Pengaruh Sumber Penerimaan Daerah dan Angkatan Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

PENGARUH SUMBER PENERIMAAN DAERAH DAN

ANGKATAN KERJA TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

SKRIPSI Diajukan Oleh: LESTARI SIHITE

060501041

EKONOMI PEMBANGUNAN

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Medan 2010


(2)

(3)

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the influence of local revenue sources and the labour force for economic growth in the implementation of regional autonomy in the district Humbang Hasundutan 2004 until 2007 by using variabel PAD, DAU end the labour force.

This study uses a model of linear regression analysis Ordinary Least Square methoed (OLS). The data used in this study are time series with models econometrics and data obtained are processed using Computer programs eviews 5.1.

Regression results do show that there is a significant positive relationship between the PAD, DAU and the labor force for economic growth in the district for Humbang Hasundutan 89.78% during the implementation of regional autonomy, while the remainder explained by other variables not included in the model equations of 10:22% and significant at α = 1%.


(4)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sumber penerimaan daerah adan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten Humbang Hasundutan 2004 – 2007 dengan menggunakan variabel PAD, DAU dan angkatan kerja.

Penelitian ini menggunakan model analisis regresi linear dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah time series dengan menggunakan alat estimasi program computer Eviews 5.1.

Hasil regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan dan positif antan PAD,DAU dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten Humbang Hasundutan sebesar 89.78% selama pelaksanaan otonomi daerah, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model persamaan sebesar 10.22% dan signifikan pada α = 1%.


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan Segala Puji dan Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus sumber kekuatan dan penggharapan, atas berkat kasih karunia serta kemurahan hati-Nya sejak masa perkulihan sampai dengan selesainya perkulihaan skripsi yang berjudul “Pengaruh Sumber Penerimaan Daerah dan Angkatan Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan” dimana isi dan materi skripsi ini didasarkan pada studi literatur dengan menganalisis data-data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait.

Salah satu bagian yang paling menggembirakan dalam penulisan skripsi ini adalah kesempatan untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, memberikan bimbingan, saran dan dorongan moril baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi ini, antara lain:

1. Teristimewa buat kedua Orangtua tercinta penulis, Ayahanda Jannes sihite dan Ibunda Sentina br Banjarnahor. Dengan penghargaan dan kasih sayang yang sedalam-dalamnya, terima kasih buat dukungan yang selalu kalian berikan kepada penulis baik dukungan materil maupun semangat serta doa yang tidak putus-putus yang tak ternilai harganya.

2. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, Selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, sebagai sekretaris Departemen


(6)

5. Bapak Drs. Rujiman, MA, sebagai dosen pembingbing skripsi yang telah meluangkan waktu dalam memberikan masukkan, saran, dan bimbingan yang baik mulai dari awal penulisan hingga selesainya skripsi ini.

6. Bapak Drs. Rahmad Sumanjaya Hsb, Msi selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis

7. Bapak Drs. Arifin Siregar M.SP selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis 8. Ibu Dra. Raina Linda Sari, Msi selaku Dosen wali yang telah banyak

membantu penulis selama perkuliahan.

9. Seluruh staff pengajar dan pegawai di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

10.Kakak, abang dan adik-adik penulis: K’Rinawaty ,B’ Bona, Togi, Desi, dan Melati. Terima kasih buat semangat dan doa dan pengertian yang kalian berikan pada penulis selama proses pengerjaan skripsi.

11.Buat sahabat-sahat penulis: Yuni, Novia, Marianim, Erna, Desma, Regina, dan k’Lusi yang telah banyak membantu di dalam pembuatan skripsi ini. Terimakasih untuk kehadiran kalian sebagai teman-teman terbaik disetiap hari-hari yang begitu berkesan bagi penulis.

12.Buat teman-teman di Departemen Ekonomi pembangunan, khususnya angkatan ’06 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan warna dan kebersamaan pada setiap hari yang kita lewati bersama.


(7)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini belum sempurna, hal ini tidak terlepas dari kekurangnya pengalaman dan terbatasnya ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, penulis menerima kritikan dan saran yang membangun guna mencapai kesempurnaan dari para pembaca guna menyempurnakan isi maupun teknik penulisan yang benar. Akhir kata, semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca, terimakasih.

Hormat saya Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Hipotesis ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 9

1.5 Manfaat Penelitian... 9

BAB II: LANDASAN TEORI 2.1 Produk Domestik Regional Bruto ... .... 11

2.1.1 Metode Perhitungan PDRB ... .... 11

2.1.2 PDRB Konstan dan PDRB Berlaku ... .... 14

2.1.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi... .... 16

2.2 Pendapatan Asli Daerah... .... 26

2.2.1 Pajak Daerah ... .... 27

2.2.2 Retribusi Daerah ... .... 31

2.2.3 Laba BUMD ... .... 35

2.2.4 Lain-lain PAD yang sah ... .... 35

2.3 DAU ... .... 36

2.4 Angkatan Kerja ... .... 39

2.4.1 Profil Angkatan Kerja ... .... 41


(9)

2.5 Penelitian Sebelumnya ... .... 45

BAB III: METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... .... 47

3.2. Jenis dan Sumber Data ... .... 47

3.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... .... 48

3.4. Pengolahan Data... .... 48

3.5. Model Analisis ... .... 48

3.6. Uji Kesesuaian ( Test of Goodnes of fit ) ... .... 50

3.6.1 Koefisien Determinasi ( R2 ) ... .... 50

3.6.2 Uji Parsial ... .... 50

3.6.3 Uji Serempak ... .... 53

3.6. 4 Asumsi Klasik ... .... 53

3.6.4.1 Uji Multikolonearity ... .... 53

3.6.4.1 Uji Autokorelasi ... .... 54

3.7. Definisi Operasional ... .... 56

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Kondisi Wilayah ... .... 57

4.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Humbang Hasundutan ... .... 57

4.1.2 penduduk ... .... 60

4.1.3 Sosial ... .... 62

4.1.4 Potensi Pertanian ... .... 66

4.1.5 Perkembangan PDRB kabupaten Humbang Hasundutan ... .... 67

4.1.6 Perkembangan PAD kabupaten Humbang Hasundutan ... .... 68

4.1.7 Perkembangan PAD kabupaten Humbang Hasundutan ... .... 69

4.2. Analisis Dan Pembahasan... .... 70

4.2.1 Analisis dan Pengumpulan Data ... .... 70

4.2.2 Interpretasi Model ... .... 71

4.2.3. Uji Kesesuaian ... .... 72

1. koefisien Determinasi ... .... 72

2. Uji t-statistik... .... 73


(10)

4.2.4 Uji Asumsi Klasik ... .... 77 1. Multikolinearity ... .... 77 2. Autokorelasi ... .... 79

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... .... 81 5.2. Saran ... .... 82

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

NO. Tabel Judul Halaman

1. Perkembangan PAD kabupaten Humbang Hasundutan ... 4

2. Jumlah desa dan keluran kabupaten Humbang Hasundutan... 59

3. Luas wilayah kabupaten Humbang Hasundutan ... 60

4. Jumlah angkatan kerja kabupaten Humbang Hasundutan ... 61

5. Jumlah sekolah kabupaten Humbang Hasundutan ... 64

6. Jumlah saran kesehatan kabupaten Humbang Hasundutan ... 65

7. PDRB berlaku dan konstan kabupaten Humbang Hasundutan ... 67


(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

1. Perkembangan Angkatan Kerja kabupaten Humbang Hasundutan ... 62

2. Perkembangan PDRB berlaku kabupaten Humbang Hasundutan ... 67

3. Perkembangan PDRB konstan kabupaten Humbang Hasundutan ... 67

4. Perkembangan PAD kabupaten Humbang Hasundutan ... 69


(13)

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the influence of local revenue sources and the labour force for economic growth in the implementation of regional autonomy in the district Humbang Hasundutan 2004 until 2007 by using variabel PAD, DAU end the labour force.

This study uses a model of linear regression analysis Ordinary Least Square methoed (OLS). The data used in this study are time series with models econometrics and data obtained are processed using Computer programs eviews 5.1.

Regression results do show that there is a significant positive relationship between the PAD, DAU and the labor force for economic growth in the district for Humbang Hasundutan 89.78% during the implementation of regional autonomy, while the remainder explained by other variables not included in the model equations of 10:22% and significant at α = 1%.


(14)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sumber penerimaan daerah adan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten Humbang Hasundutan 2004 – 2007 dengan menggunakan variabel PAD, DAU dan angkatan kerja.

Penelitian ini menggunakan model analisis regresi linear dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah time series dengan menggunakan alat estimasi program computer Eviews 5.1.

Hasil regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan dan positif antan PAD,DAU dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten Humbang Hasundutan sebesar 89.78% selama pelaksanaan otonomi daerah, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model persamaan sebesar 10.22% dan signifikan pada α = 1%.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu negara atau daerah. Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan sasaran utama bagi negara yang sedang berkembang.

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak kebijakan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah dambaan semua daerah maupun negara. Pertumbuhan ekonomi selalu dipandang menjadi indikator tingkat kesejahteraan penduduk dalam suatu negara atau daerah

Dalam rangka mengisi dan melaksanakan pembangunan daerah, masalah keuangan merupakan masalah pokok pemerintah, penerimaan dan pengeluaran harus diseimbangkan oleh pemerintah demi kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, peningkatan pendapatan perkapita dan taraf hidup masyarakat merupakan faktor-faktor yang menjadi tantangan bagi pemerintah sehinga menyebabkan pengeluaran pemerintah menjadi semakin tinggi, padahal kenaikan pengeluaran yang terjadi tidak serta merta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Disisi lain penerimaan yang digunakan untuk membiayai kebutuhan tersebut semakin terbatas. Dengan menurunnya penerimaan negara dari minyak bumi yang merupakan pendapatan terbesar kedua setelah pajak, yang berdampak pada menurunnya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), maka timbullah


(16)

kesadaran akan berkurangnya kemampuan keuangan pemerintah pusat dalam membiayai proyek-proyek pemerintah di daerah (Suparmoko,2001:15).

Penurunan penerimaan negara tersebut telah mendorong meningkatnya pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, pemerintah pusat memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah dalam berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah agar bisa membiayai proyek-proyek pembangunan di daerah masing-masing dan tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi maupun jalannya pemerintahan, akibat berkurangnya kemampuan pemerintah pusat dalam memberikan subsidi.

Sistem otonomi daerah yang direalisasikan pada tahun 2001 yang pada konsep dasarnya adalah memberikan wewenang kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi didaerahnya masing-masing sehingga sesuai dengan apa yang mereka kehendaki dan tidak terlepas dari kemampuan daerah dalam hal pendanaan dan kemampuan daerah dalam masalah sumber daya manusia. Setiap daerah dituntut untuk lebih aktif dalam menyusun dan merencanakan pembangunan daerahnya. Sekelompok orang percaya bahwa pemerintah daerah akan bekerja lebih efektif dan efisien daripada pemerintah pusat karena daerah dianggap lebih menggetahui dan lebih memahami kebutuhan daerahnya daripada pemerintah pusat (Suparmoko, 2001:19).

Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah yang terdiri dari Undang-Undang Repbulik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Republik


(17)

Indonesia No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Pelaksanaan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Undang No. 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan pusat dan daerah khususnya dalam bidang administrasi pemerintah maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang dikenal sebagai otonomi daerah.

Sejalan dengan perubahan undang–undang otonomi daerah tersebut, tentunya akan membawa konsekuensi bagi setiap daerah. Konsekuensi dari pelaksanaan undang-undang ini adalah bahwa daerah harus mampu mengembangkan otonomi secara luas, nyata, dan bertangung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Disisi lain, saat ini kemampuan beberapa pemerintah daerah masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, bersamaan dengan semakin sulitnya keuangan negara dan pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri maka kepada setiap daerah dituntut agar dapat membiayai diri sendiri melalui sumber-sumber keuangan yang dimilikinya tanpa harus terus bergantung pada pemerintah pusat dan setiap daerah dituntut untuk lebih efektif dalam melaksanakan fungsinya.


(18)

Sumber penerimaan daerah yang dianggap memadai dalam membiayai kegiatan daerah berasal dari Dana Perimbangan yang terdiri dari : Bagian Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan DAU merupakan sumber penerimaan terbesar yang diterima daerah,Sumber penerimaan lainnya berasal dari PAD.

Pada prinsipnya otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, baik yang dilihat dari aspek administrasi maupun dari aspek keuangan. Sejalan dengan itu, untuk menjalankan fungsi pemerintahan atau kegiatan pemerintahan ,faktor keuangan merupakan suatu hal yang sangat penting karena hampir tidak ada kegiatan pemerintah yang tidak membutuhkan biaya.

Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintah yang dilimpahkan kepada daerah. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan dari pusat kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif besar yakni sekitar 25% dari penerimaan dalam negeri, namum dana perimbangan dianggap kurang memadai untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah. Oleh karena itu sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja didalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi daerah PAD selalu dipandang sebagai salah satu kriteria untuk mengukur tingkat ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD


(19)

maka akan menunjukan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertanggung jawab. Penyelenggaraan otonomi yang sehat hanya tercapai apabila sumber utama keuangan daerah guna membiayai aktifitas daerah berasal dari PAD atau paling tidak pembiayaan rutinnya ditutup oleh hasil dari PAD (Kaho, 2007:284).

Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten yang berdiri karena adanya otonomi daerah, dalam melaksanakan otonomi daerah kabupaten Humbang Hasundutan masih sangat bergantung pada DAU yaitu sekitar 71.36 milliar tahun 2004 dan 199.86 milliar tahun 2007 dan jumlah PAD kabupaten Humbang Hasundutan pada tahun 2004 adalah 2.76 milliar dan pada tahun 2007 adalah sekitar 5.97 milliar. Jika dilihat dari perbandingannya, maka sumber PAD kabupaten Humbang Hasundutan masih sangat rendah.

Tabel 1.

Perkembangan PAD Humbang Hasundutan periode 2004 – 2007

Tahun PAD (milyar rupiah)

2004 2005 2006 2007

2.76 3.09 3.51 5.97

Sumber : Badan Pusat Statistik kabupaten Humbang Hasundutan Keuangan merupakan dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Kemampuan daerah yang dimaksud adalah dalam arti sampai seberapa jauh daerah dapat


(20)

menggali sumber-sumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhannya tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan atau subsidi pemerintah pusat (Kaho, 2007:124).

Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah dan menjadi sumber penerimaan bagi daerah tersebut. Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya PAD yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang keuangan karena kemampuan keuangan ini merupakan salah satu indikator penting guna mengukur tingkat otonomi suatu daerah (Kaho,2007:283). Sumber penerimaan daerah merupakan sumber dana bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi disetiap daerah.

Sumber PAD merupakan sumber penerimaan daerah yang dianggap paling mampu untuk menambah pendanaan daerah dan dianggap juga salah faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah dalam menjalankan kegiatannya disamping DAU. Sumber keuangan daerah yang digali dari dalam daerah biasanya terdiri dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang disahkan, dan PAD lain - lain yang disahkan.


(21)

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan menuangkannya dalam tulisan dengan judul “Pengaruh Sumber Penerimaan Daerah dan Angkatan Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan”

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka perumusan masalah yang dapat diambil sebagai dasar dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh PAD terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan?

2. Bagaimana pengaruh Dana Alokasi umum terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan?

3. Bagaimana pengaruh Angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan?


(22)

1.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas permasalahan yang menjadi objek penelitian yang kebenarannya masih harus diuji atau dibuktikan secara empiris. Dari rumusan masalah diatas maka penulis mengemukakan jawaban sementara sebagai berikut:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan, ceteris paribus.

2. Dana Alokasi Umum mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan, ceteris paribus.

3. Angkatan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan, ceteris paribus.


(23)

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan.

2. Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan.

3. Untuk mengetahui pengaruh Angkatan Kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menambah wawasan pengetahuan penulis khususnya dalam konsep keuangan daerah dan pertumbuhan ekonomi

2. Sebagai bahan studi dan tambahan literature bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, khususnya bagi Mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan.

3. Sebagai masukan yang bermanfaat bagi pemerintah dan bagi institusi-institusi yang terkait.


(24)

BAB II

LANDASAN TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI

Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses bukan suatu gambaran ekonomi pada suatu saat, pertumbuhan ekonomi selalu bersifat dinamis atau berubah dari waktu kewaktu. Pertumbuhan ekonomi menurut Kuznets adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan) dan idiologi terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro, 2000:144).

Dan menurut Sukirno, pertumbuhan ekonomi adalah “kenaikan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil daripada tingkat pertumbuhan penduduk, atau ada tidaknya perubahan dalam struktur ekonomi”. Batas perhitungan PDB adalah negara (perekonomian domestik). Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu unsur utama dalam pembangunan ekonomi regional, sasaran analisis pertumbuhan ekonomi regional adalah untuk menjelaskan mengapa suatu daerah dapat tumbuh cepat atau lambat.

Menurut Todaro (2000) terdapat tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, ketiganya adalah: Akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan modal atau sumber daya manusia. Pertumbuhan penduduk dan


(25)

angkatan kerja beberapa tahun selanjutnya yang akan memperbanyak jumlah akumulasi kapital serta kemajuan teknologi.

Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijakan pembangunan dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan cara memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada (Lana Soelistianingsih, 2007:2).

2.1 Produk Domestik Regional Bruto ( PDRB )

Salah satu dasar yang digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu wilayah atau daerah adalah dengan menggunakan besar nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB pada dasarnya adalah merupakan nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah dalam satu periode tertentu (satu tahun). Perkembangan ekonomi suatu daerah pada hakekatnya adalah serangkaian usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah atau wilayah dapat dilihat dari PDRB daerah yang bersangkutan. Dengan demikian secara umum dinyatakan bahwa PDRB mencerminkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

2.1.1 Metode Penghitungan PDRB 1. Metode Langsung

a. Pendekatan produksi (production approach)

PDRB merupakan Jumlah Nilai Tambah Bruto (NTB) atau nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh unit produksi disuatu wilayah dalam suatu periode tertentu, biasanya satu tahun. Sedangkan NTB adalah nilai produksi bruto dari barang dan jasa tersebut dikurangi seluruh biaya antara yang digunakan dalam


(26)

proses produksi. Metode ini adalah metode yang digunakan dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan negara-negara berkembang, sedangkan dinegara maju perhitungan pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan pendekatan pendapatan dan pengeluaran. Adapun perhitungan PDRB dengan metode produksi

Y = P1Q1 + P2Q2 + … + PnQn Dimana:

Y = PDRB

P1, P2,…Pn = Harga satuan produk pada satuan masing–masing sektor ekonomi Q1,Q2,…Qn = jumlah produk pada satuan masing–masing sektor ekonomi

Dalam pendekatan ini yang dipakai hanya nilai tambah bruto saja, hal ini dilakukan agar perhitungan ganda tidak terjadi.

b. Pendekatan pendapatan (income approach)

PDRB adalah jumlah seluruh balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi disuatu wilayah dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Berdasarkan pengertian tersebut, maka NTB adalah jumlah dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan (laba) dimana pajak penghasilan dan pajak langsung belum dipotong. Dalam pengertian PDRB ini termasuk pola komponen penyusutan dan pajak tidak langsung netto.

Y = Yw + Yr + Yi + Yp Dimana:

Y = Pendapatan regional Yi = Pendapatan bunga Yw = Pendapatan upah/gaji


(27)

Yp = Pendapatan laba/profit Yr = Pendapatan sewa

c. Pendekatan pengeluaran (expenditure approach)

PDRB adalah jumlah seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembanga swasta, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan inventori, dan ekspor bersih di dalam suatu wilayah tertentu, biasanya satu tahun. Dengan metode ini, perhitungan NTB bertitik tolak pada penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi.

Y = C + I + G + ( X – M ) Dimana:

Y = PDRB

C = Pengeluaran rumah tangga konsumen untuk konsumsi I = Pengeluaran rumah tangga perusahaan untuk investasi ( X – M) = Ekspor netto atau pengeluaran rumah tangga luar negeri

Dalam pendekatan ini nilai ekspor dan impor yang dihitung hanyalah nilai transaksi-transaksi barang jadi saja, hal ini dilakukan untuk menghindari adanya perhitungan ganda.

2. Metode Tidak Langsung (Alokasi)

Metode Alokasi atau metode tak langsung adalah alternatif terakhir yang dapat digunakan untuk menghitung PDRB. Biasanya digunakan untuk mengalokasikan PDRB suatu wilayah ke tingkat wilayah yang lebih kecil (misalnya menghitung PDRB kecamatan berdasarkan PDRB kabupaten).


(28)

Menghitung nilai tambah suatu kelompok ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasioanl kedalam masing–masing kelompok kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan yang paling besar tergantung atau erat kaitannya dengan produktifitas kegiatan ekonomi tersebut.

2.1.2 PDRB atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga berlaku

Umumnya PDRB dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) dan PDRB atas dasar harga konstan (rill) . PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga berlaku setiap tahunnya.

Dalam PDRB ini unsur inflasi sudah masuk, Sedangkan nilai PDRB atas dasar harga konstan menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu, misalnya PDRB tahun 1983, 1993 atau 2000. Pada PDRB atas dasar harga konstan unsur inflasi sudah dikeluarkan.

a. PDRB atas dasar harga berlaku

PDRB atas dasar berlaku adalah jumlah nilai produksi atau pendapatan atau pengeluaran yang dinilai sesuai dengan harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan. Perubahan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun perhitungan masih memuat akibat terjadinya inflasi dan deflasi sehinga tidak memperlihatkan pertumbuhan atau perubahan PDRB secara rill.

Perhitungan PDRB menurut harga berlaku dapat menghasilkan distribusi (share) masing–masing penguna atau pengeluaran masing–masing pelaku ekonomi dari waktu ke waktu.


(29)

PDRB atas dasar harga konstan adalah jumlah nilai produksi atau pendapatan atau pengeluaran yang dinilai atas dasar harga tetap (harga pada tahun dasar) yang digunakan selama satu tahun. PDRB atas dasar harga konstan menggunakan harga pasar pada tahun tertentu sehinga perubahan besaran PDRB sudah lepas dari pengaruh inflasi atau deflasi.

Pada dasarnya ada empat cara perhitungan nilai tambah atas dasar harga konstan yaitu :

a.Revaluasi : yaitu dengan cara menilai produksi dan biaya antar masing– masing tahun dengan harga tahun dasar.

b. Ekstrapolasi : yaitu dengan cara mengalihkan nilai tambah tahun dasar dengan indeks produksi

c. Deflasi : yaitu dengan cara membagi nilai tambah atas dasar harga berlaku masing–masing tahun dengan indeks harga yang digunakan sebagai deflator. Indeks harga yang digunakan biasanya sebagai deflator biasanya merupakan indeks harga konsumen (IHK), Indeks harga perdagangan besar (IHPB) atau indeks harga yang dianggap lebih cocok. d. Deflasi berganda : dalam deflasi berganda yang dideflasi adalah output

dan biaya antara, sedangkan nilai tambah diperoleh dari selisih antara output dan biaya antara hasil deflasi tersebut. Indeks harga yang digunakan sebagai deflator untuk perhitungan output biasanya disesuaikan dengan cakupan komoditinya, sedangkan indeks harga untuk biaya antara adalah indeks harga dari komponen input terbesar.


(30)

2.1.3 Teori – Teori Pertumbuhan Ekonomi 1. Teori klasik

Adam Smith adalah ahli ekonomi klasik yang pertama kali yang mengemukakan mengenai pentingnya kebijakan lisez-faire atau sistem mekanisme pasar akan memaksimalkan tingkat pembangunan ekonomi suatu negara. Menurut teori kaum klasik mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh adanya perpacuan antara perkembangan penduduk dan kemajuan teknologi.

Mengenai corak dan proses pertumbuhan ekonomi, Adam Smith mengemukakan bahwa apabila pembangunan sudah terjadi maka proses tersebut akan terus-menerus berlangsung secara kumulatif. Asal saja ada sedikit permodalan awal dan kemungkinan-kemungkinan pasar, pembagian kerja dan spesialisasi akan terjadi sehingga timbul kenaikan produktifitas dan pendapatan nasional. Dengan adanya kenaikan pendapatan nasional akan memperluas pasar dan menciptakan tabungan yang lebih banyak. Selain itu, spesialisasi dan perluasan pasar akan merangsang lebih banyak pengusaha dan pengembangan teknologi dan mengadakan inovasi sehingga pembangunan ekonomi akan terus berlanjut.

Pertumbuhan penduduk pada umumnya tidak diikuti oleh pertambahan lahan sehingga mulai dirasakan bahwa tanah atau lahan semakin sempit. Oleh karena itu pekerja-pekerja baru akan mendapatkan lahan yang semakin sempit untuk digarap.

Pada saat seperti ini barulah berlaku konsep the law of diminishing returns. Menurut rasio antara jumlah pekerja dengan lahan yang tersedia akan menimbulkan penurunan marginal produk sehingga akan menimbulkan upah


(31)

rill.Teori klasik juga mengemukakan keterkaitan antara jumlah perkapita dan jumlah penduduk. Teori tersebut disebut teori penduduk optimum. Teori ini menyatakan hal-hal sebagai berikut:

a. Ketika produksi marginal lebih tinggi daripada pendapatan perkapita, jumlah penduduk masih sedikit dan tenaga kerja masih kurang. Maka pertambahan penduduk akan menambah tenaga kerja dan kenaikan pertumbuhan ekonomi.

b. Ketika produk marginal semakin menurun, pendapatan nasional semakin naik tetapi dengan kecepatan yang lambat. Maka pertambahan penduduk akan menambah tenaga kerja, pendapatan perkapita menurun namun pertumbuhan ekonomi masih ada meskipun kualitasnya semakin kecil. c. Ketika produksi marginal lainnya sama dengan pendapatan perkapita,

artinya nilai pendapatan perkapita mencapai maksimum dan jumlah penduduk optimal (jumlah penduduk yang sesuai dengan keadaan suatu negara yang ditandai dengan pendapatan perkapita mencapai maksimum) sehingga pertambahan penduduk akan membawa pengaruh yang tidak baik terhadap pertumbuhan ekonomi.

Menurut kaum klasik bahwa hukum the law of diminishing retruns menyebabkan tidak semua penduduk dapat dilibatkan dalam proses produksi. Jika hal ini dipaksakan justru akan menurunkan output nasional. Pertambahan tenaga kerja yang diikuti pertambahan produk terjadi apabila pertambahan tenaga kerja diikuti dengan pertambahan modal.


(32)

2. Teori Pertumbuhan Harrord-Domar

Teori pertumbuhan Harrod-Domar ini dikembangkan oleh dua ekonom sesudah Keynes yaitu Evsey Domar dan Sir Roy F. Harrod. Teori Harrod-Domar ini mempunyai asumsi seperti:

1. Perekonomian dalam pengerjaan penuh (full employment) dan barang-barang modal yang terdiri dalam masyarakat digunakan secara penuh. 2. Perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor rumah tangga dan sektor

perusahaan.

3. Besarnya tabungan masyarakat adalah proporsional dengan besarnya pendapatan nasional, berarti fungsi tabungan dimulai dari titik nol.

4. Kecenderungan untuk menabung (marginal propensity to save = MPS) besarnya tetap, demikian juga ration antara modal-output (capital-output ration = COR) dan rasio pertambahan modal-output (incremental capital-output ration = ICOR).

Menurut Harrod-Domar, setiap perekonomian dapat menyisihkan suatu proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya jika hanya untuk mengganti barang-barang modal yang rusak. Namun demikian, untuk menumbuhkan perekonomian tersebut diperlukan investasi-investasi baru sebagai tambahan stok modal. Hubungan tersebut telah kita kenal dengan istilah rasio modal-output (COR). Dalam teori ini disebutkan bahwa jika ingin tumbuh perekonomian harus menabung dan menginvestasikan suatu proporsi tertentu dari output totalnya. Semakin banyak tabungan dan kemudian diinvestasikan, maka semakin cepat perekonomian itu akan tumbuh.


(33)

3. Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow-Swan

Menurut teori ini garis besar proses pertumbuhan mirip dengan teori Harrod-Domar, dimana asumsi yang melandasi model ini adalah:

1. Tenaga kerja atau penduduk tumbuh dengan laju tertentu, misalnya Per tahun.

2. Adanya fungsi produksi Q = f (K, L) yang berlaku bagi setiap periode. 3. Adanya kecenderungan menabung (prospensity to save) oleh masyarakat

yang dinyatakan sebagai proporsi (S) tertentu dari output (Q), tabungan masyarakat S=sQ

Bila Q naik S juga naik, dan sebaliknya.

4. Semua tabungan masyarakat diinvestasikan S = I = K. Sesuai dengan anggapan mengenai kecenderungan menabung, maka dari output disisihkan sejumlah proporsi untuk ditabung dan kemudian di investasikan. Dengan begitu, maka terjadi penambahan stok capital (Boediono,1992:81-82).

4. Teori Ricardian

David Ricardo mengungkapkan pandanganya mengenai pembangunan ekonomi dengan cara yang tidak sistimatis dalam bukunya yang berjudul the principle of political economy and taxation. David Ricardo mengungkapkan bahwa faktor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah buruh, pemupukan modal dan perdagangan luar negeri. Seperti ahli ekonomi modren, teori Richardo menekankan pentingnya tabungan bagi pembentukan modal. Dibanding dengan pajak, Ricardo lebih menyetujui pemupukan modal melalui tabungan (Jhingan, 2000).


(34)

Tabungan dapat dibentuk melalui penghematan pengeluaran, memproduksi lebih banyak, dan meningkatkan keuntungan serta mengurangi harga barang. Semakin banyak tabungan berarti semakin banyak pula pemupukan modal bagi kegiatan penanaman modal berikutnya. Selain itu, Ricardo juga memberikan tekanan khusus pada perdagangan luar negeri sebagai sarana memperbaiki perekonomian, sebab perdagangan luar negeri akan menyebabkan pemamfaatan sumber daya secara maksimun dan meningkatkan pendapatan

5. Teori Keynesian

Teori ini dipelopori oleh John Maynard Keynes yang mengatakan bahwa dalam jangka pendek output nasional dan kesempatan kerja terutama ditentukan oleh permintaan agregat. Kaum Keynesian yakin bahwa kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal harus digunakan untuk mengatasi pengangguran dan menurunkan laju inflasi. Konsep-konsep Keynesian juga menunjukkan bahwa peran pemerintah sangat besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Perekonomian pasar sepertinya sulit untuk menjamin ketersediaan barang yang dibutuhkan masyarakat dan bahkan sering menimbulkan instibiliti, inequity dan inefisiensi. Bila perekonomian sering dihadapkan pada ketidak stabilan, ketidak merataan, dan ketidak efisienan jelas akan menghambat terjadinya pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.


(35)

6. Teori Schumpeter

Teori ini menekankan pada peranan pengusaha dalam pembangunan, kemajuan perekonomian sangat ditentukan oleh adanya entrepreneurship (wiraswasta). Entrepreneur yang unggul yaitu orang yang memiliki inisiaif yang tinggi, kemampuan, dan keberanian mengaplikasikan penemuan-penemuan baru dalam kegiatan produksi.

Para entrepreneur akan menciptakan hal-hal yang baru seperti menciptakan barang baru, menggunakan cara-cara baru dalam produksi, memperluas pasar ke daerah baru serta mengembangkan sumber bahan mentah yang baru yang bertujuan untuk memajukan perusahaan industri menjadi lebih baik.

7. Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional

Pada dasarnya pembagunan daerah adalah berkenaan dengan tingkat dan perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set variabel-variabel, seperti produksi, penduduk, angkatan kerja, rasio modal kerja, dan imbalan bagi faktor (factor returns) dalam daerah dibatasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari daerah-daerah biasanya diukur melalui output atau tingkatan pendapatan sangatlah berbeda-beda, ada beberapa daerah mengalami kemunduran jangka panjang.

Pertumbuhan regional adalah produk dari banyak faktor, sebagian bersifat intern dan sebagaian lainnya extern dan sosio politik. Faktor-faktor yang berasal dari daerah itu sendiri meliputi distribusi faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal sedangkan penentu extern yang penting adalah tingkat permintaan dari daerah-daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah tersebut.

Pertumbuhan ekonomi merupakan kondisi yang diperlukan tetapi tidak mencukupi bagi proses pembagunan. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan


(36)

peningkatan produksi barang-barang dan jasa-jasa dalam masyarakat, sebaliknya pembangunan bukan saja memerlukan peningkatan produksi barang-barang dan jasa-jasa tetapi juga harus menjamin pembagiannya secara lebih merata kepada segenap lapisan masyarakat.

Pada dasarnya pembangunan daerah adalah berkenaan dengan tingkat dan perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set variabel-variabel, seperti produksi, penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga dan imbalan bagi faktor dan dalam daerah dibatasi secara jelas. Laju pertimbuhan dari daerah-daerah biasanya diukur menurut output atau tingkat pendapatan. Ada beberapa teori pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal yaitu:

A. Export Base Models, oleh North (1995) yang kemudian dikembangkan oleh Tibout (19950)

Mereka mendasarkan pandangannya dari sudut teori lokasi, yang berpendapat bahwa jenis keuntungan lokasi yang dapat digunakan daerah tersebut sebagai kekuatan ekspor. Keuntungan lokasi tersebut umumya berbeda-beda bagi setiap region dan hal ini tergantung pada keadaan geografi daerah setempat.

B. Cumulative Causation Models oleh Myrdal (1975) dan kemudian diformulasikan oleh Kaldor.

Teori ini berpendapat bahwa peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak hanya dapt diserahkan pada kekuatan pasar (market mechanism), tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah dalam bentuk program-program pembagunan regional terutama untuk daerah-daerah yang relatif masih terbelakang.


(37)

C. Core Periphery Models dikemukakan oleh Friedman (1966)

Teori ini menekankan analisa pada hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara pembangunan kota (core) dan desa (periphery). Menurut teori ini, gerak langkah pembangunan daerah perkotaan akan lebih banyak ditentukan oleh keadaan desa-desa disekitarnya. Sebaliknya corak pembagunan pedesaan tersebut juga sangat ditentukan oleh arah pembangunan perkotaan. Dengan demikian aspek interaksi antar daerah (spatial interaction) sangat ditentukan.

Adapun yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi ekonomi dapat dibedakan menjadi dua jenis:

1. Faktor ekonomi

Para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai keuntungan utama yang mempengaruhi pertumbuhan, jatuh atau berkembangnya perekonomian adalah konsekuensi dari perubahan yang terjadi dalam faktor produksi tersebut dan terdiri dari:

a. Sumber Daya Alam

Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan suatu perekonomian adalah sumber daya alam atau tanah. Tanah sebagai mana dipergunakan dalam ilmu ekonomi mencakup sumber daya lam seperti kesuburan tanah, letak dan susunanya, kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber daya air, sumber daya lautan, dan sebagainya. Bagi pertumbuhan ekonomi, tersedianya sumber daya alam secara melimpah merupakan hal penting. Suatu negara yang kekurangan sumber daya lam tidak dapat membagun dengan cepat.


(38)

b. Akumulasi Modal

Faktor ekonomi kedua yang penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah akumulasi modal. Modal berarti kedua yang penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah akumulasi modal. Modal berarti persediaan faktor produksi secara fisik dapat diproduksi. Apabila stok modal naik dalm batas waktu tertentu, hal ini disebut akumulasi modal atau pembentukan modal. Dalam ungkapan Nurkse, makna pembentukan modal masyarakat tidak melakukan saat ini sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumsi yang mendesak, akan tetapi menggairahkan sebagian daripadanya untuk pembuatan barang modal, alat-alat, mesin-mesin, pabrik dan peralatannya. Dalam arti ini pembentukan modal merupakan investasi dalam bentuk masing-masing modal yang dapat dinaikkan stok modal, output nasioanl dan pendapatan nasional.

c. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor terpenting dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata tergantung pada jumlah sumber daya manusia saja, tetapi lebih menekankan kepada effisiensi mereka. untuk mendorong SDM dapat bekerja secara efisien dan maksimal, maka diperlukan pembentukan modal insane, yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seluruh penduduk negara/wilayah yang bersangkutan. Proses ini mencakup kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial pada umumnya.


(39)

Sehingga pada kondisi dimana penduduk dapat berproduktivitas secara effisien akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi.

d. Tenaga Managerial dan Organisai Produksi

Organisasi produksi merupakan bagian penting dalam proses produksi pertumbuhan ekonomi. Organisasi ini berkaitan dengan penggunaan faktor produksi dalam berbagai kegiatan perekonomian. Organisasi produksi ini dilaksanakan dan diatur oleh tenaga managerial dalam berbagai kegiatan sehari-hari. Dan dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi, para wiraswata tampil sebagai tenaga organisator dalam menggerakkan berbagai sumber produksi dengan memperkenalkan penemuan baru yang dikenal sebagai inovasi.

2. Faktor Non Ekonomi

a. Faktor pemamfaatan teknologi

Kemajuan teknologi merupakan faktor yang penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Dan perubahan dan kemajuan teknologi tersebut dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja, modal dan faktor produksi lainnya. b. Faktor Politik dan Adimistrasi Pemerintah

Struktur politik dan administrasi pemerintah yang lemah merupakan faktor penghambat yang besar bagi pertumbuhan ekonomi untuk negara-negara berkembang. Politik yang tidak stabil serta pemerintahan yang lemah dan koruptor sangat menghambat kemajuan teknologi.

c. Aspek Sosial Budaya

Aspek sosial budaya dalam kehidupan masyarakat meliputi anata lain sikap, tingkah laku, pandangan masyarakat, motivasi kerja, kelembagaan


(40)

masyarakat, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan itu. Sebagai ilustrasi, misalnya pendidikan dan kebudayaan Barat membawa pemikiran dan pandangan kearah penalaran, sikap dan skeptisme, dan semangat untuk menghasikan penemuan baru, yang kesemuanya dapat menunjang pertumbuhan ekonomi.

d. Susunan dan Tertib Hukum

Susunan dan terti hukum serta pelaksanaan hukum dan peraturan serta perundang-undangan yang keliru sering sekali menghambat kemajuan ekonomi, sehingga tidak mendukung terlaksananya pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu hukum haurus dilaksanakan secara tertib, dan konsekuensi, agar tercapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.

2.2Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang–undangan (UU No.33 tahun 2004). PAD merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pendapatan lain asli daerah yang sah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah. PAD dapat memberikan warna tersendiri terhadap tingkat otonomi suatu daerah, karena jenis pendapatan ini dapat digunakan secara bebas oleh daerah untuk kepentingan daerah dan tentunya harus sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku.


(41)

Sumber PAD terdiri dari: 1. Pajak daerah

2. Retribusi daerah

3. Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah . 4. Lain – lain pendapatan asli daerah yang sah.

Dalam upaya meningkatkan PAD, daerah dilarang menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan dilarang menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor atau ekspor. Yang dimaksud dengan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi adalah peraturan daerah yang mengatur pengenaan pajak dan retribusi oleh daerah terhadap objek–objek yang telah dikenakan pajak oleh pusat dan propinsi sehinga menyebabkan menurunkan daya saing daerah.

2.2.1 Pajak Daerah

Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang–undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pembangunan daerah. Pajak daerah sebagai salah satu PAD diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Menurut Suparmoko, pajak adalah pembayaran iuran oleh rakyat kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dengan tanpa balas jasa secara langsung dapat ditunjuk.


(42)

Meskipun beberapa jenis pajak daerah sudah ditetapakan dalam UU No. 34 Tahun 2000, daerah atau kota diberi peluang dalam menggali potensi sumber– sumber keuangannya dengan menetapkan jenis pajak selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Kriteria pajak daerah selain yang ditetapkan UU bagi kabupaten atau kota adalah: 1. Bersifat pajak dan bukan retribusi.

2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.

3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi atau objek pajak pusat.

5. Potensi memadai.

6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.

7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat


(43)

Jenis Pajak Daerah.

1.Jenis pajak propinsi terdiri dari sebagai berikut:

a. Pajak kendaraan bermotor dan Kendaraan di atas air adalah atas kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor dan dan kendaraan di atas air.

b. Bea Balik Nama kederaan bermotor dan kenderaan di atas air adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air sebagai akibat perjanjian dua belah pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan kedalam badan usaha.

c. Pajak Bahan Bakar kenderaan Bermotor adalah pajak atas bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di atas air.

d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan atau permukaan untuk digunakan bagi orang pribadi atau badan, kecuali untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian rakyat.

2. Jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari:

a. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk menginap atau istirahat, yang memperoleh pelayanan dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.


(44)

b. Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan restoran. Restoran adalah tempat menyantap makanan atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau catering.

c. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan yang meliputi semua jenis pertunjukan, permainan, permainan ketangkasan, dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditontonkan atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasititas untuk olahraga.

d. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame, yaitu benda, alat, pembuatan, atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersil untuk menarik perhatian umum.

e. Pajak Penerangan jalan adalah pajak atas pengunaan tenaga listrik dengan ketentuan bahwa di wilayah daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah.

f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C adalah pajak atas kegiatan pengambilan bahan galian golongan C sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku.

g. Pajak Parkir adalah pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir diluar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran.


(45)

2. Bagi Hasil Pajak Daerah

a. Bagi Hasil Pajak Propinsi kepada Daerah Kabupaten/Kota.

1. Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan kendaraan di atas air diserahkan kepada daerah kabupaten/kota dipropinsi yang bersangkutan paling sedikit 30%.

2. Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Bermotor dan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air permukaan diserahkan kepada daerah kabupaten/kota yang bersangkutan paling sedikit 70%.

3. Penggunaan bagian daerah kabupaten/kota ditetapkan sepenuhnya oleh daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

b. Bagi Hasil Pajak Kabupaten kepada desa.

1. Hasil penerimaan Pajak Kabupaten diperuntukkan paling sedikit 10% bagi desa di wilayah kabupaten yang bersangkutan.

2. Bagian desa ini ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antardaerah.

3. Penggunaan bagian desa ditetapkan sepenuhnya oleh desa yang bersangkutan.

2.2.2 Retribusi Daerah

Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Jadi, dalam retribusi daerah balas jasa dari adanya retribusi daerah tersebut langsung dapat ditunjuk, misalnya retribusi jalan, retribusi parkir dan retribusi pasar. Dalam hal pemungutan iuran retribusi dianut asas manfaat (benefit principles). Dalam asas


(46)

ini besarnya pungutan ditentukan besarnya manfaat yang diterima oleh penerima manfaat dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.

Banyak jenis retribusi daerah, tetapi retribusi daerah dapat dikelompokkan menjadi tiga macam sesuai dengan objeknya. Objek retribusi adalah berbagai jenis pelayanan atau jasa tertentu yang disediakan oleh pemerintah daerah. Namun tidak semua jasa pelayanan yang dapat dipungut retribusinya, hanyalah jenis–jenis jasa pelayanan yang menurut pertimbangan sosial-ekonomi layak untuk dijadikan objek retribusi.

Jasa–jasa pelayanan tersebut diantaranya dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Retribusi yang dikenakan pada jasa umum.

b. Retribusi yang dikenakan pada jasa usaha. c. Retribusi yang dikenakan pada perijinan tertentu.

Penetapan jenis retribusi kedalam retribusi jasa umum dan jasa usaha dibuat dengan peraturan pemerintah agar tercipta ketertiban dalam penerapannya sehingga dapat memberikan kepastian pada mayarakat serta dapat disesuaikan dengan kebutuhan nyata di daerah yang bersangkutan. Demikian pula dengan untuk berbagai jenis perijinan tertentu juga ditetapkan dengan peraturan pemerintah karena perijinan tersebut walaupun merupakan kewenangan pemerintah daerah, tetap memerlukan koordinasi dengan instansi–instansi teknis terkait.

a. Retribusi jasa umum.

Retribusi jasa umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan pemanfaatan


(47)

umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis–jenis retribusi jasa–jasa umum terdiri dari:

1. Retribusi pelayanan kesehatan.

2. Retribusi Pelayanan dan Persampahan.

3. Retribusi Penggatian Biaya Cetak Kartu Tanda penduduk dan Akte Catatan Sipil.

4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat. 5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum.

6. Retribusi Pelayanan Pasar. 7. Retribusi Pelayanan Air Bersih.

8. Reribusi Pengujian kendaraan bermotor.

9. Retribusi pemeriksaan Alat Pemadam kebakaran. 10.Retribusi Penggantian Biaya Cetak peta.

11.Retribusi Pengujian kapal perikanan. b. Retribusi Jasa Usaha

Retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jenis–jenis retribusi jasa umum adalah:

1. Retribusi Pemakain kekayaan Daerah.

2. Retribusi Pasar Grosir dan Pertokoan

3. Retribusi Tempat Pelanggan.


(48)

5. Retribusi Tempat Khusus Parkir.

6. Retribusi Tempat Penginapan/ Pesangrahan/ Villa.

7. Retribusi Penyedotan Kakus.

8. Rumah Potong Hewan.

9. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal.

10.Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga.

11.Retribusi Pengelolaan Limbah Cair.

12.Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

c. Retribusi Perizinan Tertentu.

Retribusi tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, pengunaan sumber daya alam, barang, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis–jenis retribusi perizinan tertentu terdiri dari:

1. Retribusi Izin Peruntukan Bangunan. 2. Retribusi Mendirikan Bangunan (IMB).

3. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman berarkohol. 4. Retribusi Izin gangguan

5. Retribusi Izin Trayek.


(49)

2.2.3 Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah.

Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah adalah bagian keuntungan atau laba bersih dari perusahaan daerah atau badan lain yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sedangkan perusahaan daerah ialah perusahaan yang modalnya sebagian atau seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan seperti bagian laba, deviden dan penjualan saham milik daerah

(HAW. Wijaya, 2002: 110).

2.2.4 Lain – lain PAD yang Sah.

Lain–lain PAD yang Sah adalah penerimaan selain yang disebutkan diatas tetapi sah. Penerimaan ini mencakup penerimaan sewa rumah dinas daerah, sewa gedung dan tanah milik daerah, jasa giro, hasil penjualan barang–barang bekas milik daerah dan penerimaan lain–lain yang sah menurut UU.

Lain–lain pendapatan menurut UU No. 33 tahun 2004 pasal 6 adalah: a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan.

b. Jasa giro.

c. Pendapatan bunga.

d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan

e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan atau jasa oleh daerah.


(50)

2.3 Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU adalah bagian dari dana perimbangan yang digunakan sebagai salah satu sumber penerimaan daerah disamping PAD, DAU dialokasikan untuk propinsi dan kabupaten atau kota. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui pemerataan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah atas besar kecilnya celah fiskal (Fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Perubahan dalam Undang-Undang No.33 Tahun 2004 menegaskan kembali mengenai formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensial, namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

Dasar perhitungan DAU menurut Undang-Undang No.25 Tahun 1999 pasal 7 menggariskan bahwa pemerintah pusat berkewajiban menyalurkan paling sedikit 25% dari penerimaan dalam negerinya dalam bentuk DAU. Dan dalam Undang-Undang No. 33 tahun 2004 ditetapkan bahwa jumlah keseluruhan DAU ditetapakan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN. Pendapatan dalam negeri netto adalah penerimaan


(51)

negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagi hasilkan kepada daerah.

DAU yang dialokasikan untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Alokasi dasar perhitungan berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah. Jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah yang dimaksud adalah gaji pokok ditambah tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian pegawai negeri sipil termasuk didalamnya tunjangan beras dan tunjangan pajak penghasilan ( pph pasal 21 ).

Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum yang diukur berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi dan produk domestik regional bruto per kapita dan indeks pembangunan manusia. Kebutuhan pendanaan suatu daerah dihitung dengan pendekatan total pengeluaran rata–rata nasional. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil.

Berdasarkan uarain di atas, alokasi DAU untuk daerah dihitung dengan rumus: DAU = CF + AD

Dimana:

DAU = Dana alokasi umum CF = Celah fiskal

AD = Alokasi Dasar


(52)

Proporsi DAU antara daerah propinsi dan kabupaten atau kota ditetapkan berdasarkan perimbangan kewenangan antara propinsi dan kabupaten atau kota. DAU atas dasar celah fiskal untuk daerah propinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah propinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah propinsi.

DAU propinsi i = Bobot Propinsi i X DAU propinsi

Bobot daerah propinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah propinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah propinsi . DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten atau kota dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah kabupaten/kota.

DAU kab/kota i = Bobot Kab/kota i X DAU kab/kota

Bobot daerah kabupaten atau kota merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah kabupaten atau kota.

Kapasitas fiskal daerah merupakan penjumlahan dari pendapatan asli daerah dan dana bagi hasil. Cara perhitungan kapasitas fiskal:

Kapasitas fiskal = PAD + Dana Bagi Hasil

Daerah yang memiliki nilai celah fiskal lebih besar dari 0 (nol) menerima DAU sebesar alokasi dasar ditambah celah celah fiskal. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi atau diperhitungkan nilai celah fiskal. Jika celah fiskal negatif, jumlah DAU yang diterima daerah adalah sebesar alokasi dasar setelah diperhitungkan dengan celah fiskalnya.


(53)

Apabial dalam proses pengalokasian DAU ada daerah yang celah fiskalnya negatif dan nilai negatif tersebut lebih besar dari alokasi dasar, maka akan dilakukan penyesuaian sehingga daerah tersebut akan menerima DAU sama dengan 0 (nol) atau tidak mendapatkan DAU

Data yang digunakan untuk menghitung kebutuhan fiskal diperoleh dari lembaga statistik pemerintah atau diperoleh dari lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertangunggjawabkan. Jika data dimaksudkan tidak tersedia, maka data yang digunakan adalah data dasar perhitungan DAU sebelumnya.

Alokasi DAU per daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Alokasi DAU tambahan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. DAU disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah. penyaluran DAU kepada masing-masing kas daerah dilaksanakan oleh Menteri Keuangan secara berkala.

2.4 Angkatan Kerja

Angkatan kerja (Labour Force) adalah jumlah penduduk usia kerja yang mencari pekerjaan dan sedang bekerja, termasuk dalam kelompok ini adalah usia produktif yang mencari kerja. Angkatan kerja menurut Badan Pusat Statistika adalah ”bagian dari tenaga kerja yang benar-benar terlibat atau bekerja atau berusaha untuk terlibat dalam kegiatan tersebut”.

Angkatan kerja secara tradisional dianggap merupakan faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi, semakin besar angkatan kerja maka semakin banyak pula tenaga kerja yang produktif (Todaro, 1999:125). Angkatan kerja


(54)

dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu penduduk yang bekerja dan penduduk yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Dengan demikian, angkatan kerja merupakan bagian penduduk yang sedang bekerja dan siap masuk pasar kerja, atau dapat dikatakan sebagai pekerja dan merupakan potensi penduduk yang akan masuk kepasar kerja.

Angka yang sering digunakan untuk menyatakan jumlah angkatan kerja adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), yang merupakan rasio antara angkatan kerja dan tenaga kerja. Semakin besar jumlah penduduk dan TPAK-nya maka semakin besar pula jumlah angkatan kerja. TPAK dipengaruhi oleh berbagai faktor demografis, sosial dan ekonomi. Faktor–faktor yang mempengaruhi TPAK adalah : umur, status perkawinan, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal (kota/desa), pendapatan, dan agama.

Pertambahan penduduk bukanlah merupakan suatu masalah, melainkan sebaliknya justru merupakan unsur penting yang memacu pembangunan ekonomi. Populasi yang besar adalah dasar pasar potensial yang menjadi sumber permintaan akan berbagai macam barang dan jasa yang kemudian akan menggerakkan berbagai macam kegiatan ekonomi sehingga menciptakan skala ekonomis produk yang menguntungkan semua pihak. Penduduk berfungsi ganda dalam perekonomian, dalam konteks pembangunan pandangan terhadap penduduk menjadi terpecah dua, ada yang mengatakan penduduk yang besar akan menghambat pembangunan serta beban dari pembangunan dan sebagian ahli mengatakan bahwa penduduk dianggap sebagai pemicu pembangunan. Jumlah penduduk yang besar akan memperkecil pendapatan perkapita dan akan


(55)

menimbulkan masalah ketenaga kerjaan dan dalam kaca mata modern penduduk justru dipandang sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi.

Bertitik tolak dalam masalah penduduk dan angkatan kerja baik secara kuantitatif maupun kualitatif wajib diberi perhatian yang utama dalam ekonomi pembangunan karena kenaikan jumlah penduduk secara otomatis akan menaikkan jumlah angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap salah satu faktor yang positif yang memacu pertumbuhan ekonomi, jumlah angkatan kerja yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya akan lebih besar.

2.4.1 Profil Angkatan Kerja a. Menurut Umur

Angkatan kerja yang ada di Indonesia tersebar dari umur 15 tahun sampai 65 tahun atau sampai tua. BPS membagi kelompok umur menjadi beberapa kelas dengan interval kelas tahun yaitu: 15 – 19 tahun, 20 – 24 tahun,

25 – 29 tahun, 30 – 34 tahun, 45 – 49 tahun, 50 – 54 tahun, 55 – 59 tahun, dan 60 tahun keatas.

Mengingat derajat variasi angkatan kerja akan lebih mudah dianalisis dengan perbedaan usia yang signifikan, maka angkatan kerja sebaliknya dikelompokkan menjadi 3 kelompok umur saja. Yaitu muda (15 – 24 tahun), prima (25 – 60 tahun) dan tua (60 tahun keatas).

b. Menurut Jenis Kelamin

Karena faktor–faktor sosial, budaya, dan psikologi maka besarnya TPAK berdasarkan jenis kelamin ini berbeda. Secara umum TPAK berdasarkan jenis kelamin ini juga dapat diananlisis dari maju tidaknya negara. Semakin maju


(56)

suatu negara, jumlah angkatan kerja perempuan semakin besar karena di negara maju semakin tersedia banyak pilihan pekerjaaan. Selain itu, pekerjaan di negara–negara maju memberikan gaji yang relatif tinggi sehinga hal ini menjadi perangsang bagi tenaga kerja perempuan untuk menawarkan tenaganya untuk bekerja. Sementara itu, di negara berkembang jumlah pekerjaan terbatas, harus diperebutkan dengan pihak laki–laki sehingga kemungkinan mendapat pekerjaan bagi perempuan relatif kecil.

c. Menurut Pendidikan

Secara umum jenis tingkat pendidikan diasumsikan dapat mewakili kualitas tenaga kerja. Karena dengan pendidikan seseorang akan bertambah keterampilannya, pengetahuannya, kemandiriannya, dan mampu membentuk kepribadian individu. Hal-hal yang melekat pada diri orang tersebut merupakan modal.

2.4.2 Teori tentang Tenaga Kerja 1. Adam Smith (1729 – 1790)

Dalam teorinya, Smith menganggap bahwa manusia merupakan faktor produksi utama yang menentukan kemakmuran suatu bangsa. Alasannya adalah bahwa alam (tanah) tidak ada artinya kalau tidak ada sumber daya manusia (SDM) yang mengelolanya, jadi alam yang tersedia tersebut akan lebih bermanfaat bagi kehidupan apabila sudah dikelola.

Smith juga melihat bahwa alokasi SDM yang efektif adalah awal pertumbuhan ekonomi. Setelah ekonomi tumbuh, akumulasi modal baru mulai dibutuhkan untuk menjaga agar ekonomi tetap tumbuh. Dengan kata lain, alokasi


(57)

SDM yang efektif merupakan syarat perlu (necessary conditional) bagi pertumbuhan ekonomi.

2. Lewis (1959)

Lewis menyebutkan bahwa kelebihan pekerja bukan merupakan suatu masalah melainkan merupakan suatu kesempatan. Kelebihan pekerja pada suatu sektor akan memberikan andil terhadap pertumbuhan produksi dan penyediaan kerja disektor lain. Ada dua sektor di dalam perekonomian, yaitu subsektor terbelakang dan kapasitas modern. Pada sektor subsektor terbelakang, tidak hanya terdiri dari sektor pertanian tetapi juga terdiri dari sektor informal seperti pedagang kaki lima dan pengecer Koran. Pekerja di sektor subsektor terbelakang mayoritas berada di wilayah pedesaan. Sektor subsisten terbelakang memiliki kelebihan penawaran kerja dan tingkat upah yang relatif lebih rendah daripada sektor kapitalis modern. Lebih rendahnya tingkat upah pekerja di pedesaan akan mendorong pengusaha di wilayah perkotaan untuk merekrut pekerja dari pedesaan dalam pengembangan industri modern perkotaan. Selama berlangsungnya proses industrialisasi, kelebihan penawaran pekerja disektor subsisten terbelakang akan diserap.

Bersamaan dengan diserapnya kelebihan pekerja disektor industri modern, maka pada suatu saat tingkat upah di pedesaan akan meningkat. Selanjutnya peningkatan upah ini akan mengurangi ketimpangan tingkat pendapatan antara perkotaan dan pedesaan.

Dengan demikian menurut Lewis, adanya kelebihan penawaran pekerja tidak memberikan masalah pada pembangunan ekonomi. Sebaliknya, kelebihan pekerja justru merupakan modal untuk mengakumulasi pendapatan, dengan adanya


(58)

asumsi bahwa perpindahan pekerja dari sektor subsisten terbelakang kesektor kapitalis modern berjalan lancar dan perpindahan tersebut tidak akan pernah menjadi terlalu banyak.

3. Fei- Ranis (1996)

Teori Fer- Ranis berkaitan dengan negara berkembang yang mempunyai ciri-ciri kelebihan buruh, sumber daya alamnya dapat diolah, sebagian besar penduduknya bergerak disektor pertanian, banyak pengangguran, tingkat pertumbuhan penduduk tinggi.

Menurut Fei- Ranis, ada tiga tahap pembangunan ekonomi dalam kondisi kelebihan buruh yakni:

1. Para pengangguran semu (yang tidak menambah produk pertanian) dialihkan ke sektor industrialisasi dengan upah institusional yang sama. 2. Tahap dimana pekerja pertanian menambah produksi, tetapi memproduksi

lebih kecil dari upah institusional yang mereka peroleh, dialihkan pula ke sektor industri.

3. Tahap ketiga ditandai dengan adanya awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh pertanian menghasilkan produksi lebih besar daripada perolehan upah institusional. Dan dalam hal ini, kelebihan pekerja terserap ke sektor jasa dan industri yang terus menerus sejalan dengan pertambahan produksi dan perluasan usahanya.


(59)

2.5 Penelitian Sebelumnya

1. Sirojuzilam dan Paidi Hidayat (2006)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sirojuzilam dan Paidi Hidayat yang berjudul “Kajian Tentang Keuangan Daerah Kota di Medan di Era Otonomi Daerah”. Penelitian ini menggunakan metode OLS dengan rentang waktu antara tahun 2001 – 2005.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PAD kota Medan selama tahun 2001 - 2005 berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 1 persen. Angkatan kerja di kota Medan juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 1 persen.

2. Amin Pujiati (2008)

Dalam penelitian yang dibuat oleh Amin pujiati yang berjudul “Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karesidenan Semarang Era Desentralisasi Fiskal”, dengan mengunakan alat analisis OLS dengan rentang waktu antara tahun 2002-2007. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa PAD mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 1 persen. Begitu juga dengan tenaga kerja, dimana tenaga kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan juga terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 1 persen untuk semua kabupaten atau kota.


(60)

3. Sasana, Hadi (2005)

Hadi sasana telah melakukan penelitian mengenai dampak pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Alat analisis yang digunakan Pooled least Square (PLS) dengan rentang waktu 2001 – 2003. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PAD mempunyai hubungan yang positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi hanya di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Dana alokasi umum berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten Bantul, kabupaten sleman, kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta. Peranan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi adalah positif dan siugnifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di seluruh kabupaten/kota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DAU tidak ber-pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Yogyakarta

4. Dedi Iskandar (2007)

Dedi Iskandar dalam penelitiannya yang berjudul “Aglomerasi dan Pertumbuhan Ekonomi” dengan menggunakan metode GLS (General Least Square). Hasil penelitian menunjukkan bahwa angkatan kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 1 pesen.


(61)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam mengumpulkan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis peneliti.

Dalam mengumpulkan data yang diperlukan untuk menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dilakukan di kabupaten Humbang Hasundutan untuk mengetahui bagaimana pengaruh sumber penerimaan daerah dan angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten Humbang Hasundutan.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam peneletian ini adalah data sekunder dalam bentuk times series yang bersifat kuantitatif yaitu data yang berbentuk angka-angka. Sumber datanya diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara pada kurun waktu 2004-2005 (data triwulan, 16 observasi), serta bahan-bahan kepustakaan berupa bacaan yang berhubungan dengan penelitian dan website. Dengan keterbatasan data, maka penelitian ini menggunakan data kuartal 2004 : 1 – 2007 : 4 melalui proses interpolasi data tahun seperti berikut ini (Insukindro, 2000):

Q1 = { Yt – 4.5/12 ( Yt – Yt-1 ) }


(62)

Q3 = { Yt + 1.5/12 ( Yt – Yt-1 ) }

Q4 = { Yt + 4.5/12 ( Yt – Yt-1 ) }

Dimana :

Yt = Data tahun yang bersangkutan ke- i. Yt-1 = Data tahun yang sebelumnya. Q1,Q2,Q3,Q4 = Data kuartal yang dicari. 3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari publikasi resmi yang berhubungan dengan penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan pencatatan yang diperoleh dari berbagai sumber yang telah disebutkan di atas.

3.4 Pengolahan Data

Penulis melakukan pengolahan data dengan metode statistik dengan menggunakan program E-Views 5.1 untuk mengolah data dalam penulisan skripsi ini.

3.5 Model Analisis Data

Model analisis data yang digunakan dalam menganalisis data adalah model ekonometrika. Teknik analisis yang digunakan adalah model kuadrat terkecil biasa atau ordinary least square (OLS).


(63)

Data yang digunakan dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan analisis statistika yaitu persamaan linear berganda sehingga secara sistematis model persamaan dirumuskan sebangai berikut:

Y = f ( X1, X2,X3 )……….( 1 )

Kemudian fungsi tersebut ditrasformasikan ke dalam model ekonometrika dengan persamaan regresi linear sebangai berikut:

Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + µ……..( 2 )

Dimana : Y = Produk Domestik Regional Bruto ( juta rupiah ) α = Intercept

X1 = Pendapatan Asli Daerah ( juta rupiah) X2 = Dana Alokasi Umum (juta rupiah ) X3 = Angkatan kerja ( jiwa / orang ) β1, β2, β3 = Koefisien Regresi

µ = Tingkat kesalahan (term of error)

Analisis pengaruh sumber penerimaan daerah ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar sumber penerimaan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dalam pelaksanaan kegiatan otonomi di daerah kabupaten Humbang Hasundutan.

Bentuk hipotesisnya sebagai berikut:

>

0

,

artinya jika terjadi perubahan kenaikan pada X1 (PAD) maka Y (pertumbuhan ekonomi) di kabupaten Humbang Hasundutan akan mengalami kenaikan, ceteris paribus.


(64)

>

0

, artinya jika terjadi perubahan kenaikan pada X2 (Dana Alokasi Umum)

maka Y (pertumbuhan ekonomi) di kabupaten Humbang Hasundutan akan mengalami kenaikan, ceteris paribus.

>

0

, artinya jika terjadi perubahan kenaikan pada X3 (Angkatan Kerja) makaY (pertumbuhan ekonomi) di kabupaten Humbang Hasundutan akan mengalami kenaikan, ceteris sparibus

3.6 Uji Kesesuaian ( Test Of Goodness Of Fit ) 3.6.1 Koefisien Determinasi ( R2 )

Koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar variansi variabel-variabel independen secara bersama mampu memberi penjelasan mengenai variansi variabel dependen.

Adapun dua ciri-ciri dari R2 yang diperhatikan adalah: 1. Jumlah nilai R2 tidak pernah negatif.

2. Nilai R2 digunakan antara 0 – 1 ( 0 < R2 ≤ 1)

3.6.2 T-statistik ( Uji Parsial )

Uji t-statistik merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah masing–masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Dalam hal ini digunakan hipotesis sebagai berikut:

Ho : b1 = b Ha : b1 ≠ b


(65)

Dimana b1 adalah koefisien variabel ke-i nilai parameter hipotesis, biasanya b dianggap = 0 (nol). Artinya tidak ada pengaruh variabel X terhadap Y. Bila nilai t-hitung > t-tabel, maka pada tingkat kepercayaan tertentu Ho ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel independen yang diuji berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap variabel dependen. Dan bila t-hitung < t-tabel maka pada tingkat kepercayaan tertentu Ho diterima. Ho diterima artinya bahwa variabel independen yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus: t-hitung =

keterangan :

b1 = Koefisien variabel independent ke-i bo = Nilai hipotesis nol

Sbi = Simpang baku dari variabel independent ke-i Kriteria pengambilan keputusan:

1. Ho : β = 0 Ho diterima apabila (t-hitung<t-tabel) artinya variabel independen secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

2. Ha : β ≠ 0 Ha diterima apabila (t-hitung>t-tabel) artinya variabel

independen secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, Sumatera Utara Dalam Angka 2004–2007.Sumatera Utara:

BPS Sumatera Utara.

Badan Pusat Statistik, Humbang Hasundutan Dalam Angka 2004–2007.

Humbang Hasundutan : BPS Humbang Hasundutan.

Boediono.1992. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta : BPFE.

Sasana, Hadi.2005. Analisis Dampak Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal

Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Antar Wilayah, Antar

Sektor di Kabupaten/Kota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal

Bisnis dan Ekonomi.

Hidayat, Paidi dan Sirojuzilam. 2006. kajian Tentang keuangan Daerah Kota

Medan di era Otonomi Daerah. Jurnal Wahana Hijau.

Hidayat, Paidi, dkk, 2007. Analisis Kinerja Keuangan Kabupaten / kota

Pemekaran di Sumatera Utara. Jurnal Ekonomi Pembangunan.

Insukindro, 2000. Ekonomi Pembangunan . Jakarta : Penerbit Kencana.

Kaho, J.R. 2007. Prospek Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Gratondo.

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi,

Perencanaan, Strategi, dan Peluang . Jakarta : Penerbit Erlangga.

Pratomo, Wahyu Ario dan Paidi Hidayat, 2007. Pedoman Praktis Penggunaan

Eviews dalam Ekonometrika. Medan : USU Press.

Pujiati, Amin. 2008. Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karasidenan Semarang

Era Desentrralisasi Fiskal. Jurnal ekonomi.

Soelistianingsih, Lana. 2007. Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/kota di

Propinsi Jawa Tenggah dan Faktor-faktor yang mempengaruhi


(2)

Ketiga, Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.

Yani, Ahmad. 2008. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

DiIndonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

---, Penelusuran Internet,http : www.google.co.id Jurnal ekonomi. Diakses

Tanggal 9 januari 2010.


(3)

Lampiran 1 :

Data statistik PDRB (Y), PAD (X2), Angkatan Kerja (X3) di kabupaten

Humbang Hasundutan.

Sumber: data diolah

TAHUN

PDRBberlaku

(juta R

p

)

PAD

(juta R

p

)

DAU

(juta R

p

)

Angkatan

Kerja (jiwa)

2004.1

112913.94

431.2500

112913.94

9461

2004.2

158079.52

603.7500

158079.52

13245

2004.3

203245.1

776.2500

203245.10

17029

2004.4

248410.67

948.7500

248410.67

20814

2005.1

187036.4

741.5625

187036.40

18556

2005.2

167003.24

762.1875 1670036.40

19923

2005.3

214718.46

782.8125

214718.46

21290

2005.4

194685.30

803.4375

194685.30

22657

2006.1

197738.47

838.1250

197738.47

19837

2006.2

200489.51

864.3750

200489.51

19530

2006.3

203240.56

890.6250

203240.56

19222

2006.4

205991.61

916.8750

205991.61

18914

2007.1

209495.16 1261.8750

209495.16

18923

2007.2

212547.20 1415.6250

212547.20

18742


(4)

Lampiran 2: Hasil Regresi

Dependent Variable: LPDRBB Method: Least Squares

Date: 03/01/10 Time: 11:04 Sample: 2004Q1 2007Q4 Included observations: 16

Variable

Coefficien

t Std. Error t-Statistic Prob.

C 12.85043 0.201198 63.86959 0.0000

LPAD 0.238703 0.017603 13.56031 0.0000

LDAU 0.121358 0.010428 11.63724 0.0000

LAK 0.599485 0.018212 32.91715 0.0000

R-squared 0.947871 Mean dependent var 26.58555

Adjusted R-squared 0.947338 S.D. dependent var 0.239920

S.E. of regression 0.012377 Akaike info criterion -5.733565

Sum squared resid 0.001838 Schwarz criterion -5.540418

Log likelihood 49.86852 F-statistic 187.6343


(5)

Lampiran 3: Uji Multikolinearitas LX1 = f(lX2, Lx3)

Dependent Variable: LPAD Method: Least Squares Date: 03/01/10 Time: 12:01 Sample: 2004Q1 2007Q4 Included observations: 16

Variable

Coefficien

t Std. Error t-Statistic Prob.

C 6.462948 2.614586 2.471882 0.0280

LDAU 0.470362 0.099892 4.708697 0.0004

LAK 0.283785 0.275938 1.028437 0.3225

R-squared 0.737041 Mean dependent var 20.62103

Adjusted R-squared 0.696586 S.D. dependent var 0.354041

S.E. of regression 0.195016 Akaike info criterion -0.264107

Sum squared resid 0.494408 Schwarz criterion -0.119246

Log likelihood 5.112852 F-statistic 18.21869

Durbin-Watson stat 0.448835 Prob(F-statistic) 0.000170

LX2 = f(LX1,LX3)

Dependent Variable: LDAU Method: Least Squares Date: 03/01/10 Time: 12:04 Sample: 2004Q1 2007Q4 Included observations: 16

Variable

Coefficien

t Std. Error t-Statistic Prob.

C -4.564404 5.199099 -0.877922 0.3959

LPAD 1.340215 0.284625 4.708697 0.0004


(6)

LX3 = f(LX1,LX2)

Dependent Variable: LAK Method: Least Squares Date: 03/01/10 Time: 12:05 Sample: 2004Q1 2007Q4 Included observations: 16

Variable

Coefficien

t Std. Error t-Statistic Prob.

C 3.437649 2.911935 1.180538 0.2589

LPAD 0.265126 0.257795 1.028437 0.3225

LDAU 0.037210 0.158478 0.234793 0.8180

R-squared 0.291562 Mean dependent var 9.804733

Adjusted R-squared 0.182572 S.D. dependent var 0.208487

S.E. of regression 0.188496 Akaike info criterion -0.332116

Sum squared resid 0.461901 Schwarz criterion -0.187256

Log likelihood 5.656931 F-statistic 2.675117


Dokumen yang terkait

Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2014 Berdasarkan Data Tahun 2003-2010

0 32 53

Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Deli Serdang Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.

1 81 92

Analisis Evaluasi Pembangunan Ekonomi Daerah Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Dairi)

2 56 102

Analisis Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan)

3 16 118

Analisis Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 4 10

Analisis Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 0 2

Analisis Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 0 12

Analisis Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 1 35

Analisis Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 0 2

Analisis Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 0 11