Konstruksi Harian Media Indonesia Terhadap Partai Golkar Dalam Berita Hak Angket Kasus Mafia Pajak

(1)

KONSTRUKSI HARIAN MEDIA INDONESIA TERHADAP PARTAI GOLKAR DALAM BERITA HAK ANGKET KASUS MAFIA PAJAK (Studi Analisis Framing Berita Hak Angket Kasus Mafia Pajak pada Harian

Media Indonesia)

SKRIPSI

Diajukan Guna memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh:

FIRDHA YUNI GUSTIA 070904044

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : FIRDHA YUNI GUSTIA

NIM : 070904044

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Konstruksi Harian Media Indonesia Terhadap Partai Golkar Dalam Berita Hak Angket Kasus Mafia Pajak

Medan, 7 Juni 2011

Dosen Pembimbing

Drs. Amir Purba, M.A, Ph. D NIP. 195102191987011001

Ketua Departemen

Dra. Fatmawardy Lubis, M.A NIP. 196208281987012001

Dekan

Prof. Dr. Badaruddin, M. Si NIP. 196805251992031002


(3)

ABSTRAKSI

Keterlibatan media massa dengan kegiatan politik tidak semata-mata mencerminkan perhatian media terhadap politik, melainkan menyiratkan pula adanya keterikatan atas dasar suatu kepentingan antara kepemilikan sebuah media dan kekuatan politik yang diberitakannya. Akibatnya, banyak media massa yang menunjukkan sikap partisannya terhadap partai politik.

Harian Media Indonesia (MI) merupakan salah satu contoh partai yang sering menunjukkan sikap partisannya terhadap partai politik. Saat Surya Paloh, sang pemilik media, masih aktif berkiprah di Partai Golkar, semua berita mengenai Partai Golkar diberitakan secara positif. Citra positif dalam pemberitaan terhadap Partai Golkar yang dilakukan MI menunjukkan bagaimana pengaruh Surya Paloh ketika itu.

Namun, sejak kekalahan Paloh pada pemilihan ketua umum Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Golkar tahun 2009 di Pekan Baru, Surya Paloh tidak lagi aktif berkiprah di partai tersebut. Hal ini boleh jadi berimplikasi pada perubahan arah pemberitaan MI mengenai Partai Golkar saat ini. Berdasarkan realitas tersebut penelitian ini akan mencoba untuk menggambarkan bagaimana perubahan Harian MI dalam mengkonstruksikan realitas politik khususnya pada pemberitaan mengenai perdebatan pengajuan hak angket kasus mafia perpajakan.

Penelitian ini merupakan analisis teks media yang bersifat deskripstif dengan pendekatan analisis framing. Analisis framing adalah analisis yang dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dipahami dan dibingkai oleh media. Adapun analisis framing yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan model analisis framing dari Zhondang Pan dan Gerald M Kosicki yang menganalisis teks media dengan empat perangkat, yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberitaan MI tidak lagi memberitakan Partai Golkar secara positif. Dalam beberapa berita, MI mengambarkan Partai Golkar sebagai partai yang tidak konsisten dalam pengajuan hak angket. Selain itu, Partai Golkar diberitakan pula sebagai partai yang menyebabkan perpecahan dalam koalisi akibat pengajuan hak angket, sebagai partai pengkhianat koalisi, bahkan MI juga memberi bingkai Partai Golkar sebagai partai pengecut yang tidak akan berani mengambil posisi sebagai oposisi dalam pemerintahan. Secara keseluruhan, penelilti menyimpulkan perubahan ideologi pemilik Harian MI mempengaruhi perubahan frame pemberitaan media pula.


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilahirabbil‘alamin. Beribu pujian dan syukur penulis tak akan

cukup rasanya untuk dihaturkan sebagai rasa terima kasih penulis kepada Sang Maha Kuasa, Allah SWT, atas karunia-Nya yang begitu besar sehingga skripsi berjudul Konstruksi Harian Media Indonesia Terhadap Partai Golkar Dalam Berita Hak Angket Kasus Mafia Pajak (Studi Analisis Framing Berita Hak Angket Kasus Mafia Pajak pada Harian Media Indonesia) ini dapat penulis selesaikan.

Dalam skripsi ini, penulis mencoba memberikan gambaran bagaimana objektivitas pemberitaan yang selama ini dipelajari dalam teori-teori yang disampaikan melalui bangku perkuliahan, ternyata memang tidak pernah ada dalam sebuah pemberitaan. Yang ada hanyalah kepentingan pemilik media itu sendiri.

Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan semangat. Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Firdaus Syarbaini dan Ibunda Gustini. untuk segala doa, air mata dan keringat, serta dukungan moril dan materil, untuk semua yang penulis capai hingga saat ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M. Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(5)

2. Kepada Ibu Dra. Fatmawardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Kepada Bapak Drs. Amir Purba, M.A, Ph. D selaku dosen pembimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas saran, arahan, dan ketersediaan waktunya untuk mendiskusikan skripsi ini di tengah-tengah padatnya kesibukan.

4. Bapak Drs. Safrin M. Si selaku dosen wali penulis yang telah membimbing dan memberi masukan selama perkuliahan.

5. Terima kasih kepada jajaran dosen, staf pengajar, dan administrasi di departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU atas ilmu yang telah dibagikan kepada penulis semasa perkuliahan.

6. Terima kasih untuk kakak dan adik penulis: Feni Elvira Rahmadani (tengkyu

ya sist, atas doa, saran dan dukungannya..), Ahmad Fadly Agusanto (baek-baek di rantau ya, bro..), Gustiyansyah Ilham (semangat, bro!), dan adek

paling cerewet Firanda Gustiningsih (rajin-rajin belajar yah, sayang..). Senyum dan tawa kalian memberikan semangat yang luar biasa bagi penulis. 7. Teristimewa buat Afdhal, atas segala semangat, dukungan, dan bantuan yang

tulus kepada penulis.

8. Kepada Miftah Khairuza, sahabat seperjuangan dan seperangkotan. (Terima

kasih banyak yah buk, atas semangat dan sesi curhat angkot selama ini…:D).

Juga buat The Strong Girl: Dina Rizky atas semangat dan dukungannya. (semangat yah buk..suatu saat semua pengorbananmu pasti terbayar..).


(6)

9. Kepada sahabat-sahabat seperjuangan di ‘Batu Kristal’ HMI Komisariat FISIP USU. Indra Fitri (kocik) Hutabarat, Siti Maryam Hutabarat, Ika Krisna Kartika, Wirda Amalia Suzli, Erlina Haryati Siregar, Riski Melati, Tri Yunita, Maurina Raffanda, Rini Syahfitri, Nenda Pratiwie, Novira Sari, Deddy (Cibo) Kurniawan, Edo Ikarus (biar panjang sikit namamu do..=P), Fauzan Ismail, Budi Irwansyah, Ferdiansyah Putra, Ara Auza, Amirullah, Akbar Pribadi, Rholand Muary, Dika Yudhistira, M. Rizal (Acong) Lubis, M. Taufik (Aseng), Fakhrurrazi. Terima kasih banyak atas kekeluargaan, kebersamaan, dan semua kisah indah selama perjuangan di kampus, juga atas tawa dan air mata (kita berproses bersama..berbagi suka dan duka).

10. Buat adinda-adinda angkatan 08 dan 09 yang masih berproses di HMI Komisariat FISIP USU (Tetap semangat..:)).

11. Terima kasih tak terhingga pula buat SUARA USU tercinta, tempat penulis banyak belajar mengenai jurnalistik dan pengelolaan manajemen pers yang telah membuka mata penulis terhadap dunia jurnalistik di luar kampus. Kepada kawan-kawan seperjuanganku di rumah yang kita sebut “rumah tanpa jeda” ini, M. Arif, Khairil Hanan, dan Yudhistira (eh..ternyata cuma kita

berempat orang-orang terpilih itu..=D). Adik-adikku di SUARA USU, Wan

Ulfa Nur Zuhra, Ahmad Hidayat, Shahnaz Asnawi, Bania Cahya, Richka Hapriyani, Erny Suci, Sriyanti, Sandra Cattelya, Moyang Kasih, Herlina, Royandi, Andika Bakti, Febrian, Muslim Ramli, Januar, Harry Yasir, Atiqa Khaneef, Kartini Zalukhu, Ade Fitriani, Viki Aprilita, Ayu Ningtyas, Ridha


(7)

Annisa, (Baek-baek di SU yaa..). Juga terima kasih buat kakanda Vinsensius Sitepu atas idenya yang menginspirasi penulis dalam penelitian skirpsi ini. 12. Kepada seluruh teman-teman seangkatan di Departemen Ilmu Komunikasi

FISIP USU angkatan 2007. Anindi (Mambo) Virda Malani (bebep, you are

my best understanding partner ever..=)), Dwi (acik) Kurniati, Rival (Jung),

Harry (Ubur), Siti (Sitong) Rizky, Dema (adek) Khadijah, Rosadi (adek bungsu) Rangkuti, dan kawan-kawan lainnya (welcome to the

jungle!!haha..:D)

13. Kobasjiba Crew beserta Kakanda Hadi Sukmono (Terima kasih atas

semangat dan dukungannya..)

14. Serta semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini tak dapat terselesaikan atas jerih payah penulis dan bantuan kalian semua. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua pihak, terutama dalam hal pengkajian media melalui pendekatan kualitatif.

Medan, Juni 2011

Firdha Yuni Gustia


(8)

DAFTAR ISI

Abstraksi ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... vi

Daftar Gambar... viii

Daftar Tabel ... ix

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 5

I.3 Pembatasan Masalah ... 5

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5

I.5 Kerangka Teori ... 6

I.6 Instrumen Penelitian ... 17

BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Pendekatan Politik Ekonomi Media ... 20

II.2 Konstruksi Sosial Media Massa ... 27

II.3 Teori Propaganda ... 30

II.4 Teori Agenda Setting ... 32


(9)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 40

III.1.1 Sejarah Singkat Berdirinya Harian Media Indonesia 40 III.1.2 Visi dan Misi serta Motto Harian Media Indonesia 44 III.1.3 Struktur Organisasi Harian Media Indonesia... 45

III.2 Metode Penelitian ... 46

III.3 Subjek Penelitian ... 47

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 48

III.5 Teknik Analisis Data ... 48

BAB IV PEMBAHASAN Analisis Framing Pemberitaan Harian Media Indonesia... 50

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan ... 94

V.2 Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 19 Gambar 2. Proses Konstruksi Sosial Media Massa ... 29 Gambar 3. Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 47


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Contoh Tabel Daftar Subjek Penelitian 7 Februari s/d 26 Februari 2011

... 49

Tabel 2. Tabel Daftar Subjek Penelitian 7 Februari s/d 22 Februari 2011 ... 50

Tabel 3. Tabel Frame berita 7 Februari 2011 ... 51

Tabel 4. Tabel Frame berita 8 Februari 2011 ... 58

Tabel 5. Tabel Frame berita 9 Februari 2011 ... 62

Tabel 6. Tabel Frame berita 11 Februari 2011... 66

Tabel 7. Tabel Frame berita 14 Februari 2011... 71

Tabel 8. Tabel Frame berita 16 Februari 2011... 74

Tabel 9. Tabel Frame berita 18 Februari 2011... 77

Tabel 10. Tabel Frame berita 20 Februari 2011 ... 80

Tabel 11. Tabel Frame berita 22 Februari 2011 ... 85


(12)

ABSTRAKSI

Keterlibatan media massa dengan kegiatan politik tidak semata-mata mencerminkan perhatian media terhadap politik, melainkan menyiratkan pula adanya keterikatan atas dasar suatu kepentingan antara kepemilikan sebuah media dan kekuatan politik yang diberitakannya. Akibatnya, banyak media massa yang menunjukkan sikap partisannya terhadap partai politik.

Harian Media Indonesia (MI) merupakan salah satu contoh partai yang sering menunjukkan sikap partisannya terhadap partai politik. Saat Surya Paloh, sang pemilik media, masih aktif berkiprah di Partai Golkar, semua berita mengenai Partai Golkar diberitakan secara positif. Citra positif dalam pemberitaan terhadap Partai Golkar yang dilakukan MI menunjukkan bagaimana pengaruh Surya Paloh ketika itu.

Namun, sejak kekalahan Paloh pada pemilihan ketua umum Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Golkar tahun 2009 di Pekan Baru, Surya Paloh tidak lagi aktif berkiprah di partai tersebut. Hal ini boleh jadi berimplikasi pada perubahan arah pemberitaan MI mengenai Partai Golkar saat ini. Berdasarkan realitas tersebut penelitian ini akan mencoba untuk menggambarkan bagaimana perubahan Harian MI dalam mengkonstruksikan realitas politik khususnya pada pemberitaan mengenai perdebatan pengajuan hak angket kasus mafia perpajakan.

Penelitian ini merupakan analisis teks media yang bersifat deskripstif dengan pendekatan analisis framing. Analisis framing adalah analisis yang dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dipahami dan dibingkai oleh media. Adapun analisis framing yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan model analisis framing dari Zhondang Pan dan Gerald M Kosicki yang menganalisis teks media dengan empat perangkat, yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberitaan MI tidak lagi memberitakan Partai Golkar secara positif. Dalam beberapa berita, MI mengambarkan Partai Golkar sebagai partai yang tidak konsisten dalam pengajuan hak angket. Selain itu, Partai Golkar diberitakan pula sebagai partai yang menyebabkan perpecahan dalam koalisi akibat pengajuan hak angket, sebagai partai pengkhianat koalisi, bahkan MI juga memberi bingkai Partai Golkar sebagai partai pengecut yang tidak akan berani mengambil posisi sebagai oposisi dalam pemerintahan. Secara keseluruhan, penelilti menyimpulkan perubahan ideologi pemilik Harian MI mempengaruhi perubahan frame pemberitaan media pula.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Media massa sebagai penyedia informasi, dewasa ini semakin memegang peran yang penting dalam kehidupan politik. Aktivitas media dalam melaporkan peristiwa-peristiwa politik sering memberi dampak yang amat signifikan bagi perkembangan politik. Sebagai contoh, kekuatan media massa pada tahun 1998 mampu mempercepat tumbangnya rezim Orde Baru oleh Gerakan Reformasi. Ketika itu, pemberitaan luas tentang gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa beserta masyarakat oleh media cetak dan elektronik mampu mempercepat pengunduran diri Presiden Soeharto.

Dalam komunikasi politik, media acapkali tidak hanya bertindak sebagai saluran yang menyampaikan pesan politik melainkan juga sebagai agen politik. Sebagai agen politik, media melakukan proses pengemasan pesan (framing of political messages) dan proses inilah yang sesungguhnya menyebabkan sebuah peristiwa atau aktor politik memiliki citra tertentu. Dalam proses pengemasan pesan ini, media dapat memilih fakta yang akan (dan yang tidak) dimasukkan ke dalam teks berita politik (Suwardi dalam Hamad, 2004: xvi).


(14)

Media massa dalam melakukan produksi berita boleh jadi dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan politik tertentu. Sementara faktor eksternal berupa tekanan pasar pembaca atau pemirsa, sistem politik yang berlaku dan kekuatan-kekuatan luar lainnya.

Pada era reformasi, sejumlah media massa memperlihatkan sikap partisannya terhadap partai politik secara terbuka walaupun tidak menyatakan diri secara resmi sebagai pendukung salah satu partai politik. Keterlibatan media massa dengan kegiatan politik, tidak semata-mata mencerminkan perhatian media terhadap politik, melainkan menyiratkan pula adanya keterikatan atas dasar suatu kepentingan antara sebuah media dan kekuatan politik yang diberitakannya entah itu kepentingan ekonomi, politik ataupun ideologis (Hamad, 2004: 75).

Untuk media cetak, Harian Media Indonesia (MI) merupakan salah satu media yang sering menunjukkan sikap partisannya terhadap partai politik. Sepak terjang Surya Paloh sebagai pemilik surat kabar ini dalam politik, tidak bisa dipungkiri mempengaruhi pemberitaannya. Terutama pemberitaan mengenai Partai Golkar, dimana Surya Paloh sempat menjadi anggota MPR dari partai ini.

Saat Surya Paloh masih aktif berkiprah di Partai Golkar, semua berita mengenai Partai Golkar diberitakan secara positif. Citra positif


(15)

dalam pemberitaan terhadap Partai Golkar yang dilakukan MI menunjukkan bagaimana pengaruh Surya Paloh (sebagai pemilik dari MI) ketika itu.

Beberapa penelitian menunjukkan bagaimana harian Media

Indonesia memberitakan Partai Golkar secara positif. Hasil penelitian Ibnu

Hamad yang dituliskan dalam bukunya, Konstruksi Realitas Politik dalam

Media massa (2004), mengungkapkan bahwa dalam berita-berita

mengenai Pemilu 2004, MI memperlihatkan sikap yang positif untuk mencitrakan Partai Golkar. Situasi reformasi yang cenderung mendiskreditkan Golkar disiasati agar tidak merusak hubungan politik dan ekonomi yang selama ini terjaga antara MI dan Golkar (Hamad, 2004: 134). Yakni dengan memberi wacana positif ke semua partai. Bahkan, salah satu penelitian terbaru yakni pada Pemilu 2009, menunjukkan bahwa pemberitaan MI cenderung berpihak dan mendukung calon presiden dari Partai Golkar. Dalam pemberitaan MI, Jusuf Kalla selalu dicitrakan secara positif dengan memberitakan Jusuf Kalla sebagai calon presiden yang paling tepat memimpin Indonesia (dikutip dari abstraksi skripsi Dewanto Samodro, 2010).

Namun, sejak kekalahan Paloh pada pemilihan ketua umum Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Golkar tahun 2009 di Pekan Baru, Surya Paloh tidak lagi aktif berkiprah di partai tersebut. Alih-alih, Paloh bersama 44 orang deklarator lainnya mendirikan organisasi massa Nasional Demokrat pada tahun 2010. Hal ini boleh jadi berimplikasi pada


(16)

perubahan arah pemberitaan MI mengenai Partai Golkar saat ini. Apalagi setelah Golkar berperan sebagai salah satu partai koalisi dalam pemerintahan.

Baru-baru ini Partai Golkar sebagai partai koalisi dalam pemerintahan membuat suatu keputusan kontroversial dengan mendukung hak angket terhadap kasus mafia pajak dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal, Partai Demokrat yang notabene-nya adalah ‘rekan’ Partai Golkar dalam koalisi dan representatif dari pemerintah, tidak menyetujui adanya hak angket tersebut dengan berbagai alasan.

Pengajuan hak angket terhadap kasus mafia perpajakan ini dilatarbelakangi oleh kasus penyelewengan biaya pajak yang dilakukan oleh Pegawai Golongan Tiga Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Halomoan Tambunan. Sebagai salah satu hak istimewa DPR, hak angket boleh dilaksanakan boleh juga tidak. Tentu pengajuan hak angket untuk menyelesaikan permasalahan ini memicu pro dan kontra dalam tubuh DPR sendiri. Keputusan Golkar mendukung hak angket ini dipandang kontroversial oleh beberapa pihak dikarenakan peran Partai Golkar sebagai partai koalisi yang seharusnya mendukung dan sejalan dengan pemerintahan.

Peristiwa ini dikemas pula oleh media massa dengan berbagai macam pandangan, tak terkecuali oleh Harian Media Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti merasa tertarik untuk meneliti


(17)

bagaimana Harian Media Indonesia mengkonstruksi realitas Partai Golkar dalam pemberitaan mengenai hak angket kasus mafia pajak.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah konstruksi Harian Media

Indonesia terhadap Partai Golkar dalam pemberitaan mengenai Hak

Angket Kasus Mafia Pajak yang terjadi pada tahun 2011?”

I.3 Pembatasan Masalah

Agar tidak terjadi pengembangan masalah di luar ruang lingkup dan kekaburan dalam penelitian, peneliti merasa perlu untuk melakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, bertujuan untuk melihat arah pemberitaan Harian Media Indonesia terhadap Partai Golkar dalam pemberitaan mengenai hak angket kasus mafia pajak.

2. Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan menggunakan model analisis Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

3. Media yang diteliti adalah media cetak harian atau surat kabar. Dalam hal ini peneliti menggunakan Harian Media Indonesia yang terbit sepanjang bulan Februari 2011.


(18)

I.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui cara Harian Media

Indonesia memaknai, memahami dan membingkai berita yang

berhubungan dengan Partai Golkar.

2. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pandangan dan posisi Harian Media Indonesia dalam mengkonstruksi berita terkait Partai Golkar saat ini, terutama pemberitaan tentang hak angket kasus mafia pajak.

I.4.2 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya khasanah penelitian tentang realitas dan konstruksi pemberitaan di media cetak.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya penelitian khususnya di bidang Ilmu Komunikasi.

3. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

I.5 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun


(19)

kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995: 39).

Sedangkan menurut Kerlinger, teori adalah himpunan konstruk atau konsep, definisi, dan proporsi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 1993: 6). Dalam penelitian ini teori yang dianggap relevan adalah:

I.5.1 Pendekatan Politik Ekonomi Media

Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan (Sudibyo, 2001: 2).

Istilah ekonomi politik diartikan secara sempit oleh Mosco sebagai: studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk di dalamnya sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi (Barrett, 1995: 186). Dari pendapat Mosco di atas dapatlah dipahami pengertian ekonomi politik secara lebih sederhana, yaitu hubungan kekuasaan (politik) dalam sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Pendekatan ekonomi politik merupakan cara pandang yang


(20)

dapat membongkar dasar atas sesuatu masalah yang tampak pada permukaan (http://kamaruddin-blog.blogspot.com/2010/10/kapitalisme-organisasi-media-dan.html).

Dalam studi media massa, penerapan pendekatan ekonomi politik memiliki tiga konsep awal, yaitu: komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi. Komodifikasi adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Dalam media massa tiga hal yang saling terkait adalah: isi media, jumlah audiens dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlah audiens atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi.

Selanjutnya, Spasialisasi adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktik ekonomi politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media.

Akhirnya, komodifikasi dan spasialisasi dalam media massa menghasilkan strukturasi atau menyeragaman ideologi secara terstruktur.


(21)

Media yang sama pemiliknya akan memiliki ideologi yang sama pula. Korporasi dan besarnya media akan menimbulkan penyeragaman isi berita dimana penyeragaman ideologi tak akan bisa dihindari. Dengan kata lain, media dapat digunakan untuk menyampaikan ideologi pemiliknya.

Sementara itu, dalam memberitakan suatu peristiwa, media massa dipengaruhi oleh beragam pengaruh. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam buku Mediating the Message: Theories of Influences on Mass

Media Content (1996) mengemukakan ada lima level dalam media yang

memengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan, yaitu: 1. Level Individu/Pekerja Media

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak.

2. Level Rutinitas Media

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk.


(22)

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri.

Dialektika dalam level organisasi media ini dapat menjelaskan munculnya kecenderungan pers era reformasi untuk mengedepankan berita-berita politik yang tajam, sensasional, bahkan bombastis.

4. Level Ekstra Media

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus memengaruhi pemberitaan media.

5. Level Ideologi

Ideologi adalah world view sebagai salah satu kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan lebih dilihat kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukannya.

Oleh karena uraian di atas, peneliti menggunakan teori politik ekonomi media untuk membantu peneliti menjelaskan fenomena bagaimana kepemilikan media dapat digunakan untuk menyebarluaskan ideologi pemiliknya. Khususnya dalam pemberitaan mengenai partai


(23)

Golkar pada harian Media Indonesia. Sementara lima level yang diungkapkan oleh Shoemaker dan Reese digunakan peneliti untuk memperjelas bahwa kepemilikan media dan ideologi mempengaruhi pembentukan berita.

I.5.2 Konstruksi Sosial Media Massa

Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social

Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge

tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).

Bagi kaum konstruktivisme, realitas (berita) itu hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang dan ideologi wartawan. Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Sebuah teks dalam sebuah berita tidak dapat disamakan sebagai cerminan dari realitas, tetapi ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas.


(24)

Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203).

Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008: 188-189). Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif.


(25)

4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi.

Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkostruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.

Melalui konstruksi sosial media, dapat dijelaskan bagaimana media massa membuat gambaran tentang realitas. Untuk itu, peneliti menggunakan paradigma ini sebagai pandangan dasar untuk melihat bagaimana harian Media Indonesia memaknai, memahami dan kemudian membingkai realitas partai Golkar ke dalam bentuk teks berita.

I.5.3 Teori Propaganda

Teori propaganda menurut Herman dan Chomsky dalam bukunya

Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media

(1988), adalah teori tentang media yang memaksakan kepentingannya sedemikian rupa agar diterima oleh publik. Bukan lagi menjadi rahasia umum bahwa kepemilikan media sangat strategis, oleh karena itu, para


(26)

penguasa media akan melakukan apapun agar posisi mereka aman serta sejahtera. Propaganda, melalui sebuah media selalu digunakan untuk membangun citra politik, baik citra politik seseorang maupun citra politik partai.

Sebenarnya, fokus model propaganda ini adalah pada ketidakseimbangan antara kekayaan dengan kekuasaan dan efek multilevel terhadap minat serta pilihan media massa. Maksudnya, uang dan kekuasaan dapat menyetir output berita serta memungkinkan pihak-pihak dominan (swasta maupun pemerintah) menyampaikan pesan-pesan sesuai dengan kepentingan tertentu pada publiknya.

Herman dan Chomsky memperkenalkan model propaganda yang didalamnya terdapat filter-filter yang mempresentasikan kekuatan politik yang ada, yakni: ukuran besar-kecil kepemilikan dan orientasi media, pengiklan, sumber berita, flak dan ideologi anti komunisme (Herman, 1988: 2).

Filter-filter tersebut tentu dimiliki oleh setiap media massa, begitu juga dengan Harian Media Indonesia yang dimiliki oleh Surya Paloh ini. Teori Propaganda akan membantu peneliti untuk melihat bagaimana pemilik media menyampaikan kepentingan politiknya melalui media massa yang dimilikinya.


(27)

I.5.4 Teori Agenda Setting

Agenda setting diperkenalkan oleh Mc Combs dan DL Shaw dalam Public Opinion Quarteley tahun 1972, berjudul The Agenda Setting Function of Mass Media. Asumsi dasar teori agenda setting adalah jika

media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting (Bungin, 2008: 281).

Media menata sebuah agenda terhadap peristiwa ataupun isu tertentu sehingga dianggap penting oleh publik. Caranya, media dapat menampilkan isu-isu itu secara terus menerus dengan memberikan ruang dan waktu bagi publik untuk mengkonsumsinya, sehingga publik sadar atau tahu akan isu-isu tersebut, kemudian publik menganggapnya penting dan meyakininya. Dengan kata lain, isu yang dianggap publik penting pada dasarnya adalah karena media menganggapnya penting. Dalam penelitian ini, teori agenda setting digunakan untuk melihat bagaimana harian Media Indonesia memberikan penekanan terhadap Partai Golkar melalui peristiwa hak angket mafia perpajakan ini sebagai sesuatu yang penting untuk dikonsumsi publik.

I.5.5 Analisis Framing

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sobur, 2004: 161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan


(28)

politik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini, konsep

framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk

menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media.

Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau

cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2004: 162).

Menurut Imawan dalam Sobur (2004:162) pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.


(29)

Adapun dalam penelitian ini, model analisis yang digunakan adalah model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Model analisis framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu (Eriyanto, 2004: 252).

Setiap media memiliki konstruksi dan pembingkaian yang berbeda-beda atas suatu realitas atau peristiwa. Demikian juga dengan harian

Media Indonesia dalam memberitakan Partai Golkar melalui peristiwa

kontroversi hak angket mafia perpajakan ini.

Melalui pembingkaian, wartawan mampu membuat peristiwa yang rumit menjadi sederhana dan dapat diterima oleh khalayak. Bahkan budaya, pengetahuan, lingkungan, atau faktor lain yang dimiliki oleh wartawan dapat memengaruhi bagaimana ia mengkonstruksi realitas menjadi suatu berita. Dengan kata lain, penelitian ini akan melihat bagaimana pandangan dan posisi Harian Media Indonesia dalam mengkonstruksi berita terkait Partai Golkar saat ini, terutama dalam pemberitaan tentang hak angket kasus mafia pajak.


(30)

Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan model analisis milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki sebagai instrument penelitian. Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki melalui tulisan mereka “Framing Analysis: An

Aproach to News Discourse” mengoperasikan empat dimensi struktural teks

berita sebagai perangkat framing: sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global (Sobur, 2004: 175).

Selanjutnya perangkat framing dibagi menjadi empat struktur besar:

1. Struktur Sintaksis yang berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa ke dalam bentuk susunan umum berita. Dapat diamati dari bagian berita (lead yang dipakai, latar, headline, kutipan yang diambil, dan sebagainya).

2. Struktur skrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan peristiwa ke dalam bentuk berita.

3. Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan.

4. Struktur retoris, berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga


(31)

PERANGKAT FRAMING

1. Skema berita

2. Kelengkapan berita

7. leksikon 8. Grafis 9. Metafora 3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk Kalimat 6. Kata Ganti STRUKTUR SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta TEMATIK Cara wartawan menulis fakta RETORIS Cara wartawan menekankan fakta UNIT YANG DIAMATI Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup

5 W + 1H

Paragraf, proporsi, kalimat, hubungan antar kalimat Kata, idiom, gambar/foto, grafik

menekankan arti tertentu kepada pembacanya. (Eriyanto, 2004:255-256)

Gambar 1.

Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

Sumber: Eriyanto, 2004: 256


(32)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1. Pendekatan Politik Ekonomi Media

Pendekatan politik ekonomi media berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta kearah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan (Sudibyo, 2001:2). Dalam pendekatan politik ekonomi media, kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media dan efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat.

Istilah ekonomi politik diartikan secara sempit oleh Mosco sebagai: studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk didalamnya sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi (Boyd Barrett, 1995: 186). Boyd Barrett secara lebih gamblang mengartikan ekonomi politik sebagai studi tentang kontrol dan pertahanan dalam kehidupan sosial. (Boyd Barrett, 1995: 186)

Dari pendapat Mosco di atas dapatlah dipahami pengertian ekonomi politik secara lebih sederhana, yaitu hubungan kekuasaan (politik) dalam


(33)

sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Bila seseorang atau sekelompok orang dapat mengontrol masyarakat berarti dia berkuasa secara de facto, walaupun de jure tidak memegang kekuasaan sebagai eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pandangan Mosco tentang penguasa lebih ditekankan pada penguasa dalam arti de facto, yaitu orang atau kelompok orang yang mengendalikan kehidupan masyarakat.

Jika memang demikian, maka kekuasaan pemilik media, meski secara etik dibatasi dan secara normatif disangkal, bukan saja memberi pengaruh pada konten media, namun juga memberikan implikasi logis kepada masyarakat selaku audiens. Pemberitaan media menjadi tidak bebas lagi, muatannya kerap memperhitungkan aspek pasar dan politik.

Dasar dari kehidupan sosial adalah ekonomi. Maka pendekatan ‘ekonomi politik’ merupakan cara pandang yang dapat membongkar dasar atas sesuatu masalah yang tampak pada permukaan. (http://kamaruddin-blog.blogspot.com/2010/10/kapitalisme-organisasi-media-dan.html).

Dalam studi media massa, penerapan pendekatan ekonomi politik memiliki tiga konsep awal, yaitu: komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Komodifikasi adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Dalam media massa tiga hal yang saling terkait adalah: isi media, jumlah audiens dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlah audiens atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi


(34)

media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi.

Selanjutnya, spasialisasi adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktek ekonomi politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media.

Akhirnya, komodifikasi dan spasialisasi dalam media massa menghasilkan strukturasi atau menyeragaman ideologi secara terstruktur. Media yang sama pemiliknya akan memiliki ideologi yang sama pula. Korporasi dan besarnya media akan menimbulkan penyeragaman isi berita dimana penyeragaman ideologi tak akan bisa dihindari. Dengan kata lain, media dapat digunakan untuk menyampaikan ideologi pemiliknya.

Pada dasarnya, apa yang disajikan oleh media adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam buku

Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content (1996)

mengemukakan ada lima level dalam media yang memengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan, yaitu:

1. Level Individu/Pekerja Media

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek


(35)

personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit banyak memengaruhi apa yang ditampilkan media.

Selain personalitas, level individu juga berhubungan dengan segi profesionalisme dari pengelola media. Latar belakang pendidikan atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa memengaruhi pemberitaan media. Wartawan yang memiliki orientasi terhadap partai politik tertentu akan memberitakan secara berbeda partai politik yang kebetulan menjadi idolanya.

2. Level Rutinitas Media

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk.

Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Sebagai mekanisme yang menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media memengaruhi wujud akhir sebuah berita.


(36)

Dalam hal ini media massa memiliki standard operational prochedure dalam mencari dan menemukan berita. Kemampuan media di dalam rutinitas media juga dipengaruhi oleh sumber daya manusia, materi, dan perlengkapan.

3. Level Organisasi Media

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya.

Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan berita agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.

Dialektika dalam level organisasi media ini dapat menjelaskan munculnya kecenderungan pers era reformasi untuk mengedepankan berita-berita politik yang tajam, sensasional, bahkan bombastis.


(37)

4. Level Ekstra Media

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus memengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media.

Pertama, sumber berita. Sumber berita disini dipandang bukanlah

sebagai pihak netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk memengaruhi media dengan berbagai alasan seperti memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu saja memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Media telah menjadi corong dari sumber berita untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber berita tersebut.

Kedua, sumber penghasilan media. Sumber penghasilan media ini bisa

berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli media. Media harus

survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan

sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan diantaranya dengan cara memaksa media untuk mengembargo berita yang buruk mengenai mereka. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus menerus


(38)

diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.

Ketiga, pihak eksternal. Pihak eksternal seperti pemerintah dan

lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Ini karena dalam negara yang otoriter, negara menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diberitakan. Pemerintah dalam banyak hal memegang lisensi penerbitan, kalau media ingin tetap dan bisa terbit ia harus mengikuti batas-batas yang telah ditentukan pemerintah tersebut. Berita yang berhubungan dengan pemerintah terutama berita buruk akan diembargo atau dibatalkan, daripada nasib media yang bersangkutan akan mati. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.

5. Level Ideologi

Ideologi adalah world view sebagai salah satu kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan lebih dilihat kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukannya.


(39)

II.2. Konstruksi Sosial Media Massa

Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in

The Sociological of Knowledge tahun 1966. (Bungin, 2008: 193).

Bagi Berger dan Luckmann, realitas tidak terbentuk dengan sendirinya secara ilmiah, namun dibentuk dan dikonstruksi. Realitas berwajah ganda/plural, setiap orang dapat memiliki konstruksi yang berbeda-beda terhadap sebuah realitas, selain itu realitas juga bersifat dinamis dan dialektis. Realitas tidak statis maupun tunggal karena ada relativitas sosial dari apa yang disebut pengetahuan dan kenyataan.

Menurut Berger dan Luckmann pula, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).

Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah transisi-modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian Berger dan Luckmann tidak


(40)

memasukan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas.

Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann telah direvisi dengan menambahkan variabel atau fenomena media massa yang sangat substantif dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan internalisasi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai konstruksi sosial media massa. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203).

Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008: 188-189). Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.


(41)

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa; (3) sebagai pilihan konsumtif.

4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi.

Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkostruksi realitas sosial, dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008: 188-189).

Gambar 2.

Proses Konstruksi Sosial Media Massa (Sumber: Bungin, 2008: 204)

Objektivasi

Internalisasi

P r o s e s S o s i a l S i m u l t a n

M E D I A M A S S A Eksternalisasi - Objektif - Subjektif - Inter Subjektif

Realitas Terkonstruksi: - Lebih Cepat

- Lebih Luas - Sebaran Merata

- Membentuk Opini Massa - Massa Cenderung

Terkonstruksi

- Opini Massa Cenderung Apriori

- Opini Massa Cenderung Sinis


(42)

II.3. Teori Propaganda

Teori propaganda menurut Herman dan Chomsky dalam bukunya

Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (1988), adalah

teori tentang media yang memaksakan kepentingannya sedimikian rupa agar diterima oleh publik. Media mempropagandakan nilai-nilai tertentu untuk didesakkan kepada publik. Bukan lagi menjadi rahasia umum bahwa kepemilikan media sangat strategis, oleh karena itu, para penguasa media akan melakukan apapun agar posisi mereka aman serta sejahtera.

Sebenarnya, fokus model propaganda ini adalah pada ketidakseimbangan antara kekayaan dengan kekuasaan, dan efek multilevel terhadap minat serta pilihan media massa. Maksudnya, uang dan kekuasaan dapat menyetir output berita, serta memungkinkan pihak-pihak dominan (swasta maupun pemerintah) menyampaikan pesan-pesan sesuai dengan kepentingan tertentu pada publiknya.

Herman dan Chomsky memperkenalkan model propaganda yang didalamnya terdapat filter-filter yang mempresentasikan kekuatan politik yang ada, yakni: ukuran besar-kecil kepemilikan dan orientasi media; Pengiklan; Sumber berita; Falk; dan Ideologi anti komunisme. (Herman, 1988: 3-29)

Filter pertama adalah, ukuran besar-kecil kepemilikan media. Media mempunyai keterkaitan jaringan kepemilikan dengan institusi ekonomi lainnya, sehingga media yang dominan dikuasai oleh sedikit orang. Mereka biasanya tergabung dalam grup tertentu. Kepemilikan media tidak hanya berjung disitu saja, biasanya mereka yang menguasai media juga mempunyai kepemilikan pada bidang bisnis atau politik lain. Konsentrasi kepemilikan ini memengaruhi tingkat


(43)

kemampuan media untuk bisa survive, karena, semakin luas jaringannya, semakin aman keberadaan media tersebut.

Filter kedua yang dijelaskan oleh Herman dan Chomsky adalah keberadaan iklan. Keberadaan iklan berfungsi untuk menopang profit bisnis media. Media menjadikan iklan sebagai sumber utama bagi mereka. Sedikit banyak, pengiklan juga melekatkan ideologinya pada media terkait, karena mereka memegang kendali dengan mengiklankan produk pada media tersebut. Bahkan tak jarang pengiklan juga menentukan konten media.

Kemudian, menilik pada filter selanjutnya yakni sumberberita, media massa membutuhkan legitimasi atas berita tersebut dengan menghadirkan sumber berita (narasumber) yang dianggap otoritatif dalam menjelaskan suatu peristiwa. Menurut Herman dan Chomsky, sumber berita penting untuk dua hal. Pertama, kredibilitas berita. Semakin sulit narasumber diraih, semakin prestise suatu berita. Kedua, media bisa mengklaim berita yang dihasilkan sebagai sesuatu yang objektif.

Filter keempat adalah flak. Flak merupakan respon negatif terhadap pernyataan media yang biasanya berasal dari surat, petisi, telepon, gugatan hukum, dan bentuk-bentuk komplain dan protes lainnya (Herman, 2002: 26). Respon ini bisa jadi muncul secara sporadis tetapi bisa juga terorganisir oleh korporasi atau kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.

Filter terakhir adalah ideologi anti komunisme merupakan kontrol mekanisme. Komunisme mengancam kepemilikan para pemodal, sehingga kekayaan mereka tidak bisa maksimal. Komunisme menjadi musuh bersama pada


(44)

tahun 50-an, saat keberadaan Rusia, Kuba dan China menonjol. Ideologi dan musuh bersama tersebut menyatukan media dan pandangan publik. Sehingga, opini publikdapat disetir sesuai dengan ideologi yang ada di negara tersebut, yang kemudian menempatkan posisi aman secara nasional.

II.4. Teori Agenda Setting

Agenda setting diperkenalkan oleh Mc Combs dan DL Shaw dalam Public Opinion Quarteley tahun 1972, berjudul The Agenda Setting Function of Mass Media. Asumsi dasar teori agenda setting adalah jika media memberi tekanan

pada suatu peristiwa, maka media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. (Bungin, 2008: 281)

Media menata (men-setting) sebuah agenda terhadap peristiwa ataupun isu tertentu sehingga dianggap penting oleh publik. Caranya, media dapat menampilkan isu-isu itu secara terus menerus dengan memberikan ruang dan waktu bagi publik untuk mengkonsumsinya, sehingga publik sadar atau tahu akan isu-isu tersebut, kemudian publik menganggapnya penting dan meyakininya. Dengan kata lain, isu yang dianggap publik penting pada dasarnya adalah karena media menganggapnya penting.

Menurut Onong Uchjana Effendy (dalam Bungin, 2008: 282), teori

agenda setting menganggap bahwa masyarakat akan belajar mengenai isu-isu apa,

dan bagaimana isu-isu tersebut disusun berdasarkan tingkat kepentingannya. McCombs dan Donald Shaw mengatakan pula, bahwa audience tidak hanya mempelajari berita-berita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi


(45)

juga mempelajari seberapa besar arti penting diberikan pada suatu isu atau topik dari cara media massa memberikan penekanan terhadap topik tersebut.

II.5. Analisis Framing

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sobur, 2004: 161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media.

Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing

adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2004: 162).

Menurut Imawan dalam Sobur (2004:162) pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada


(46)

kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan.

Ada dua aspek penting dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan kepada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan, yaitu apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.

Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta

yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu, penempatan yang menyolok, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi simplifikasi dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas.

Prinsip analisis framing menyatakan bahwa pada fakta yang diberitakan dalam media terjadi proses seleksi dan penajaman terhadap dimensi-dimensi


(47)

tertentu. Fakta tidak ditampilkan secara apa adanya, namun diberi bingkai (frame) sehingga menghasilkan konstruksi yang spesifik.

Adapun dalam penelitian ini, model analisis yang digunakan adalah model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Model analisis

framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki adalah salah satu model analisis

yang banyak dipakai dalam menganalisis teks media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu (Eriyanto, 2004: 252).

Menurut Pan dan Kosicki ada dua dari konsepsi framing yang saling berkaitan yaitu konsepsi psikologi (internal individu) dan konsepsi sosiologis (sosial). Bagaimana kedua konsepsi yang berlainan tersebut dapat digabungkan dalam suatu model dijelaskan dan dilihat dari bagaimana suatu berita diproduksi dan peristiwa dikonstruksi oleh wartawan.

Model Pan dan Kosicki ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai

frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide.

Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki melalui tulisan mereka “Framing

Analysis: An Aproach to News Discourse” mengoperasikan empat dimensi

struktural teks berita sebagai perangkat framing: sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global (Sobur, 2004: 175).


(48)

Selanjutnya perangkat framing dibagi menjadi empat struktur besar: 1. Sintaksis

Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan bagan berita –headline, lead, latar informasi, sumber, penutup, dalam suatu kesatuan teks berita secara keseluruhan.

a. Headline

Berita yang menjadi topik utama media. b. Lead

Alinea pembuka atau alinea pertama suatu berita. Lead atau teras berita berisi pokok-pokok penting yang dapat mewakili isi berita. c. Latar informasi

Merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi makna yang ingin ditampilkan wartawan. Wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan arah mana pandangan khalayak hendak dibawa.

d. Kutipan sumber berita

Orang atau hal-hal yang dijadikan sumber berita. Dimaksudkan untuk membangun objektivitas prinsip keseimbangan dan tidak memihak.

e. Pernyataan

Merupakan kalimat-kalimat yang dibuat untuk mendukung isi berita.


(49)

f. Penutup

Bagian akhir berita. 2. Skrip

Skrip berhubungan dengan bagaimana strategi cara bercerita atau bertutur wartawan dalam mengisahkan/ menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita.

Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah unsur kelengkapan berita, yaitu:

a. Who (siapa), siapa yang terlibat

b. What (apa), apa peristiwa yang diberitakan

c. When (kapan), waktu terjadinya peristiwa

d. Where (dimana), lokasi peristiwa

e. Why (mengapa), mengapa bisa terjadi

f. How (bagaimana), bagaimana terjadinya peristiwa

3. Tematik

Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis, bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam preposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan.

Tematik memiliki perangkat framing: a. Detail

Elemen detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara


(50)

berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi yang tidak menguntungkan dirinya dalam jumlah sedikit (bahkan kalau perlu tidak disampaikan).

b. Koherensi

Merupakan elemen untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan perangkat bahasa untuk menjelaskan fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandang saling terpisah, berhubungan, atau sebab akibat.

c. Bentuk kalimat

Bentuk kalimat dipakai untuk menjelaskan fakta yang ada, berhubungan dengan kalimat pasif atau kalimat aktif dan kalimat deduktif atau kalimat induktif.

d. Kata ganti

Kata pengganti subjek atau objek dalam suatu kalimat, misalnya: aku, dia, mereka, itu, dan lain-lain.

4. Retoris

Struktur retoris suatu wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memaknai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada pembaca.


(51)

Retoris memiliki framing sebagai berikut: a. Leksikon

Pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa.

b. Grafis

Biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan yang lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran yang lebih besar, termasuk di dalamnya adalah pemakaian caption,

raster, grafik, gambar, dan tabel untuk mendukung arti penting

suatu pesan. c. Metafora


(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Deskripsi Objek Penelitian

III.1.1 Sejarah Singkat Berdirinya Harian Media Indonesia

Harian Media Indonesia, pertama kali terbit pada tanggal 19 Januari 1970. Sebagai surat kabar umum, Media Indonesia pertama kali terbit hanya terdiri empat lembar halaman dengan jumlah tiras yang sangat terbatas. Kantor yang terletak di Jl. M.T Haryono di Jakarta, menjadi awal dari sejarah panjang Media

Indonesia. Lembaga yang berwenang menerbitkan Media Indonesia adalah

Yayasan Warta Indonesia.

Harian Media Indonesia terbit perdana dengan motto “Pembawa Suara Rakyat“ berdasarkan surat izin terbit (SIT) No. 0856/SK Dir-PK/SIT/1969, tanggal 6 Desember 1969, yang dikeluarkan Departemen Penerangan. Dengan susunan ketentuan sebagai berikut :

Pengasuh (PU/PR/PP) : (Alm) Teuku Yousli Syah Misi Penerbitan : Umum/Independen Periode Terbit : 7 kali dalam seminggu Oplah : 5000 (Lima ribu) eksemplar

Halaman : Empat halaman

Sistem Cetak : Letter Press Bahasa yang digunakan : Bahasa Indonesia


(53)

Pada tahun-tahun pertama penerbitan, Harian Umum Media Indonesia bukanlah suatu harian politik atau bisnis, akan tetapi merupakan sebuah harian yang isi pemberitaannya lebih banyak di bidang hiburan, seperti cerita artis dan lain sebagainya. Maka tidak heran pada saat itu harian umum Media Indonesia dikatakan sebagai koran kuning, yaitu koran yang penuh dengan cerita gosip.

Pada tahun 1976, terjadi perubahan aturan dimana Surat Izin Terbit (SIT) yang dimiliki oleh semua lembaga pers harus berubah menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya perubahan peraturan ini, pers tidak hanya dituntut untuk menanggung beban idealis saja namun juga tumbuh sebagai suatu badan usaha.

Oleh karena itu, Teuku Yousli Syah sebagai pendiri Media Indonesia pada tahun 1988 mulai menjalin kerja sama dengan Surya Paloh, mantan pemimpin surat kabar Prioritas, yang dibredel oleh pemerintah pada tanggal 29 Juni 1987 karena dinilai terlalu berani. Dengan adanya kerjasama ini, otomatis dua kekuatan bersatu, kekuatan pengalaman yang dimiliki oleh Surya Paloh dan kekuatan semangat yang dimiliki oleh Teuku Yousli Syah digabung menjadi suatu kekuatan baru, yaitu Media Indonesia dengan format manajemen baru di bawah bendera PT. Citra Media Nusa Purnama.

Surya Paloh diangkat sebagai Direktur Utama pertama yang menangani PT Citra Media Nusa Purnama. Teuku Yousli Syah diangkat sebagai Pemimpin Redaksi, sedangkan Pemimpin Perusahaan dipegang oleh Lestary Luhur. Kantor usaha pun dipindahkan ke Jalan Gondangdia Lama No. 46 Jakarta.


(54)

Dengan Manajemen yang baru Media Indonesia tumbuh dengan pesat, peredarannya pun semakin meluas ke seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tentu saja diikuti dengan pertambahan karyawan yang berbeda spesifikasi dan keahlian.

Pada awal tahun 1995, bertepatan dengan usianya yang ke 25 tahun, Media

Indonesia menempati kantor barunya di kawasan Kedoya Jakarta Barat. Di

Gedung baru ini semua kegiatan mulai dilaksanakan di bawah satu atap, mulai redaksi, usaha, percetakan, hingga fasilitas penunjang karyawan.

Dengan motto Pembawa Suara Rakyat, Media Indonesia pun melakukan semua kegiatan jurnalistik. Sejak ditangani manajemen yang baru, Media Indonesia terus berkembang dan melangkah maju dengan terus melakukan berbagai inovasi.

Berbagai inovasi terus dilakukan oleh Media Indonesia, misalnya bentuk penerbitan edisi khusus, rubrik-rubrik baru, aneka tips informatif, dan berbagai suplemen yang diterbitkan setiap harinya. Hasilnya secara perlahan terjadi peningkatan yang cukup signifikan, jumlah halaman, mutu sajian redaksional, jumlah tiras dan kepercayaan dari masyarakat yang terus meningkat.

Surya Paloh sebagai pemimpin utama harian umum Media Indonesia, terus berjuang mempertahankan kebebasan pers, pada tahun 1997 Djafar H. Assegaff yang baru menyelesaikan tugasnya sebagai duta besar, dan wartawan yang pernah menjadi pimpinan dibeberapa harian dan majalah terkemuka, ikut memperkuat jajaran staf Media Indonesia sebagai Pemimpin Redaksi Media


(55)

Selain terjun dalam dunia media massa, Surya Paloh juga aktif dalam dunia politik. Karirnya dimulai dari menjadi pendiri sekaligus Ketua Umum FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan ABRI) pertama pada tahun 1978. Hingga kemudian di kelembagaan legislatif, Surya pada tahun 1971 tercatat sebagai Calon Anggota DPRD Tingkat II Medan dari Partai Golkar, lalu sebagai Anggota MPR pada tahun 1977-1982 dan kembali menjadi Anggota MPR tahun 1982-1987. Terakhir, pada tahun 1987 sebagai Calon Anggota MPR/DPR RI dari Golkar namun urung dilantik setelah Prioritas, koran miliknya, dibredel.

Pada tahun 2009, Paloh maju menjadi salah satu kandidat calon Ketua Umum Partai Golkar pada Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Pekan Baru, Provinsi Riau. Namun, Paloh kalah dalam Munas tersebut. Satu-satunya rivalnya dalam Munas tersebut, yakni Abu Rizal Bakrie, mengunggulinya dan hingga kini menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Setelah kekalannya tersebut, Paloh tak lagi aktif berkiprah di partai yang kini menjadi partai koalisi terbesar dalam pemerintahan ini. Alih-alih, Paloh bersama 44 orang deklarator lainnya mendirikan organisasi massa Nasional Demokrat.

Harian Umum Media Indonesia juga mengembangkan industri di jalur media dengan mengembangkan koran-koran di daerah, seperti koran Lampung

Pos di kota Lampung. Kemajuan yang paling menonjol dari Media Indonesia

adalah ketika perusahaan Media Grup mendirikan perusahaan penyiaran di media televisi, yakni Metro TV yang mengusung konsep news television.

Sejak 2005, Pemimpin Redaksi Media Indonesia dijabat oleh Djadjat Sudradjat. Sedangkan Pemimpin Umum yang semula dipegang oleh Surya Paloh,


(56)

di tahun 2005, dijabat oleh Saur Hutabarat dan Wakil Pemimpin Umum dijabat oleh Andy F. Noya.

Pada tahun 2006 sampai dengan saat ini, terjadi beberapa perubahan struktur organisasi. Posisi jabatan saat ini, sebagai berikut: Direktur Pemberitaan dijabat oleh Saur Hutabarat, Direktur Pengembangan Bisnis dijabat oleh Alexander Stefanus sedangkan Direktur Utama dijabat oleh Rahni Lowhur-Schad.

III.1.2 Visi dan Misi serta Motto Harian Media Indonesia

Harian Media Indonesia memiliki visi: “Menjadi Surat Kabar Independen yang Inovatif, Lugas, Terpercaya dan paling berpengaruh”.

Sementara Misinya adalah:

1. Sumber informasi terpercaya dan relevan untuk kebutuhan masyarakat dimana kami berada.

2. Mempertajam isi yang relevan untuk pengembangan pasar

3. Perusahaan penerbitan yang sehat dan menguntungkan baik nasional maupun regional.

4. Tempat berkembangnya sumber daya manusia dan manajemen yang profesional dan unggul.

Sejarah panjang serta motto "Pembawa Suara Rakyat" yang dimiliki oleh harian Media Indonesia pun berubah seiring perubahan visi dan misi. Motto harian Media Indonesia juga ikut berubah menjadi “Lugas, Tegas dan Terpercaya”.


(57)

Tepat di usia yang ke-40, pada 19 Januari 2010, bersamaan dengan diluncurkannya buku Editorial Media Indonesia, motto harian Media Indonesia berubah menjadi “Jujur Bersuara”.

III.1.3 Struktur Organisasi Harian Media Indonesia o Direktur Utama : Rahni Lowhur-Schad o Direktur Pemberitaan : Saur M. Hutabarat o Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus o Ketua Dewan Redaksi : Elman Saragih o Anggota Dewan Redaksi : Djafar H. Assegaff

: Saur Hutabarat : Andy F. Noya : Djadjat Sudradjat : Laurens Tato : Ana Widjaya

: Bambang Eka Wijaya : Lestari Moerdijat : Sugeng Suparwoto : Suryo Pratomo : Rahni Lowhur Schad : Toeti Adhitama o Deputy Direktur Pemberitaan : Usman Kansong o Kepala Divisi Pemberitaan : Kleden Suban


(58)

o Redaktur Senior : Laurens Tato : Elman Saragih : Saur M. Hutabarat

III.2. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian teks. Teks sebagai materi penelitian memiliki fungsi, diantaranya teks sebagai objek penelitian, kemudian sebagai representasi yakni dari ciri kelompok yang diteliti, dan dari ciri situasi yang diteliti. Dalam penelitian ini konstruksi teks ataupun berita sebagai objek penelitian dianalisis dengan menggunkan analisis

framing yang dibuat oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

Framing bersama semiotik dan analisis wacana berada dalam rumpun

analisis isi. Sebagai kelanjutan analisis isi konvensional, analisis framing berusaha meninggalkan analisis isi konvensional disebabkan ketidakmampuan membca urgensi pesan sebagai bagian terpenting dari analisis sosial.

Analisis framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dalam praktiknya mengoperasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing: sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global (Sobur, 2004: 175). Selanjutnya Pan dan Kosicki mengkonsepsi perangkat framing tersebut seperti yang tertera pada skema 3.


(59)

PERANGKAT FRAMING

1. Skema berita

2. Kelengkapan berita

7. leksikon 8. Grafis 9. Metafora 3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk Kalimat 6. Kata Ganti STRUKTUR SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta TEMATIK Cara wartawan menulis fakta RETORIS Cara wartawan menekankan fakta UNIT YANG DIAMATI Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup

5 W + 1H

Paragraf, proporsi, kalimat, hubungan antar kalimat Kata, idiom, gambar/foto, grafik Gambar 3.

Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

Sumber: Eriyanto, 2004: 256 III.3. Subjek Penelitian

Pada penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah kumpulan berita tentang hak angket kasus mafia pajak pada harian Media Indonesia yang terbit dari tanggal 7 Februari sampai 26 Februari 2011. Berita yang menjadi subjek


(60)

penelitian adalah berita yang muncul mengenai hak angket kasus mafia pajak termasuk kolom tajuk rencana (editorial) dan opini.

III.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Studi dokumenter, yaitu data-data unit analisis dikumpulkan dengan cara

mengumpulkan data dari bahan-bahan tertulis pada harian Media

Indonesia yang memuat berita tentang hak angket kasus mafia pajak yang

berkaitan dengan partai Golkar. Berita-berita terkait kemudian dikliping, ditabulasikan dan selanjutnya dilakukan analis data.

b. Studi kepustakaan (library research), yaitu penelitian dilakukan dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data melalui literatur dan sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian. Dalam hal ini penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca buku-buku, literatur serta tulisan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

III.5. Teknik Analisis Data

Penelitian ini akan memusatkan pada penelitian kualitatif dengan perangkat metode analisis isi kualitatif menggunakan analisis framing sebagai pisau analisis. Selama bulan Februari, tepatnya mulai tanggal 7 Februari hingga 22 Februari 2011, terdapat sepuluh (10) berita yang muncul mengenai pengajuan hak angket kasus mafia perpajakan di harian Media Indonesia.


(61)

Dalam penelitian ini, berita-berita yang muncul setiap edisi berperan sebagai unit-unit analisis dari subjek penelitian ditabulasikan/dikoding dalam suatu tabel (tabel 1) yang memuat tanggal pemberitaan, judul/headline berita dan pada rubrik mana berita tersebut ditempatkan.

Tabel 1

Contoh Tabel Daftar Subjek Penelitian 7 Februari s/d 22 Februari 2011

No Tanggal Judul Rubrik

Selanjutnya enam belas berita yang telah diambil tersebut kemudian dianalisis satu per satu dengan menggunakan perangkat framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki yang kemudian masing-masing berita tersebut dibahas. Berita-berita tersebut dibagi ke dalam 4 (empat) struktur besar yaitu Sintaksis, Skrip, Tematik dan Retoris.

Enam belas berita yang telah dianalisis satu per satu dengan menggunakan perangkat framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki kemudian ditarik kesimpulan secara menyeluruh dan umum. Kesimpulan yang didapat akan melihat bagaimana harian Media Indonesia membingkai dan mengkonstruksikan partai Golkar dalam pemberitaan hak angket kasus mafia perpajakan.


(62)

BAB IV PEMBAHASAN

Harian Media Indonesia yang terbit pada bulan Februari cukup sering membahas berita mengenai hak angket mafia perpajakan. Selama periode 7 Februari hingga 22 Februari 2011, terdapat 10 berita mengenai hak angket tersebut di berbagai rubrik. Berita-berita tersebut ditampilkan pada rubrik Polkam sebanyak 7 kali, pada rubrik Selekta dua kali dan pada kolom Editorial (tajuk rencana) sebanyak satu kali

Keseluruhan berita mengangkat Partai Golkar di dalamnya meskipun ada beberapa judul berita yang tidak menyebutkan Partai Golkar secara langsung. Kesepuluh berita tersebut dirangkum dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2

Tabel Daftar Subjek Penelitian 7 Februari s/d 22 Februari 2011

No Tanggal Judul Rubrik

1 7 Februari 2011 Demokrat dan Golkar Adu Kuat Polkam 2 8 Februari 2011 PDIP Waspadai Penggembosan Polkam 3 9 Februari 2011 Demokrat Ngotot Golkar Melunak Polkam 4 11 Februari 2011 Soal Hak Angket Menohok Teman

Seiring

Polkam

5 14 Februari 2011 Nasib Angket Tergantung Golkar Polkam 6 16 Februari 2011 Konsistensi Golkar Diuji Polkam 7 19 Februari 2011 Golkar Persilakan Pencopotan Polkam


(1)

lembaga negara kehilangan kredibilitas seperti sekarang, angket seperti buah simalakama’ memnunjukkan pendangan MI secara keseluruhan terhadap angket.


(2)

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dari penelitian yang berisikan deskripsi dan interpretasi dari hasil penelitian. Dari bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan-kesimpulan yang berdasarkan pada model analisis framing Pan dan Kosicki terhadap pemberitaan mengenai Partai Golkar khususnya pada berita-berita mengenai hak angket mafia perpajakan 2011 di harian Media Indonesia. Selain kesimpulan, pada bab ini juga terdapat saran-saran dari peneliti terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan.

V.1 Kesimpulan

Melalui pemberitaan hak angket mafia perpajakan ini, dapat terlihat bagaimana frame Harian Media Indonesia terhadap Partai Golkar saat ini. Frame MI terhadap peristiwa pengajuan hak angket dipandang sebagai upaya

mempertahankan kepentingan politik dua partai besar dalam tubuh DPR, yaitu Partai Demokrat dan Partai Golkar.

Strategi pemberitaan seperti ini memang tidak secara langsung menunjukkan frame negatif MI terhadap Partai Golkar. MI seolah terlihat ingin bermain ‘aman’ dan mencoba untuk tidak memihak dengan tidak menunjukkan apakah MI setuju atau tidak terhadap pengajuan hak angket ini. Apalagi mengingat pemilik MI, yakni Surya Paloh, tidak lagi memiliki latar belakang


(3)

partai. Peneliti menganggap strategi pemberitaan seperti ini dilakukan MI untuk menjaga kredibilitasnya agar terlihat tidak terlalu menyudutkan Golkar.

Namun, jika dicermati lebih dalam, pada pemberitaan pegajuan hak angket ini, akan terlihat bahwa MI tidak lagi memberitakan Partai Golkar secara positif seperti yang pernah dilakukan MI ketika pemiliknya masih berkiprah di partai tersebut. Pasalnya, dalam rubrik Editorial, terdapat pandangan MI yang sebenarnya setuju dengan Partai Golkar bahwa hak angket merupakan jawaban yang paling tepat untuk menjawab permasalahan mafia pajak. Tetapi, dalam berita-berita lain bahkan dalam editorial tersebut pun MI cenderung memberitakan bahwa pengajuan hak angket hanyalah cara Partai Golkar untuk menyelamatkan kepentingan partainya. Selain itu, fakta bahwa ada partai lain selain Golkar yang mempertahankan hak angket juga cenderung disembunyikan oleh MI.

Beberapa berita malah mencitrakan Partai Golkar secara buruk. Antara lain, Partai Golkar adalah partai yang tidak konsisten dalam pengajuan hak angket, Partai Golkar adalah partai yang menyebabkan perpecahan dalam koalisi akibat pengajuan hak angket, Partai Golkar adalah pengkhianat dalam koalisi, bahkan MI juga memberi bingkai Partai Golkar sebagai partai pengecut yang tidak akan berani mengambil posisi sebagai oposisi dalam pemerintahan.

Secara keseluruhan dalam pemberitaan mengenai hak angket kasus mafia perpajakan ini, Partai Golkar dibingkai negatif oleh MI. Dengan demikian, kesimpulan yang peneliti peroleh adalah perubahan ideologi pemilik Harian Media Indonesia mempengaruhi perubahan frame pemberitaan media pula.


(4)

V.2 Saran

Berita yang ditampilkan oleh media massa adalah produk simbolik yang diproduksi berdasarkan subjektivitas wartawan dan pengelola media. Sudah seharusnya wartawan sadar akan tugasnya sebagai perpanjangan tangan khalayak dalam melihat sebuah fakta. Keberimbangan hendaknya menjadi pedoman dalam meliput dan menyajikan berita.

Selain itu, masyarakat sebagai konsumen media juga sebaiknya lebih kritis lagi dalam mengkonsumsi isi media, sebab realitas yang dikonstruksi wartawan dalam sebuah berita seringkali hanya merupakan kepentingan media massa dalam menyampaikan ideologi pemiliknya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Barret, Boyd. 1995. The Analysis of Media Occupations and Profesionals in Boyd Barret, Oliver, and Chris Newbold, Eds. Approaches to Media: A reader. New York.

Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsumen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann. Kencana: Jakarta.

_______. 2008. Sosiologi Komunikasi. Kencana: Jakarta.

_______. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Effendy, Onong Uchjana. 2000. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Eriyanto. 2004. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS.

_______. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realiltas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit.

Herman, Edward dan Noam Chomsky. 1988. Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York: Pantheon Books.

Mufid, Muhamad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana. Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: UGM Press. Rakhmad, Jalaluddin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

__________. 1993. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press.


(6)

Santana, Septiawan. Menulis Ilmiah: Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Shoemaker, J, Pamela dan Stephen D. Reese. Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content. New York and London: Longman Publishing Group.

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS.

Skripsi:

Samodro, Dewanto. 2010. Pemberitaan Harian Media Indonesia tentang Pemilihan Presiden 2009. Semarang: Universitas Diponegoro.

Website:

(diakses tanggal 16 Februari 2010 pukul 14.25)

(diakses tanggal 18 Februari 2011 pukul 16.00)

(diakses tanggal 18 Februari 2011 pukul 16.00)


Dokumen yang terkait

KONSTRUKSI SURAT KABAR ATAS MUNAS VIII PARTAI GOLKAR Analisis Framing pada Harian Media Indonesia dan Surabaya Post( edisi 5­9 Oktober 2009 )

0 7 3

KONSTRUKSI MEDIA DALAM PEMBERITAAN KASUS MAFIA PAJAK GAYUS TAMBUNAN (Analisis Wacana pada Harian Jawa Pos Periode April 2010)

0 6 47

Kepemilikan media dalam mencitrakan partai politik: analisis wacana kritis berita partai politik nasional Demokrat dalam kolom Indonesia memilih harian umum Media Indonesia

0 4 98

KASUS MAFIA PAJAK GAYUS HALOMOAN P TAMBUNAN DALAMPEMBERITAAN SURAT KABAR HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO KASUS MAFIA PAJAK GAYUS HALOMOAN P TAMBUNAN DALAM PEMBERITAAN SURAT KABAR HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO (Analisis Isi Berita Kasus Mafia Pajak Gayus Hal

0 2 18

PENDAHULUAN KASUS MAFIA PAJAK GAYUS HALOMOAN P TAMBUNAN DALAM PEMBERITAAN SURAT KABAR HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO (Analisis Isi Berita Kasus Mafia Pajak Gayus Halomoan P Tambunan Ditinjau dari Kualitas Isi Berita pada Surat Kabar Harian Kompas dan Koran

0 4 33

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN KASUS MAFIA PAJAK GAYUS HALOMOAN P TAMBUNAN DALAM PEMBERITAAN SURAT KABAR HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO (Analisis Isi Berita Kasus Mafia Pajak Gayus Halomoan P Tambunan Ditinjau dari Kualitas Isi Berita pada Surat Kabar Harian K

0 3 16

KESIMPULAN DAN SARAN KASUS MAFIA PAJAK GAYUS HALOMOAN P TAMBUNAN DALAM PEMBERITAAN SURAT KABAR HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO (Analisis Isi Berita Kasus Mafia Pajak Gayus Halomoan P Tambunan Ditinjau dari Kualitas Isi Berita pada Surat Kabar Harian Kompas

0 2 97

PERAN PARTAI POLITIK GOLKAR DALAM PENDIDIKAN POLITIK (Studi Kasus di DPD Partai GOLKAR Kabupaten Sragen) Peran Partai Politik Golkar Dalam Pendidikan Politik (Studi Kasus di DPD Partai GOLKAR Kabupaten Sragen).

0 1 17

PERAN PARTAI POLITIK GOLKAR DALAM PENDIDIKAN POLITIK (Studi Kasus di DPD Partai GOLKAR Kabupaten Sragen) Peran Partai Politik Golkar Dalam Pendidikan Politik (Studi Kasus di DPD Partai GOLKAR Kabupaten Sragen).

0 1 12

Kecewa Hak Angket, Nama Partai Diplesetkan.

0 0 1