakta-fakta khusus,


(14)

2. Pengamatan

3. Pemahaman

4. Penerapan

5. Analisis

6.Sintesis 7. Evaluasi

prinsip-prinsip, kaidah-kaidah - mampu menunjukan,

membandingkan, dan menghubungkan - mampu menterjemahkan,

menafsirkan, menentukan,

memperkirakan, dan mengartikan - mampu memecahkan masalah, membuat bagan/grafik, menggunakan istilah atau konsep-konsep

- mampu mengenali kesalahan, membedakan, menganalisis unsure-unsur, hubungan-hubungan, dan prinsip-prinsip organisasi

- mampu menghasilakan, menyusun kembali, dan merumuskan

- mampu menilai berdasarkan norma tertentu, mempertimbangkan, dan memilih alternatif

B. Psikomotor 1. Persepsi

2. Kesiapan

3. Gerakan terbimbing 4. Gerakan terbiasa 5. Gerakan Kompleks 6. Penyesuaian pola gerakan

- mampu menafsirkan rangsangan, peka terhadap rangsangan, dan

mendiskriminasikan

- mampu berkonsentrasi dan menyiapkan diri baik fisik maupun mental

- mampu meniru contoh

- mampu berketrampilan dan berpegang pada pola

- memiliki ketrampilan secara lancer, luwes, supel, gesit dan lincah


(15)

7. Kreatifitas

8. Kecakapan ekspresi verbal dan non-verbal

bervariasi

- mampu menciptakan hal yang baru dan berinisiatif

- fasih dalam melafalkan dan mengucapkan serta cakap dalam membuat mimik dan gerakan jasmani C. Afektif

1. Penerimaan

2. Berpartisipasi

3. Penilaian/penentuan sikap

4. Pengorganisasian

5. Internalisasi (pendalaman) 6. Karakterisasi (penghayatan)

- mampu menunjukkan, mengakui, dan mendengarkan dengan

sungguh-sungguh

- mematuhi dan berperan aktif dalam belajar

- mampu menerima suatu nilai, menyukai, menyepakati, menghargai, dan bersikap positif atau negatif

- mampu membentuk system nilai, menangkap relasi antar nilai, bertanggungjawab dan menyatukan nilai.

- mengakui dan menyakini - mampu melembagakan atau

meniadakan serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari

Selanjutnya menurut Syaiful Bahri Djamarah (2008) untuk mengetahui indikator keberhasilan belajar atau prestasi belajar dapat dilihat dari daya serap siswa dan perilaku yang tampak pada siswa.


(16)

1. Daya serap yaitu tingkat penguasaan bahan pelajaran yang disampaikan oleh guru dan dikuasai oleh siswa baik secara individual atau kelompok.

2. Perubahan dan pencapaian tingkah laku sesuai yang digariskan dalam kompetensi dasar atau indikator belajar mengajar dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa dan dari tidak kompeten menjadi kompeten.

3. Hasil belajar yang dicapai siswa

Hasil belajar yang dimaksud disini adalah pencapaian prestasi belajar yang dicapai siswa dengan ktiteria atau nilai yang telah ditetapkan baik menggunakan penilaian acuan patokan maupun penilaian acuan norma

4. Proses belajar mengajar

Penilaian terhadap proses belajar tidak hanya terbatas pada pembandingan nilai awal dengan nilai akhir siswa, akan tetapi juga menilai segala aktivitas siswa dalam melakukan kegiatan dan pengalaman belajar, baik keaktifannya dalam mengajukan pertanyaan yang diajukan oleh guru maupun siswa, minat, semangat, motivasi belajar, sikap terhadap materi pelajaran dan kegiatan belajar mengajar serta tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.

Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar siswa dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu aspek kognitif, afektif, dan


(17)

psikomotor. Aspek kognitif berkaitan dengan daya kognitif siswa, aspek afektif berkaitan dengan bagaimana siswa menerima dan mengapresiasikan, sedangkan aspek psikomotor berkaitan dengan keterampilan dan kecakapan siswa.

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang dicapai setelah proses belajar mengajar terjadi. Dalam mencapai prestasi belajar yang baik seorang siswa, banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terjadi disekitar kehidupan, baik di rumah maupun di dalam pergaulan masyarakat. Beberapa ahli (M. Ngalim Purwanto: 1990, Muhibbin Syah: 2006, Suparno: 2001, Syaiful Bahri Djamharah: 2006 dan Noeh : 1993) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar seseorang yaitu faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor yang datang dari diri siswa sendiri, yaitu:

a. Kondisi jasmani (fisiologis) seseorang, baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh

Kondisi jasmani yang sehat berbeda pengaruhnya dengan kondisi jasmani yang tidak sehat bagi kemampuan belajar siswa. Oleh karena itu siswa sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi serta memilih pola istirahat dan olahraga yang ringan. Yang


(18)

termasuk ke dalam faktor ini misalnya penglihatan, pendengaran, struktur tubuh, dan sebagainya.

b. Aspek psikologis

Aspek psikologis merupakan kondisi psikologis siswa yang terdiri dari: a. Intelegensi atau kecerdasan merupakan faktor yang besar

perannya dalam menentukan berhasil atau tidaknya mengikuti program pendidikan . Pada umumnya orang yang mempunya taraf kecerdasan tinggi akan lebih baik prestasinya bila dibandingkan dengan orang yang memepunyai taraf kecerdasan yang sedang atau rendah. b. Sikap siswa

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecendrungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang , barang, baik secara positif atau negatif .

c. Bakat siswa

Menurut Mahmud dalam Muhibbin (2005) bakat merupakan sarana yang mempermudah seseorang untuk menyerap pengetahuan yang sesuai dengan bakatnya dan ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh.


(19)

Menurut S. Nasution dalam Muhibbin (1996), motivasi adalah kondisi fisiologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi sangat penting untuk keberhasilan belajar

e. Minat

Minat yang tumbuh dari diri siswa dapat mendorong atau menggerakan dirinya berbuat sesuatu yang menjadi tujuannya, tanpa dorongan minat yang kuat maka prestasi tidak akan tercapai secara optimal

f. Kebutuhan Kemampuan

Kemampuan atau kematangan artinya bahwa dalam mengajarkan sesuatu yang baru harus dilihat dari taraf kemampuan pribadinya, yang memungkinkan jasmani dan rohaninya telah matang.

g. Tingkat religiusitas dan spiritualitas siswa b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar diri siswa. Diantaranya yaitu:

a. Lingkungan sosial; meliputi lingkungan sosial di sekolah (guru, teman sekelas, para staf administrasi). Lingkungan sosial siswa (masyarakat, tetangga, teman sepermainan), lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah orang tua dan


(20)

keluarga siswa itu sendiri seperti didikan orang tua, kondisi ekonomi keluarga, kasih sayang dan perhatian orang tua.

b. Kondisi budaya yang dapat mendorong semangat belajar siswa seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kemajuan tekhnologi yang berkembang di lingkungan siswa

c. Lingkungan fisik, seperti gedung sekolah, sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah, rumah tempat tinggal siswa, keadaan cuaca dan waktu belajar siswa. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan siswa.

d. Faktor lingkungan spiritual dan keamanan disekitar tempat tinggal siswa

Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar siswa ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor yang datang dari diri individu ( disebut sebagai faktor internal) dan faktor yang datang dari luar individu (selanjutnya disebut sebagai faktor eksternal). Adapun faktor internal terdiri dari kondisi fisiologis dan psikologis siswa yaitu minat, bakat, intelegensi, sikap dan motivasi siswa. Resiliensi termasuk ke dalam kondisi internal siswa. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sosial , lingkungan fisik sekolah, lingkungan masyarakat , serta kondisi budaya siswa.


(21)

2.1.3 Jenis-jenis Tes Prestasi Belajar

Menurut Darwyan Syah (2009), untuk menilai keberhasilan belajar siswa dapat dilakukan melalui tes prestasi belajar yang dapat digolongkan ke dalam tiga jenis penilaian sebagai berikut:

a. .Ulangan Harian

Ulangan harian dilakukan secara periodik pada akhir pengembangan kompetensi, untuk mengungkap penguasaan kognitif siswa, sekaligus untuk menilai keberhasilan penggunaan berbagai perangkat pendukung belajar mengajar

b. Ulangan Blok

Ulangan blok adalah ujian yang dilakukan dengan menggabungkan beberapa kompetensi dasar dalam satu waktu, mulai dari tingkat berpikir yang terlibat, pemahaman sampai dengan evaluasi.

c. Ulangan Semester

Ulangan semester digunakan untuk menilai penguasaan kompetensi pada akhir program semester. Kompetensi yang diujikan berdasarkan kisi-kisi yang mencerminkan kompetensi dasar, hasil belajar,dan indikator pencapaian hasil belajar yang dikembangkan dalam semester yang bersangkutan.

d. Ulangan Kenaikan Kelas

Ulangan kenaikan kelas digunakan untuk mengetahui ketuntasan siswa dalam menguasai standar kompetensi, kompetensi dasar dan materi pokok pelajaran bidang studi tertentu pada satu kompetensi ujian. Ulangan


(22)

ini harus mengacu pada kompetensi dasar, berkelanjutan, memiliki nilai aplikatif, atau dibutuhkan untuk belajar pada bidang lain yang relevan.

2.1.4 Tingkat Prestasi Belajar

Untuk mengetahui tingkat prestasi atau keberhasilan belajar yang dicapai oleh siswa digunakan dua acuan (Muhibbin Syah, 2003) yaitu;

1. Penilaian Acuan Norma

Penilaian acuan norma adalah penilaian prestasi dan hasil belajar siswa yang diacukan kepada rata-rata kelompoknya. Untuk itu norma atau kriteria yang digunakan dalam menentukan derajat keberhasilan siswa dibandingkan dengan rata-rata kelasnya. Atas dasar itu akan diperoleh kategori prestasi belajar siswa, yakni diatas rata-rata kelas, sekitar rata-rata kelas,dan di bawah rata-rata kelas.

2. Penilaian Acuan Patokan.

Penilaian acuan patokan prestasi belajar siswa adalah penilaian yang diacukan kepada tujuan instruksional yang harus dikuasai siswa. Dengan demikian,derajat keberhasilan siswa dibandingkan dengan tujuan yang seharusnya dicapai, bukan dibandingkan dengan rata-rata kelompoknya.

Berdasarkan penilaian acuan patokan dan penilaian acuan norma dapat diketahui tingkat prestasi belajar yang dicapai oleh siswa yang terbagi kedalam beberapa tingkatan keberhasilan sebagai berikut:


(23)

1. Penilian dengan menggunakan angka-angka. Artinya hasil belajar yang diperoleh siswa disajikan dalam bentuk angka. Rentangan yang digunakan misalnya 1 s.d 100 atau 0 s.d 4 (A,B,C,D).

2. Penilaian dengan menggunakan kategori. Artinya hasil yang diperolah siswa disajikan dalam bentuk kategori, misalnya: baik sekali, baik, cukup, kurang dan gagal atau sudah memahami, cukup memahami, belum memahami, sudah kompeten, cukup kompeten, belum kompeten dan tidak kompeten

3. Penilaian dengan menggunakan uraian atau narasi. Artinya hasil yang diperoleh siswa dinyatakan dengan uraian atau penjelasan misalnya: perlu bimbingan serius, keaktifan kurang, perlu pendalaman materi tertentu, atau siswa dapat membaca dengan lancar.

4. Penilaian dengan menggunakan kombinasi. Artinya hasil yang diperoleh siswa disajikan dalam bentuk kombinasi angka, kategori, dan uraian atau narasi.

2.2 Resiliensi

2.2.1 Pengertian Resiliensi

Istilah resiliensi secara etimologis berasal dari kata latin “resilire” yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Bila digunakan sebagai istilah psikologi, resiliensi


(24)

adalah kemampuan manusia untuk cepat pulih kembali dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (the Resiliency Center 2005). Sejumlah ahli yang berbicara tentang resiliensi mengemukakan berbagai definisi dari resiliensi sebagai berikut:

Benard (2004) mendefinisikan resiliensi sebagai kualitas atau karakteristik individual yang berkaitan dengan perkembangan positif dan kesuksesan dalam individu tersebut.

Sementara Grotberg dalam Desmita (2006) Resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.

Sedangkan menurut Rutter dalam Balanon (2002) resiliensi merupakan proses interaksi antara faktor individual dan lingkungan yang memberi hasil yang baik sementara menghadapi penderitaan hidup.

Resiliensi menurut Richardson, dkk dalam Henderson dan Milstein (2003) merupakan proses mengatasi masalah seperti gangguan, kekacauan, tekanan, atau tantangan hidup, yang pada akhirnya membekali individu dengan perlindungan


(25)

tambahan dan kemampuan untuk mengatasi masalah sebagai hasil dari situasi yang di hadapi.

Al Siebert (2005) mengatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan untuk mengatasi perubahan yang terjadi, mempertahankan energi , bangkit kembali dari kemunduran, dan merubah cara baru dalam pekerjaan dan kehidupan ketika cara lama tidak mungkin digunakan kembali.

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dalam penelitian ini resiliensi dapat diartikan sebagai suatu kemapuan individu untuk bangkit kembali dari kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan atau tekanan-tekanan hidup dengan melakukan hal-hal positif untuk merubah keadaan yang tidak menyenangkan tersebut menjadi sebuah kesuksesan

2.2.2 Sumber-sumber Pembentukan Resiliensi

Menurut Grotberg dalam Desmita (2005) ada tiga sumber dari resiliensi, yaitu I have (aku punya), I am (Aku ini), I can (Aku dapat), adapaun penjelasannya adalah sebagi berikut:

1. I have (Aku punya) merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan individu terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Sumber I have ini memiliki beberapa kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi, yaitu: hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, struktur dan aturan, model-model peran, dorongan untuk mandiri, serta fasilitas kehidupan


(26)

2. I am (Aku ini) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pibadi yang dimiliki oleh seseorang, yang terdiri dari perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am ini adalah disayang dan disukai banyak orang, mencintai, empati, kepedulian pada orang lain, bangga pada diri sendiri, bertanggungjawab, percaya diri, optimis, dan penuh harap.

3. I can (Aku dapat) adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan oleh individu sehubungan dengan keterampilan-keterampilan sosial dan interpersonal. Keterampilan-keterampilan ini meliputi, cara berkomunikasi, memecahkan masalah, mengelola perasaan, mengukur tempramen sendiri dan orang lain, serta menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai.

Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari ketiga faktor I have, I am, dan I can. Untuk menjadi seorang yang resilien, tidak cukup hanya memiliki satu faktor saja, melainkan harus ditopang oleh ketiga aspek tersebut.

2.2.3 Karakteristik Individu yang Resilien

Menurut Benard (2004) terdapat empat kategori penyusun kekuatan pribadi individu yang resilien yaitu:


(27)

1. Kompetensi sosial

Rutter (1984) mendefinisikan kompetensi sosial sebagai suatu istilah yang menggambarkan kemampuan anak beradaptasi dan terkait pada pemecahan masalah dalam hubungan sosial yaitu kemampuan anak untuk berpikir dan mengoperasionalkan berbagai pemecahan masalah yang bersifat sosial. Luthar dan Burack (2000) dalam Benard (2004) mengatakan bahwa kompetensi sosial merupakan salah satu indikator penting dalam menilai adaptasi positif seorang anak.

Kompetensi sosial meliputi hal-hal berikut ini:

a. Sikap responsif: kemampuan menangkap respon positif dari orang lain. b. Komunikasi: kemampuan yang memudahkan individu melakukan

hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Kemampuan komunikasi juga merupakan kemampuan seseorang mengungkapkan ketidaksetujuannya tanpa menyakiti oaring lain.

c. Empati: kemampuan mengerti dan merasakan perspektif orang lain.

d. Rasa murah hati: keinginan dan dorongan untuk menolong meringankan penderitaan orang lain (Benard, 2004).

2. Kemampuan pemecahan masalah

Kategori ini memberikan banyak kontribusi bagi kemampuan perencanaan dan fleksibilitas di berbagai aspek kehidupan anak melalui sumber-sumber yang ada. Dalam penelitian mengenai resiliensi kemampuan ini sering juga disebut sebagai fungsi intelektual yang baik. Kemampuan ini meliputi:


(28)

a. Kemampuan perencanaan: kemampuan anak yang membuat mereka mampu memiliki kendali dan harapan atas hidupnya di masa depan. b. Fleksibilitas: kemampuan anak untuk melihat permasalahan dari sudut

pandang lain dan mencari alternative pemecahan baik untuk masalah sosial atau hal yang berhubungan dengan kognitif mereka.

c. Resourcefulness: keterampilan untuk bertahan hidup yang meliputi kemampuan anak dalam mencari sumber-sumber di luar diri mereka. d. Kemampuan berpikir kritis : kemampuan untuk menganalisa suatu

kejadian lebih mendalam. 3. Otonomi

Otonomi mencakup kemampuan anak untuk bertingkah laku secara bebas dan berbeda diatas kendali dari lingkungan tempat individu berada. Otonomi juga diasosiasikan dengan rasa kesejahteraan diri (Deci: Ryan dan Deci dalam Benard, 2004). Dengan memiliki rasa otonomi individu merasa berkeinginan penuh akan apa yang mereka lakukan. Mereka juga terlibat dalam berbagai aktivitas dengan komitmen dan rasa ketertarikan yang muncul dari dalam mereka sendiri (Deci dalam Benard, 2004). Otonomi meliputi:

a. Identitas positif: perasaan sadar akan identitas dirinya yang bersifat stabil dan pribadi. Identitas positif berkaitan erat dengan self-esteem dan evaluasi diri yang positif pula dimana hal tersebut merupakan karakteristik anak dan remaja yang banyak mengalami kejadian tidak menyenangkan dalam hidup mereka.


(29)

b. Internal locus of control dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana individu memegang kendali atas keadaan dan perasaan bahwa dirinya memiliki kekuatan tertentu.

c. Self-efficacy: kepercayaan diri yang ada di dalam diri individu untuk menentukan apa yang ingin dicapai dan cara yang mungkin dilakukan untuk mencapai tujuan.

d. Adaptive distancing : adaptive distancing adalah kemampuan untuk teguh pada dirinya sendiri meskipun sedang menghadapi ancaman dari luar dirinya.

e. Kewaspadaan diri: perhatian terhadap keadaan dalam diri individu termasuk pemikiran, perasaan, kekuatan dan kebutuhan diri tanpa melibatkan emosi di dalamnya.

f. Rasa humor: rasa humor membantu individu dalam merubah rasa marah dan kesedihan menjadi perasaan riang dan dapat menjauhkan individu dari kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidupnya.

4. Kesadaran akan tujuan dan masa depan

Kategori ini berkaitan dengan kekuatan pribadi yang meliputi arah tujuan ke optimisme individu sampai dengan kesadaran akan makna dan koherensi atas keberadaan individu tersebut sebagai bagian dari alam semesta. Fokus pada masa depan yang kuat dan positif secara konsisten telah diidentifikasikan dengan kesuksesan dalam bidang akademis, identitas diri yang positif, dan tingkah laku yang tidak membahayakan kesehatan. Faktor ini meliputi:


(30)

a. Arah tujuan dan aspirasi pendidikan: ketiga hal ini berorientasi pada masa depan dan dikatakan sebagai cirri-ciri anak yang sukses dalam pendidikannya.

b. Ketertarikan tertentu pada suatu hal: anak dengan ketertarikan tertentu pada suatu hal akan mencurahkan perhatian mereka terhadap kegiatan tersebut. Perhatian yang diberikan akan menimbulkan sense of mastery pada diri mereka dan akan mengalihkan perhatiannya dari kejadian tidak menyenangkan yang sedang ia hadapi. Bentuk dari ketertarikan ini seringkali muncul dalam kreativitas seni dan imajinasi. Hal tersebut memberikan saluran bagi anak untuk menggambarkan masa depan yang positif.

c. Optimisme : optimisme merefleksikan sikap motivasional dan penuh pengharapan tentang masa depan anak yang positif. Optimisme juga memiliki kaitan erat dengan kompetensi sosial, kemampuan memecahkan masalah, self-efficacy, dan motivasi dalam bidang akademis.

d. Faith: keyakinan (faith) merupakan kualitas individu dalam mengartikan kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidupnya. Hal ini diasosiasikan berkaitan erat dengan perkembangan yang sehat sepanjang rentang usia individu.

Sementara menurut Block dan Kreman dalam Tugade dan Fredrickson (2004), karakteristik individu yang resilien adalah sebagai berikut:


(31)

Individu yang optimis merasa dapat meningkatkan kesempatan untuk bangkit dan berbuat sesuatu lebih baik dari sebelumnya . Rasa optimis dapat membuat individu melakukan sesuatau yang positif di masa yang akan datang dan memiliki semangat tinggi dalam melakukan rutinitas sehari-hari. Individu yang resilien memiliki kemampuan untuk membayangkan kondisi yang ia inginkan di masa yang akan datang sehingga ketidakberuntungan yang dialaminya dijadikan motivasi untuk mencapai tujuan yang ia bayangkan (Siebert,2005)

2. Individu terbuka dengan pengalaman

Individu yang resilien memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang sekelilingnya dan selalu belajar dari pengalaman yang ia alami sehari-hari. Ia melakukan sesuatu yang lebih baik dalam menghadapi situasi-situasi baru karena ia belajar dari konsekuensio-konsekuensi yang pernah ia lakukan sebelumnya.

3. Memiliki emosi positif yang tinggi

Menurut Werner dan Smith dalam Dell (2005), individu yang resiliensinya tinggi memunculkan emosi positifnya melalui humor dan tekhnik-tekhnik relaksasi serta berpikir optimis emosi positif merupakan elemen penting dalam resiliensi. Emosi yang dimiliki individu digunakan untuk pemulihan dari pengalaman emosi negatif (Connor, 2006)


(32)

Menurut Al Siebert (2004), karakteristik individu yang resilien memiliki persamaan kualitas, yaitu:

1. Playful (suka bermain) dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi seperti anak-anak. Ciri-cirinya mereka mengajukan banyak pertanyaan, untuk mengetahui bagaimanan proses terjadinya sesuatu. Mereka memiliki waktu yang dapat dinikmati dengan baik hampir diseluruh tempat. Memiliki rasa humor untuk mendapatkan kegembiraan dari suatu tragedi,mampu merubah ketidakberuntungan menjadi keberuntungan serta memperoleh kekuatan dari tekanan. Mereka juga mampu meredakan tegangan dan mencoba melihat dari perspektif yang lebih baik (Turner, 2001)

2. Secara konstan belajar dari pengalaman. artinya mereka secara cepat mencerna pengalaman yang baru maupun yang tak terduga. Hal tersebut dikarenakan adanya kemauan untuk senantiasa belajar dari pengalaman 3. Beradaptasi dengan cepat dan baik. ciri-cirinya individu bersifat fleksibel

secara mental. Mereka mampu untuk bersikap keras maupun lembut, menggunakan perasaan atau logika, bersikap tenang atau emosional, dan sebagainya. Mereka mampu untuk tetap sehat walaupun berada dalam lingkungan keluarga yang kacau. Hal ini dikarenakan peran model yang diperoleh selain dari rumah, seperti guru, sahabat, pelatih dan pembina agama (Turner,2001).

4. Self-esteem dan kepercayaan diri yang kokoh. Self- esteem adalah apa yang dirasakan seseorang tentang dirinya. Self-esteem berperan sebagai penahan


(33)

dalam melawan pernyataan yang menyakitkan dan sekaligus mempelajari sesuatu dari kritik yang diterima. Self-esteem membuat mereka percaya diri dan memampukan mereka untuk melakukan sesuatu dengan kapasitas maksimal mereka.

5. Memiliki persahabatan yang baik dan penuh kasih. Individu yang resilien senantiasa berkomunikasi dengan teman dan keluarga karena hal tersebut mengurangi akibat dari kesulitan yang dihadapi.

6. Mengekspresikan perasaan secara jujur. Individu mengalami dan mengekspresikan rasa marah, sayang, benci, sedih, penghargaan dan macam-macam emosi lainnya secara jujur dan terbuka.mereka tidak berpura-pura dalam menunjukan sikap mereka sehari-hari, mereka bertingkah laku apa adanya, artinya tidak bersikap untuk menyembunyikan sesuatu.

7. Mengharapkan sesuatu berjalan dengan baik. Individu memiliki optimisme yang tinggi yang dipimpin oleh nilai dan standar internal individu. Mereka berusaha melakukan yang terbaik, sebagai timbal baliknya, mereka mempunyai keyakinan bahwa hal yang dikerjakan akan membawa hasil yang maksimal.

8. Mencoba mengerti orang lain dengan berempati. Ciri-cirinya adalah mencoba melihat sesuatu dari cara pandang orang lain. Mereka mencoba untuk berada di posisi tempat orang lain berada


(34)

9. Memiliki kapasitas intelektual. Individu yang resilien biasanya ia memiliki kapasitas intelektual yang tinggi dalam menghadapi setiappermasalahan yang dihadapinya

10. Memiliki Internal Locus Of Control. Individu mampu memegang kendali atas dirinya

Adapun Henderson dan Milstein dalam Desmita (2003), menyebutkan 12 karakteristik internal resiliensi, yaitu:

1. Kesediaan diri untuk melayani orang lain

2. Menggunakan ketrampilan-keterampilan hidup, yang mencakupi keterampilan mengambil keputusan dengan baik, tegas, keterampilan mengontrol impuls-impuls dan problem solving

3. Sosiabilitas, kemampuan untuk menjadi seseorang teman dan membentuk hubunan-hubungan yang positif

4. Memiliki perasaan humor 5. Lokus kontrol internal 6. Mandiri

7. Memiliki pandangan positif terhadap masa depan 8. Fleksibilitas

9. Memiliki kapasitas untuk terus belajar 10. Motivasi diri

11. Kompetensi personal

12. Memiliki harga diri dan rasa percaya diri

Dapat disimpulkan bahwa individu yang resilien memiliki karakteristik individu tersebut optimis, mampu beradaptasi dengan baik, humoris, memiliki motivasi diri, memiliki kompetensi personal, memiliki internal locus of control ,


(35)

self-esteem dan rasa percaya diri yang tinggi, mandiri, sosiabilitas, serta mampu berempati.

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Seorang anak dapat disebut sebagai anak yang resilien apabila mereka memenuhi kriteria yang diperlukan. Kriteria pertama adalah terdapatnya sebuah keadaan yang merupakan ancaman atau sifatnya berbahaya bagi individu tersebut. Keadaan demikian disebut juga sebagai faktor resiko. Kedua, kualitas penyesuaian individu terhadap keadaan tersebut sesuai dengan tahap perkembangannya dimana hal ini juga dikenal sebagai faktor protektif (Ibeagha dkk, 2004)

2.2.4.1 Faktor Resiko

Faktor resiko dalam Berns (2007) didefinisikan sebagai keadaan yang membahayakan. Mash dan Wolfe (2005) mengemukakan definisi serupa mengenai faktor resiko yaitu variabel yang berkemungkinan memberikan dampak negatif dari kejadian yang dialami anak. Anak yang berada dalam keadaan beresiko rentan terhadap hasil perkembangan yang negatif seperti dikeluarkan dari sekolah, penggunaan obat-obatan terlarang, kehamilan di masa remaja bahkan terlibat dalam kasus bunuh diri. Faktor resiko yang melibatkan anak-anak dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu faktor genetik seperti kemunduran mental, faktor prenatal seperti masalah kesehatan saat berada dalam kandungan, faktor prenatal yang berkaitan dengan penanganan kesehatan, dan faktor yang berasal dari lingkungan seperti kemiskinan,wilayah konflik, bencana alam atau perceraian (Rickel dan Becker, 1997 dalam Berns 2007). Anak yang dikatakan


(36)

berada dalam keadaan beresiko, cenderung berasal dari keluarga dengan dukungan sosial yang kurang, mengalami kasus depresi, atau kekerasan rumah tangga (Children’s Defense Fund, 2004; Rogosch dkk, 1995).

2.2.4.2 Faktor Protektif

Faktor protektif adalah hal-hal yang membantu individu bertahan dari dampak yang diakibatkan oleh tekanan yang diterima, membantu mengatasi keadaan tidak menyenangkan tersebut dan mampu menyesuaikan diri dalam keadaan mengancam tersebut (Ibeagha dkk, 2004). Sejalan dengan definisi tersebut dikatakan pula bahwa faktor protektif adalah keadaan yang mengurangi dampak dari stres dini dan cenderung memprediksi hasil positif dari keadaan tidak menyenangkan (Masten dan Coatsworth dalam Papalia, 2004)

Faktor protektif berasal dari dua sumber yaitu internal dan eksternal. Faktor protektif internal adalah asset atau faktor protektif yang secara konstan muncul dalam pembahasan mengenai karakteristik anak yang resilien dan meliputi kompetensi sosial, kemampuan memecahkan masalah, otonomi dan kesadaran akan tujuan dan masa depan (Waters dan Sroufe; Garmezy; Rutter; Werner dan Smith; Masten et al; Gore dan Eckenrode; Consortium on the School-Based Promotion of Social Competence dalam Howard, 1999). Hal ini sering disebut juga sebagai kekuatan pribadi dan merupakan manifestasi dari resiliensi itu sendiri. Faktor-faktor ini pasti dimiliki setiap individu namun dalam derajat yang berbeda-beda (Chavkin dan Gonzales, 2000)

Sementara faktor eksternal adalah faktor yang mendukung timbulnya resiliensi anak dari luar diri mereka. Faktor protektif eksternal dapat


(37)

dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar yaitu keluarga, sekolah dan lingkungan sehari-hari anak.

Berdasarkan dari uraian teori di atas, resiliensi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor resiko dan faktor protektif. Faktor resiko merupakan keadaan dimana merupakan ancaman atau sifatnya berbahaya bagi individu. Sedangkan faktor pretektif merupakan kemampuan untuk menyesuaikan diri individu dengan keadaan tidak menyenangkan tersebut dengan baik.

2.3 Tugas-Tugas Perkembangan Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)

Enung (2006) menyatakan bahwa tugas-tugas perkembangan merupakan suatu proses yang menggambarkan perilaku kehidupan sosio-psikologis manusia pada posisi yang harmonis di dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas dan kompleks. Proses tersebut merupakan tugas-tugas perkembangan fisik dan psikis yang harus dipelajari, dijalani, dan dikuasai oleh setiap individu. Pada jenjang kehidupan usia sekolah menengah (remaja), seseorang telah berada pada posisi yang cukup kompleks karena ia telah banyak menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya, seperti proses mempelajari nilai dan norma pergaulan dengan teman sebaya, menyesuaikan diri dengan ketentuan yang berlaku, dan sebagainya.

Secara sadar, pada akhir masa anak-anak, seorang individu akan berupaya untuk bersikap dan berperilaku lebih dewasa dan intelek. Hal ini merupakan “tugas” yang cukup berat bagi para remaja untuk lebih menuntaskan tugas-tugas perkembangannya, sehubungan dengan semakin luas dan kompleksnya kondisi


(38)

kehidupan yang harus dihadapi dan dijalaninya. Mereka tidak ingin dijuluki sebagai anak-anak, melainkan ingin dihargai dan diakui sebagai orang yang sudah dewasa. Mereka menjalani tugas mempersiapkan diri untuk dapat hidup lebih, dalam arti mampu menghadapi dan memecahkan masalah, bertindak etis dan normatif serta bertanggung jawab moral. Oleh karena itu, tugas perkembangan pada masa remaja ini dipusatkan pada upaya untuk menanggulangi sikap dan pola kekanak-kanakan.

Tugas-tugas perkembangan tersebut oleh Havighurst (1956) dikaitkan dengan fungsi belajar karena pada hakikatnya perkembangan kehidupan manusia dipandang sebagai upaya mempelajari nilai dan norma kehidupan sosial budaya agar mampu melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan nyata di masyarakatnya.

Untuk memahami jenis tugas perkembangan remaja, perlu dipahami hal-hal yang harus dilakukan oleh orang dewasa. Makna “dewasa” dapat diartikan dari berbagai segi, sehingga dikenal istilah dewasa secara fisik, dewasa secara mental, dewasa secara sosial, dewasa secara psikologis, dewasa secara hukum, dab sebagainya.

Pada umumnya, orang yang telah berusia 17 tahun akan dikatakan sebagai orang yang telah dewasa, baik dewasa secara fisik yang berarti siap untuk melaksanakan tugas-tugas reproduksi; dewasa dari segi hukum yang berarti dapat dikenai sanksi hukum, atau dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, jenis tugas perkembangan remaja itu mencakup segala persiapan diri untuk memasuki jenjang waktu, yang


(39)

intinya bertolak dari tugas perkembangan fisik dan tugas perkembangan sosio-psikologis.

Havighurst dalam Garrison (1956:14:15) mengemukakan 10 jenis tugas perkembangan remaja, yaitu:

1. mencapai hubungan pertemanan dengan lawan jenisnya secara lebih matang;

2. mencapai perasaan seks yang diterima secara sosial;

3. menerima keadaan badannya dan menggunakannya secara efektif; 4. mencapai kebebasan emosional dari orang dewasa;

5. mencapai kebebasan ekonomi

6. memilih dan menyiapkan suatu pekerjaan;

7. menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga;

8. mengembangkan keterampilan dan konsep intelektual yang perlu bagi warga Negara yang berkompeten;

9. menginginkan dan mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara moral dan sosial;

10. memahami suatu perangkat tata nilai yang digunakan sebagai pedoman tingkah laku.

Tugas-tugas perkembangan tersebut pada dasarnya tidak dapat dipisahkan karena remaja adalah pribadi yang utuh secara individual dan sosial. Namun demikian, banyak hal yang harus diselesaikan selama masa perkembangan remaja yang singkat ini. Pada tugas perkembangan fisik, upaya untuk mengatasi permasalahan pertumbuhan yang “serba tak harmonis” amatlah berat bagi para


(40)

remaja. Hal itu dapat bertambah sulit bagi remaja yang sejak masa anak-anak telah memiliki konsep yang mangagungkan penampilan diri pada waktu dewasa nanti. Oleh karena itu, tidak sedikit remaja bertingkah kurang tepat (tidak sesuai).

Di lain pihak, remaja telah mengantisipasi tugas-tugas perkembangan dalam kehidupan sosial. Bagi seorang pria, ia harus merencanakan untuk menjadi seorang dewasa yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, sehingga ia harus menjalani tugs mempersiapkan diri untuk mampu menjadi manusia bertanggung jawab dalam arti menjadi pelindung keluarga, baik dari segi keamanan maupun ketentraman jiwa wanita dan anak-anak. Hal ini tercermin dalam nalurinya untuk menjadi seorang yang kuat, secara ekonomis menjadi orang yang produktif, dan tercermin pada penetapan jenis pekerjaan yang diidamkan. Dengan sendirinya hal itu dapat juga berpengaruh pada pemilihan jenis pendidikan yang dewasa yang lembut dan penuh kasih sayang telah pula memengaruhi upaya untuk mempersiapkan dirinya memasuki jenjang kedewasaan.

Memasuki jenjang usia dewasa, telah terbayang berbagai hal yang harus dihadapinya. Bukan saja menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan fisik, sosial, dan ekonomi, tetapi juga menghadapi tugas-tugas perkembangan yang berkaitan dengan faktor psikologis, seperti pencapaian kebahagiaan dan kepuasan, persaingan, kekecewaan, dan perang batin yang bisa terjadi karena perbedaan nilai dan norma dalam kehidupan sosial.


(41)

2.4 Hubungan Antara Resiliensi dan Prestasi Belajar pada Siswa

Resiliensi dan prestasi belajar memiliki keterkaitan satu sama lain hal ini berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Gutman, Samerof dan Cole (2003) ditemukan bahwa anak-anak yang mengalami kondisi sulit dengan tingkat resiliensi yang tinggi mampu untuk mencapai tingkat yang tinggi dalam motivasi dan performansi akademik. Sedangkan individu dengan resiliensi rendah cenderung mempersepsi masalah sebagai suatu beban dalam hidupnya. Sedangkan menurut Jew, Green, dan Kroger (1999) bahwa individu yang memiliki skor yang tinggi dalam resiliensi cenderung menunjukan kemampuan akademik yang baik daripada individu yang memiliki resiliensi yang rendah.

Martin dan Marsh (2006) mengatakan bahwa resiliensi meningkatkan kemungkinan anak untuk sukses di sekolah dan berbagai aspek lain dalam hidup mereka meskipun terdapat rintangan atau kejadian yang tidak menyenangkan terjadi. Siswa yang resilien adalah mereka yang mampu menunjukan performa tinggi dan tetap termotivasi dalam belajar meskipun terdapat berbagai hal yang menekan dan menurunkan resiko akan menurunny performa mereka (alva dalam Nears,2007).

Sementara Linquanti (dalam Howard 1999) memberikan definisi resiliensi sebagai kualitas dalam diri anak yang walaupun dihadapkan dengan kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup tidak mengalami kegagalan dalam hal kehidupan akademisnya. Mendukung pernyataan tersebut, Nears (2007) juga menyebutkan bahwa anak yang tidak dapat mengatasi tantangan yang ada


(42)

dengan efektif akan lebih tidak menyenangi sekolah dan lebih jarang berpartisipasi dalam kegiatan di kelas.

Namun, hal ini tidak terjadi pada penelitian yang telah dilakukan oleh Fonny, Fidelis, dan Lianawati (2006) terhadap anak -anak tuna rungu yang berusia 9-12 tahun. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara resiliensi dengan prestasi akademik (prestasi belajar) yang disebabkan dua aspek antara resiliensi dan prestasi akademik merupakan aspek yang berbeda

2.5 Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini, resiliensi merupakan kualitas atau karakteristik individual yang berkaitan dengan perkembangan positif dan kesuksesan dalam individu tersebut (Benard : 2004). Resiliensi dalam penelitian ini dibatasi pada faktor resiko ekternal saja seperti kemiskinan, orang tua meninggal, korban daerah konflik, korban bencana alam, perceraian, serta korban kekerasan dalam rumah tangga.

Sedangkan prestasi belajar adalah adalah taraf keberhasilan siswa dari kegiatan atau usaha belajarnya dalam mempelajari setiap mata pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau skor dalam periode waktu tertentu.

Dengan adanya faktor resiko, maka akan timbul apa yang disebut sebagai faktor protektif. Faktor protektif adalah hal-hal yang membantu individu bertahan dari dampak yang diakibatkan dari tekanan yang diterima, membantu mengatasi keadaan tidak menyenangkan tersebut dan mampu menyesuaikan diri dalam keadaan mengancam tersebut (Ibeagha dkk, 2004). Seperti faktor resiko, faktor


(43)

protektif juga berasal dari sumber eksternal dan internal. Menurut Benard (2004) faktor protektif internal atau asset internal individu terdiri dari empat kategori penyusun yaitu kompetensi sosial, pemecahan masalah, otonomi dan kesadaran akan tujuan dan masa depan. Kategori ini memiliki individu dengan kadar yang berbeda-beda namun akumulasi dari keempat kategori tersebut menentukan tingkat resiliensi individu. Sementara faktor protektif eksternal seorang anak didapat dari keluarga, sekolah dan lingkungan mereka sehari-hari (Howard, 1999). Faktor protektif eksternal ini lebih bersifat mendukung faktor protektif internal yang sudah ada dalam individu (Bennard, 2004).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gutman, Samerof dan Cole (2003) ditemukan bahwa anak-anak yang mengalami kondisi sulit dengan tingkat resiliensi yang tinggi mampu untuk mencapai tingkat yang tinggi dalam motivasi dan performansi akademik. Sedangkan individu dengan resiliensi rendah cenderung mempersepsi masalah sebagai suatu beban dalam hidupnya. Sedangkan menurut Jew, Green, dan Kroger (1999) bahwa individu yang memiliki skor yang tinggi dalam resiliensi cenderung menunjukan kemampuan akademik yang baik daripada individu yang memiliki resiliensi yang rendah.

Dalam mencapai prestasi belajar , individu tersebut tidak terlepas dari berbagai faktor yang terjadi disekitar kehidupan, baik kondisi internal maupun eksternal siswa. Diduga, siswa yang memiliki resiliensi tinggi akan memiliki prestasi belajar yang tinggi


(44)

Kerangka berpikir di atas dapat diilustrasikan ke dalam bagan sebagai berikut:

Siswa SMART EI

Faktor Resiko Eksternal - Kemiskinana - Orang tua

meninggal - Korban daerah

konflik - Korban bencana

alam - Perceraian - Korban kekerasan

Karakteristik individu yang resilien 1. Kompetensi 2. sosial 3. Otonomi 4. Kemampuan pemecahan masalah 5. Kesadaran akan

tujuan dan masa depan - Resiliensi Resiliensi Tinggi Prestasi belajar Rendah Prestasi belajar Tinggi Resiliensi Rendah 2.6Hipotesis

Ha : Ada hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dengan prestasi belajar

Ho : Tidak ada hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dengan prestasi belajar


(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang akan digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Dimana pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam penelitian ini, karena membutuhkan data-data numerik yang akan dianalisis untuk diketahui hasilnya. Menurut Arikunto (2006), pendekatan kuantitatif adalah pendekatan penelitian yang bekerja dengan angka, mulai dari pengumpilan data, penafsiran dari data tersebut, serta penampilan dari hasilnya.

Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian deskriptif dengan analisis korelasional sesuai dengan tujuan penelitian yang meneliti hubungan antara resiliensi dengan prestasi belajar. Arikunto (2009) menyatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan . Sedangkan penelitian korelasional merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua atau beberapa variabel. Dengan tekhnik korelasi seorang peneliti dapat mengetahui hubungan variasi dalam suatu variabel dengan variabel yang lain.


(46)

3.2 Variabel Penelitian

Pengertian variabel menurut Kerlinger (2002:49) adalah simbol atau lambang yang padanya diletakkan bilangan atau nilai. Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel yaitu resiliensi sebagai independent variabel (IV) dan prestasi belajar sebagai dependent variabel (DV)

3.2.1 Definisi konseptual variabel

Resiliensi merupakan kualitas atau karakteristik individual yang berkaitan dengan perkembangan positif dan kesuksesan dalam individu tersebut

Prestasi belajar merupakan hasil penilaian aktivitas belajar siswa

yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang

dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai peserta didik dalam periode

tertentu

3.2.2 Definisi operasional variabel

Resiliensi merupakan kualitas atau karakteristik individual yang berkaitan dengan perkembangan positif dan kesuksesan dalam individu tersebut .Resiliensi dalam penelitian ini adalah empat kategori penyusun kekuatan pribadi individu yang resilien menurut Benard (2004) yang terdiri dari kompetensi sosial, kemampuan pemecahan masalah, otonomi, dan kesadaran akan tujuan dan masa depan yang tercermin dalam bentuk skor skala resiliensi dengan menggunakan skala model Likert


(47)

Prestasi belajar merupakan hasil penilaian aktivitas belajar siswa

yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang

dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai peserta didik dalam periode

tertentu .Prestasi belajar dalam penelitian ini adalah skor yang diperoleh dari nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang tercantum pada rapor

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian (Arikunto,2004). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Yayasan SMART Ekselensia Indonesia yang berjumlah 122 siswa.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel ialah sebagian atau wakil populasi yang diteliti dengan maksud untuk menggeneralisasikan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian (Kountur, 2004). Pendapat lain dikemukakan oleh Gay dalam Sevilla (1993) yaitu, jumlah minimal sampel dalam penelitian adalah 10% dari populasi dan untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimum 20%. Sedangkan untuk penelitian korelasional, jumlah minimum sampelnya adalah 30 orang. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sampel siswa Sekolah Menegah Atas (SMA) Yayasan SMART Ekselensia Indonesia sebanyak 62 orang (50,8%)


(48)

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik random sampling sistematis, yaitu tekhnik random sampling sederhana yang dilakukan secara ordinal. Artinya anggota sampel dipilih berdasarkan urutan tertentu (Usman,2006).

3.4 Metode dan Instrumen Pengumpulan Data 3.4. 1 Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitian . Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non –test, sedangkan instrumen yang digunakan berupa angket (questionnaire) yaitu sejumlah pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto:2006) dengan menggunakan skala model Likert, dimana variabel yang diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrument yang dapat berupa pernyataan (Sugiyono, 2009).

3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala resiliensi dan nilai rata-rata seluruh mata pelajaran pada rapor siwa. Skala resiliensi yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada teori Benard (2004) . Skala tersebut disusun oleh peneliti dengan menggunakan pembagian dua


(49)

kategori item pernyataan, favorabel dan unfavorabel dengan menentukan bobot nilai.

Table 3.1 Nilai Skor Jawaban

Kategori Pilihan Fav Unfav

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju (S) 3 2

Tidak Setuju (TS) 2 3

Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4

3.4.2.1 Blue Print Try out Skala Resiliensi

Skala resiliensi yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada teori Benard (2004) yaitu empat kategori penyusun kekuatan pribadi individu yang resilien yang terdiri dari kompetensi sosial, kemampuan pemecahan masalah, otonomi, dan kesadaran akan tujuan dan masa depan yang penulis kembangkan sendiri. Adapun blue print skala tersebut sebagai berikut:

Tabel 3.2

Blue print skala resiliensi

Aspek Sub aspek Indikator Fav Unfav Tota

l Sikap

responsif

mampu menangkap respon positif dari orang lain

2,8*,9 10,49 5

1.

Kompetensi

Sosial Komunikasi individu mampu melakukan hubungan interpersonal

26*,41* 34*,43 *


(50)

dengan lingkungannya

Empati kemampuan mengerti dan merasakan

perspektif orang lain

1,11,30 18*,52 5

Rasa murah hati

memiliki keinginan untuk menolong serta meringankan penderitaan orang lain

64,77* 28*,39 *

4

Kemampuan Perencanaan

mampu memiliki kendali atas hidupnya

15*,23 37* 3

Fleksibilitas mampu melihat permasalahan dari sudut pandang lain

21*,24,53 29 4 Resourchfulne

ss

memiliki keterampilan untuk bertahan hidup yang meliputi kemampuan individu dalam mencari sumber-sumber di luar diri mereka.

12,42*,50 33,70 5 2. Kemampuan Pemecahan Masalah Kemampuan berpikir kritis

mampu untuk menganalisa suatu kejadian lebih mendalam

13,60*, 75 22,74 5

Identitas positif

individu sadar akan identitas dirinya

3,71* 14,68* 4

Internal locus of control

individu memegang kendali bahwa dirinya memiliki kekuatan tertentu

5,72* 27,46 4

Self-efficacy memiliki kepercayaan diri untuk menentukan apa yang ingin dicapai

65*,47* 63*,69 4

Adaptive distancing

mampu untuk teguh pada dirinya sendiri meskipun sedang menghadapi ancaman dari luar dirinya

45*,62*,56 58,80* 5

Kewaspadaan diri

individu memiliki perhatian terhadap keadaan dalam diri individu

6*,35 55,76 4

3. Otonomi

Rasa humor mampu mengubah keadaan yang tidak menyenangkan menjadi sesuatu yang membahagiakan

31,51,73* 32,59 5

4. Kesadaran akan tujuan

Memiliki arah tujuan

individu memiliki orientasi terhadap masa depannya


(51)

hidup Ketertarikan individu pada suatu hal

individu memiliki kemampuan berkreativitas

40*,67*,75 48,66 5

Optimis individu memiliki pengharapan tentang masa depan yang positif

7,19,36* 61*,78 *

5 dan masa

depan

Faith Mampu mengambil mkna dari setiap kejadian-kejadian yang dialaminy dalam hidup

17,20,38 79* 4

*Item yang valid

3.4.3 Tekhnik Uji Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini teknik uji instrumen penelitian yang dilakukan ialah a. Uji Validitas

Untuk memperoleh pengukuran yang valid dilakukan pengkorelasian skor item dengan skor total. Bila korelasi antara skor item dengan skor total menghasilkan korelasi yang rendah, maka item dinyatakan gugur atau dimodifikasi, sedangkan bila korelasi yang didapat menghasilkan skor yang tingi maka item tersebut dinyatakan valid dan dapat digunakan sebagai alat ukur.

Untuk menguji tingkat validitas, peneliti menggunakan uji korelasi product moment. Validitas suatu butir pernyataan dapat dilihat pada hasil output SPSS 11,5. Berdasarkan uji validitas dari 80 item diperoleh 32 item yang valid


(52)

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka diuji-ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir –butir ekuivalen yang berbeda, atau dalam kondisi pengujian yang berbeda (Anastasi,2007). Tes dikatakan memiliki reliabilitas tinggi apabila skor hasil tes itu berkorelasi dengan skor murninya sendiri. Adapun kaidah reliabilitas menurut Guilford adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3

Kaidah Reliabilitas Guilford

Kriteria Koefisien Reliabilitas

Sangat Reliabel > 0,9

Reliabel 0,7 – 0,9

Cukup reliable 0,4 – 0,7

Kurang Reliabel 0,2 – 0,4

Tidak Reliabel <0,2

Hasil uji reliabilitas diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,7895 yang berarti alat ukur resiliensi reliable


(53)

3.5 Teknik Analisa Data

Setelah data mentah terkumpul, data diberi kode untuk mengklasifikasikan data sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. Saat masih di lapangan, data disunting untuk meneliti kembali kelengkapan data yang dikumpulkan. Editing ini dilakukan dengan cara meneliti setiap daftar pernyataan (skala) yang telah diisi untuk memastikan kelengkapan pengisian, konsistensi, dan relevansi pilihan pernyataan serta keterbatasan pengisian responden. Selanjutnya data mentah dimasukkan ke komputer untuk dilakukan analisis lebih lanjut dengan menggunakan SPSS 11,5 for windows untuk dianalisa dengan menggunakan tekhnik korelasi Pearson

3.6 Prosedur Penelitian 1. Tahap persiapan penelitian

Tahap persiapan dimulai dengan perumusan masalah, menentukan variabel penelitian, melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan gambaran dan landasan teoritis yang tepat, menentukan, menyusun, dan menyiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu skala resiliensi dan nilai rata- rata seluruh mata pelajaran pada rapor siswa yang kemudian dilakukan pengecekan pembimbing terlebih dahulu. Setelah skala dikatakan baik, maka penulis melakukan uji coba (try out) instrumen dan langkah selanjutnya ialah mendatangi lokasi untuk penelitian yaitu Yayasan SMART Ekselensia Indonesia


(54)

2. Pengujian alat ukur (try out)

Sebelum penelitian ini dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan uji instrumen kepada 60 siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Yayasan SMART Ekselensia Indonesia, yang selanjutnya tidak disertakan dalam penelitian sesungguhnya pada tanggal 19 Oktober 2010.

3 Tahap pelaksanaan penelitian

Penelitian ini melibatkan 62 responden dari jumlah populasi sebanyak 122 siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Yayasan SMART EI. Adapun pelaksanaan penelitian dilakukan pada tanggal 01 November 2010 setelah melakukan pengujian alat ukur (try out).

4 Tahap pengolahan data

Setelah data terkumpul, dilakukan pengkodean dan scoring terhadap hasil skala yang telah diisi oleh responden. Kemudian dilakukan penghitungan dan memasukkan data yang diperoleh pada computer. Selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan metode statistik melalui komputer dengan bantuan program SPSS versi 11,5 for windows. Langkah terakhir adalah membuat laporan dan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan


(55)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil pengolahan data yang diambil pada penelitian, gambaran umum serta hasil penelitian yang telah dilakukan.

4.1 Gambaran Umum Responden

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Yayasan SMART Ekselensia Indonesia (SMART EI) yang berjumlah 122 siswa . Sekolah ini merupakan Sekolah Menengah Akselerasi Internat (SMART) yang merupakan sekolah model yang didirikan oleh Dompet Dhuafa pada tahun 2004 dengan peserta didik seluruhnya berasal dari anak-anak kurang mampu, namun memiliki potensi akademik dan kecerdasan lain yang tinggi.

Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yayasan SMART Ekselensia Indonesia terdiri dari kelas X dan XI. Di SMART Ekselensia IndonesiaI kelas X dan XI disimbolkan dengan kelas IV dan V, dalam penelitian ini peneliti mengambil sampel sebanyak 62 siswa. Kelas IV 34 siswa dan kelas V berjumlah 28 siswa terdiri dari kelas IPA dan IPS yang semuanya berjenis kelamin laki-laki dengan rentang usia 14-18 tahun, dimana mereka memiliki IQ di atas rata-rata. Adapun gambaran umum responden dapat dilihat pada tabel berikut ini


(56)

Tabel 4.1

Gambaran Responden Berdasarkan Faktor Resiko yang dialami

KELAS

IV V NO FAKTOR RESIKO

IPA IPS IPA IPS

TOTAL

1 KEMISKINAN 6 5 4 5 20

2 YATIM PIATU 2 3 1 1 7

3 YATIM 4 4 2 2 12

4 PIATU 1 - 1 - 2

5 KORBAN BENCANA ALAM

4 2 2 4 12 6 DAERAH

KONFLIK

2 1 3 - 6

7 PERCERAIAN - - 1 1 2

8 KDRT - - 1 1

TOTAL 19 15 15 13 62

4.2 Deskripsi Data

Berikut akan di uraikan deskripsi hasil perhitungan statistik skor subjek penelitian yang dibantu dengan penyajian dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 4.2

Statistik Deskriptif Skor Resiliensi dan Prestasi Belajar Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Resiliensi 62 77.00 115.00 100.5806 7.96416

Prestasi Belajar 62 72.00 85.00 78.3710 2.21199


(57)

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah subjek penelitian berjumlah 62 orang, dengan skor resiliensi yang terendah ialah 77 dan skor yang tertinggi ialah 115. Sedangkan skor prestasi belajar yang terendah ialah 72 dan skor tertinggi ialah 85. Adapun nilai mean (rata-rata) untuk resiliensi adalah 100,5806 dan untuk prestasi belajar adalah 78,3710

4.2.1 Kategorisasi Skor Penelitian

Untuk mengetahui skor resiliensi yang diperoleh responden itu tinggi atau rendah, maka disajikan norma skor skala resiliensi setelah diketahui nilai Mean = 100,5806 dan SD = 7,96416 adalah sebagai berikut :

Tabel 4.3

Komposisi Responden Berdasarkan Pengkategorian Skor Resiliensi

Kategori Klasifikasi Sebaran Interval Frekuensi %

Tinggi X ≥ 1M + SD ≥ 108 12 19,35%

Sedang 1M – SD ≤ X <1M + SD

92 ≤ X < 108 40 64,52%

Rendah X < 1M - SD < 92 10 16,13%

Total 62 100%

Dari data di atas dapat diketahui bahwa sebanyak 19,35 % atau 12 responden berada pada kategori resiliensi tinggi, sedangkan responden sebanyak


(58)

64,52% atau 40 orang berada pada kategori resiliensi sedang, dan sebanyak 16,13% atau 10 orang memiliki tingkat resiliensi yang rendah

Kemudian untuk mengetahui skor prestasi belajar yang diperoleh responden tinggi atau rendah, maka disajikan norma skor prestasi belajar setelah diketahui nilai Mean = 78,3710 dan SD = 2,21199 sebagai berikut:

Tabel 4.4

Komposisi Responden Berdasarkan Pengkategorian Skor Prestasi Belajar

Kategori Klasifikasi Sebaran Interval Frekuensi %

Tinggi X ≥ 1M + SD ≥ 80 21 33,87%

Sedang 1M – SD ≤ X <1M + SD

76 ≤ X < 80 37 59,68%

Rendah X < 1M - SD < 76 4 6,45%

Total 62 100%

Dari data di atas dapat diketahui bahwa sebanyak 33,87 % atau 21 responden berada pada kategori prestasi belajar tinggi, sedangkan responden sebanyak 59,68% atau 37 responden berada pada kategori prestasi belajar sedang, dan sebanyak 6,45% atau 4 responden berada pada kategori prestasi belajar rendah.


(59)

4.3 Uji Hipotesis

Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini peneliti menggunakan rumus korelasi pearson. Dalam perhitungannya peneliti menggunakan SPSS versi 11.5. Adapun hasil perhitungannya adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5

Hasil Uji Korelasi antara Resiliensi dengan Prestasi Belajar Correlations

RESILIENSI PRESTASI BELAJAR

Pearson Correlation 1 .062

Sig. (2-tailed) . .632

RESILIENSI

N 62 62

Pearson Correlation .062 1

Sig. (2-tailed) .632 .

PRESTASI BELAJAR

N 62 62

Berdasarkan hasil perhitungan korelasi pada tabel 4.5 di atas didapatkan indeks signifikansi sebesar 0.632 > 0.05, maka hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan terdapat hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dengan prestasi belajar anak binaan Yayasan SMART Ekselensia Indonesia ditolak dan hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan tidak ada hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dan prestasi belajar pada anak binaan Yayasan SMART Ekselensia Indonesia diterima. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa meningkatnya resiliensi tidak diikuti dengan meningkatnya prestasi belajar pada


(60)

anak binaan Yayasan SMART Ekselensia Indonesia. Dan begitu pula sebaliknya dengan meningkatnya prestasi belajar tidak diikuti dengan meningkatnya resiliensi anak binaan Yayasan SMART Ekselensia Indonesia.


(61)

BAB V

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Dalam bab ini, akan diuraikan mengenai kesimpulan berdasarkan analisa hasil penelitian, serta diskusi dan saran yang dapat diberikan sehubungan dengan hasil penelitian ini.

5.1 Kesimpulan

H0 diterima. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dengan prestasi belajar anak binaan Yayasan SMART Ekselensia Indonesia. Artinya meningkatnya resiliensi tidak diikuti dengan meningkatnya prestasi belajar anak binaan Yayasan SMART Ekselensia Indonesia. Sebaliknya meningkatnya prestasi belajar tidak diikuti dengan meningkatnya resiliensi anak binaan Yayasan SMART Ekselensia Indonesia..

5.2. Diskusi

Resiliensi merupakan kemampuan manusia untuk cepat pulih kembali dari perubahan, sakit, kemalangan, atau kesulitan (the Resiliency Center 2005). Sedangkan resiliensi menurut Benard (2004) merupakan kualitas atau karakteristik individual yang berkaitan dengan perkembangan positif dan kesuksesan dalam individu tersebut.


(62)

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, resiliensi dan prestasi belajar memiliki keterkaitan satu sama lain hal ini berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Gutman, Samerof dan Cole (2003) ditemukan bahwa anak-anak yang mengalami kondisi sulit dengan tingkat resiliensi yang tinggi mampu untuk mencapai tingkat yang tinggi dalam motivasi dan performansi akademik. Sedangkan individu dengan resiliensi rendah cenderung mempersepsi masalah sebagai suatu beban dalam hidupnya. Sedangkan menurut Jew, Green, dan Kroger (1999) bahwa individu yang memiliki skor yang tinggi dalam resiliensi cenderung menunjukan kemampuan akademik yang baik daripada individu yang memiliki resiliensi yang rendah. Kemudian Martin dan Marsh (2006) mengatakan bahwa resiliensi meningkatkan kemungkinan anak untuk sukses di sekolah dan berbagai aspek lain dalam hidup mereka meskipun terdapat rintangan atau kejadian yang tidak menyenangkan terjadi.

Sementara Linquanti (dalam Howard 1999) memberikan definisi resiliensi sebagai kualitas dalam diri anak yang walaupun dihadapkan dengan kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup, anak tersebut tidak mengalami kegagalan dalam hal kehidupan akademisnya. Mendukung pernyataan tersebut, Nears (2007) juga menyebutkan bahwa anak yang tidak dapat mengatasi tantangan yang ada dengan efektif akan lebih tidak menyenangi sekolah dan lebih jarang berpartisipasi dalam kegiatan di kelas.

Namun hasil dari penelitian yang dilakukan bertolak belakang dengan teori dan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa resiliensi memiliki hubungan positif dengan prestasi belajar, dimana semakin tinggi skor resiliensi semakin


(63)

tinggi pula prestasi akademisnya. Hal ini mungkin saja disebabkan beberapa hal seperti dalam mengukur prestasi belajar, peneliti hanya mengambil nilai rata-rata rapor saja secara umum. Meningkatnya prestasi belajar ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh resiliensi saja, namun banyak variabel lain yang berpengaruh terhadap prestasi belajar seperti motivasi, sikap terhadap pelajaran, serta cara guru dalam menyampaikan materi pelajaran.

Selain adanya variabel lain yang menyebabkan ditolaknya hipotesis alternatif dalam penelitian ini adalah walaupun item sudah mewakili seluruh aspek, namun diduga item-item yang mewakili terukurnya resiliensi kurang banyak sehingga belum secara keseluruhan mewakili terukurnya resiliensi itu sendiri karena yang digunakan dalam penelitian ini bukanlah item baku yang sudah ada melainkan peneliti kembangkan sendiri dari hasil terjemahan. Berdasarkan pengujian validitas terhadap 80 item hanya 32 yang valid. Kemudian dalam menguji validitas peneliti kurang memperhatikan validitas konten.

Selain itu juga subjek yang menjadi responden dalam penelitian ini kurang banyak dan semuanya berjenis kelamin laki-laki, mungkin hasilnya akan berbeda apabila subjeknya lebih banyak dan lebih variatif

Hasil penelitian ini berdasarkan dari deskripsi data juga menunjukan, bahwa responden yang memiliki skor resiliensi rendah tidak juga memiliki prestasi belajar yang rendah pula, begitu juga sebaliknya responden yang memiliki skor resiliensi tinggi tidak semuanya memiliki prestasi belajar yang tinggi pula. Maka dari itu, hasil penelitian ini menjadi tidak berhubungan secara signifikan..


(64)

Selain hal-hal di atas, peneliti menduga ada beberapa faktor psikologis dan non-psikologis yang lebih besar pengaruhnya terhadap prestasi belajar. Tak hanya itu, beberapa faktor lain yang tidak dijangkau oleh peneliti namun sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian seperti kurang seriusnya siswa dalam mengisi kuesioner

5.3. Saran

Dari beberapa hambatan yang dihadapi peneliti dalam melakukan penelitian, peneliti berharap adanya perbaikan dan pengembangan pada penelitian selanjutnya. Berikut ini terdapat beberapa saran teoritis dan praktis yang terkait dalam penelitian ini.

5.3.1. Saran Teoritis

Penulis menyadari dalam proses penelitian ini, peneliti masih memiliki banyak kekurangan yang harus perbaiki dan dikembangkan untuk penelitian selanjutnya agar menjadi lebih baik.. Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa hal yang peneliti sarankan untuk selanjutnya dapat digunakan bagi peneliti yang akan mengambil topik yang sama dengan penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

1. Penelitian selanjutnya agar dapat melakukan penelitian pada sampel yang yang lebih banyak lagi dan bervariasi karena dalam penelitian ini penulis hanya terbatas pada sample siswa laki-laki saja


(65)

2. Dalam membuat instrumen penelitian, peneliti selanjutnya diharapkan memahami dan mengeksplorasi setiap aspek dalam variabel penelitian secara lebih mendalam dengan juga memperhatikan validitas konten sehingga lebih banyak lagi item-item yang valid

3. Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan hendaknya variabel resiliensi tidak langsung dihubungkan dengan variabel prestasi belajar melainkan ada juga variabel lain yang menyertainya seperti penyesuaian diri, dukungan sosial, dan lainnya.

4. Bila ada yang meneliti tentang prestasi belajar di sekolah, hendaknya dispesifikasikan pada mata pelajaran tertentu

5. Mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam proses penelitian secara lebih maksimal lagi baik teori, waktu, materi, tenaga, dan instrumen yang digunakan

5.3.2. Saran Praktis

1. Bagi para siswa, walaupun hasil penelitian ini resiliensi tidak berhubungan dengan prestasi belajar, namun berdasarkan hasil penelitian responden yang berada pada skor resiliensi tinggi dan sedang sebagian besar dari mereka juga memiliki prestasi belajar yang tinggi pula. Untuk itu hendaknya bagi para siswa yang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, hendaknya tetap meningkatkan daya juangnya untuk tetap berprestasi sehingga mampu mengubah kondisi yang tidak menyenangkan menjadi sebuah kesuksesan


(66)

2. Kepada lembaga atau pihak yang terkait dalam penelitian ini, bahwasanya nilai rapor yang biasanya digunakan untuk mengukur prestasi belajar siswa ternyata tidak dapat mewakili prestasi belajar yang sesungguhnya. Hendaknya disertai juga penilaian-penilaian prestasi belajar lainnya sebagai tolok ukur keberhasilan belajar

3. Bagi para orang tua, guru, dan masyarakat hendaknya senantiasa memberikan dukungan baik secara fisik maupun secara psikis kepada anak – anak yang mengalami kondisi sulit agar tidak mudah berputus asa dan mampu bangkit dari kondisi sulitnya untuk masa depan yang lebih cerah.


(1)

2. Dalam membuat instrumen penelitian, peneliti selanjutnya diharapkan memahami dan mengeksplorasi setiap aspek dalam variabel penelitian secara lebih mendalam dengan juga memperhatikan validitas konten sehingga lebih banyak lagi item-item yang valid

3. Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan hendaknya variabel resiliensi tidak langsung dihubungkan dengan variabel prestasi belajar melainkan ada juga variabel lain yang menyertainya seperti penyesuaian diri, dukungan sosial, dan lainnya.

4. Bila ada yang meneliti tentang prestasi belajar di sekolah, hendaknya dispesifikasikan pada mata pelajaran tertentu

5. Mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam proses penelitian secara lebih maksimal lagi baik teori, waktu, materi, tenaga, dan instrumen yang digunakan

5.3.2. Saran Praktis

1. Bagi para siswa, walaupun hasil penelitian ini resiliensi tidak berhubungan dengan prestasi belajar, namun berdasarkan hasil penelitian responden yang berada pada skor resiliensi tinggi dan sedang sebagian besar dari mereka juga memiliki prestasi belajar yang tinggi pula. Untuk itu hendaknya bagi para siswa yang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, hendaknya tetap meningkatkan daya juangnya untuk tetap berprestasi sehingga mampu mengubah kondisi yang tidak menyenangkan menjadi sebuah kesuksesan


(2)

2. Kepada lembaga atau pihak yang terkait dalam penelitian ini, bahwasanya nilai rapor yang biasanya digunakan untuk mengukur prestasi belajar siswa ternyata tidak dapat mewakili prestasi belajar yang sesungguhnya. Hendaknya disertai juga penilaian-penilaian prestasi belajar lainnya sebagai tolok ukur keberhasilan belajar

3. Bagi para orang tua, guru, dan masyarakat hendaknya senantiasa memberikan dukungan baik secara fisik maupun secara psikis kepada anak – anak yang mengalami kondisi sulit agar tidak mudah berputus asa dan mampu bangkit dari kondisi sulitnya untuk masa depan yang lebih cerah.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Faisal.(2006). Mengolah dan membuat interpretasi hasil olahan SPSS untuk penelitian ilmiah. Jakarta: EDSA Mahkota

Anastasi , Urbina.(2007). Psychological testing. Jakarta: PT.Index

Ann Masten dan Marie.(2002).Resillience in development.New York: Norton Arikunto, Suharsini. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik.

Jakarta: PT. Rineka Cipta

Benard, Bonnie.(2004). Resilliency: What we have learned. California: WestEd Bungin, Burhan. (2004). Metodologi penelitian kuantitatif. Jakarta: Kencana Candra, Silvia. (2009). Resiliensi. http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi. Darwyan Syah,dkk.(2009). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Diadit Media Desmita.(2006). Psikologi perkembangan. Bandung: PT .Remaja Rosda Karya

Desmita .(2009). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya

Djamharah, Syaiful Bahri.(2008). Psikologi belajar. Jakarta: PT RINEKA CIPTA Fatimah, Enung.(2006). Psikologi perkembangan. Bandung: Pustaka Setia

Gunarsa, Singgih.(2002). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: Gunung Mulia

Himpunan Mahasiswa Psikologi Indonesia (HIMPSI).(2009). Pentingnya resiliensi masyarakat indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi Husaini Usman dan Purnomo Setiady. (2006). Pengantar statitiska.Jakarta: Bumi

Aksara

Iskandar. (2010). Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial. Jakarta: GP Press Jurnal Provitae .(2006).Resiliensi dan prestasi akademik pada anak tuna

rungu.(01: 02, 34-39).

Jurnal Psikologi.(2006). Resiliensi dan sikap terhadap penyalahgunaan zat. (04:02, 102-105)


(4)

Jurnal Psikologi . (2005). Prestasi belajar ditinjau dari persepsi siswa terhadap iklim kelas pada siswa yang mengikuti program percepatan belajar.(01:01,19-27)

Karen, Reivich. (2002). 7 essential skills for overcoming lifes inevitable obstacles. Random House,Inc

Kerlinger, Fred N. 2004. Asas-asas penelitian behavioral. Yogyakarta: UGM Press

M. Ngalim Purwanto.(1990). Evaluasi pengajaran. Bandung: PT .Remaja Rosda Karya

Nia Rahmawati. (2008). Hubungan dukungan sosial dan resiliensi pada wanita korban kekerasan. Skripsi Fak. Psikologi Universitas Indonesia (tidak diterbitkan)

Pedoman Penulisan Skripsi Fak.Psikologi UIN Syahid Jakarta 2010

Raniah Nuraini. (2008). Hubungan resiliensi dan prestasi akademik pada Remaja Madya yang Orang Tuanya Bercerai. Skripsi Fak. Psikologi Universitas Indonesia (tidak diterbitkan)

Sarwono,Jonathan.(2006). Analisa data penelitian menggunakan SPSS. Jakarta: ANDI

Sevilla, Consuelo G…[et all]. (1993). Pengantar metode penelitian.Jakarta: UI-Press

Siebert, A.(2005). The resilience advantage: master change, thrive under pressure, and bounce back from set backs. san Franscisco: Berrette-Koehler

Slameto.(2010). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Jakarta:PT. Rineka Cipta

Sudjana, Nana. 1989. Penilaian hasil proses belajar mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya

Sulistiono.(2005). Buku Ajar Statistika psikologi1 fakultas psikologi. Fakultas Psikologi UIN SYAHID Jakarta

Supranto. (2004). Analisis multivariat: arti dan interpretasi. Jakarta: Rineka Cipta Syah, Muhibbin.(1995). Psikologi pendidikan dengan pendekatan baru. Bandung:


(5)

Syah, Muhibbin .(2003). Psikologi belajar. Bandung: PT .Remaja Rosda Karya Texas Medical Association.1999. Publisher,inc


(6)