Dasar Hukum Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

yang berkaitan. Hanya saja diharapkan paling lambat 1 januari 2014, Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan telah menjadi pajak daerah pada semua kabupatenkota. Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupatenkota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupatenkota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupatenkota. Karena itu untuk dapat dipungut pada suatu kabupatenkota maka pemerintah kabupatenkota harus terlebih dahulu menerbitkan peraturan daerah tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di daerah kabupatenkota yang bersangkutan dalam Siahaan, 2012 : 554.

3.2.1. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan diindonesia saat ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat, sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pemunggutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan pada suatu Kabupaten Kota adalah sebagaimana dibawah ini : 1. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Peraturan daerah kabupaten kota yang mengatur tentang Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan 3. Keputusan bupati walikota yang mengatur tentang Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai aturan pelaksanaan peraturan daerah tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan pada kabupatenkota dimaksud. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pemerintah kabupatenkota bersama dengan dewan perwakilan rakyat daerah DPRD Kabupatenkota diharapkan dapat segera membahas dan menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai dasar hukum pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Dengan demikian, paling lambat tahun 2014, Pemerintah pusat tidak lagi memungut Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dalam Siahaan, 2012 : 555.

3.2.2 Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan, dan tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan. Dalam pengenaan Pajak bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan termasuk dalam pengertian bangunan yang menjadi objek pajak adalah : j. Jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut. k. Jalan tol l. Kolam renang m. Pagar mewah n. Tempat olahraga o. Galangan kapal, dermaga p. Taman mewah q. Tempat penampungan kilang minyak, air dan gas, pipa minyak r. Dermaga dan menara. Sebagaimana dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, pada undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 77 ayat 1 ditetapkan bahwa yang menjadi objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Penggunaan kata dan atau berarti ada tiga kemungkinan objek pajak, yaitu bumi saja, bangunan saja, serta bumi dan bangunan. Objek pajak yang berupa bumi saja dapat dengan mudah ditemui, misalnya tanah kosong, sawah, ladang, kebun,dan objek sejenis lainnya. Objek pajak yang berupa bumi dan bangunan juga dapat dengan mudah ditemui misalnya rumah yang berdiri diatas sebidang tanah yang dimiliki oleh seseorang, bangunan gedung beserta tanah tempat bangunan berdiri, dan objek sejenis lainnya. Mungkin yang sedikit sulit untuk dipahami adalah adanya objek pajak yang hanya berupa bangunantanpa bumi. Apabila melihat ketentuan undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 77 ayat 1, pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atas objek pajak yang berupa bangunan saja memang dimungkinkan, walaupun dalam praktik hal ini jarang ditemui. Satu hal yang harus dipahami bahwa yang dimaksuddengan objek pajak bangunan saja tidak berarti bangunan dimaksud tidak melekat dibangun di atas tanah atau perairan. Bangunan tersebut pada dasarnya melekat secara tetap di atas tanah,tetapi pemilikan dan atau penguasaan atas bangunan dimaksud berbeda dengan pemilikan dan atau penguasaan atas tanahnya. Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut ini. Misalnya sebidang tanah dimiliki oleh Tuan A di mana di atas tanah tersebut telah berdiri sebuah bangunan yang dimiliki Tuan B. Pendirian bangunan tersebut didasarkan pada perjanjian dan izin yang diberikan oleh Tuan A kepada Tuan B, di mana seluruh tanah tetap dimiliki dan diikuasai oleh Tuan A termasuk kewajiban pembayaran pajak juga ada pada Tuan A. Tuan B diizinkan untuk mendirikan bangunan dan memanfaatkannya dengan ketentuan pajak atas bangunan dimaksud harus di tanggung oleh Tuan B. Dalam kasus ini dimungkinkan pengenaan PBB dilakukan secara terpisah, dimana atas keseluruhan tanah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan yang akan ditanggung oleh Tuan A dan atas bangunan dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan yang akan ditanggung oleh Tuan B. Apabila hal ini dilakukan maka akan ada dua objek pajak yang terpisah yaitu objek pajak berupa tanah saja dan bangunan saja. Apa yang dikemukakan di atas dimungkinkan sesuai dengan asas pemilikan tanah dan benda-benda yang melekat di atasnyatermasuk bangunan yang berlaku dalam hukum pertanahan hukum agraria di Indonesia saat ini. Asas yang berlaku saat ini sesuai dengan ketentuan undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal sebagai UUPA adalah asas pemisahan horizontal horizontal scheiding, yaitu suatu asas yang memandang bahwa pemilikan tanah terpisah dengan pemilikan yang melekat pada tanah yang dimaksud.Dengan demikian pemilik sebidang tanah tidak secara otomatis menjadi pemilik bangunan yang diberikan diatas tanah tersebut. Hal ini membuat walaupun secara utuh suatu bangunan melekat secara fisik pada sebidang tanah, tetapi hukum pemilikan atau penguasaanya mungkin terpisah pada badan hukum yang berbeda. Penerapan atas pemisahan horizontal ini telah diakomodasikan dalam undang-undang Nomor 2008 tahun 2009, sehingga untuk lebih memberikan kepastian hukum dan pengenaan pajak atas suatu objek pajak digunakan kata bumi dan atau bangunan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pengenaan pajak atas bumi dan bangunan yang pemilikan dan pemanfaatannya bahwa hukum ditentukan terpisahdalam Siahaan, 2012:555.

3.2.3 Subjek dan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan