Keanekaragaman Jenis Fungi Pada Serasah Daun Avicennia marina Yang Mengalami Dekomposisi Pada Berbagai Tingkat Salinitas

(1)

KEANEKARAGAMAN JENIS FUNGI PADA

SERASAH DAUN Avicennia marina YANG

MENGALAMI DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI

TINGKAT SALINITAS

TESIS

Oleh

FERY KURNIAWAN

077030011/BIO

PROGRAM MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

KEANEKARAGAMAN JENIS FUNGI PADA

SERASAH DAUN Avicennia marina YANG

MENGALAMI DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI

TINGKAT SALINITAS

TESIS

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Magister Sains Dalam Program Magister Biologi Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

FERY KURNIAWAN

077030011/BIO

PROGRAM MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Keanekaragaman Jenis Fungi Pada Serasah Daun Avicennia marina Yang Mengalami Dekomposisi Pada Berbagai Tingkat Salinitas

Nama Mahasiswa : Fery Kurniawan

Nim : 077030011

Program Studi : Biologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ir.Yunasfi, MS) (Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc.) (Prof. Dr. Eddy Marlianto, MSc.)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 16 Februari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Yunasfi, MS.

Anggota : 1. Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc. 2. Prof. Dr. Erman Munir, MSc. 3. Dr. Budi Utomo, SP, MP.


(5)

Fungi Diversity in A. marinaLeaf Litter During Decomposition at Various Salinity Level

ABSTRACT

The aim of this research was to investigate the effect of salinity level on the divesity of fungi and the carbohydrates and protein content from A. marina leaf litter during the decomposition process. This research conducted at the Mangrove forest of Kalangan Teluk Tapian Nauli, Aek Horsik village, Badiri, Central Tapanuli, North Sumatera, Microbiology Laboratory of FMIPA USU and at Laboratory of Technology and Industrial Chemistry (PTKI), Medan. This research used randomized complete design with two factors, the first factor was the decomposition time of A. marina leaf litter (T0 = control; T1 = fifteen days; T2 = thirty days; T3 = forty five days T4 = sixty days; T5 = seventy five days; T6 = ninety days; T7 = one hundred and five days; T8 = one hundred and twenty days) and the second factor was the salinity levels (S1 = 0-10 ppt; S2 = 10-20 ppt; S3 = 20-30 ppt; S4 = >30 ppt).

The results of this research showed that totally 22 species of fungi were isolated from A. marina leaf litter during decomposition at various salinity level. The highest species of fungi was 17 species at 0-10 ppt and 10-20 ppt salinity level, whereas the lowest species of fungi was 6 species at control. The highest population of fungi was 17.16 x 102 CFU/ml at >30 ppt salinity level. The lowest population of fungi was 11.65 x 102 CFU/ml at control. The frequency of the fungi species colonization during the decomposition process at various salinity level ranged from 12.5 to 100%. The highest species diversity indexs of fungi was 2.74 at 10-20 ppt salinity level and the lowest was 1.35 at control. The highest carbohydrates contain on A. marina leaf litter during decomposition a long 75 days at 0-10 ppt salinity level was 18.370%. The highest protein contain on A. marina leaf litter during decomposition a long 105 days at 0-10 ppt salinity level was 4.526%.

Keywords: Avicennia marina, Decomposition, Salinity, Fungi, Leaf Litter, Mangrove.


(6)

KEANEKARAGAMAN JENIS FUNGI PADA

SERASAH DAUN Avicennia marina YANG MENGALAMI DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas terhadap keanekaragaman jenis fungi dan kandungan karbohidrat dan protein serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. Penelitian ini dilakukan di hutan mangrove Kalangan Teluk Tapian Nauli, Desa Aek Horsik, Badiri, Tapanuli Tengah Sumatera Utara, Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU dan di Laboratorium Pendidikan Teknologi Kimia Industri, Medan. Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor pertama adalah waktu pengambilan serasah (T0 = kontrol; T1 = hari 15; T2 = hari 30; T3 = hari 45; T4 = hari 60; T5 = hari 75; T6 = hari 90; T7 = hari 105; T8 = hari ke-120) dan Faktor kedua adalah tingkat salinitas (S1 = 0-10 ppt; S2 = 10-20 ppt; S3 = 20-30 ppt; S4 = >30 ppt).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 22 jenis fungi yang berasal dari serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas. Jumlah jenis fungi tertinggi dijumpai pada tingkat salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt, yaitu 17 jenis fungi dan jumlah jenis fungi terendah terdapat pada kontrol, yaitu 6 jenis. Populasi fungi tertinggi terdapat pada tingkat salinitas >30 ppt yaitu sebanyak 17,16 x 102 CFU/ml. Populasi fungi terendah terdapat pada kontrol yaitu sebanyak 11,65 x 102 CFU/ml. Frekuensi kolonisasi fungi untuk berbagai tingkat salinitas berkisar antara 12,5% sampai 100%. Indeks keanekaragaman jenis fungi tertinggi pada tingkat salinitas 10-20 ppt, yaitu 2,74 dan yang terendah terdapat pada kontrol, yaitu 1,35. Kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 75 hari pada tingkat salinitas 0-10 ppt, yaitu 18,370%. Kandungan protein tertinggi terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 105 hari pada tingkat salinitas 0-10 ppt, yaitu 4,526%.

Kata kunci: Avicennia marina, Dekomposisi, Salinitas, Fungi, Serasah Daun, Mangrove.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan ridho-Nya dan berkat keyakinan, kesehatan, dan kesempatan yang telah diberikan-Nya penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.

Dengan selesainya penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan tarima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.S sebagai Dosen Pembimbing I, atas perhatian, kesabaran dan kebaikan dalam memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc, sebagai Dosen Pembimbing II atas segala perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. H. Erman Munir, M.Sc, dan Bapak Dr. Budi Utomo, SP, MP,

yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. 4. Rekan-rekan Program Studi Magister Biologi Universitas Sumatera Utara angkatan 2007 yang telah memberikan bantuan dan dorongan kepada kami, Pegawai Biro Administrasi Jurusan Biologi dan Fakultas MIPA USU Medan yang telah memperlancar administrasi selama penulis menempuh pendidikan, dan berbagai pihak yang banyak membantu kami yang tidak bisa disebutkan satu persatu.


(8)

5. Ayahanda H. Roddani Hasibuan, BA. dan Ibunda Syaffrida Iriani Sitompul,

yang telah tulus ikhlas memberikan do’a, dana dan dorongan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini.

6. Adinda Ismail Saleh, S.Kom, Nora Anggraini, Amd, dan Ahmad Surya Hatorangan Hasibuan, selama ini telah banyak memberi motivasi dan dorongan kepada penulis dalam penyelesaian studi ini. Kepada keluarga besar dan rekan-rekan yang namanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sipirok tanggal 10 Desember 1983. Anak dari Bapak Roddani Hasibuan, BA. dan Ibu Syafrida Iriani Sitompul. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara. Penulis dapat menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 1 Sipirok tahun 1996, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Sipirok tamat tahun 1999, dan melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 16 Medan tamat tahun 2002, selanjutnya penulis masuk Universitas Negeri Medan pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Pendidikan Biologi tamat tahun 2007.

Penulis mendapat kesempatan melanjutkan Pendidikan Sekolah Pascasarjana pada Universitas Sumatera Utara Program Studi Biologi Konsentrasi Mikrobiologi pada bulan September 2007. Sebagai satu diantara beberapa syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains, penulis menyusun Tesis dengan judul “Keanekaragaman Jenis Fungi Pada Serasah Daun Avicennia marina Yang Mengalami Dekomposisi Pada Berbagai Tingkat Salinitas”, di bawah bimbingan Dr. Ir. Yunasfi, M.S dan Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT i

ABSTRAK ii

KATA PENGANTAR iii

RIWAYAT HIDUP v

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Pembatasan Masalah 4

1.3 Rumusan Masalah 4

1.4 Kerangka Pemikiran 5

1.5 Tujuan Penelitian 7

1.6 Hipotesis Penelitian 7

1.7 Manfaat Penelitian 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1 Pengertian dan Peranan Ekosistem Mangrove 8

2.2 Proses Dekomposisi Serasah 14

2.3 Peranan Mikroorganisme Fungi Dalam Dekomposisi Serasah 18 2.4 Kadar Karbohidrat dan Total Protein Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas 21

BAB III BAHAN DAN METODE 24

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 24

3.2 Alat dan Bahan 24

3.3 Variabel yang Diamati 25

3.4 Rancangan Percobaan 25

3.5 Metode Pengambilan Data 26

3.5.1 Pengumpulan Serasah Daun A. marina 26

3.5.2 Penempatan Serasah Daun di Lokasi Penelitian 26

3.5.3 Isolasi Fungi dari Serasah Daun A. marina 29

3.5.4 Indentifikasi Fungi dari Serasah Daun A. marina 30 3.6 Penentuan Kuantitas Karbohidrat dan Total Protein yang


(11)

Dekomposisi 31

3.6.1 Penentuan Kuantitas Karbohidrat 31

3.6.2 Penetuan Kadar Protein 32

3.7 Analisis Data 34

3.7.1 Keanekaragaman Jenis Fungi 34

3.7.2 Laju Dekomposisi Serasah 34

3.7.3 Model Linear dan Analisis Ragam untuk Rancangan Acak Kelompok 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 36

4.1 Hasil 36

4.1.1 Jenin-jenis Fungi pada Serasah Daun A.marina Yang Belum Mengalami Dekomposisi dan yang Telah Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas 37

4.1.2 Jenis-jenis Fungi pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi (Konrol) 37 4.1.3 Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A.marina yang Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas 38

4.1.4 Perbandingan Jumlah Jenis Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas 46

4.1.5 Perbandingan Populasi Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas 46

4.1.6 Frekuensi Kolonisasi Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas 47

4.1.7 Penentuan Kadar Karbohidrat dan Protein Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas 49

4.1.8 Penentuan Laju Dekomposisi Serasah Daun A. marina pada Berbagai Tingkat Salinitas 53

4.1.9 Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi 57

4.1.10 Pola Suksesi Fungi 59

4.2 Pembahasan 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 78

5.1 Kesimpulan 78

5.2 Saran 79

DAFTAR PUSTAKA 80


(12)

DARTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Jenis-jenis Fungi pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi (Kontrol) pada Berbagai Tingkat Salinitas dan yang

Telah Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas 36 2. Rata-rata Jumlah Koloni x 102 (CFU/ml) dari Tiap Jenis Fungi pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi 37 3. Rata-rata Jumlah Koloni x 102 (CFU/ml) dari Tiap Jenis Fungi dengan Lama Masa Dekomposisi dari 15 hari Sampai 120 hari pada Berbagai

Tingkat Salinitas 39


(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Kerangka Pemikiran 6

2. Zonasi Mangrove Alami yang Masih Lengkap 13 3. Bentuk dan Ukuran Kantong Serasah yang Digunakan Untuk Penempatan Serasah pada Beberapa Lokasi di Lapangan dengan Berbagai Tingkat

Salinitas 27

4. Letak Plot Untuk Penempatan Kantong Serasah pada Beberapa Lokasi di Lapangan dengan Berbagai Tingkat Salinitas 28 5. Metode Pengeceran Serasah Daun A. marina Untuk Isolasi Fungi Pada

Cawan Petridish 30

6. Perbandingan Jumlah Jenis Fungi pada Kontrol dan pada Berbagai

Tingkat Salinitas 46

7. Perbandingan Populasi Fungi pada Kontrol dan pada Berbagai Tingkat

Salinitas 47

8. Rata-rata Total Kadar Karbohidrat Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas 49 9. Rata-rata Total Kadar Karbohidrat Serasah Daun A. marina yang Mengalami Berbagai Lama Masa Dekomposisi di Lingkungan dengan

Berbagai Tingkat Salinitas 50

10. Rata-rata Total Kadar Protein Serasah Daun A. marina yang Mengalami

Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas 51 11. Rata-rata Total Kadar Protein Serasah Daun A. marina Setelah

Mengalami Berbagai Lama Masa Dekomposisi di Lingkungan pada

Berbagai Tingkat Salinitas 53

12. Perbandingan Bobot Kering Serasah Daun A. marina pada Berbagai

Tingkat Salinitas 54

13. Jenis-Jenis Makrofauna yang Terdapat pada Berbagai Tingkat Salinitas dengan : A.Cacing Nereis (0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt >30 ppt); B. Uca sp (>30 ppt); C. Metanoides sp (>30 ppt) D. Cerethidea sp

(>30 ppt) 55

14. Rata-Rata Laju Dekomposisi dan Lama Masa Serasah Terdapat

di Lingkungan pada Berbagai Tingkat Salinitas 56 15. Bentuk Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi

Selama 15-165 Hari pada Tingkat Salinitas 10-20 ppt dengan: (A). Kontrol; (B). 15 hari; (C). 30 hari; (D). 45 hari; (E). 60 hari; (F). 75 hari; (G). 90 hari; (H). 105 hari; (I). 120 hari 57 16. Perbandingan Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi pada Kontrol

dan pada Berbagai Tingkat Salinitas 58 17. Hubungan Laju Dekomposisi dengan Pola Suksesi Berbagai Jenis Fungi


(14)

pada Tingkat Salinitas 0-10 ppt 61 18. Hubungan Laju Dekomposisi dengan Pola Suksesi Berbagai Jenis Fungi

pada Tingkat Salinitas 10-20 ppt 62

19. Hubungan Laju Dekomposisi dengan Pola Suksesi Berbagai Jenis Fungi

pada Tingkat Salinitas 20-30 ppt 63

20. Hubungan Laju Dekomposisi dengan Pola Suksesi Berbagai Jenis Fungi

pada Tingkat Salinitas >30 ppt 64


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

N0 Judul Halaman

1. Ciri Maskroskopik dan Mikroskopik Fungi yang Ditemukan pada Serasah Daun A. marina yang Belum dan Telah Mengalami Dekomposisi

pada Berbagai Tingkat Salinitas 87

2. Data Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi pada Kontrol dan pada Berbagai

Tingkat Salinitas 109

3. Data Bobot Kering (g) Sisa Serasah Daun A. marina pada Berbagai Tingkat Salinitas dan Lama Masa Dekomposisi 112 4. Rata-rata Laju Dekomposisi dan Lama Masa Serasah Terdapat di Lingkungan pada Berbagai Tingkat Salinitas 113 5. Kadar Karbohidrat (%) Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi Selama 15–105 Hari Tiap Ulangan di Lingkungan Pada

Berbagai Tingkat Salinitas 114

6. Kadar Protein (%) Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi Selama 15–105 Hari Tiap Ulangan di Lingkungan Pada Berbagai

Tingkat Salinitas 115

7. Data Analisis Sidik Ragam 116

8. Petak-petak Penempatan Kantong Berisi Serasah Daun A. marina pada Berbagai Tingkat Salinitas (A). 0-10 ppt (B). 10 - 20 ppt; (C).20 - 30 ppt


(16)

Fungi Diversity in A. marinaLeaf Litter During Decomposition at Various Salinity Level

ABSTRACT

The aim of this research was to investigate the effect of salinity level on the divesity of fungi and the carbohydrates and protein content from A. marina leaf litter during the decomposition process. This research conducted at the Mangrove forest of Kalangan Teluk Tapian Nauli, Aek Horsik village, Badiri, Central Tapanuli, North Sumatera, Microbiology Laboratory of FMIPA USU and at Laboratory of Technology and Industrial Chemistry (PTKI), Medan. This research used randomized complete design with two factors, the first factor was the decomposition time of A. marina leaf litter (T0 = control; T1 = fifteen days; T2 = thirty days; T3 = forty five days T4 = sixty days; T5 = seventy five days; T6 = ninety days; T7 = one hundred and five days; T8 = one hundred and twenty days) and the second factor was the salinity levels (S1 = 0-10 ppt; S2 = 10-20 ppt; S3 = 20-30 ppt; S4 = >30 ppt).

The results of this research showed that totally 22 species of fungi were isolated from A. marina leaf litter during decomposition at various salinity level. The highest species of fungi was 17 species at 0-10 ppt and 10-20 ppt salinity level, whereas the lowest species of fungi was 6 species at control. The highest population of fungi was 17.16 x 102 CFU/ml at >30 ppt salinity level. The lowest population of fungi was 11.65 x 102 CFU/ml at control. The frequency of the fungi species colonization during the decomposition process at various salinity level ranged from 12.5 to 100%. The highest species diversity indexs of fungi was 2.74 at 10-20 ppt salinity level and the lowest was 1.35 at control. The highest carbohydrates contain on A. marina leaf litter during decomposition a long 75 days at 0-10 ppt salinity level was 18.370%. The highest protein contain on A. marina leaf litter during decomposition a long 105 days at 0-10 ppt salinity level was 4.526%.

Keywords: Avicennia marina, Decomposition, Salinity, Fungi, Leaf Litter, Mangrove.


(17)

KEANEKARAGAMAN JENIS FUNGI PADA

SERASAH DAUN Avicennia marina YANG MENGALAMI DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas terhadap keanekaragaman jenis fungi dan kandungan karbohidrat dan protein serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. Penelitian ini dilakukan di hutan mangrove Kalangan Teluk Tapian Nauli, Desa Aek Horsik, Badiri, Tapanuli Tengah Sumatera Utara, Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU dan di Laboratorium Pendidikan Teknologi Kimia Industri, Medan. Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor pertama adalah waktu pengambilan serasah (T0 = kontrol; T1 = hari 15; T2 = hari 30; T3 = hari 45; T4 = hari 60; T5 = hari 75; T6 = hari 90; T7 = hari 105; T8 = hari ke-120) dan Faktor kedua adalah tingkat salinitas (S1 = 0-10 ppt; S2 = 10-20 ppt; S3 = 20-30 ppt; S4 = >30 ppt).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 22 jenis fungi yang berasal dari serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas. Jumlah jenis fungi tertinggi dijumpai pada tingkat salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt, yaitu 17 jenis fungi dan jumlah jenis fungi terendah terdapat pada kontrol, yaitu 6 jenis. Populasi fungi tertinggi terdapat pada tingkat salinitas >30 ppt yaitu sebanyak 17,16 x 102 CFU/ml. Populasi fungi terendah terdapat pada kontrol yaitu sebanyak 11,65 x 102 CFU/ml. Frekuensi kolonisasi fungi untuk berbagai tingkat salinitas berkisar antara 12,5% sampai 100%. Indeks keanekaragaman jenis fungi tertinggi pada tingkat salinitas 10-20 ppt, yaitu 2,74 dan yang terendah terdapat pada kontrol, yaitu 1,35. Kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 75 hari pada tingkat salinitas 0-10 ppt, yaitu 18,370%. Kandungan protein tertinggi terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 105 hari pada tingkat salinitas 0-10 ppt, yaitu 4,526%.

Kata kunci: Avicennia marina, Dekomposisi, Salinitas, Fungi, Serasah Daun, Mangrove.


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai lebih kurang 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar baik hayati maupun non hayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan lautan, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1971). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, yaitu seringkali kelimpahan organisme lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya (Kaswadji, 2001).

Sebagai satu diantara beberapa ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove yaitu sebagai pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya yaitu sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit (Kusmana et al., 1995).


(19)

Hutan mangrove merupakan daerah yang memiliki arti penting dan memberikan fungsi dan manfaat bagi manusia dan alam. Hutan mangrove tidak saja bermanfaat dalam menghasilkan kayu, namun juga berperan sebagai penyangga ekosistem laut maupun ekosistem daratan (Kartawinata et al., 1979).

Satu diantara beberpa manfaat hutan mangrove adalah menyediakan sejumlah makanan dan unsur hara bagi beberapa spesies hewan laut yang mempunyai peran penting bagi ekosistem. Unsur hara dan sejumlah besar bahan organik di hutan mangrove, sebagian besar berasal dari luruhan daun-daun mangrove yang disebut serasah daun serta organisme yang telah mati dan diuraikan oleh mikroorganisme (Alongi, 1994). Sebagian kecil daun-daun mangrove dimakan oleh hewan darat, selebihnya jatuh ke laut dan merupakan penyumbang bahan organik yang penting bagi rantai makanan. Daun-daun mangrove yang jatuh tersebut diuraikan oleh fungi dan bakteri menjadi substrat yang kaya protein (Feliatra, 2001).

Odum (1971) menyatakan bahwa serasah daun mangrove di estuaria sebagai penyumbang unsur hara yang penting bagi jaring makanan dan juga merupakan sumber makanan bagi ikan dan invertebrata yang penting. Serasah daun mangrove miskin unsur hara ketika baru jatuh dari pohon karena belum terdekomposisi, serasah daun mangrove harus mengalami proses dekomposisi terlebih dahulu menjadi bahan-bahan lain yang lebih sederhana sehingga dapat dimanfaatkan oleh organisme yang hidup di hutan mangrove tersebut. Kecepatan proses dekomposisi serasah tidak hanya dipengaruhi oleh mikroorganisme pengurai tetapi juga dipengaruhi oleh faktor iklim seperti curah hujan, kelembaban, intensitas cahaya, suhu udara di sekitar kawasan


(20)

mangrove dan kondisi lingkungan tempat tumbuh organisme seperti suhu air, pH air, salinitas air, kandungan oksigen terlarut dalam air, kandungan hara organik dalam air dan lain-lain. Dalam proses dekomposisi, semua faktor baik faktor fisik, kimia maupun biologis saling berinteraksi satu sama lain (Anderson and Swift, 1979).

Di lingkungan perairan, keterlibatan mikroorganisme pengurai seperti fungi dalam ekosistem setempat jelas tidak dapat diabaikan (Efendi, 1999). Fungi terdapat hampir di seluruh ekosistem yang terdapat di bumi dimana bertanggung jawab untuk mendegradasi dan mendaur ulang unsur-unsur atau elemen esensial seperti karbon, nitrogen dan fosfor (Alongi, 1994).

Di Indonesia banyak terdapat jenis mangrove Avicennia marina yang merupakan salah satu jenis mangrove yang toleran terhadap kisaran salinitas yang luas bila dibandingkan dengan jenis mangrove yang lain (Mac Nae, 1978). Selain itu A. marina juga dapat menghasilkan serasah dan sebanyak 310 g/m2 tiap bulan (Clarke, 1994).

Hutan mangrove Kalangan Teluk Tapian Nauli merupakan salah satu kawasan yang banyak didominasi vegetasi A. marina. Ekosistem ini merupakan kawasan yang masih alami dan belum banyak dilakukan penelitian. Berdasarkan uraian diatas telah dilakukan penelitian tentang keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas, yang berada di kawasan hutan mangrove Teluk Tapian Nauli desa Aek Horsik kecamatan Badiri Tapanuli Tengah.


(21)

1.2Pembatasan Masalah

Penelitian tentang dekomposisi di hutan mangrove Kalangan Teluk Tapian Nauli dibatasi pada serasah daun Avicennia marina. Adapun proses dekomposisi serasah ini dilakukan oleh mikroorganisme pengurai seperti bakteri dan fungi. Penelitian ini difokuskan untuk mengamati keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina yang dihubungkan dengan faktor salinitas air, kadar unsur hara seperti karbohidrat dan protein. Hal ini didasarkan pada kenyataan di lapangan bahwa kehidupan mangrove sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang bersifat salin dan dekomposisi serasah yang mempengaruhi kadar unsur hara seperti karbohidrat dan protein.

1.3Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu: apakah tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap jumlah jenis fungi, populasi fungi, frekuensi kolonisasi jenis fungi, keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina ? dan apakah tingkat salinitas juga berpengaruh terhadap kuantitas karbohidrat dan total protein yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi?.


(22)

1.4 Kerangka Pemikiran

Ekosistem mangrove Kalangan Teluk Tapian Nauli merupakan salah satu ekosistem mangrove di pantai barat Sumatera. Jenis A. marina merupakan jenis pohon mangrove yang banyak mendominasi di kawasan ini. Guguran daun A. marina menghasilkan serasah daun dalam jumlah yang besar. Serasah A. marina merupakan sumber detritus bagi ekosistem pesisir dan menyokong kehidupan berbagai organisme perairan. Hasil dekomposisi merupakan bahan organik yang penting bagi kehidupan makrobentos dan produktivitas perairan terutama dalam peristiwa rantai makanan dalam ekosistem mangrove. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.


(23)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran - - - : Bagian yang diteliti

: Hubungan berbagai faktor lingkungan pada ekosistem Hutan Mangrove Serasah daun Avicennia sp. Dekomposisi serasah Biologi -Makrobentos -Molusca -Cacing -Serangga -Kepiting -Mikroorganisme -Bakteri

Fungi

Fisika -Iklim Kimia -pH

Salinitas

Bahan organik Sumber makanan Fauna aquatik

Detritus Ketersediaan unsur hara

Produktivitas perairan mangrove


(24)

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jumlah jenis fungi, populasi fungi, frekuensi kolonisasi jenis fungi dan keanekaragaman jenis fungi serta kuantitas karbohidrat dan total protein yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas.

1.6 Hipotesis Penelitian

Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap jumlah jenis fungi, populasi fungi, frekuensi kolonisasi jenis fungi, keanekaragaman jenis fungi serta kuantitas karbohidrat dan total protein yang terdapat pada serasah daun A. marina.

1.7 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk cara mempercepat proses dekomposisi serasah yaitu dengan pemberian jenis fungi yang sudah diketahui sesuai untuk kawasan ekosistem mangrove dengan tingkat salinitas yang ada serta dapat digunakan sebagai penentuan lokasi yang sesuai dalam pengelolaan tambak dan budidaya perikanan di daerah perairan estuari tersebut.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Peranan Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).

Pada mulanya, hutan mangrove hanya dikenal secara terbatas oleh kalangan ahli lingkungan, terutama lingkungan laut. Kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosh, kemudian dikenal dengan istilah “payau” karena sifat habitatnya yang payau. Berdasarkan dominasi jenis pohon yang terdapat di daerah tersebut yaitu bakau, maka kawasan mangrove juga disebut sebagai hutan bakau. Kata mangrove merupakan kombinasi antara mangue (bahasa portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar atau semak kecil (Arif, 2007).

Menurut Macnae (1968) kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis pohon atau semak yang tumbuh di antara batas air tertinggi saat pasang dan batas air terendah sampai di atas rata-rata permukaan laut saat surut. Sebenarnya kata mangrove digunakan untuk menyebut kelompok tumbuh-tumbuhan dari beberapa spesies yang mempunyai perakaran pneumatopores, dan tumbuh di antara garis


(26)

pasang surut. Sehingga hutan mangrove juga disebut “hutan pasang” (Steenis, 1978). Berdasarkan Surat keputusan Dirjen Kehutanan no. 60/Kpts/Dj/I/1978, hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut.

Snedaker (1978) memberikan pengertian panjang mengenai hutan mangrove, yakni suatu kelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis tropika dan subtropika yang terlindung dan memiliki semacam bentuk lahan pantai dengan tipe tanah anaerob. Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati bagian zona intertidal tropika dan subtropika berupa rawa atau hamparan lumpur yang dibatasi oleh pasang surut. Halofil merupakan sebutan bagi organisme yang tidak dapat hidup dalam lingkungan bebas garam, khususnya yang berupa tumbuh-tumbuhan disebut halofita (halophitic vegetation).

Menurut Nybakken (1993), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga yaitu: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus (Bengen, 2000).


(27)

Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut) dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1999), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut dan pantai berlumpur. Hutan mangrove banyak ditemui di pantai, teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati yang tertinggi di dunia dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies yang terdiri atas 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasit (Nontji, 1993).

Batasan hutan mangrove adalah hutan yang terutama tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Selanjutnya, komposisi jenis tumbuhan penyusun ekosistem ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan, terutama jenis tanah, genangan pasang surut dan salinitas (Bengen and Adrianto, 2001).


(28)

Pada wilayah pesisir yang terbuka, jenis pohon yang dominan dan merupakan pohon perintis umumnya adalah Api-api (Avicennia spp.) dan Pidada (Sonneratia spp.). Api-api umumnya hidup pada tanah berpasir agak keras, sedangkan Pidada pada tanah yang berlumpur lembut. Pada daerah yang terlindung dari hempasan ombak, komunitas mangrove biasanya didominasi oleh Bakau (Rhizophora spp.). Lebih ke arah daratan (hulu), pada tanah lempung yang agak pejal, biasanya tumbuh komunitas Tanjang (Bruguiera spp.). Nipah (Nypa fruticans) merupakan sejenis palma dan merupakan komponen penyusun ekosistem mangrove, yang seringkali tumbuh di tepian sungai lebih ke hulu, dan mendapatkan pengaruh aliran air tawar yang dominan. Komunitas Nipah tumbuh secara optimal di kiri-kanan sungai-sungai besar di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Soerianegara, 1998).

Ekosistem mangrove merupakan tempat berlangsungnya kehidupan berbagai jenis organisme yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).

Pada umumnya, vegetasi yang tumbuh di kawasan mangrove mempunyai variasi yang seragam, yakni hanya terdiri atas satu strata yang berupa pohon-pohon yang berbatang lurus dengan tinggi pohon mencapai 20-30 meter. Jika tumbuh di pantai berpasir atau terumbu karang, tanaman akan tumbuh kerdil, rendah, dan batang tanaman sering sekali bengkok. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan mangrove


(29)

dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut nama-nama vegetasi yang mendominasi (Arif, 2007).

Pembagian zonasi menurut Arif (2007) juga dapat dilakukan berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi, dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut. 1. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove. Pada zona

ini, tanah berlumpur lembek dan berkadar garam tinggi. Jenis Avicennia banyak ditemui berasosiasi dengan Sonnetaria spp. Karena tumbuh di bibir laut, jenis-jenis ini memiliki perakaran yang sangat kuat yang dapat bertahan dari hempasan air laut. Zona ini juga merupakan zona perintis atau pionir, karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkraman perakaran dari jenis tumbuhan ini. 2. Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia dan Sonnetaria. Pada zona

ini, tanah berlumpur lembek dengan kadar garam lebih rendah. Perakaran tanaman terendam selama terjadinya pasang air laut.

3. Zona Bruguiera, terletak di belakang Zona Rhizophora. Pada zona ini tanah berlumpur agak keras dan perakaran hanya terendam pasang dua kali sebulan. 4. Zona Nipah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini

sebenarnya tidak harus ada kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir dari sungai ke laut.

Zona Nipah merupakan zonasi yang masih lengkap karena semua jenis tumbuhan masih terdapat di dalam kawasan ini. Di beberapa kawasan serta kepulauan di Indonesia tidak seluruh zonasi ada. Ketidaksempurnaan zonasi ini disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya ketidaksempurnaan penggenangan atau pasang surut air


(30)

laut. Pembagian zonasi berdasarkan vegetasi yang mendominasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Zonasi Mangrove Alami yang Masih Lengkap (Arif, 2007)

Mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Adanya pengaruh laut dan daratan di kawasan mangrove menyebabkan terjadinya interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Karena sifat fisiknya, mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta penahan instrusi dan abrasi laut. Proses dekomposisi serasah bakau yang terjadi mampu menunjang kehidupan di dalamnya. Keunikan lainnya adalah fungsi serbaguna dari hutan mangrove yaitu sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat desa di daerah pesisir, tempat berkembangnya biota laut tertentu dan flora fauna pesisir, serta dapat dikembangkan sebagai wahana wisata untuk kepentingan pendidikan dan penelitian (Arif, 2007).


(31)

Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber nutrisi untuk kelanjutan proses ekologis dan biologis, dan merupakan penangkap sedimen yang diperlukan untuk kelanjutan proses suksesi, pengendali erosi pantai, tempat pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove juga merupakan sumber produksi pangan, obat-obatan dan bahan baku industri (Abdullah, 1984).

Nontji (1993) melaporkan bahwa kurang lebih 80 spesies dari Crustaceae,dan 65 spesies Mollusca terdapat di ekosistem mangrove di Indonesia. Tumbuhan mangrove termasuk bagian batang, akar dan daun yang berjatuhan memberikan unsur hara penting bagi spesies akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat untuk memelihara larva, tempat bertelur dan tempat pakan bagi berbagai spesies akuatik, khususnya udang Penaeidae dan ikan bandeng (Chanos chanos).

2.2.Proses Dekomposisi Serasah

Dekomposisi dapat didefinisikan sebagai penghancuran bahan organik mati secara gradual yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika yang dipandang sebagai reduksi komponen-komponen organik menjadi berat molekul yang lebih rendah melalui mekanisme enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim protease, selulase, ligninase yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah mati (Sunarto, 2003).

Serasah tumbuhan dapat terdekomposisi menjadi enam kategori yaitu (1) selulosa, (2) hemiselulosa, (3) lignin, (4) gula terlarut, asam amino dan asam alifatik,


(32)

(5) larutan eter, alkohol, lemak, minyak, lilin, resin dan pigmen, (6) protein. Dekomposisi serasah dipengaruhi oleh urutan reaksi spesifik dan dengan bantuan sistem enzim-enzim tertentu yang dimiliki oleh jenis-jenis organisme tertentu (Dix and Webster, 1995).

Selulosa merupakan suatu polimer glukosa yang terdapat di alam yang menyusun komponen dinding sel tumbuhan. Komponen lain yang juga menyusun dinding sel tumbuhan seperti hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit β-D-glukopiranosa (500-10000 residu gula) yang terikat satu sama lain melalui ikatan β-1,4 glikosidik. Hemiselulosa merupakan polimer glukosa yang dibangun oleh ikatan β-1,4 glikosidik dengan rantai lurus atau bercabang yang relatif pendek (100-300 residu gula) dibandingkan dengan selulosa. Lignin merupakan suatu polimer kompleks dengan bobot molekul yang tinggi dan tersusun oleh unit-unit fenilpropanoid yaitu alkohol kumaril, alkohol koniferil dan alkohol sinapil (Robinson, 1991).

Dalam proses dekomposisi serasah, komponen penyusun dinding sel inilah yang diuraikan oleh mikroorganisme sehingga dihasilkan bahan-bahan organik dan unsur hara yang diperlukan pada suatu ekosistem. Enzim yang terlibat pada dekomposisi selulosa adalah selulase. Selulase terdapat sebagai senyawa kompleks dan kombinasi enzim selulase berbeda antara satu organisme dengan organisme lainnya. Selulosa diubah menjadi rantai-rantai linear dan unit-unit disakarida (selobiosa) oleh enzim selulase. Menurut Moore-Landecker (1990), reaksi dekomposisi selulosa dapat dijelaskan rincian sebagai berikut:


(33)

Selulase Selulase Selobiose

Selulosa Rantai panjang Selobiosa Glukosa Anhidroglukosa β-1,4

Filed et al. (1993); Evans et al. (1994) menyatakan bahwa kelompok peroksidase (lignin peroksidase/LiP dan manganese peroksidase/MnP) yang menggunakan H2O2

dan lakase (polifenol oksidase) yang menggunakan molekul oksigen berperan dalam proses degradasi lignin.

Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu sebagai lapisan bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan bahan-bahan tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan. Serasah merupakan bahan organik yang mengalami beberapa tahap proses dekomposisi dapat menghasilkan zat yang penting bagi kehidupan dan produktivitas perairan terutama dalam peristiwa rantai makanan (Arif, 2007).

Menurut Nybakken (1993) terdapat tiga tahap proses dekomposisi serasah yaitu (1) proses leaching merupakan mekanisme hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air, (2) penghawaan (wathering) merupakan mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air dan (3) aktivitas biologi yang menghasilkan pecahan-pecahan organik oleh makhluk hidup yang melakukan proses dekomposisi.

Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa salah satu bagian tersebut adalah daun yang mempunyai unsur hara karbon, nitrogen, fosfor, kalium, kalsium,


(34)

dan magnesium. Ketika gugur ke permukaan substrat, daun-daun yang banyak mengandung unsur hara tersebut tidak langsung mengalami pelapukan atau pembusukan oleh mikroorganisme, tetapi memerlukan bantuan hewan-hewan yang disebut makrobentos. Makrobentos ini memiliki peranan yang sangat besar dalam penyediaan hara bagi pertumbuhan dan perkembangan pohon-pohon mangrove maupun bagi mangrove itu sendiri. Makrobentos berperan sebagai dekomposer awal yang bekerja mencacah-cacah daun-daun menjadi bagian-bagian kecil, yang kemudian akan dilanjutkan oleh organisme yang lebih kecil lagi yaitu mikroorganisme. Pada umumnya keberadaan makrobentos dapat mempercepat proses dekomposisi serasah daun tersebut (Hogart, 1999).

Kecepatan dekomposisi serasah daun hingga dapat menyatu ke dalam tanah mineral juga tergantung pada faktor fisik dan jenis tumbuhan itu sendiri. Pada komunitas tumbuhan tertentu, produksi serasah akan tinggi sedangkan kecepatan pelapukan serasah akan berlangsung lambat. Dalam hal ini, serasah dapat terakumulasi pada permukaan tanah sampai kedalaman beberapa sentimeter (Dix and Webster, 1995).

Kecepatan dekomposisi serasah dapat diketahui dengan menempatkan serasah daun mangrove yang massanya diketahui di dalam kantong serasah yang tidak dapat dimasuki oleh makrofauna pemakan serasah daun seperti Gastropoda dan kepiting. Kantong-kantong berisi serasah daun ini selanjutnya ditempatkan di areal mangrove dan pengamatan dilakukan dengan selang waktu tertentu. Setiap pengamatan, sisa serasah yang terdapat dalam kantong tersebut ditimbang (Hogarth, 1999).


(35)

Lama proses dekomposisi daun jenis-jenis pohon mangrove telah banyak diteliti, dengan hasil yang menunjukkan adanya perbedaan kecepatan waktu. Dekomposisi serasah mangrove jenis api-api memerlukan waktu sekitar 20 hari, sedangkan dekomposisi mangrove jenis bakau memerlukan waktu selama 40 hari (Boonruang, 1984).

Lama dekomposisi serasah daun juga berhubungan dengan kandungan fenol yang besar dan nisbah C : N yang besar sehingga membuat serasah tidak disukai dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bagi hewan tanah. Pada percobaan bahan makanan, cacing tanah (earthworm) ternyata lebih menyukai daun-daun dengan tingkat polifenol yang kecil dan nisbah C : N kecil. Daun-daun dengan tingkat polifenol kecil dan nisbah C : N kecil umumnya memiliki tekstur yang lebih halus dan lebih kuat (Dix and Webster, 1995).

2.3. Peranan Mikroorganisme Fungi dalam Proses Dekomposisi Serasah

Fungi memiliki peran yang luas di dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga memerlukan keahlian tersendiri. Salah satunya seperti pemanfaatan fungi dalam bidang ekologi seperti dalam membantu proses dekomposisi serasah. Fungi tidak mempunyai klorofil sehingga hidupnya bersifat heterotrof, parasit atau saprofit. Dalam kehidupan sehari-hari, fungi sering disebut cendawan, kapang, kulat, atau ragi. Fungi saprofit hidup pada sampah-sampah, sisa tumbuhan maupun hewan yang sudah mati, dapat berperan sebagai pengurai (dekomposer) dalam suatu ekosistem sehingga dapat merombak sisa-sisa makhluk hidup lain menjadi substansi kimia yang lebih


(36)

sederhana. Fungi dapat hidup dimana saja, sehingga penyebarannya di alam menjadi sangat luas, misalnya dalam tanah, dalam air, pada bahan-bahan organik, bahan makanan dan dapat hidup sebagai parasit pada tanaman, hewan atau pada tubuh manusia dan ada juga yang bersimbiosis dengan jasad hidup lain (Tarigan, 1988).

Fungi lebih tahan terhadap pengaruh kondisi lingkungan yang ekstrim bila dibandingkan dengan kebanyakan mikroorganisme lainnya. Fungi dapat tumbuh dalam suatu substrat atau medium makanan yang mengandung konsentrasi gula yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Fungi juga lebih tahan terhadap suasana asam jika dibandingkan dengan organisme lainnya. Substrat yang dibutuhkan mikroorganisme untuk kelangsungan hidupnya berhubungan erat dengan susunan kimia yang berupa protein, karbohidrat, asam nukleat, mineral-mineral seperti N, S, C, P, Ca, Fe, Mg, dan Mn. Fungi umumnya dapat menggunakan banyak sumber makanan dari senyawa kimia yang sederhana sampai yang kompleks. Sebagian fungi mempunyai enzim pektinase, amilase, protease dan lipase untuk mengolah makanannya (Tarigan, 1988).

Fungi merupakan salah satu mikroorganisme yang berperan dalam proses dekomposisi berbagai komponen serasah, yang terdiri atas daun, bunga, cabang, ranting dan bagian-bagian tumbuhan lain. Fungi detritus bukanlah dekomposer awal yang berperan di dalam pembusukan serasah mangrove. Arif (2007) menyatakan makrobentos seperti fauna kelas Gastropoda, Crustacea, Bivalvia, Hirudinae, Polichaeta dan Ampibi sangat menunjang keberadaan unsur hara. Selain


(37)

mengkonsumsi zat hara yang berupa detritus, diantara berbagai fauna ini ada yang berperan sebagai dekomposer awal yang bekerja dengan cara mencacah-cacah daun-daun menjadi bagian-bagian kecil kemudian akan dilanjutkan oleh organisme yang lebih kecil yaitu mikroorganisme. Dekomposer awal ini akan meremas-remas atau mencacah substansi sisa bagian pohon yang kemudian dikeluarkan kembali sebagai kotoran. Cacing maupun kepiting dan sebangsanya pada umumnya memanfaatkan sisa tumbuhan yang tidak berfungsi, misalnya daun, ranting, bunga, kulit batang dan akar. Mereka memakan daun-daun yang berguguran sehingga sesungguhnya sebagian besar daun itu tidak mengalami proses pembusukan seperti biasanya melainkan mengalami proses pembusukan sebagai hasil dari ekskresi (Macnae, 1968).

Dalam subsistem dekomposisi, organisme middle atau mesofauna atau mesobentos juga berperan dalam perombak awal bahan tanaman, serasah, dan bahan organik lainnya (misalnya kayu dan akar). Mesobentos mengkonsumsi bahan-bahan tersebut dengan cara melumat dan mengunyah (ingested) serta mencampurnya dengan sisa-sisa bahan organik sehingga menjadi bagian yang lebih kecil siap didekomposisi oleh mikroba tanah (Handayanto, 1996).

Makrobentos pada umumnya mempercepat proses dekomposisi. Setelah itu, fungi akan berperan sangat besar dalam proses degradasi daun karena fungi mampu mendegradasi senyawa organik seperti selulosa dan lignin yang merupakan komponen penyusun dinding sel daun (Bell, 1974).

Proses dekomposisi dimulai dengan kolonisasi bahan organik mati oleh fungi yang mampu mengautolisis jaringan mati melalui mekanisme enzimatik. Fungi akan


(38)

mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah mati. Proses dekomposisi 0leh fungi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan misalnya air, keasaman, suhu, oksigen, substrat dan inhibitor. Beberapa jenis daun sangat sulit mengalami pelapukan karena adanya kandungan unsur-unsur kimia di dalam lembaran daun sehingga beberapa dekomposer seperti fungi tidak dapat segera membusukkannya (Dix and Webster, 1995).

2.4 Kadar karbohidrat dan Total Protein Serasah Daun A. marina yang

Mengalami Proses Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas

Serasah yang berupa cabang, ranting dan daun yang jatuh dari tajuk tumbuhan merupakan bahan dasar yang dapat menghasilkan bahan-bahan organik yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dan organisme untuk tumbuh dan berkembang pada lingkungan tempat hidupnya. Untuk dapat menghasilkan bahan-bahan organik tersebut maka serasah harus terdekomposisi terlebih dahulu. Dalam proses dekomposisi serasah terlibat berbagai komponen yang saling mendukung antara satu dengan yang lainnya sehingga serasah yang mempunyai bentuk utuh dapat diuraikan menjadi bahan-bahan organik yang bentuknya lebih sederhana. Fungi menguraikan senyawa organik seperti lignin, selulosa, karbohidrat dan protein menjadi lebih sederhana (Yunasfi, 2006).

Karbohidrat tersebar luas dalam tumbuhan, glukosa disintesis dari karbondioksida serta air melalui fotosintesis dan disimpan sebagai pati atau diubah


(39)

menjadi selulosa yang merupakan penyusun dinding sel tumbuhan. Karbohidrat adalah polihidroksi aldehida atau keton dengan rumus empirik (CH2O)n, merupakan

zat padat berwarna putih yang sukar larut dalam pelarut organik, tetapi larut dalam air kecuali beberapa polisakarida atau disebut juga senyawa karbonil alami dengan beberapa gugus hidroksi dan disebut juga turunan aldehida atau keton dari alkohol polihidroksi atau zat-zat yang pada hidrolisisnya menghasilkan derivat-derivat tersebut. Karbohidrat dapat digolongkan menjadi 3 bagian yaitu monosakarida (satu unit aldehida atau keton), oligosakarida (beberapa unit monosakarida), dan polisakarida, molekul besar liniar atau bercabang yang banyak mengandung unit monosakarida (Iswari et al., 2006).

Protein merupakan makromolekul yang berlimpah di dalam sel, menyusun setengah dari berat kering. Protein terdiri dari rantai polipeptida yang panjang, yang disusun oleh 100 sampai 1000 unit asam amino yang disatukan oleh ikatan peptida. Protein sederhana hanya menghasikan asam amino dengan hidrolisis. Protein konjugasi mengandung beberapa komponen tambahan lain seperti ion logam atau gugus prostetik organik. Beberapa protein berbentuk serabut dan bersifat tidak larut, yang lain berbentuk globular dengan rantai polipeptida yang berlipat-lipat. Terdapat 20 jenis asam amino yang terkandung dalam protein. Enzim berperan dalam pengubahan karbohidrat, lemak, protein dan beberapa zat lainnya yang terdapat dalam medium (Iswari et al., 2006).

Pada proses degradasi daun, reaksi-reaksi kimia merombak senyawa- senyawa organik yang kompleks menjadi senyawa-senyawa kimia yang sederhana dan


(40)

membebaskan sejumlah energi. Reaksi ini melibatkan sejumlah enzim. Jumlah enzim yang dihasilkan oleh sel mikroorganisme sangat sedikit tetapi mempunyai daya yang besar untuk melakukan perubahan-perubahan kimia yang terjadi di dalam sel (Tarigan, 1988).

Dalam keadaan optimum, enzim mengkatalisis reaksi sampai 108-1010 kali lebih cepat dari reaksi tanpa pengaruh enzim. Suatu enzim protease dapat merombak substrat protein menjadi asam-asam amino sedangkan amilase dapat merombak amilum menjadi glukosa. Sebagian besar jasad hidup pada pencernaan makanan yang terjadi di luar sel terjadi proses enzimatis secara hidrolitik di luar sel. Makanan ini menjadi sumber energi, sumber karbon, sumber nitrogen, dan sumber unsur-unsur mineral (Tortora, 1986).


(41)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2009 sampai November 2009 yang bertempat di kawasan hutan mangrove Teluk Tapian Nauli Desa Aek Horsik, kecamatan Badiri Tapanuli Tengah (luas 604,2 hektar dan secara geografis terletak pada 1o 27’ - 1o 40’ LU dan 98o 45’ - 98o 55’ BT). Isolasi dan Identifikasi fungi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU dan analisis karbohidrat dan protein dilakukan di Laboratorium Pendidikan Teknologi Kimia industri.

3.2Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan adalah: Serasah daun Avicennia marina, Media Agar yaitu Potato Dextrose Agar (PDA), antibiotik chloramphenicol, alkohol 96%, alkohol 70%, desinfektan, air laut dengan salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt, 30 > ppt, aquades, kapas.

Alat-alat yang digunakan adalah : kantong serasah (litter bag) yang terbuat dari bahan nilon berukuran 40 x 30 cm dengan ukuran pori-pori (mesh) 2 mm, tali nilon, tali rafia, kayu pancang yang terbuat dari bambu, film, spidol permanen, hand refraktometer, jarum, jarum ose, mikroskop cahaya, mortal steril, autoklaf, oven, hot plate, vorteks, magnetic stirer, kulkas, timbangan manual analitik, timbangan elektrtik, termos, inkubator fungi, cawan petri, tabung reaksi, rak tabung reaksi,


(42)

alumunium foil, gelas Beaker, labu Erlenmeyer, gelas ukur, corong, spatula, batang pengaduk, bunsen, spiritus, hockeystick, mancis, pipet mikro, propipet, pipet serologi (0,1, 1,0, 2,0, 5,0 10 ml), pipet volumetri, sprayer, kertas saring, kertas lebel, kaca objek, kaca penutup, pinset, kotak penyimpan biakan, kotak slide, kamera dan rol meter.

3.3 Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel fungi yang meliputi jumlah jenis fungi, populasi fungi, frekuensi kolonisasi berbagai jenis fungi dan keanekaragaman jenis fungi.

2. Variabel serasah yang meliputi laju dekomposisi serasah, bobot serasah sisa pada tiap tahap dekomposisi, kandungan kimia serasah yaitu karbohidrat dan total protein yang terdapat pada serasah pada tiap tahap proses dekomposisi.

3.4 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan tiga ulangan yang terdiri atas dua faktor, yaitu:

Faktor pertama adalah waktu pengambilan serasah (T) yang terdiri atas: T0 = Hari ke-0 (kontrol) T3 = Hari ke-45 T6 = Hari ke-90 T1 = Hari ke-15 T4 = Hari ke-60 T7 = Hari ke-105 T2 = Hari ke-30 T5 = Hari ke-75 T8 = Hari ke-120


(43)

Faktor kedua adalah tingkat salinitas atau plot (S) yang terdiri atas: S1 = Tingkat salinitas 0-10 ppt

S2 = Tingkat salinitas 10-20 ppt S3 = Tingkat salinitas 20-30 ppt S4 = Tingkat salinitas >30 ppt

3.5 Metode Pengambilan Data

3.5.1 Pengumpulan Serasah Daun A. marina

Serasah daun dikumpulkan dengan menggunakan penampung serasah yang terbuat dari jaring kasa nilon yang berukuran 2x2 m sebanyak 10 kain nilon yang diletakkan dengan cara mengikatkannya di antara kedua pohon pada ketinggian di atas garis pasang tertinggi hal ini dimaksudkan untuk menghindari air saat pasang.. Serasah daun A. Marina yang sudah menguning atau gugurdikumpulkan sekitar 4800 gram (50 g serasah x 9 perlakuan x 3 ulangan x 4 kelompok) dan kontol 150 gram (50 g serasah x 3 ulangan. Serasah daun A. marina yang terkumpul dipisahkan menurut komponennya yaitu daun, bunga, hipokotil, dan ranting.

3.5.2 Penempatan Serasah Daun di Lokasi Penelitian

Serasah daun A. marina sebanyak 50 g dimasukkan ke dalam kantong serasah yang berukuran 40 x 30 cm yang terbuat dari nilon (Gambar 3). Kemudian kantong


(44)

serasah di tempatkan pada lokasi penelitian pada berbagai tingkat salinitas yang telah diukur dengan hand refraktometer (0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt, dan >30 ppt).

Gambar 3. Bentuk dan Ukuran Kantong Serasah yang Digunakan Untuk Penempatan Serasah pada Beberapa Lokasi di Lapangan dengan Berbagai Tingkat Salinitas

Pada lokasi dengan tingkat salinitas yang telah ditentukan di atas dibuat satu plot berukuran 170 cm x 500 cm dengan jumlah plot keseluruhan sebanyak empat plot (Gambar 4). Kantong serasah yang berisi serasah daun A marina ditempatkan secara acak pada plot-plot ini (Lampiran 8, hlm: 117). Agar tidak dihanyutkan oleh pasang air laut maka keempat ujung kantong serasah diikatkan pada potongan pancang yang dibuat dari bambu dengan panjang 50 cm dan diameter 1,5 cm.

5 cm

30 Cm 40

Cm

Jahitan Kain Kasa Nilon


(45)

Keempat potongan bambu yang sudah diikatkan dengan kantong serasah, selanjutnya ditancapkan di tanah sampai kedalaman 40 cm. Sebanyak 3 kantong berisi serasah diambil dari tiap tingkat salinitas sekali dua minggu dan pengambilan kantong berisi serasah dilakukan sampai hari ke-120 (sebanyak 11 kali pengambilan) setelah serasah diletakkan di lapangan. Pada hari ke-120, semua serasah diperkirakan telah mengalami dekomposisi dengan sempurna.

Gambar 4. Letak Plot untuk Penempatan Kantong Serasah pada Beberapa Lokasi di Lapangan dengan Berbagai Tingkat Salinitas

> 30 ppt

Hutan Mangrove

B T

U

S

20 – 30 ppt

10 – 20 ppt

0 – 10 ppt

150 M

Jl. Padang sidempuan


(46)

3.5.3 Isolasi Fungi dari Serasah DaunA. marina

Penentuan populasi fungi baik yang terdapat pada kontrol (belum mengalami proses dekomposisi) maupun pada perlakuan (mengalami proses dekomposisi) dilakukan dengan metode pengenceran yaitu dengan membuat suatu seri pengenceran (dilution series). Pengenceran serasah daun A. marina dan isolasi fungi dalam cawan petri (Gambar 5) dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: Sebanyak 10 g serasah daun A. marina yang telah dihancurkan dalam mortar dengan alu secara aseptis kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Selanjutnya disuspensikan air laut yang berasal dari lingkungan serasah pada masing-masing salinitas sampai volume mencapai 100 ml kemudian disterilkan selanjutnya dilakukan pengenceran pada tingkat yang optimal untuk isolasi fungi yaitu 10-2, kemudian sebanyak 0,1 ml suspensi hasil pengeceran dituang ke dalam cawan petri yang telah berisi media PDA (Potato Dextrose Agar) dan dibuat ulangan sebanyak 3 kali untuk tiap pengenceran. Suspensi fungi sebanyak 0,1 ml diambil dengan pipet serologi ditanam ditempatkan pada media yang telah memadat dengan hockey stick, suspensi fungi yang ditanam disebar merata pada media (metode cawan sebar). Suspensi fungi diinkubasi selama 3 sampai 12 hari dan dilakukan Pengamatan terhadap koloni yang muncul. Jumlah koloni per ml dihitung dengan cara mangalikan jumlah koloni terhitung dengan faktor pengenceran. Koloni fungi yang berkembang, selanjutnya dimurnikan dengan membuat sub-media biakan, media agar PDA dalam cawan petri untuk pengamatan makroskopis dan media agar miring PDA dalam tabung reaksi untuk disimpan sebagai cadangan isolat, setelah bekembang media agar miring di simpan dalam


(47)

lemari pendingin agar sub-biakan tidak cepat mati. Sub-biakan digunakan sebagai bahan untuk identifikasi fungi.

Gambar 5. Metode pengeceran serasah daun A. marina untuk isolasi fungi pada cawan petridish

3.5.4 Identifikasi Fungi dari Serasah DaunA. marina

Biakan murni fungi diremajakan pada media PDA pada cawan petri dan diinkubasi selama 5-7 hari pada suhu ruang. Fungi yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskopiknya yaitu ciri koloni seperti sifat tumbuh hifa, warna hifa, dan warna massa spora atau konidia. Pengamatan fungi secara mikroskopik dilakukan dengan metode Block square yaitu spora fungi dari hasil biakan murni digoreskan pada seluruh bagian pinggir potongan agar sebesar 4 x 4 x 2 mm kemudian diletakkan pada kaca obyek dan ditutup dengan gelas penutup. Biakan pada

10 gr serasah daun A marina


(48)

kaca obyek ini ditempatkan dalam cawan Petri yang telah diberi pelembab berupa kapas basah atau dengan kertas saring yang dibasahi. Biakan kaca obyek ini dibiarkan selama beberapa hari pada kondisi ruang sampai fungi tumbuh dan berkembang. Fungi yang berkembang diamati ciri mikroskopiknya yaitu ciri-ciri hifa, ada tidaknya sekat pada hifa, tipe percabangan hifa. Ciri-ciri yang didapatkan ditabulasi, kemudian dicocokan dengan kunci identifikasi fungsi (Rifai, 1973., Samson et al., 1984, Gandjar et al., 1999). Setelah diidentifikasi dicatat jumlah tiap-tiap jenis fungi, populasi, keanekaragaman jenis dan frekuensi kolonisasi fungi yang terdapat pada serasah A. marina. Kegiatan ini dilakukan tiap kali pengambilan serasah dari lapangan selama masa proses dekomposisi yaitu mulai dari hari ke-0 (kontrol) sampai hari ke-120.

3.6. Penentuan Kuantitas Karbohidrat dan Total Protein yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi

3.6.1 Penentuan Kuantitas Karbohidrat

Kadar karbohidrat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi dapat diketahui dengan menghitung kadar abu dengan cara sebagai berikut:

Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 2 sampai 3 jam. Cawan porselin ini selanjutnya didinginkan dalam eksikator dan ditimbang bobotnya (X). Contoh uji sebanyak 5 g bobot kering (Y) dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya cawan porselin berisi contoh uji ini dipijarkan di atas nyala api bunsen sampai tidak mengeluarkan asap. Contoh uji kemudian dimasukkan


(49)

ke dalam tanur listrik pada suhu 400-6000C. Contoh uji diangkat seluruhnya setelah menjadi abu yang berwarna putih dan didinginkan dalam eksikator. Setelah satu jam, abu ini ditimbang dengan bobot (Z).

Penentuan kadar abu ditentukan dengan rumus (1). Kadar Abu =

Y X) -(Z

x 100% (1) dengan:

X = Bobot cawan porselin Y = Bobot contoh uji awal

Z = Bobot contoh setelah menjadi abu

Penentuan kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunakan rumus (2). Kadar Karbohidrat = (Bobot kering –Abu) x 100% (2)

Berat contoh uji awal

3.6.2 Penentuan Kadar Protein

Analisis protein dilakukan dengan 3 tahap yaitu: tahap destruksi, tahap destilasi dan tahap titrasi. Adapun secara rinci metode analisis diuraikan sebagai berikut: sebanyak 0,3 g bobot kering contoh uji (X) dimasukkan ke dalam labu dekstruksi, kemudian ditambahkan 3 sendok kecil katalis campuran selen dan 20 ml H2SO4 pekat secara homogen. Campuran ini selanjutnya dipanaskan dengan alat


(50)

larutan menjadi jernih dan berwarna hijau kekuningan. Proses ini dilakukan diruang asam (tahap dekstruksi).

Setelah labu dekstruksi didinginkan, larutan contoh uji dimasukkan ke dalam labu penyuling dan diencerkan dengan 300 ml air yang tidak mengandung N. Selanjutnya ke dalam larutan dimasukkan beberapa butir batu didih dan ditambahkan 100 ml NaOH 33%. Proses penyulingan ini dilakukan sampai semua N ditangkap oleh H2SO4 yang ada dalam labu Erlenmeyer atau bila 2/3 cairan dalam labu telah

menguap (tahap destilasi).

Sisa H2SO4 yang terdapat pada labu Erlenmeyer dititrasi kembali dengan

menggunakan larutan NaOH 0,3 N. Proses titrasi berakhir setelah terjadi perubahan warna menjadi biru kehijauan yang menandakan titik akhir titrasi. Volume NaOH dicatat sebagai Z ml, selanjutnya dibandingkan dengan blanko Y ml (tahap titrasi). Kadar protein dapat ditentukan dengan rumus (3).

Kadar Protein = (Y-Z) x N NaOH x 0,014 x 6,25 x 100% (3) X

dengan:

X = Bobot contoh uji awal Y = Volume titrasi blanko (ml) Z = Volume NaOH penitrasi (ml)


(51)

3.7 Analisis Data

3.7.1 Keanekaragaman Jenis Fungi

Analisis keanekaragaman jenis fungi dilakukan dengan menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Winner (1949) dalam Ludwig dan Reynold (1988):

H = ∑ (pi) Ln (pi)

H = - ∑ │( ni /N ) ln ( ni / N ) │ (4) Keterangan :

H`= Indeks Keanekaragaman Jenis Pi = ni/N

Ni = Nilai kuantitatif suatu jenis

N = Jumlah nilai kuantitatif semua jenis dalam komunitas S = Jumlah Total Spesies

3.7.2 Laju Dekomposisi Serasah

Laju dekomposisi serasah diperoleh dengan menggunakan persamaan (Olson, 1963) : (5)

Xt / X0 = e – kt (5)

Xt = X0. e – kt

1n Xt = 1n X0 – kt

dengan:

Xt = Berat serasah setelah waktu pengamatan ke-t


(52)

e = Bilangan logaritma natural (2,72) k = Laju dekomposisi serasah

t = Waktu pengamatan

3.7.3 Model Linear dan Analisis Ragam untuk Rancangan Acak Kelompok

Model linear untuk rancangan acak kelompok dapat ditulis dengan rumus: Yij = µ + τi + β j + ε ij (6)

dengan:

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-I dan kelompok ke-j µ = Rataan umum (nilai tengah populasi)

τi = Pengaruh perlakuan ke-i

β j = Pengaruh kelompok ke-j


(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Hasil.

4.1.1. Jenis-jenis Fungi pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Dekomposisi dan yang Telah Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas

Hasil isolasi fungi dari serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan (kontrol) dan yang telah mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas didapatkan 22 jenis fungi (Tabel 1).

Tabel 1. Jenis-jenis Fungi pada Serasah Daun A.marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi (Kontrol) dan yang Telah Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas.

Kehadiran

No. Jenis Fungi

Kontrol 0-10 ppt 10-20 ppt 20-30 ppt >30 ppt

1. Aspergillus sp. 1 √ √ √ √ √

2. Aspergillus sp. 2 √ √ √ √ √

3. Aspergillus sp. 3 √ √ √ - √

4. Aspergillus sp. 4 √ - - - -

5. Aspergillus sp. 5 - √ √ √ √

6. Aspergillus sp. 6 - √ - √ -

7. Aspergillus sp. 7 - √ √ √ -

8. Penicillium sp. 1 - √ √ √ √

9. Penicillium sp. 2 - √ √ √ √

10. Penicillium sp. 3 - √ √ - √

11. Penicillium sp. 4 - √ √ - √

12. Penicillium sp. 5 - √ √ √ √

13. Penicillium sp. 6 - √ √ √ √

14. Penicillium sp. 7 - √ √ √ √

15. Penicillium sp. 8 - - √ √ √

16. Penicillium sp. 9 - - √ - -

17. Trichoderma sp. 1 √ √ √ √ -

18. Trichoderma sp. 2 - √ - - √

19. Trichoderma sp. 3 - - √ √ √

20. Arthrinium phaeospermum √ √ √ √ √

21. Curvularia lunata - √ √ √ √

22. Mucor plumbeus - - - - √


(54)

Dari 22 jenis fungi tersebut terdapat 6 kelompok fungi yaitu kelompok Aspergillus sebanyak 7 jenis, Penicillium sebanyak 9 jenis, Trichoderma sebanyak 3 jenis, Arthrinium, Curvularia dan Mucor masing-masing sebanyak 1 jenis.

4.1.2. Jenis-Jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi (Kontrol)

Hasil isolasi fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan (kontrol) diperoleh 6 jenis fungi yang bervariasi yaitu fungi dari kelompok Aspergillus, Arthrinium dan Trichoderma. Pada kontrol, fungi dari kelompok Aspergillus ini mendominasi baik dari segi jenis maupun dari segi jumlah dengan jenis fungi Aspergillus sp.1 menempati urutan tertinggi pertama dari segi jumlah yaitu memiliki rataan jumlah koloni sebesar 5,33 x 102 CFU/ml yang diikuti oleh Aspergillus sp.4 dengan rataan jumlah koloni sebesar 3,66 x 102 CFU/ml sedangkan fungi dari jenis Trichoderma sp.1 dan Arthrinium phaeospermum memiliki rata-rata jumlah koloni terendah yaitu sebesar 0,33 x 102 CFU/ml (Tabel 2).

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Koloni x 102 (CFU/ml) dari Tiap Jenis Fungi pada Serasah Daun A.marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi

No. Jenis Fungi Rataan Jumlah Koloni x 102 (CFU/ml)

1. Aspergillus sp. 1 5,33

2. Aspergillus sp. 2 1

3. Aspergillus sp. 3 1

4. Arthrinium phaeospermum 0,33

5. Aspergillus sp. 4 3,66

6. Trichoderma sp. 1 0,33


(55)

4.1.3. Jenis-Jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas

Hasil isolasi fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas diperoleh jenis-jenis fungi sebanyak 16 jenis. Dari 16 jenis fungi tersebut terdapat 5 kelompok fungi yaitu kelompok Aspergillus sebanyak 3 jenis, Penicillium sebanyak 9 jenis, Trichoderma sebanyak 2 jenis, Curvularia dan Mucor masing-masing sebanyak 1 jenis sedangkan Arthrinium phaeospermum merupakan jenis fungi yang telah muncul sebelumnya pada kontrol.

Kelompok fungi Aspergillus, Arthrinium, Penicillium, Trichoderma dan Curvularia muncul pada berbagai tingkat salinitas baik 0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt dan >30 ppt sedangkan kelompok fungi Mucor hanya muncul pada tingkat salinitas >30 ppt (Tabel 3).


(56)

Tabel 3. Rata-rata Jumlah Koloni x 102 (CFU/ml) Tiap Jenis Fungi dengan Lama Masa Dekomposisi dari 15 hari sampai 120 hari pada Berbagai Tingkat Salinitas

Lama Masa Dekomposisi (Hari)

No. Jenis Fungi

15 30 45 60 75 90 105 120

Jumlah Total Koloni Rata-rata Jumlah Koloni Jumlah Kemunculan Koloni (kali) Jumlah Pengamatan (kali) Frekuensi Kolonisasi (%) Salinitas 0-10 ppt

1. Aspergillus sp. 1 33,33 0,33 2,33 2 13,33 0 0 0,33 51,65 6,46 6 8 75,00

2. Aspergillus sp. 3 1,33 1,67 0,33 0 0,67 0 0 0 4 0,50 4 8 50,00

3. Aspergillus sp. 2 28,67 0,33 5 0 0 0 0 0 34 4,25 3 8 37,50

4. Penicillium sp. 1 0 0 1 0,33 0 0 0,33 0 1,66 0,21 3 8 37,50

5. Arthrinium phaeospermum 0,33 0 2,33 0 0 0 0 0 2,66 0,33 2 8 25,00

6. Trichoderma sp. 1 0 0 1 0,33 0 0 0 0 1,33 0,17 2 8 25,00

7. Aspergillus sp. 5 0 0,67 0 0,33 0 0 0 0 1 0,13 2 8 25,00

8. Penicillium sp. 5 0 0 0 0 0 0 2,33 3 5,33 0,67 2 8 25,00

9. Aspergillus sp. 6 0 0 0,67 0 0 0 0 0 0,67 0,08 1 8 12,50

10. Penicillium sp. 2 0 24 0 0 0 0 0 0 24 3,00 1 8 12,50

11. Penicillium sp. 3 0 0 0 0 0,67 0 0 0 0,67 0,08 1 8 12,50

12. Penicillium sp. 4 0 0 0 0 0 2 0 0 2 0,25 1 8 12,50

13. Curvularia lunata 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0,25 1 8 12,50

14. Trichoderma sp. 2 0 0 0 0 0 0,67 0 0 0,67 0,08 1 8 12,50

15. Penicillium sp. 6 0 0 0 0 0 0 0 0,33 0,33 0,04 1 8 12,50

16. Aspergillus sp. 7 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0,13 1 8 12,50

17. Penicillium sp. 7 0 0 0 0 0 0 0 0,33 0,33 0,04 1 8 12,50

Total 133,30 16,66

Salinitas 10-20 ppt

1. Aspergillus sp. 1 34 0 0,33 0 0 0,33 0 0 34,66 4,33 3 8 37,50

2. Aspergillus sp. 2 23,33 0,67 0,33 0 0 0 0 0 24,33 3,04 3 8 37,50

3. Trichoderma sp. 1 0 0 0,33 0,33 0 0 0 0 0,66 0,08 2 8 25,00

4. Penicillium sp. 1 0 0 1 2 0 0 0 0 3 0,38 2 8 25,00

5. Penicillium sp. 2 0 1,67 0,67 0 0 0 0 0 2,34 0,29 2 8 25,00

6. Penicillium sp. 8 0 0,33 0 0,67 0 0 0 0 1 0,13 2 8 25,00


(57)

8. Penicillium sp. 5 0 0 0 0 0 0 0,67 4 4,67 0,58 2 8 25,00

9. Aspergillus sp. 3 0 0 0 0 0 1,67 0 0 1,67 0,21 1 8 12,50

10. Arthrinium phaeospermum 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0,13 1 8 12,50

11. Aspergillus sp. 5 0 0 0 2,67 0 0 0 0 2,67 0,33 1 8 12,50

12. Penicillium sp. 3 0 0 0 0 0,67 0 0 0 0,67 0,08 1 8 12,50

13. Penicillium sp. 9 0 0 0 0,33 0 0 0 0 0,33 0,04 1 8 12,50

14. Penicillium sp. 4 0 0 0 0,33 0 0 0 0 0,33 0,04 1 8 12,50

15. Penicillium sp. 6 0 0 0 0 0 17,67 0 0 17,67 2,21 1 8 12,50

16. Trichoderma sp. 3 0 0 0 0 0 0 0,33 0 0,33 0,04 1 8 12,50

17. Aspergillus sp. 7 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0,13 1 8 12,50

Total 97,99 12,25

Salinitas 20-30 ppt

1. Aspergillus sp. 1 83,33 0 0 0 0 0,33 0,33 0,67 84,66 10,58 4 8 50,00

2. Aspergillus sp. 2 0,33 0 0,67 1,33 0 0,33 0 0 2,66 0,33 4 8 50,00

3. Arthrinium phaeospermum 0 0 0 0 1,67 0,33 9,33 2 13,33 1,67 4 8 50,00

4. Trichoderma sp. 1 19 2,33 0,33 0 0 0 0 0 21,66 2,71 3 8 37,50

5. Penicillium sp. 1 0,33 1,33 0,33 0 0 0 0 0 1,99 0,25 3 8 37,50

6. Aspergillus sp. 5 0 0 0 0,33 0,33 0 0 0 0,66 0,08 2 8 25,00

7. Aspergillus sp. 6 0 0 0,33 0,33 0 0 0 0 0,66 0,08 2 8 25,00

8. Penicillium sp. 2 0 0 0 0 0 0,33 0 1 1,33 0,17 2 8 25,00

9. Penicillium sp. 8 0 0 0 0,33 0 0 0 0 0,33 0,04 1 8 12,50

10. Curvularia lunata 0 0,33 0 0 0 0 0 0 0,33 0,04 1 8 12,50

11. Penicillium sp. 5 0 8 0 0 0 0 0 0 8 1,00 1 8 12,50

12. Penicillium sp. 6 0 0 0 0 0 0 0 0,33 0,33 0,04 1 8 12,50

13. Trichoderma sp. 3 0 0 0 0 0 0,33 0 0 0,33 0,04 1 8 12,50

14. Aspergillus sp. 7 0 0 0 0 0 0 0 0,33 0,33 0,04 1 8 12,50

Total 136,6 17,08

Salinitas >30 ppt

1. Aspergillus sp. 1 17 11,67 11 7,67 13 2,33 1,33 3,33 67,33 8,42 8 8 100,00

2. Aspergillus sp. 2 2,33 0 3 2,67 0 2 1,67 0 11,67 1,46 5 8 62,50

3. Aspergillus sp. 3 4 8 0 0,33 0 0 0 2,33 14,66 1,83 4 8 50,00

4. Arthrinium phaeospermum 1,33 0 0 0,67 0 0 0,33 3,33 5,66 0,71 4 8 50,00

5. Penicillium sp. 1 0 17,33 1 0 0 0 1 0 19,33 2,42 3 8 37,50


(58)

7. Penicillium sp. 2 0,33 0 0 0 0 0 0 0,67 1 0,13 2 8 25,00

8. Penicillium sp. 8 0 0 0,33 0,33 0 0 0 0 0,66 0,08 2 8 25,00

9. Penicillium sp. 3 0 0 0 0 0 0,33 0 1 1,33 0,17 2 8 25,00

10. Penicillium sp. 4 0 0 0 0 0 0 2,33 1,33 3,66 0,46 2 8 25,00

11. Curvularia lunata 0 0 0 0 0 0,67 0 0,67 1,34 0,17 2 8 25,00

12. Trichoderma sp. 2 0 0 0 0 0 0,33 0,33 0 0,66 0,08 2 8 25,00

13. Penicillium sp. 5 6 0 0 0 0 0 0 0 6 0,75 1 8 12,50

14. Penicillium sp. 6 0 0 0 0,33 0 0 0 0 0,33 0,04 1 8 12,50

15. Mucor plumbeus 0 0 0 0 0 0,33 0 0 0,33 0,04 1 8 12,50

16. Trichoderma sp. 3 0 0 0 0 0,67 0 0 0 0,67 0,08 1 8 12,50

Total 137,29 17,16


(59)

Pada tingkat salinitas 0-10 ppt, terdapat 17 jenis fungi yang berhasil diisolasi dari serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi dari 15 hari sampai 120 hari dengan 5 jenis fungi merupakan fungi pioner yang telah muncul sebelumnya pada kontrol yaitu Aspergillus sp.1, Aspergillus sp.2, Aspergillus sp.3, Arthrinium phaeospermum, Trichoderma sp.1 sedangkan 12 jenis fungi lagi merupakan kemunculan jenis fungi baru yaitu Penicillium sp.1, Aspergillus sp.5, Aspergillus sp.6, Penicillium sp.2, Penicillium sp.3, Penicillium sp.4, Curvularia lunata, Trichoderma sp.2, Penicillium sp.5, Penicillium sp.6, Aspergillus sp.7, Penicillium sp.7 (Lampiran 1).

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah koloni terbanyak ditempati oleh jenis Aspergillus sp.1 yaitu sebesar 6,46 x 102 CFU/ml sedangkan rata-rata jumlah koloni terendah ditempati oleh jenis Penicillium sp.6 dan Penicillium sp.7 yaitu sebesar 0,04 x 102 CFU/ml. Dari 8 kali pengamatan, Aspergillus sp.1 muncul sebanyak 6 kali dengan frekuensi kolonisasi fungi tertinggi yaitu sebesar 75% sedangkan frekuensi kolonisasi terendah ditempati oleh jenis Aspergillus sp.6, Penicillium sp.2, Penicillium sp.3, Penicillium sp.4, Curvularia lunata, Trichoderma sp.2, Penicillium sp.6, Aspergillus sp.7 dan Penicillium sp.7 yaitu sebesar 12,50%.

Pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas 10-20 ppt didapatkan 17 jenis fungi juga, sama seperti pada perlakuan dengan tingkat salinitas 0-10 ppt namun bedanya pada tingkat salinitas 10-20 ppt didapatkan jumlah total koloni dan rataan jumlah koloni yang lebih sedikit yaitu masing-masing sebesar 97,99 x 102 CFU/ml dan 12,25 x 102 CFU/ml


(60)

sedangkan pada tingkat salinitas 0-10 ppt didapatkan jumlah total koloni dan rata-rata jumlah koloni yang lebih banyak yaitu masing-masing sebesar 133,30 x 102 CFU/ml dan 16,66 x 102 CFU/ml.

Pada tingkat salinitas 10-20 ppt juga ditemukan 3 jenis fungi baru yaitu Penicillium sp.8, Penicillium sp.9 dan Trichoderma sp.3 (Lampiran 1) sedangkan sisanya 14 jenis fungi merupakan fungi yang telah muncul pada tingkat salinitas sebelumnya (0-10 ppt). Jenis fungi yang paling banyak ditemukan adalah Aspergillus sp.1 dengan rata-rata jumlah koloni terbanyak yaitu sebesar 4,33 x 102 CFU/ml sedangkan jenis fungi yang paling sedikit ditemukan adalah Penicillium sp.9, Penicillium sp.4 dan Trichoderma sp.3 dengan rata-rata jumlah koloni terendah yaitu masing-masing sebesar 0,04 x 102 CFU/ml (Tabel 3).

Dari 8 kali pengamatan, kemunculan Aspergillus sp.1 dan Aspergillus sp.2 masing-masing sebanyak 3 kali yaitu Aspergillus sp.1 muncul pada 15, 45 dan 90 hari setelah serasah mengalami proses dekomposisi sedangkan Aspergillus sp.2 muncul pada 15, 30 dan 45 hari setelah serasah mengalami proses dekomposisi. Aspergillus sp.1 dan Aspergillus sp.2 memiliki frekuensi kolonisasi tertinggi yaitu masing-masing sebesar 37,50% sedangkan Aspergillus sp.3, Arthrinium phaeospermum, Aspergillus sp.5, Penicillium sp.3, Penicillium sp.9, Penicillium sp.4, Penicillium sp.6, Trichoderma sp.3 dan Aspergillus sp.7 memiliki frekuensi kolonisasi terendah yaitu masing-masing sebesar 12,50%.

Hasil isolasi fungi dari serasah daun A. marina pada perlakuan dengan tingkat salinitas 20-30 ppt ditemukan 14 jenis fungi. Pada tingkat salinitas ini tidak ditemukan jenis fungi baru. Dari 14 jenis fungi yang berhasil diisolasi,


(1)

Lampiran 3. Data Bobot Kering (g) Sisa Serasah Daun A. marina pada Berbagai Tingkat Salinitas dan Lama Masa Dekomposisi

Lama Masa Dekomposisi (Hari) Salinitas Ulangan

0 15 30 45 60 75 90 105

1 50 27,05 26,03 24,04 20,09 18,60 18,60 12,30

2 50 28,45 25,05 26,03 17,08 14,79 17,40 10,96

0-10 ppt

3 50 28,96 24,12 20,01 19,75 18,01 15,21 11,01

Total 150,00 84,46 75,20 70,08 56,92 51,40 51,21 34,27

Rata-rata 50,00 28,15 25,07 23,36 18,97 17,13 17,07 11,42

1 50 28,85 23,07 24,02 19,44 18,65 15,45 10,55

2 50 28,72 24,08 20,01 21,96 14,04 14,40 11,12

10-20 ppt

3 50 26,78 20,02 20,96 20,05 19,41 12,21 9,81

Total 150 84,35 67,17 64,99 61,45 52,1 42,06 31,48

Rata-rata 50,00 28,12 22,39 21,66 20,48 17,37 14,02 10,49

1 50 27,76 19,8 21,07 21,02 19,25 18,80 12,08

2 50 30,65 23,07 19,72 19,07 17,12 18,84 11,62

20-30 ppt

3 50 26,21 21,03 20,12 20,8 18,75 16,25 12,71

Total 150 84,62 63,9 60,91 60,89 55,12 53,89 36,41

Rata-rata 50,00 28,21 21,30 20,30 20,30 18,37 17,96 12,14

1 50 29,34 19,03 20,01 18,2 15,64 15,85 9,9

2 50 27,05 22,66 21,1 19,34 17,2 14,96 5,58

>30 ppt

3 50 32,31 21,25 19,22 18,9 16,78 12,27 7,27

Total 150 88,7 62,94 60,33 56,44 49,62 43,08 22,75


(2)

Lampiran 4. Rata-rata Laju Dekomposisi dan Lama Masa Serasah Terdapat di Lingkungan Pada Berbagai Tingkat Salinitas

Tingkat

Salinitas X0 Xt Xt/X0 Ln (Xt/X0) k (Tahun

-1

) Lama Masa Serasah Terdapat (tahun)

0-10 ppt 50 11,42 0,23 -1,48 5,13 0,19

10-20 ppt 50 10,49 0,21 -1,56 5,43 0,18

20-30 ppt 50 12,14 0,24 -1,42 4,92 0,20

>30 ppt 50 7,58 0,15 -1,89 6,56 0,15

Keterangan: X0 = bobot serasah awal (g)

Xt = bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g) Ln = logaritma natural

k = laju dekomposisi serasah t = waktu pengamatan (hari)


(3)

Lampiran 5. Kadar Karbohidrat (%) Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi Selama 15–105 Hari Tiap Ulangan di Lingkungan Pada Berbagai Tingkat Salinitas

Lama Masa Dekomposisi (Hari) Salinitas Ulangan

0 (Kontrol) 15 45 75 105 Total

1 11,729 12,045 17,706 15,236 13,645 70,361

2 11,729 11,553 15,502 20,594 13,846 73,224

0-10 ppt

3 11,729 16,822 17,241 19,281 13,871 78,944

Sub. Total 35,187 40,420 50,449 55,111 41,362 222,529

Rata-rata 11,729 13,473 16,816 18,370 13,787 14,835

1 11,729 11,978 13,900 12,600 13,430 63,637

2 11,729 10,946 14,030 10,730 18,125 65,560

10-20 ppt

3 11,729 13,333 13,600 14,840 22,530 76,032

Sub. Total 35,187 36,257 41,530 38,170 54,085 205,229

Rata-rata 11,729 12,086 13,843 12,723 18,028 13,682

1 11,729 11,852 10,390 15,049 13,425 62,445

2 11,729 10,420 11,970 14,065 19,669 67,853

20-30 ppt

3 11,729 12,142 10,830 15,535 19,029 69,265

Sub. Total 35,187 34,414 33,190 44,649 52,123 199,563

Rata-rata 11,729 11,471 11,063 14,883 17,374 13,304

1 11,729 11,770 9,340 14,967 13,353 61,159

2 11,729 10,904 8,830 14,944 17,498 63,905

>30 ppt

3 11,729 11,061 7,520 24,977 16,035 71,322

Sub. Total 35,187 33,735 25,690 54,888 46,886 196,386


(4)

Lampiran 6. Kadar Protein (%) Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi Selama 15–105 Hari Tiap Ulangan di Lingkungan Pada Berbagai Tingkat Salinitas

Lama Masa Dekomposisi (Hari) Salinitas Ulangan

0 (Kontrol) 15 45 75 105 Total

1 4,089 4,214 4,309 4,667 4,556 21,835

2 4,089 4,220 4,272 4,651 4,581 21,814

0-10 ppt

3 4,089 4,217 4,300 4,660 4,523 21,789

Sub. Total 12,268 12,652 12,881 13,977 13,661 65,439

Rata-rata 4,089 4,217 4,294 4,659 4,554 4,363

1 4,089 4,201 4,231 4,628 4,537 21,686

2 4,089 4,198 4,223 4,608 4,534 21,652

10-20 ppt

3 4,089 4,202 4,233 4,579 4,508 21,612

Sub. Total 12,268 12,601 12,687 13,816 13,579 64,950

Rata-rata 4,089 4,200 4,229 4,605 4,526 4,330

1 4,089 4,134 4,224 4,615 4,394 21,455

2 4,089 4,124 4,187 4,660 4,380 21,441

20-30 ppt

3 4,089 4,132 4,194 4,619 4,348 21,383

Sub. Total 12,268 12,390 12,604 13,894 13,123 64,278

Rata-rata 4,089 4,130 4,201 4,631 4,374 4,285

1 4,089 4,254 4,205 4,712 4,444 21,704

2 4,089 4,256 4,177 4,696 4,433 21,651

>30 ppt

3 4,089 4,243 4,166 4,681 4,448 21,627

Sub. Total 12,268 12,753 12,547 14,089 13,325 64,983


(5)

Lampiran 7. Data Analisis Sidik Ragam

a. Penentuan Kadar Karbohidrat (%) Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas

Ftabel

SK DB JK KT Fh

5% 1%

Perlakuan 19 460,486 24,236 5,001 ** 1,90 2,49

Tingkat Salinitas (S) 3 127,176 42,392 8,747 ** 2,84 4,31

Lama Masa Dekomposisi (T) 4 236,357 59,089 12,193 ** 2,61 3,83

Interaksi SxT 12 196,953 16,413 3,387 ** 2,00 2,66

Galat 40 193,854 4,846

Total 59 654,340

b. Penentuan Kadar Protein (%) Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas

Ftabel

SK DB JK KT Fh

5% 1%

Perlakuan 19 2,609 0,1373 610,292 ** 1,90 2,49

Tingkat Salinitas (S) 3 0,046 0,0153 68,148 ** 2,84 4,31

Lama Masa Dekomposisi (T) 4 2,490 0,6225 2766,667 ** 2,61 3,83

Interaksi SxT 12 0,073 0,0061 27,037 ** 2,00 2,66

Galat 40 0,009 0,0002

Total 59 2,618


(6)

Lampiran 8. Petak-petak Penempatan Kantong Berisi Serasah Daun A.

marina pada Berbagai Tingkat Salinitas (A). 0-10 ppt; (B).

10 - 20 ppt; (C). 20 - 30 ppt dan (D). >30 ppt

A. B.