BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Pengaruh Sosiodemografi terhadap Pencarian Pengobatan di Kecamatan Medan Kota
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang mempunyai
faktor sosiodemografi pendidikan, pengetahuan dan sikap pada kategori sedang
sebanayak 114 orang 82,6, persentase ini lebih besar dibandingkan responden
dengan faktor sosiodemografi kategori baik maupun kurang. Hasil analisis pencarian pengobatan menurut kategori sosiodemografi diperoleh p = 0,015 0,05, yang
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor sosiodemografi dengan pencarian pengobatan di Kecamatan Medan Kota.
Nilai Odds Ratio OR sebesar 7,690 pada analisis multivariat, artinya bahwa kemungkinan atau peluang masyarakat yang mempunyai faktor sosiodemografi yang
baik lebih besar 7 sampai 8 kali untuk melakukan pencarian pengobatan dengan baik dibandingkan masyarakat yang faktor sosiodemografinya kurang.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa penduduk Kecamatan Medan Kota yang mempunyai sosiodemografi yang baik, yaitu tingkat pendidikan tinggi Diploma
dan Sarjana, pengetahuan yang baik tentang kesehatan serta mempunyai sikap yang positif tentang kesehatan mencari pengobatan dengan kategori baik pada saat
menderita suatu penyakit atau gangguan kesehatan, yaitu dengan cara berobat ke pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit balai pengobatan atau praktek
dokter. Sebaliknya yang mempunyai sosiodemografi yang tidak baik yaitu tingkat
Universitas Sumatera Utara
pendidikan rendah SD, SMP dan SMA, pengetahuan yang tidak baik tentang kesehatan serta mempunyai sikap yang negatif tentang kesehatan akan mencari
pengobatan pada saat menderita suatu penyakit atau gangguan kesehatan mencari pengobatan dengan kategori tidak baik, yaitu dengan cara berobat ke pelayanan
alternatif atau di biarkan saja. Faktor sosiodemografi lain yang dikaji dalam penelitian ini menyangkut umur
dan jenis kelamin. Hasil penelitian menunjukkan persentase responden yang berumur 23-40 tahun sebanyak 81,2, hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
responden berada pada usia produktif, sehingga jika menderita suatu penyakit atau gangguan kesehatan dapat mengakibatkan tidak mampu bekerja atau beraktifitas
seperti biasanya. Dengan demikian upaya pencarian pengobatan pada responden yang berusia 23-40 tahun dilakukan dengan segera sehingga tingkat produktifitasnya dalam
bekerja tidak terganggu. Jenis kelamin responden lebih banyak laki-laki 90,6, hal ini terkait dengan
sampel penelitian ini didasarkan pada Kepala Keluarga KK sehingga proses wawancara dilakukan kepada kepala rumah keluarga bapak pada setiap keluarga.
Namun ditemukan sebanyak 9,4 keluarga yang pada saat dilakukan wawancara, kepala keluarganya sedang tidak berada di rumah. Proses pencarian pengobatan
dalam suatu keluarga biasanya merupakan keputusan dari kepala keluarga, oleh karena itu tingkat pemahaman kepala keluarga tentang konsep sehat sakit serta
pengetahuan tentang pentingnya pengobatan untuk setiap gangguan kesehatan yang
Universitas Sumatera Utara
diderita anggota keluarga, sangat menentukan pemilihan sarana pelayanan kesehatan yang mana untuk digunakan oleh keluarga tersebut.
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden cukup bervariasi dari SD sampai Perguruan Tinggi dan sebagian besar responden
berpendidikan menengah SMA. Dengan adanya perbedaan tingkat pendidikan secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola pikir. sudut
pandang dan penerimaan klien terhadap tindakan-tindakan pengobatan yang diterimanya. Dengan latar belakang pendidikan masyarakat yang berbeda ini akan
mempengaruhi sikapnya tentang pencarian pengobatan. Sesuai penelitian Sugiyanto 2002 di Kabupaten Grobogan ada pengaruh
lemah antara pekerjaan ibu dengan tindakan pertama pengobatan bayi, pengaruh cukup kuat terjadi antara persepsi penyakit dengan tindakan pengobatan pertama,
persepsi tentang pengobatan modern dengan tindakan pertama pengobatan, dan pengalaman pengobatan modern dengan tindakan pertama pengobatan. Pengaruh
lemah juga terjadi antara pekerjaan ibu dan persepsi tentang penyakit dengan jenis obat pertama dimanfaatkan. Pengaruh cukup kuat terjadi antara persepsi pengobatan
modern dan pengalaman pengobatan modern dengan jenis obat yang pertama dimanfaatkan. Uji regresi logistik menunjukkan pengalaman pengobatan modern
dapat memprediksi jenis pengobatan dan obat yang pertama dimanfaatkan. Untuk meningkatkan pengobatan pada tenaga kesehatan dan penggunaan obat modern perlu
ada distribusi tenaga kesehatan pada semua desa dengan menyediakan obat yang
Universitas Sumatera Utara
memadai. Untuk mengurangi resiko pengobatan tradisional maka perlu ada wadah koordinasi antara tenaga kesehatan dan pengobatan tradisional.
Sesuai penelitian Sukiswoyo 2005 di Kabupaten Pekalongan menyimpulkan bahwa hasil analisa bivariat menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara umur,
jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, keparahan sakit, jarak ke pusat layanan kesehatan dan nasehat kesehatan dengan praktek pencarian pengobatan penderita
suspek malaria. Penelitian Basir 2006 di Jepara menyimpulkan bahwa dukungan terhadap
orang yang sakit berhubungan dengan minat memanfatkan pelayanan kesehatan, dengan demikian pihak rumah sakit sebagai penyedia pelayanan kesehatan harus
mempertahankan layanan yang baik dan cocok untuk pasien, melakukan kerja sama dengan perusahaan dalam rangka pembiayaan pengobatan bagi karyawan perusahaan,
menyediakan dana untuk kegiatan promosi, membuat strategi pemasaran dalam menghadapi persaingan pasar, berusaha menyediakan teknologi sesuai tuntutan
masyarakat. Pengetahuan responden tentang pencarian pengobatan kemungkinan dapat
dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya pengalaman, serta sarana informasi. Secara teori bahwa pengetahuan tidak hanya didapat secara formal melainkan juga melalui
pengalaman. Selain itu pengetahuan juga didapat melalui sarana informasi yang tersedia di rumah, seperti radio dan televisi. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga sehingga penggunaan pancaindra terhadap suatu informasi sangat penting.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Green dalam Notoatmodjo 2003 semakin tinggi pengetahuan seseorang semakin besar pula kemungkinan seseorang melakukan tindakan yang
berkaitan dengan pengetahuan tersebut. Hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan cukup tentang pencarian pengobatan. Menurut
Notoatmodjo 2003 perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan sehingga pengetahuan responden
yang terkategori cukup bisa menghentikan perilaku berobat ke pengobatan non medis bila tidak ada perubahan yang dirasakan.
Selain faktor pengetahuan, pendidikan juga dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat, hal ini dapat dilihat bahwa ada responden yang dianjurkan
melakukan kunjungan ulang saat berobat ke sarana kesehatan, namun responden tersebut tidak melakukannya. Meskipun belum tentu responden dengan pendidikan
tinggi mempunyai kepatuhan tinggi dalam menjalani pengobatan, akan tetapi dapat juga responden dengan pendidikan rendah mempunyai kepatuhan yang tinggi dalam
menjalani pengobatan. Hal ini dapat terjadi mengingat bahwa individu adalah sosok yang unik yang memiliki beranekaragam kepribadian, sifat, budaya, maupun
kepercayaan. Dalam teori disebutkan bahwa kepribadian adalah segala corak kebiasaan manusia yang terhimpun dalam dirinya maupun lingkungannya, sehingga
corak dan cara kebiasaannya itu merupakan suatu kesatuan fungsional yang khas dan spesifik berbeda dengan orang lain.
Sikap responden tentang pencarian pengobatan juga masih beragam, dimana masih ditemukan responden yang menyatakan setuju jika dibiarkan saja saat
Universitas Sumatera Utara
menderita sakit, sebaliknya masih ada juga responden yang tidak setuju mencari pengobatan ke sarana pelayanan kesehatan modern.
Sesuai pendapat Soejoeti 2005 bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan timbulnya perubahan, pemahaman, sikap dan perilaku seseorang, sehingga seseorang
mau mengadopsi perilaku baru yaitu: 1 kesiapan psikologis ditentukan oleh tingkat pengetahuan, kepercayaan, 2 adanya tekanan positif dari kelompok atau individu
dan 3 adanya dukungan lingkungan. Dijelaskan juga oleh Green 2000 bahwa mewujudkan sikap menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau
kondisi yang memungkinkan. Faktor yang mendukung tersebut adalah: 1 faktor predisposisi pengetahuan, sikap, keyakinan, persepsi, 2 faktor pendukung akses
pada pelayanan kesehatan, keterampilan dan adanya referensi, 3 faktor pendorong terwujud dalam bentuk dukungan keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat. Hasil
penelitian ini sama dengan hasil penelitian Supardi, dkk 2002 yang menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap berhubungan dengan perilaku pengobatan sendiri.
Dharmasari 2007 juga menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap berhubungan dengan pengobatan sendiri yang aman, tepat, dan rasional.
Sikap dapat dianggap sebagai suatu predisposisi umum untuk berespons atau bertindak secara positif atau negatif terhadap suatu objek atau orang disertai emosi
positif atau negatif. Dengan kata lain sikap perlu penilaian. Ada penilaian positif, negatif dan netral tanpa reaksi afektif apapun, umpama tertarik kepada seseorang,
benci terhadap suatu iklan, suka makanan tertentu. Ini semua adalah contoh sikap. Sikap dipengaruhi oleh kepribadian, pengalaman, pendapat umum, dan latar
Universitas Sumatera Utara
belakang. Sikap mewarnai pandangan terhadap seseorang terhadap suatu objek, memengaruhi perilaku dan relasi dengan orang lain. Untuk bersikap harus ada
penilaian sebelumnya. Sikap bisa baik atau tidak baik. Perasaan sering berakar dalam sikap dan sikap dapat diubah. Sikap biasanya sedikit atau banyak berhubungan
dengan kepercayaan. Dalam beberapa hal sikap merupakan akibat dari suatu kumpulan kepercayaan Maramis, 2006
5.2 Pengaruh Sosioekonomi terhadap Pencarian Pengobatan di Kecamatan Medan Kota