Erupsi Obat Alergik

(1)

ERUPSI OBAT ALERGIK

OLEH

IMAM BUDI PUTRA

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN


(2)

ERUPSI OBAT ALERGIK

PENDAHULUAN

Obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk eksplorasi atau mengubah keadaan fisiologik atau patologik dengan tujuan mendatangkan keuntungan bagi si pemakai obat untuk diagnosis, terapi, maupun profilaksis.l

Konsekuensi penggunaan obat - obat baru untuk kepentingan diagnosis dan pengobatan penyakit adalah peningkatan insidens Reaksi Simpang Obat (RSO), yang

dapat menambah morbiditas dan bahkan mortalitas.2 Insidens RSO yang berat

mencapai 6,7% pada pasien rawat inap, dan yang fatal mencapai 0,32 %.3 Sedangkan Pada pasien rawat jalan insidensnya diperkirakan 15 - 30% pernah mengalami RSO.2

Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan dari respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya.5 ROA merupakan masalah utama yang dapat timbul akibat pemberian obat.4,5,6 ROA terjadi pada 6 - l0 % kasus

RSO.4 Reaksi yang terjadi dapat ringan sampai berat hingga mengancam jiwa. RSO

dapat bermanifestasi pada organ - organ dalam atau kulit dan mukosa. RSO yang bermanifestasi pada kulit dan mukosa disebut erupsi obat. Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Erupsi obat dengan mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik (EOA).1

Erupsi Obat yang terjadi pada Kulit (Erupsi Obat Alergik : EOA) merupakan manifestasi tersering dari ROA.7,8 Satu macam erupsi dapat disebabkan oleh berbagai macam obat, sedangkan satu macam obat dapat menimbulkan berbagai macam erupsi.7


(3)

Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respons terhadap obat yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis normal pada penggunaan sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk

modifikasi fungsi fisiologis.9 Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2

kelompok yaitu tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi, bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat terjadi pada tiap individu.3,4,10 Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus-kasus RSO.11 Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak lazim terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering tidak berhubungan dengan farmakologi obat, serta hanya terjadi pada individu yang rentan.3,4,7,10 Reaksi ini meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi (hipersensitivitas), dan pseudoalergi.3,4,10 Sekitar 25 - 30% reaksi tipe B merupakan reaksi obat alergik.l2

Belakangan ditambahkan dua tipe reaksi, yaitu reaksi yang berhubungan dengan dosis dan waktu (tipe C) dan reaksi lambat (tipe D).9,10 Reaksi tipe C tidak

Iazim terjadi, dan berhubungan dengan dosis kumulatif,9 misalnya pada

ketergantungan benzodiazepin, nefropati analgetikl0 serta penekanan aksis

hypothalamic - pituitary - adrenal oleh kortikosteroid.9 Tipe D dapat dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan dengan waktu (yang kemudian disebut sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E).9 Reaksi tipe D tidak lazim terjadi, biasanya berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau kadang - kadang terlihat setelah

penggunaan obat, misalnya efek karsinogenik dan teratogenik dari obat. 9,l0

Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim terjadi, dan timbul segera setelah penghentian

obat, misalnya pada opiate withdrawal syndrome. Baru - baru ini ditambahkan

kategori tipe yang keenam (tipe F), yaitu kegagalan terapi yang tidak diharapkan. Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis, dan seringkali disebabkan oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis kontrasepsi oral yang tidak adekuat, khususnya pada pemakaian penginduksi enzim spesifik.9


(4)

ROA merupakan bagian dari RSO (reaksi tipe B).3 ROA memiliki beberapa karakteristik klinis tertentu, yaitu :

1. Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.3,4 2. Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.3,4,7 3. umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.3,4

4. Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh di bawah

kisaran dosis terapeutik.3,7

5. Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan proses

alergi.3

6. Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.3

FAKTOR RISIKO REAKSI OBAT ALERGIK

Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat, yaitu faktor yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan pajanan obat), serta faktor yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik, reaksi obat sebelumnya, penyakit dan pengobatan medis yang menyertai).2

Sifat obat

Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum, kimopapain, streptokinase, L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen kompleks yang potensial untuk menyebabkan sensitisasi pada pasien.2-5Obat- obatan dengan berat molekul dibawah 1000 dalton merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik.2,13

Pajanan obat

Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk tersenstisasi, sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil untuk tersensitiasi. Aplikasi topikal menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat.4,14 Pemberian parenteral, misalnya pada pemberian oral.4,15,16 Pemberian oral atau nasal menstimulasi produksi imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang – kadang IgM.4,15


(5)

Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan respons imunologik spesifik obat. pada lupus eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya pengobatan hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia hemolitik yang diinduksi penisilin.2,4

Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi dibandingkan dengan pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi.4 Frekuensi pemberian obat dapat berdampak sensitisasi. Kerapnya pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval pengobatan makin lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.2,4

Usia

Umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat dibandingkan dengan dewasa, walaupun demikian ROA yang serius dapat juga terjadi pada anak - anak.2,4 Bayi dan usia lanjut jarang mengalami alergi obat, dan kalaupun terjadi lebih ringan, hal tersebut dikaitkan dengan irnaturitas atau involusi sistem imun.4 Ruam yang terjadi akibat infeksi virus pada anak - anak dapat dikelirukan dengan anggapan bahwa hal tersebut terjadi akibat pemberian antibiotika sebagai pengobatan.2

Genetik

ROA hanya terjadi pada sebagian kecil pasien yang mendapat pengobatan. Banyak faktor, baik genetik dan lingkungan, yang dapat berperan untuk berkembangnya suatu reaksi alergi.17

Proses asetilasi diperlukan untuk metabolisme beberapa obat, misalnya sulfonamid, INH, dapson, hidralazin, prokainamid, klonazepan. Asetiase obat-obatan tersebut dikatalisis oleh enzim N-asetiliransferase(N AT). Fenotipe utama yang telah diketahui adalah asetilator lambat dan asetilator cepat.17 Pasien yang secara genetik merupakana setilator lambat lebih berpeluang berkembang menjadi LE yang diinduksi obat, sehubungan dengan pemberian hidralizin2,17 dan prokainamid.17 ROA terhadap sulfonamid dapat lebih berat di antara asetilator lambat. Penurunan kapasitas N-acetilating merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya EOA yang serius. Kapasitas N-acetilating yang rendah mengakibatkan peningkatan konsentrasi tertentu


(6)

obat dalam seru dan penurunan detoksifikasi, hal ini terlihat pada pasien sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan nekrosis epidermal toksik (NET).17

Gen FILA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat. Kerentanan terhadap terjadinya nefropati yang diinduksi obat pada pasien dengan rematoida rtitis yang diobati dengang arame masa taup enisilinb erhubungand engan fenotipe HLA - DRw3 dan HLA-88. Selain itu, gen HLA spesifik juga dihubungkan dengan I-E yang diinduksi hidrazalin, agranulositosis yang diinduksi levamisol, dan NET yang diinduksi sulfonarnid.2,4

Kemungkinan alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu dewasa yang orangtuanya rentan terhadap reaksi alergi terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap agen antimikrobial ; sedangkan individu dengan orangtua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7% mengalami reaksi alergi.2,4

Reaksi obat sebelumnya

Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat sebelumnya. Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu tidak terbatas. Telah diketahui bahwa setelah reaksi alergi terhadap fenisilin, waktu paruh antibodi IgE antipenisiloil dalam serum berkisar 55 hari hingga jangka waktu lebih dari 2000 hari.2

Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi, misalnya antara berbagai kelompok sulfonamid. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi untuk terjadinya sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi terhadap antimikroba non-β-laktam. Limapuluh tujuh persen bereaksi silang dengan sulfonamid. Reaksinya tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat.2

Penyakit medis yang menyertai

Anak - anak dengan fibrosis kistik lebih mudah mengalarni ROA terutama selama desensitisasi obat. Ruam makulopapular setelah pemberian ampisilin terjadi lebih sering selama infeksi virus Epstein-Barr dan di antara pasien dengan leukemia


(7)

limfatik.12 Pasien-pasien dengan HIV memiliki peningkatan risiko ROA.12 Defisiensi imunitas dikaitkan dengan peningkatan frekuensi ROA. Pasien dalam keadaan tertekan sistem imunnya mengalami defisiensi limfosit T supresor yang mengatur sintesis antibodi IgE.2

Pengobatan medis yang menyertai

Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi terhadap obat.2

IMUNOPATOGENESIS

Untuk memudahkan pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat alergik dilakukan klasifikasi secara imunopatogenesis, yaitu :

1. Reaksi yang diperantarai oleh antibodi : a. IgE : eritema, urtikaria, angioedema.

b. IgG : purpura (vaskulitis), erupsi morbiliformis. 2. Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas

3. Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik

a. Eksantema fikstum

b. Eritema multifomis (sindrom Stevens-Johnson) c. Nekrolisis epidermal toksik

4. Reaksi tersangka alergi : reaksi Jarisch- Herxheimer.1 Aspek imnunopatogensisnya adalah:

A.Metabolisme Obat dan Hipotesis Hapten

Suatu subtansi dikatakan merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik bila berat molekul kurang dari 4000 Dalton.2 Sebagian besar obat-obatan merupakan senyawa kimia organik sederhana dengan berat molekul rendah, biasanya kurang dari 1000 Dalton, sehingga merupakan imunogen lemah atau bahkan tidak imunogenik.2,5,14 Obat-obatan dengan berat molekul rendah dapat menjadi imunogenik bila obat atau metabolit obat berikatan dengan karier makromolekul, seringkali melalui ikatan kovalen, membentuk kompleks hapten-karier, sehingga


(8)

pengolahan antigen menjadi efektif.2,5 Untungnya, sebagian besar obat merupakan

molekul yang stabil15 dan memiliki sedikit kemampuan atau tidak mampu (tidak

cukup reaktif) membentuk ikatan kovalen dengan komponen jaringan.14,15 Hal ini

menerangkan rendahnya insidens alergi obat.2 Ternyata terdapat beberapa obat

dengan BM rendah (misalnya polimiksin), yang bersifat irnunogenik tanpa konjugasi dengan jaringan. Meski mekanisme yang pasti belum diketahui, imunogenesitas suatu obat mungkin berhubungan dengan kemampuan obat membentuk polimer rantai panjang.16. Sedangkan obat-obatan dengan berat molekul tinggi merupakan antigen lengkap yang dapat menginduksi respons imun dan memicu reaksi hipersensitivitas.2 Kecenderungan obat tertentu untuk menimbulkan sensitisasi adalah karena obat tersebut memang cenderung membentuk metabolit yang sangat reaktif.2

Pemahaman baru tentang pengenalan obat oleh sistem imun berdasarkan pada model hapten. Potensi obat untuk menjadi alergenik sangat bergantung pada struktur

kimia obat.2,5 Peningkatan ukuran molekul dan kompleksitas berhubungan dengan

peningkatan kemampuan untuk memicu respons imun.2,15

Umumnya obat - obatan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas harus

mengalami bioaktivasi atau metabolisme menjadi produk kimia yang reaktif.3,7

β-laktam ; yang secara spontan terbuka membentuk kelompok penisiloil yang mengikat protein secara kovalen, membentuk kompleks hapten - karier. Kesiapan β - laktam untuk mengikat protein secara kovalen inilah yang merupakan alasan seringnya kejadian alergi yang diinduksi obat- obatan dari kelompok ini.5,6 P enelitian lain pada IgE dan IgG manusia terhadap sulfonamid menunjukkan bahwa determinan sulfamidoil merupakan determinan sulfonamid yang utama.2

Umumnya metabolisme obat dianggap sebagai proses detoksifikasi, obat yang sebelumnya nonpolar dan larut lemak menjadi lebih polar dan hidrofilik sehingga mudah dieksresi.3,7,8,18 Jika metabolit tidak mengalami detoksifikasi yang adekuat, dapat menyebabkan toksisitas langsung pada sel atau hipersensitivitas yang diperantarai imun.3,7

Metabolisme obat dibagi menjadi 2 langkah, yaitu reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I adalah oksidasi - reduksi atau reaksi hidrolisis, dan reaksi fase II


(9)

adalah reaksi konjugasi3,7,8 yang menghasilkan pembentukan senyawa inaktif yang mudah dliekskresi.3,7 Reaksi oksidasi membutuhkan berbagai isoezim sitokrom P450, monooksigenase yang mengandung flavin, prostaglandin sintetase, dan bermacam-macam peroksidase jaringan. Reaksi fase II diperantarai oleh berbagai enzim antara lain epoksida hidrolase, glutation S-transferase (ST), dan NAT.7,8,18,19 Pada umumnya metabolit reaktif yang dibentuk pada fase I seringkali mengalami detoksifikasi dan eliminasi secara cepat. Metabolit reaktif obat yang tidak didetoksifikasi dapat mengikat protein atau asam nukleat, sehingga menyebabkan nekrosis sel atau menyebabkan perubahan produk gen. Reaksi tersebut merupakan efek toksik langsung. Hal ini terjadi pada metabolit reaktif sulfonamid.3,7 Kemungkinan lain, metabolit reaktif dapat bertindak sebagai hapten yang terikat secara kovalen dengan makromolekul3,7 yaitu protein, atau membran permukaan se1.3 Pengikatan tersebut

membentuk imunogen besar dan multivalen yang dapat menginisiasi respon imun.3

Respon imun dapat langsung terhadap obat atau rnetabolitnya, tapi juga terhadap determinan antigen baru (neoantigen) yang terbentuk melalui kombinasi obat dengan protein 7,16, misalnya trombositopelia karena kuinin, terbcntuk antibodi IgG yang spcsifik untuk kuinin yang terikat pada permukaan trombosit.16 Kemungkinan lain, ikatan antara obat dan protein jaringan (komponen jaringan lain) dapat mengubah temat pengikatan obat pada molekul protein jauh dari tempat pengikatan yang sesungguhnya. Perubahan pada protein jaringan ini kemudian dapat dikenali sebagai

benda asing oleh sistem imun. Mekanisme ini terjadi pada drug-induced

autoimmunity. Contoh yang baik untuk fenomenai ni adalah sindrom lupus eritematosus sistemik yang diinduksi hidralazin.16

Antigen harus memiliki multipel combining site (multivalen) sehingga dapat memicu reaksi hipersensitivitas. Hal ini menyebabkan bridging molekul antibodi IgE dan lgG atau reseptor antigen pada limfosit. Konjugasi obat atau metabolitnya (hapten) dengan karier makromolekul membentuk hapten-karier yang multivalen penting untuk insiasi respon imun dan elisitasi reaksi hipersensitivitas. Ligan yang univalen (obat atau metabolitnya) dalam jumlah besar dapat menghambat respon


(10)

imun melalui kompetisi dengan konjugat multivalen pada reseptor yang sama, oleh karena itu konsentrasi menentukan frekuensi, beratnya dan angka kejadian ROA.2

Kulit merupakan organ yang aktif bermetaboisme, m engandung enzim untuk memetabolisme obat baik fase I dan II.7,8 Isoenzim sitokrom P 450 multipl berada dikulit.8 Netrofil, monosit, dan keratinosit memiliki enzim yang potensial dapat

mengoksidasi obat menjadi metabolit reaktif.s Kulit juga merupakan organ

imunologis yang mengandung sel Langerhans dan sel dendritik pada patogenesis ROA. Kombinasi aktivitas metabolik dan mungkin dapat menerangkan mengapa kulit merupakan organ tersering mengalami ROA.7,8

B. Pengenolan Obat Oleh Sel T

Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya melalui molekul major histocornpatibitityc ontpelx( MHC). Secarau muln, antigel eksogen misalnya protein ditangkap oleh antigen presenting cell (APC), diproses melalui perencanaan enzimatik menjadi peptida kecil, yang kemudian dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+. Sedangkan peptida pendek dari antigen endogen dipresentasikan molekul MHC kelas I kepada se T CDB8+. Sel T tidak hanya mengenal suatu peptida tetapi juga antigen nonpeptida baik alami atau sintetik, antara lain lemak, fenil-pirofosfat, glukosa, logam, atau obat obatan yang dipresentasikan melalui MHC atau molekul sepert MHC kepada sel T.5

Mekanisme imunologik erupsi obat yang terpenting adalah presentasi obat oleh APC, yaitu sel dedritik termasuk sel Langerhans kulit, kepada limfosit T. Hal tersebut merupakan interaksi yang kompleks antara ikatan haptenated peptide pada molekul MHC pada APC dan reseptor sel T. Pengikatan ini dimodulasi oleh beberapa faktor termasuk sitokin, haptenated peptide itu sendiri dan molekul adhesi antara sel T dan APC.8

Beberapa kemungkinan presentasi obat oleh APC telah dikemukakan sebagai berikut :


(11)

Kebanyakan obat didetoksifikasi itraseluler melalui isoenzim sitokrom P450. Metabolisme obat melibatkan reaktive intermediate yang dapat mengikat protein secara langsung. Jalan ini dialami sufametoksasol, dimana metabolit reaktif yang terbentuk (hidroksilamin dan nitroso supranetoksasol) mengikat protein secara kovalen.

b. Aktivasi ekstraseluler

Aktivasi ekstraseluler dapat terjadi secara spontan atau melalui metabolisme dependent myeloperoksidase. Reaktive intermediate dapat mengikat secara langsung kompleks peptida - MHC atau mengikat protein ekstraseluler. Ikatan protein obat tersebut akan ditangkap APC dan diolah menjadi peptida - obat, yang kemudian dipresentasikan molekul MHC pada permukaan.

c. Tidak ada aktivasi

Jalan ini melibatkan pengikatan obat secara langsung, dan agak labil kepada kompleks peptida - MHC. Obat ini dapat mengikat MHC, peptida atau keduanya. Tidak dibutuhkan pengikatan dengan protein sebelumnya, ambilan (uptake) maupun pengolahan, serta metabolisme untuk presentasi.5

Diferensiasi subset Th bergantung pada konsentrasi antigen, sifat APC, dan faktor lingkungan mikro (misalnya hormon). Keberasaan IL-4 menyebabkan polarisasi kuat kearah fenotipe Th2, sedangkan diferensiasi Th1 diinduksi oleh IFN-γ atau TGF - β, terutama tanpa keberadaaan IL-4. Th2 menstimulasi produksi sel mast, eosinofil dan antibodi IgE. IL-4 bertanggung jawab pada produksi IgE, IL-5 untuk eosinofilia, dan kombinasi IL-3, IL-4, dan IL-10 untuk produksi sel mast. Sedangkan sitokin yang dihasilkan Th1 memperantarari respons imun yang berbeda- beda. Aktivasi makrofag oleh IFN-γ, dan lebih luas lagi oleh TNF dan granulocyte macrophage colony stimulating factor. Th1, tetapi bukan Th2, juga mempreantarai respons imflamasi seluler kompleks yang dikenal sebagai hipersensitivitas tipe lambat, dan dengan sekresi IFNγ dan TNF, juga berefek sitotoksik langsung ke berbagai tipe sel. Jadi, tiap subset Th menginduksi dan meregulasi kumpulan fungsi efektor yang saling berkaitan yang bekerja pada antigen dan patogen yang spesifik.20


(12)

Zanni melaporkan adanya klon sel T spesifik obat. Mayoritas klon sel T tersebut mengekspresikan reseptor sel T tipe αβ, sebagian kecil mengekpresikan reseptor tipe γδ, seperti ada sel T yang mengenali lidokain. Pola produksi sitokin oleh klon sel T yang spesifik untuk obat adalah bermacam - macam. Klon yang spesifik untuk benzil penisilin terutama menghasilkan pola menyerupai Th1 dengan produksi IL-2 dan IFN-γ yang tinggi. Klon yang spesifik untuk sulfametoksasool dan

lidokain memperlihatkan campuran fenotip ThO dan Th2.5 Aktiviasi Thl

menyebabkan produksi sitokin sepertiI L-2 dan IFN-γ, yang mengakibatkan aktivasi sel T sitotoksik, serta menyebabkan reaksi seperti dermatitis kontak, eksim obat, NET, atau erupsi mortibiliformis. Aktivasi Th2 menyebabkan produksi IL-4, IL-5, IL-13, dan produksi antibodi IgE yang mengakibatkan reaksi klinis seperti urtikaria anafilaksis.8

C. Klasifikasi Realesi Alergik

Reaksi Alergik dibagi dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas oleh Coombs dan Gell yaitu tipe I, reaksi hipersensitivitas cepat (tipe I), reaksi sitotoksik (tipe II), reaksi komplek imun (tipe III), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV). Reaksi tipe I - III diperantarai oleh antibodi spesifik obat, sementara reaksi tipe IV oleh limfosit T spesifik obat. ROA pada beberapa keadaan dapat sesuai dengan salah satu dari keempat tipe tersebut, namun pada umumnya sulit untuk mengklasifikasikan ROA ini ke dalam sistem Coombs dan Gell, karena mekanisme yang bertanggung jawab untuk elisitasi belum diketahui.3,7

Tipe I

Tipe I terjadi jika obat atau metabolitnya mengikat sekurang - kurangnya 2 rnolekul IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil12,15, mengakibatkan degranulasi serta pelepasan histamin dan berbagai mediator lain (misal leukotrien dan prostaglandin) dari sel.15 Gambaran klinis yang khas tipe I adalah urtikaria dengan atau tanpa angioederma. P enisilin merupakan penyebab utama erupsi obat yang IgE dependent.l5


(13)

Tipe II terjadi jika antibodi IgG atau IgM mengikat antigen di permukaan sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai komplemen.15 reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme ; pertama, obat terikat secara kovalen pada membran sel dan antibodi kemudian mengikat obat dan mengaktivasi komplemen (misalnya penisilin); kedua kompleks obat-antibodi yang terbentuk, terikat pada permukaan sel dan mengaktivasi komplemen (rnisalnya sefalosporin); ketiga obat yang terikat pada permukaan sel menginduksi respons imun yang mengikat langsung antigen spesifik jaringan (misalnya α-methyl-dopa).14,21 Antibodi yang tebentuk mengaktifkan sel K yang mempunyai reseptor Fc sebagai

efektor antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Selanjutnya ikatan antigen antibodi mengaktifkan komplemen melalui reseptor C3b sehingga memudahkan fagositosis dan menimbulkan lisis. Sedormid (sedatif) dapat mengikat trombosit dan imunoglobulin yang terbentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit (trombositopenia) dan menimbulkan pulpura. Kloramfenikol dapat mengikat sel darah putih, mengakibatkan agranulositosis. Fenasetin, klorpromazin, penisilin, kina, dan sulfonamid dapat mengikat sel darah merah, mengakibatkan anemia hemalitik. Kerusakan sel dapat terjadi oleh karena sitolisis melalui komplemen atau fagositosis melalui reseptor untuk Fc atau C3b.22

Tipe III

Tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibodi IgG atau IgM) dalam sirkulasi yang dideposit dalam jaringan. Komplemen teraktivasi melepas macrophage chermotatic factor. Makrofag dikerahkan ketempat tersebut melepas enzim yang dapat merusak jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil rnelepas granul. Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di jaringan.22

Mekanisme tipe III diduga terlibat pada banyak erupsi obat, meliputi urtikaria, vaskulitis dan eritema multiforme. Lesi urtikaria dapal juga terlihat pada awal reaksi semm sickness diikuti demam, limfadenopati, dan artralgia. Reaksi ini berhubungan


(14)

dengan kompleks imun dalam sirkulasi terdiri atas antibodi IgG dan obat, yang mengaktifkan kaskade komplemen, menyebabkan pembentukan anafilatoksin (C3a, C5a). Selanjutnya terjadi pelepasan histamin dan mediator lain dari sel mas dan basofil. Reaksi ini lebih sering disebabkan oleh sulfonamid dan penisilin. Pada vaskulitis yang diinduksi obat, reaksi disangka disebabkan oleh deposit kompleks imun obat dan IgG pada endotel pembuluh kulit kecil yang menyebabkan peradangan yang diperantarai komplemen. Pada eritema multiforme, peradangan yang diperantarai kompleks imun mungkin berperan atau metabolisme yang diperantarai IgE yang bertanggung jawab, melibatkan elemen reaksi fase lambat.17

Tipe IV

Imunoglobulin tidak terlibat pada reaksi tipe ini. APC (misal sel Langerhans), mempresentasikam antigen kepada limfosit. Limfosit T yang sudah tersensitisasi mengenali antigen dan menyebabkan pembebasan serangkaian limfokin, antara lain marcrophage inhibilition factor dan macrophage activation factor. Makrofag yang

diaktifikan dapat menimbulkan kerusakan jaringan.15,22 Contoh klasik adalah

dermatitis kontak alergik.15

Erupsi eksematosa, eritrodermik, dan fotoalergik merupakan reaksi tipe IV. Reaksi tipe ini melibatkan limfosit efaktor yang spesifik yang juga terlibat pada purpura, sindrom Lyell’s, bulosa, likhenoid, dan erupsi obat yang menyerupai lupus. Mekanisme tipe IV bersama-sama tipe III terlibat pada erupsi makulo-papular, fixed drug emption, dan eritema nodosum.15

Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri sendiri, namun dapat bersama sama. Limfosit T berperan pada inisiasi respons antibodi, dan antibodi bekerja sebagai essensial link pada beberapa reaksi yang diperantarai sel, misalnya

ADCC.15

MANIFESTASI KLINIS

Beberapa gambaran karakteristik ke arah dugaan adanya erupsi obat alergik adalah :


(15)

Pada penggunaan obat pertama kali, waktu reaksi berkisar antara 8 – 9 hari.

2. Manifestasi erupsi obat tidak bergantung pada kegunaan farmakologik dan

kimiawi obat tersebut.

3. Jumlah obat yang sangat sedikit dapat memacu reaksi yang berat meskipun obat

tersebut telah dipakai dalam jangka waktu lama.

4. Obat yang sama dapat menyebabkan reaksi yang berbeda pada orang yang sama

padar vaktu yang berlainan; sebaliknya berbagai obat dapat menyebabkan reaksi atau manifestasi klinis yang sama.

ROA dapat mengenai setiap organ, seperti darah, pulmo, hepar, dan renal, tetapi yang tersering mengenai kulit (EOA).7 Manifestasi EOA yang tersering (erupsi morbiliformis, urtikaria / angioedema, fixed drug eruption), yang terberat (sindroma Stevens – Jhonson, nekrosis epidennal toksik), serta beberapa manifestasi lain berupa dermatitis kontak alergik, dermatitis eksfoliative, purpura, vaskulitis, reaksi fotoalergik dan eritenta nodosum.

1. Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis

Erupsi makulopapular atau morbilifonnis merupakan EOA yang tersering dan dapat diinduksi oleh hampir semua obat.7,15 Seringkali erupsi ini generalisata dan simetris, dan dapat terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar di wajah, telapak tangan dan kaki. Membran mukosa tidak terkena.15 Lesi biasanya mucul dalam 1 – 2 minggu setelah inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul obat dihentikan. Lesi diikuti pruritus, demam, edema fasial / kelopak mata, malaise, dan nyeri sendi, dan biasanya hilang dalam beberapa hari sampai minggu setelah obat dihentikan. Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat, namun sangat jarang terjadi. Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi eritoderma atau dermatitis eksfoliativa dengan melanjutkan terapi.7 Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata akut (PEGA) yang ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul mendadak diikuti malaise dan demam tinggi. Lesi kulit bempa vesikopapula, pustul, dan bula yang terjadi harnpir diseluruh tubuh. Mernbran mukosa jarang terlibat. Gambaran klinis menyerupai psoriasis pustular.15


(16)

Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum diketahui dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme, yaitu mekanisme reaksi tipe III dan tipe IV.15 Reaksi ini terjadi setelah beberapa hari pemberian obat dan tidak terjadi setelah pemberian dosis pertama, hal ini menunjtrkkan perlunya periode sensitisasi sebelum reaksi terjadi. Beberapa erupsi makulopapular diperantarai oleh sel T. Baru-baru ini dilaporkan keterlibatan sel T CD8+ dalam mekanisme terjadinya erupsi obat morbiliformis dan bulosa. Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi obat dihasilkan dari bioaktivasi obat menjadi intemediate reaktif. Intemediate reaktif itraseluler ini mengikat protein sitoplasma secara kovalen, kemudian dipresentasikan oleh MHC kelas I kepada sel T

CD8+.7

Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin,

NSAID, sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol4,7, tetrasiklin, eritromisis,

fenobarbital, dan bahkan retinoid.12 Penyebab utama adalah antibiotika β laktam, dan

arti epilepsi.12 Harus diingat bahwa tidak semua eksantem morbiliformis atau

makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi tertentu khususnya virus dapat menginduksi eksatem yang sukar dibedakan dengan yang diinduksi oleh obat.7 Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan dengan penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin.8

2. Urtikuria / angioedema

Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua.7,15 Lesi pada urtikaria berupa edema yang eritem atau pucat dan seringkali gatal. Lesi urtika biasanya hilang dalam beberapa jam15, jarang lebih dari 24 jam7,14 dan secara serentak muncul lesi urtika yang baru pada tempat yang lain.15 Ukuran lesi urtika bervariasi antara beberapa milimeter hingga 10 – 20 cm. Urtikaria yang diinduksi obat seringkali diikuti demam dan gejala umum lain berupa malaise, vertigo, dan sakit kepala.15

Angioedema terjadi bila pembengkakan juga terjadi pada dermis dalam dan


(17)

tertentu saja. Edema biasanya simetris. Daerah predileksi adalah bibir, kelopak mata, gentalia eksterna, dan punggung tangan dan kaki. Edema pada laring dan lidah merupakan reaksi edema yang paling berat dan tanpa pertolongan pertama dapat menqakibatkan kematian.15

Urtikaria selain diperantarai reaksi tipe I, juga dapat merupakan bagian tipe III.7 Mekanisme terjadinya urtikaria diperantarai IgE, dan juga melalui pembentukan kompeks imun.14 Penyebab tersering urtikaria adalah penisillin, asam asetisalisilat,

dan NSAID lain.15 Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa antibiotika β-laktam

(melalui mekanisme alergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus, dan NSAID (melalui mekanisme pseudoalergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus lainnya dari reaksi urtikaria yang diinduksi obat.2

3. Flued Drug Eruption (FDE)

FDE adalah satu-satunya EOA yang melulu diprovokasi oleh obat atau bahan kimia. Tidak ada faktor etiologi lain yang dapat mengelisitasi.7,15 FDE merupakan

EOA tersering ketiga.15 Gambaran FDE berupa makula merah atau coklat berbatas

tegas, dan kadang-kadang bula (pada kasus yang berat), dengan predileksi di bagian distal tubuh (tangan, kaki, genitalia), tetapi dapat pula lebih sentral.7,15 Ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter hingga sentimeter. Lesi biasanya tidak gatal tapi dapat memberikan sensasi panas saat lesi timbul.15 Dengan pemberian obat inisial, lesi soliter dapat terbentuk. Pada pemberian ulang obat penyebab, lesi terjadi tidak hanya pada lokasi biasanya, tapi juga pada tempat lain.7

Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV.15 Terclapat peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor. Limfosit T helper / sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan keratinosit yang nekrotik. Limfosit T yang menetap di lesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang sama. Ditemukannya keratinosit pada tesi kulit FDE menunjukkan peningkatan ICAM 1 (yang terlibat dalam interaksi antara keratinosit dan limfosit) dan FILA-DR. Peningkatan ekspresi ICAM-1 menjelaskan migrasi


(18)

limfosit T ke epidermis.7,8 Beberapa obat penyebab FDE adalah sulfonamid, tetrasiklin, barbiturat, fenazon,t funitoin, trimetoprin,7,15 dan analgesik.7,12,15

4. Erythema multiforme (EM), sindroma Stevens-Jhonson (SSJ), nekrolisis epidermal toksik (NET)

EM, SSJ; dan NET merupakan EOA yang paling berat. Kriteria diagnostik spesifik untuk penyakit-penyakit ini masih kontroversial. Banyak klinisi menyatakan bahwa SSJ dan NET merupakan spektrum EM dengan berat penyakit yang berbeda. Bastuju-Garin mengklasifikasikan kedua penyakit ini memiliki keterlibatan mukosa, lesi bulosa, dan epidermolisis. Epidermolisis pada SSJ biasanya dibawah 10 % luas permukaan badan (LPB), sedangkan pada NET lebih besar dari 30% LPB. NET

berturnpang-tindih dengan SSJ bila epidermolisis mencapai 10 – 30% LPB.6,12

Gambaran klinis lain yang dapat dipakai untuk membedakan penyakit ini adalah karakteristik dan distribusi lesi kulit serta gejala dan tanda yang berhubungan.7

EM merupakan erupsi polimorfik eritematosa, sesuai dengan namanya. Lesi klasik berupa lesi target (iris) yang dominan di ekstremitas,4,7,23 lesi tipe lain berupa makula, papul, vesikel, dan bula.7,23 Letak lesi simetris dan membran mukosa dapat terlibat, dapat pula tidak.7 Obat merupakan penyebab EM pada 10 – 20% kasus,4,7

sisanya disebabkan oleh infeksi dan penyakit lain.7 Delapan puluh persen EM

diklasifikasikan sebagai “minor”, karena kebanyakan kasus EM ringan, swasirna, dan melibatkan permukaan mukosa tidak lebih dari satu. Selebihnya sebanyak 20 % lebih luas dan lebih berat.7

SSJ merupakan EM mayor, dengan gambaran khas berupa stomatitis erosif, keterlibatan okular berat, serta erupsi kulit yang luas berupa makula merah tua

seringkali nekrotik.7 Roujeau dan Stem menyatakan bahwa EM mayor dan SSJ

merupakan penyakit yang berbeda dengan beberapa alasan. Kira - kira 50 % kasus SSJ diinduksi obat, sedangkan EM mayor berupa lesi target dengan sedikit bula, sementara pada SSJ terdapat bula yang tersebar luas dan terjadi diatas makula keunguan atau pada target datar atipik. Lesi EM mayor terutama pada ekstremitas, sedangkan lesi SSJ terutama meliputi badan dan wajah.7,13


(19)

Jika SSJ berlanjut, dapat berkembang menjadi bentuk yang lebih berat yaitu NET. Terdapat banyak tumpang tindih antara kedua sindrom ini, dan obat yang sama dapat menginduksi keduanya. Lebih dari 80 % NET diinduksi oleh obat. NET disertai periode prodromal berupa demam, rhinitis, konjungtivitis, yang bertahan beberapa hari hingga minggu, selanjutnya lesi kulit berkembang cepat, biasanya dalam 3 hari. Awalnya, pasien merasakan seperti terbakar atau nyeri pada lesi makulopapular, urtikaria, atau erupsi seperti EM yang dengan cepat berkonfluensi. Bula dan pengelupasan kulit pada area yang luas mengakibatkan tanda Nikolsky positif.

SSJ merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap makromolekul obat atau virus. Sistem imun mengenali kompleks obat- sel sebagai benda asing dan menolak kompleks tersebut. Jadi SSJ dianggap sebagai reaksi host-versus-host melibatkan kulit, rnembran, mukosa, dan visera.23

Paul dkk menemukan adanya keratinosit yang mengalami apoptosis di epidermis lima pasien NET atau NET yang tumpang tindih dengan SSJ. Mereka menyatakan belum dapat menentukan stimulus yang bertanggung jawab atas terjadinya apoptosis yang luas, namun mereka memberikan hipotesis bahwa mekanisme imun terlibat dengan beberapa alasan ; yaitu ditemukannya dominasi limfosit T CD8+ dan makrofag di epidermis serta jumlah TNF yang berlebihan di epidermis pasien NET. TNF dan limfosit T sitotoksik diketahui menginduksi apoptosis pada sel target.7,12 Peneliti lain menyebutkan bahwa protein like FAS antigen (CD 95) dan p55 TNF-α reseptor menginduksi apoptosis keratinosit.15

Beberapa obat lebih banyak menyebabkan SSJ, dan obat yang lainnya menyebabkan NET, seringkali jenis obat yang sama menginduksi kedua reaksi

tersebut.7 Lebih dari 80 % kasus NET diinduksi oleh obat yang juga dapat

menginduksi SSJ. Banyak obat yang menjadi penyebab sindrom ini, yang tersering adalah sulfonamid, antikonvulsan aromatik, beberapa NSAID dan alopurinol yang

bertaggung jawab pada 2/3 kasus SSJ.4,7 Aminopenisillin dan klormenazon juga

dilaporkan sebagai penyebab tersering.7


(20)

Gambaran klinis DKA karena obat sama dengan DKA yang ditimbulkan olel penyebab lain. DKA yang diinduksi obat disebabkan pemberian obat topikal. Setelah sensitisasi topikal, dermatitis kontak dapat dielisitasi oleh aplikasi topikal berikutnya.2 DKA merupakan reaksi alergi tipe IV.l2

Beberapa penyebab umum tersering DKA adalah neomisin, benzokain, etilendiamin. Penyebab lain yang kurang sering adalah paraben ester, thirmerasol, antihistamin, basitrasin ; serta tabir surya dan kortikosteroid topikal merupakan penyebab yang jarang.2

6. Dermatitis Eksfoliativa (DE)

DE juga dikenal sebagaie ritroderma. DE biasanya muncul dalam beberapa minggu atau bahkan beberapa hari setelah penggunaan obat.15 Erupsi berupa eritema diseluruh tubuh diikuti deskuamasi terutama pada telapak tangan dan kaki.8,15 Proses dapat berlanjut beberapa minggu atau bulan setelah penghentian obat. Mekanisme yang pasti belum diketahui,8 diduga melalui mekanisme tipe IV.15 DE dapat berasal

dari erupsi eksantematosa jik aobat penyebab masih dilanjutkan.2,15 DE selain

diinduksi obat, juga dapat merupakan perluasan penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya, atau berkaitan dengan limfoma, leukemia, dan keganasan lainnya. Banyak obat yang dapat menjadi penyebab DE, namun yang paling sering adalah sulfonamid, penisilin, barbiturat, karbamazepin, fenitoin, fenibutason, allopurinol, dan garam emas.2

7. Purpura

Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat, atau mungkin berhubungan dengan erupsi berat lain, misalnya EM. Erupsi biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, dan pergelangan kaki atau tungkai bagian bawah, dengan penyebar keatas. Erupsi terdiri atas makula atau bercak kecil berbatas tegas berwarna merah kecoklatan yang tidak hilang dengan penekanan, dan seringkali gagal.2

Purpura karena hipersensitivitas obat dapat diakibatkan oleh


(21)

kompleks antigen antibodi dengan afinitas pada trombosit. Teryata banyak obat yang menyebabkan kerusakan kapiler tanpa mengenai tombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non trombositopenik atau purpura vaskular. Purpura non trombositopenik secara umum berkaitan dengan deposit kompleks imun di dinding venula.15

Beberapa obat penyebab purpura trombositopenik adalah asam asetilsalisilat, karbamazepin, indometasin, isoniazid, nitrofurantoin, penisilinamin, fenitoin, dan derivatnya, derivat pirazolon, quinidin, sulfonamid, dan tiourasil. Sedangkan beberapa obat penyebab purpura non trombositopenik adalah ampisilin, penisilin, sulfatrimetoprim, sulfonamid, asam asetilsalisilat.15

8. Vaskulitis.

Vaskulitis ditandai adanya inflamasi dan nekrosis pembuluh darah.2,13 Bentuk

tersering adalah vaskulitis yang mengenai kapiler dan venul13,24 Gambar klinis

tersering vaskulitis adalah palpable purpura. Vaskulitis dapat hanya terbatas pada kulit, atau dapat melibatkan organ lain, antara lain hepar, ginjal, dan sendi. Ukuran dan jumlah lesi bervariasi. Biasanya distribusi simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum. Demam, malaise, myalgia dan anoreksia dapat menyertai lesi kulit. Vaskulitis clapat terjadi pada semua umur, dengar awitan rata-rata pada dekade kelima.2

Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme reaksi tipe III, jadi berhubungan dengan deposit kompleks imun.8,14,24

Obat hanya salah satu penyebab vaskulitis.2,14 Obat-obatan yang dianggap sebagai penyebab adalah penisilin, sulfonamid, tiourasil, hidantoin, iodida, alopurinol,2 tiazid, NSAID, antidepresan, antiaritmia.14

9. Reaksi fotoalergik.

Fotosensitivitas dapat berupa fenomena non imunologik fototoksik, atau reaksi imunologik fotoalergik.2 Reaksi fotoalergik bergantung pada obat, respons

imun dan cahaya.14 UVA (320-400nm) terlibat pada sebagian besar reaksi


(22)

Gambaran klinis reaksi fotoalergik kontak menyerupai gambaran dermatitis kontak pada umumnya.l4 Reaksi kulit diawali didaerah terpajan matahari, kemudian dapat meluas yang tidak terpajan matahari.14,15 Reaksi fotoalergik terhadap photosensitizer

sistemik lebih jarang dibandingkan dengan yang diinduksi kontaktan.14

Reaksi fotoalergik diperantarai oleh limfosit dan merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat serupa dengan dermatitis kontak alergik. Reaksi

fotoalergik membutuhkan fase induksi dan elisitas.8 Periode sensitisasi dapat

beberapa hari sampai beberapa bulan. Konsentrasi obat yang dibutuhkan untuk elisitasi dapat sangat kecil.2 sebagaian besar reaksi fotoalergik disebabkan oleh agen topikal, antara lain sulfonamid, fenotiazin, dan halogennated salicylanilides.14 Fotoalergen sistemik, misalnya fenotiazin, klorpromazin, sulfa8, tiazid, kuinidin,14 dan griseofulvin2 dapat menimbulkan reaksi fotoalergik.8

10. Eritema nodosum, (EN)

EN merupakan EOA yang jarang terjadi. Lesi EN berupa nodus eritema yang lunak, dengan distribusi simetris pada permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada kasus yang berat dapat mengenai paha dan lengan. Gejala unum berupa deman, malaise, dan artritis tidak biasa pada EN yang diinduksi obat. A witan EN cepat namun regnesi perlahan.15

Terdapat beberapa pertentangan apakah obat dapat menyebabkan EN.2

Biasanya dengan Imunofluoresen langsung gagal menunjukkan deposit imun, tapi kadang-kadang terdapat IgG atau IgM. Reaksi imunologis yang menyebabkan inflamasi di pembuluh darah subkutan mungkin mencetuskan lesi.25

Obat-obatan yang dianggap sering menyebabkan EN adalah sulfonamid, bromida, dan kontrasepsi oral.2,8,15 Obat-obatan lain seperti penisilin, barbiturat, dan salisilat lebih jarang menyebabkan EN.2

DIAGNOSIS

Diagnosis erupsi obat berdasarkan :


(23)

2. Pemeriksaan klinis ; adanya kelainan klinis sesuai dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut.

3. Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif dan

dapat dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik.

Beberapa pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu memastikan penyebab erupsi obat alergik :

1. Pemeriksaan in vivo : a. uji tempel (patch test) b. uji tusuk (prick/scratch test) c. uji provokasi (exposure test)

Pemeriksaan tersebut memerlukan persiapan untuk menghadapi kemungkinan reaksi anafilaksis.

2. Perneriksaan in vitro :

a. Yang diperantarai antibodi : - Hemaglutinasi pasif

- Radio immunoassay

- Degranulasi basofil

- Tes fiksasi komplemen

b. Yang diperantarai sel : - Tes transformasi limfosit

- Leucocyte migration inhibition test

Pemilihan pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan penunjang dan hasilnya memerlukan interpretasi yang teliti.1

PENGOBATAN

Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya.


(24)

Pengobatan dibagi dalam: 1). Pengobatan kausal, 2). Pengobatan simtomatik. 1. Pengobatan kausal :

Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk rnenghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan obat tersangka (satu golongan).

2. Pengobatan simtomatik :

Pengobatan dilaksanakan sesuai dengan tipe reaksi yang mendasarinya : a. Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) :

Bila terjadi syok dapat diberikan epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 – 0,5 ml secara subkutan atau intravena. Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan, tetapi bukan merupakan pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15 – 20 menit, meskipun penderita masih harus diamati selama 24 jam berikutnya untuk mencegah komplikasi.

b. Pada reaksi tipe yang lain :

Penghentian penggunaan obat tersangka umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat-ringannya reaksi, pemberian kortikosteroid (prednison 40 – 100 mg/hari) dan antihistamin dapat dipertimbangkan.l

PENCEGAHAN

Apabila obat tersangka penyebab erupsi obat alergik telah dapat dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya apabila penderitaan berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik.l

PENTUTUP

Penting untuk diketahui bahwa masih terdapat banyak empsi tipe lain yang dapat disebabkan oleh obat.7 Penting pula diketahui bahwa tiap obat dapat memicu timbuhlya RSO. Oleh karena itu sebelum memberikan terapi obat, klinis harus mempertimbangkan besar kecilnya risiko, serta keuntungan dan kerugian dari terapi tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, faktor resiko, manifestasi klinis


(25)

EOA, dan edukasi pada pasien, serta penulisan resep yang tepat, dapat menurunkan morbiditas EOA.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Retno WS, Suharti KS ; Erupsi Obat Alergik, dalam ; Sri Adi S, et al eds,

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Empsi Obat Alergik, Balai penerbit FK-UI , Jakarta ; 1995 : 3 – 6.

2. DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. Dalam : Patterson R, et al. Alergic

diseases, 5th Lippincott-Raven Publisher,Philadelpia ; 1997 : 317 – 352.

3. Gruchalla RS. Understanding drug allergies. J. Alergy Clin Immunol 2000 ; 105 : S637 – 5644.

4. DeShazo RD, Kemp S. Allergic reactions to drug and biologic agents. JAMA

1997 ; 278 : 1895 – 1906.

5. Zanni MP, et al. Involement of T cells in drug-induced allergies. TIPS 1998 ; 19 : 308 – 310.

6. Coleman JW , Blanca M. Mechanistuis of drug allergy. Trend immunglogy today

1998 ; 191 : 96 – 198.

7. Gruchalla RS, Beltrani VS. Drug – induced cutaneus reactions. Dalam : Leung

DYM, Greaves MW. Allergic skin disease, Marcel Dekker, Inc : New York – Basel, 2000 : 307 – 335.

8. Sitakalin C. Drug eruption. Dalam : Sitakalin C. Cutaneous drug reactions.

Institute of dermatology : Bangkok - T hailand ; ………… : 1 – 13.

9. Edwards IR, Aronson JK. Advrese drug reactions : definitions, diagnosis, and

management. LANCET 2000 ; 356 : 1255 – 2259.

10. Gruchalla RS. Clinical assessment of drug-induced disease. Lancet 2000 ; 356 : 1506 – 1511.

11. Knowles SR. et al. Idiosyncratic drug reactions : the reactive metabolite syndrome. Lancet 2000 ; 356 : l587 – 1591.

12. Merk HF. Clinical aspects ; drug allergy. Dalan : Brujinzeel CAFM, Knol EF. Immunology and Drug Therapy of Allergic Skin Diseases. Birkhauser Verlag Basel / Switzeland ; 2000 : 157 – 172.


(26)

13. Roujeau JC, Stern RS. Severe adverse cutaneous reactions to drugs. N.Egl J Medn 1994 ;19 : 1272 – 1285.

14. Wintroub BU, Stem RS. Drug reactions. Dalam : Jordon RE. Immunologic diseases of the skin. Appleton & Lange : Houston Texas ; 1991 : 489 – 498.

15. Alanko K, Hannuksela M. Mechanisms of drug reactions. Dalam : Kauppinen K, et al. Skin reactions to drugs. CRC Press : Boca Raton – New York ; l998 : 18 23.

16. Wedner H.J. Drug Allergy. Dalam : Danile P. Stites et al. Medical Immunology, 4th. Appleton & Lange : Houston – Texas 1997 : 433 – 443.

17. Dietrich A, et al. Low N-accetilating capacity in patients with Steven-Jhonson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Exp. Dermatol 1995 ; 4 : 313 – 316. 18. Hansen PD. Understanding drug-drug interactions. Science & Medicipe l998.

January/February : 16 – 25.

19. Benet LZ, et al. The dynamic of drug absorption, distribution, and elimination. Dalam : Goodman & Gilman’s. Pharmacological basis of therapeutics, 9th, McGraw-Hill : New York : 1996 : 3 – 27.

20. Powrie F., Coffman RL. Cytokine regulation of T cell function : potential for therapeutic in tervention. Immunology to day June 1883 ; 14 : 270 – 274.

21. Holgate ST, et al. Drug Allergy. Dalam : Holgate ST. Allergy. Mosby-Wolfe : London ; 1995 : 28. 1 – 28.9.

22. Bratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Bratawidjaya KG. Imunologi Dasar, 4th. Balai penerbit FKUI : Jakarta ; 2 000 : 106 – 129.

23. Patterson R, Cheriyan S. Steven-Johnson Syndrome and Erithema Multifofrme. Dalam : Patterson R. Allergic Diseases, Diagnosis and Management. Lippincott-Raven : Philadelphia – New York ;1997 : 311 – 316.

24. Mandell BF. Systemic Necrotizing Arteritis. Dalam : Fitzpatrick's. Dermatology in general medicine 5th. Mc Graw-Hiil : New York ; 1999 : 2034 – 2044.

25. Dahl MV. Drug reactions. Dalam Dahl MV. Clinical immunodermatology, 3rd.


(1)

kompleks antigen antibodi dengan afinitas pada trombosit. Teryata banyak obat yang menyebabkan kerusakan kapiler tanpa mengenai tombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non trombositopenik atau purpura vaskular. Purpura non trombositopenik secara umum berkaitan dengan deposit kompleks imun di dinding venula.15

Beberapa obat penyebab purpura trombositopenik adalah asam asetilsalisilat, karbamazepin, indometasin, isoniazid, nitrofurantoin, penisilinamin, fenitoin, dan derivatnya, derivat pirazolon, quinidin, sulfonamid, dan tiourasil. Sedangkan beberapa obat penyebab purpura non trombositopenik adalah ampisilin, penisilin, sulfatrimetoprim, sulfonamid, asam asetilsalisilat.15

8. Vaskulitis.

Vaskulitis ditandai adanya inflamasi dan nekrosis pembuluh darah.2,13 Bentuk tersering adalah vaskulitis yang mengenai kapiler dan venul13,24 Gambar klinis tersering vaskulitis adalah palpable purpura. Vaskulitis dapat hanya terbatas pada kulit, atau dapat melibatkan organ lain, antara lain hepar, ginjal, dan sendi. Ukuran dan jumlah lesi bervariasi. Biasanya distribusi simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum. Demam, malaise, myalgia dan anoreksia dapat menyertai lesi kulit. Vaskulitis clapat terjadi pada semua umur, dengar awitan rata-rata pada dekade kelima.2

Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme reaksi tipe III, jadi berhubungan dengan deposit kompleks imun.8,14,24

Obat hanya salah satu penyebab vaskulitis.2,14 Obat-obatan yang dianggap sebagai penyebab adalah penisilin, sulfonamid, tiourasil, hidantoin, iodida, alopurinol,2 tiazid, NSAID, antidepresan, antiaritmia.14

9. Reaksi fotoalergik.

Fotosensitivitas dapat berupa fenomena non imunologik fototoksik, atau reaksi imunologik fotoalergik.2 Reaksi fotoalergik bergantung pada obat, respons imun dan cahaya.14 UVA (320-400nm) terlibat pada sebagian besar reaksi fotoalergik.8 Reaksi fotoalergik dapat diinduksi oleh obat topikal atau sisternik.


(2)

Gambaran klinis reaksi fotoalergik kontak menyerupai gambaran dermatitis kontak pada umumnya.l4 Reaksi kulit diawali didaerah terpajan matahari, kemudian dapat meluas yang tidak terpajan matahari.14,15 Reaksi fotoalergik terhadap photosensitizer sistemik lebih jarang dibandingkan dengan yang diinduksi kontaktan.14

Reaksi fotoalergik diperantarai oleh limfosit dan merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat serupa dengan dermatitis kontak alergik. Reaksi fotoalergik membutuhkan fase induksi dan elisitas.8 Periode sensitisasi dapat beberapa hari sampai beberapa bulan. Konsentrasi obat yang dibutuhkan untuk elisitasi dapat sangat kecil.2 sebagaian besar reaksi fotoalergik disebabkan oleh agen topikal, antara lain sulfonamid, fenotiazin, dan halogennated salicylanilides.14 Fotoalergen sistemik, misalnya fenotiazin, klorpromazin, sulfa8, tiazid, kuinidin,14 dan griseofulvin2 dapat menimbulkan reaksi fotoalergik.8

10. Eritema nodosum, (EN)

EN merupakan EOA yang jarang terjadi. Lesi EN berupa nodus eritema yang lunak, dengan distribusi simetris pada permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada kasus yang berat dapat mengenai paha dan lengan. Gejala unum berupa deman, malaise, dan artritis tidak biasa pada EN yang diinduksi obat. A witan EN cepat namun regnesi perlahan.15

Terdapat beberapa pertentangan apakah obat dapat menyebabkan EN.2 Biasanya dengan Imunofluoresen langsung gagal menunjukkan deposit imun, tapi kadang-kadang terdapat IgG atau IgM. Reaksi imunologis yang menyebabkan inflamasi di pembuluh darah subkutan mungkin mencetuskan lesi.25

Obat-obatan yang dianggap sering menyebabkan EN adalah sulfonamid, bromida, dan kontrasepsi oral.2,8,15 Obat-obatan lain seperti penisilin, barbiturat, dan salisilat lebih jarang menyebabkan EN.2

DIAGNOSIS

Diagnosis erupsi obat berdasarkan :


(3)

2. Pemeriksaan klinis ; adanya kelainan klinis sesuai dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut.

3. Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif dan dapat dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik.

Beberapa pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu memastikan penyebab erupsi obat alergik :

1. Pemeriksaan in vivo : a. uji tempel (patch test) b. uji tusuk (prick/scratch test) c. uji provokasi (exposure test)

Pemeriksaan tersebut memerlukan persiapan untuk menghadapi kemungkinan reaksi anafilaksis.

2. Perneriksaan in vitro :

a. Yang diperantarai antibodi : - Hemaglutinasi pasif - Radio immunoassay - Degranulasi basofil - Tes fiksasi komplemen b. Yang diperantarai sel :

- Tes transformasi limfosit

- Leucocyte migration inhibition test

Pemilihan pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan penunjang dan hasilnya memerlukan interpretasi yang teliti.1

PENGOBATAN

Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya.


(4)

Pengobatan dibagi dalam: 1). Pengobatan kausal, 2). Pengobatan simtomatik. 1. Pengobatan kausal :

Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk rnenghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan obat tersangka (satu golongan).

2. Pengobatan simtomatik :

Pengobatan dilaksanakan sesuai dengan tipe reaksi yang mendasarinya : a. Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) :

Bila terjadi syok dapat diberikan epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 – 0,5 ml secara subkutan atau intravena. Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan, tetapi bukan merupakan pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15 – 20 menit, meskipun penderita masih harus diamati selama 24 jam berikutnya untuk mencegah komplikasi.

b. Pada reaksi tipe yang lain :

Penghentian penggunaan obat tersangka umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat-ringannya reaksi, pemberian kortikosteroid (prednison 40 – 100 mg/hari) dan antihistamin dapat dipertimbangkan.l

PENCEGAHAN

Apabila obat tersangka penyebab erupsi obat alergik telah dapat dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya apabila penderitaan berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik.l

PENTUTUP

Penting untuk diketahui bahwa masih terdapat banyak empsi tipe lain yang dapat disebabkan oleh obat.7 Penting pula diketahui bahwa tiap obat dapat memicu timbuhlya RSO. Oleh karena itu sebelum memberikan terapi obat, klinis harus mempertimbangkan besar kecilnya risiko, serta keuntungan dan kerugian dari terapi tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, faktor resiko, manifestasi klinis


(5)

EOA, dan edukasi pada pasien, serta penulisan resep yang tepat, dapat menurunkan morbiditas EOA.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Retno WS, Suharti KS ; Erupsi Obat Alergik, dalam ; Sri Adi S, et al eds, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Empsi Obat Alergik, Balai penerbit FK-UI , Jakarta ; 1995 : 3 – 6.

2. DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. Dalam : Patterson R, et al. Alergic diseases, 5th Lippincott-Raven Publisher,Philadelpia ; 1997 : 317 – 352.

3. Gruchalla RS. Understanding drug allergies. J. Alergy Clin Immunol 2000 ; 105 : S637 – 5644.

4. DeShazo RD, Kemp S. Allergic reactions to drug and biologic agents. JAMA 1997 ; 278 : 1895 – 1906.

5. Zanni MP, et al. Involement of T cells in drug-induced allergies. TIPS 1998 ; 19 : 308 – 310.

6. Coleman JW , Blanca M. Mechanistuis of drug allergy. Trend immunglogy today 1998 ; 191 : 96 – 198.

7. Gruchalla RS, Beltrani VS. Drug – induced cutaneus reactions. Dalam : Leung DYM, Greaves MW. Allergic skin disease, Marcel Dekker, Inc : New York – Basel, 2000 : 307 – 335.

8. Sitakalin C. Drug eruption. Dalam : Sitakalin C. Cutaneous drug reactions. Institute of dermatology : Bangkok - T hailand ; ………… : 1 – 13.

9. Edwards IR, Aronson JK. Advrese drug reactions : definitions, diagnosis, and management. LANCET 2000 ; 356 : 1255 – 2259.

10. Gruchalla RS. Clinical assessment of drug-induced disease. Lancet 2000 ; 356 : 1506 – 1511.

11. Knowles SR. et al. Idiosyncratic drug reactions : the reactive metabolite syndrome. Lancet 2000 ; 356 : l587 – 1591.

12. Merk HF. Clinical aspects ; drug allergy. Dalan : Brujinzeel CAFM, Knol EF. Immunology and Drug Therapy of Allergic Skin Diseases. Birkhauser Verlag Basel / Switzeland ; 2000 : 157 – 172.


(6)

13. Roujeau JC, Stern RS. Severe adverse cutaneous reactions to drugs. N.Egl J Medn 1994 ;19 : 1272 – 1285.

14. Wintroub BU, Stem RS. Drug reactions. Dalam : Jordon RE. Immunologic diseases of the skin. Appleton & Lange : Houston Texas ; 1991 : 489 – 498.

15. Alanko K, Hannuksela M. Mechanisms of drug reactions. Dalam : Kauppinen K, et al. Skin reactions to drugs. CRC Press : Boca Raton – New York ; l998 : 18 23.

16. Wedner H.J. Drug Allergy. Dalam : Danile P. Stites et al. Medical Immunology, 4th. Appleton & Lange : Houston – Texas 1997 : 433 – 443.

17. Dietrich A, et al. Low N-accetilating capacity in patients with Steven-Jhonson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Exp. Dermatol 1995 ; 4 : 313 – 316.

18. Hansen PD. Understanding drug-drug interactions. Science & Medicipe l998. January/February : 16 – 25.

19. Benet LZ, et al. The dynamic of drug absorption, distribution, and elimination. Dalam : Goodman & Gilman’s. Pharmacological basis of therapeutics, 9th, McGraw-Hill : New York : 1996 : 3 – 27.

20. Powrie F., Coffman RL. Cytokine regulation of T cell function : potential for therapeutic in tervention. Immunology to day June 1883 ; 14 : 270 – 274.

21. Holgate ST, et al. Drug Allergy. Dalam : Holgate ST. Allergy. Mosby-Wolfe : London ; 1995 : 28. 1 – 28.9.

22. Bratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Bratawidjaya KG. Imunologi Dasar, 4th. Balai penerbit FKUI : Jakarta ; 2 000 : 106 – 129.

23. Patterson R, Cheriyan S. Steven-Johnson Syndrome and Erithema Multifofrme. Dalam : Patterson R. Allergic Diseases, Diagnosis and Management. Lippincott-Raven : Philadelphia – New York ;1997 : 311 – 316.

24. Mandell BF. Systemic Necrotizing Arteritis. Dalam : Fitzpatrick's. Dermatology in general medicine 5th. Mc Graw-Hiil : New York ; 1999 : 2034 – 2044.

25. Dahl MV. Drug reactions. Dalam Dahl MV. Clinical immunodermatology, 3rd. Mosby-Year Book, Inc : Mnneapolis-Minnesota ; 1996 : 355 – 367.