Latar Belakang masalah Kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam penyelesaian kekerasan etnis muslim Rohingya di Myanmar

5 Reaksi dunia terhadap penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibukota Dili pada 12 November 1991 silam begitu luar biasa. Hal itu terjadi ketika video penembakan tersebut ditayangkan di ITV Britania pada Januari 1992 dalam film First Tuesday berjudul In Cold Blood : the Massacre of East Timor Center for International Studies, Cornell University, seap.einaudi.cornell.edunode10149 Kemudian tayangan ini disiarkan ke seluruh dunia dan melahirkan tekanan-tekanan politik yang kuat bagi Jakarta dan embargo bagi ABRI Angkatan Bersenjata Republik Indonesia waktu itu.Kita hanya bertanya, mengapa dunia begitu responsive dan reaktif terhadap peristiwa di atas? Tindak kekerasan dan terror terhadap minoritas Muslim di Rakhine Arakan pada awal Juli 2012 ternyata berlangsung cukup lama walau jumlah korban ribu orang dan jutaan orang dipaksa keluar dari tanah tumpah darahnya sendiri. Lembaga-lembaga internasional Human Rights Watch, Human Rights Without Frontier, Simon Wiesenthal Center, Human Right‟s Action Center, Amnesty International, yang biasanya tampil sebagai pahlawan HAM selama ini bungkam, bisu dan tak berkutik. Oleh karenanya, derita Rohingya ini menurut BBC News 1132006 bagai unforgotten massacre atau pembantaian yang terlupakan www.bbc.co.uk dan www.washingtonpost.com. Artinya, nyawa-nyawa manusia yang kebetulan beragama Islam ini tidak ada artinya bagi para pembela-pembela HAM tersebut di atas. Hal ini dibuktikan dengan ribuan jumlah pengungsi Rohingya berada di Bangladesh, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Negara-negara lain sebagaimana disinggung di atas. Ketika semua masyarakat dunia bicara soal demokrasi dan hak asasi manusia, pelanggaran HAM bekepanjangan terus terjadi di Myanmar tanpa ada upaya efektif yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB, Amerika dan UniEropa. Padahal jumlah korban demikian besar. Dan bahkan solusi yang ditawarkan oleh pemerintah Myanmar yakni mengusir semua anggota etnis Rohingya. Hal ini menurut presiden 6 Myanmar Thien Sien sebagai the only solution yang disampaikan kepada komisioner tertinggi urusan pengungsi Perserikatan Bangsa-bangsa paska pembantaian Juni 2012 lalu dengan mengatakan : We will take responsibility of our ethnic nationals but it is impossible to accept those Rohingyas who are not our ethnic nationals who had entered the country illegally. The only solution is to hand those illegal Rohingyas to the UNHCR or to send them to any third country that would accept them, Kami akan bertanggungjawab terhadap etnis nasional kita tetapi tidak mungkin menerima orang-orang Rohingya yang bukan bagian dari etnis nasional yang memasuki negeri ini secara illegal. Satu-satunya solusi adalah menyerahkan orang Rohingya kepada UNHCR atau mengirimkan mereka ke negara ketiga yang mau menerima. Hal ini yang disampaikan Presiden Thien menyampaikan kepada pejabat UNHCR, Antonio Guterres pada tangal 11 Juli 2012 lalu www.unhcr.org Mengusir komunitas Rohingya yang menurut S.W. Cocks a Short History of Burma : 1919 : h.146 bermukim ratusan tahun silam yang berjumlah lebih dari satu juta jiwa dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Sebab tidak ada alasan hukum yang dipakai untuk membenarkan tindakan ini. Bila hal itu ter us terjadi di tengah „pembiaran‟ lembaga internasional yang seyogyanya menyelesaikan derita berkepanjangan, bukan hal mustahil yang demikian da pat „membakar‟ sentimen komunitas seagama dengan Royingya bertindak secara individual ataupun komunal.Apalagi kekerasan terhadap Muslim Rohingya dikesankan Dr. Gabriele Marranci antropologis dan direktur Study of Contemporary Muslim Lives Research Hub di Macquarie University sebagai „religious persecution‟ yang dapat memicu solidaritas religi di kawasan http:www.aljazeera.com dan marranci.com. Potensi ini bisa saja terjadi, bila pembiaran ini terus berlarut-larut tanpa akhir yang akan mendestabilitasi komunitas lokal, regional dan internasional yang tentu akan merugikan kepentingan nasional.Hal ini yang diamini oleh Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan bahwa komunitas internasional harus segera mengambil kebijakan cepat dan efektif menolong 7 penyelesaian persoalan masyarakat Rohingya.Sebab persoalan ini, menurut Surin merupakan tantangan keamanan strategis yang dapat mendestabilisasi kawasan www. thejakartapost.com. Apa yang diungkap Surin di atas boleh jadi benar. Sebab peristiwa ledakan bom berdaya ledak rendah pada Minggu 482013 terhadap Vihara Ekayana Graha yang berada di Jalan Mangga II, Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat berjejak tulisan yang berbunyi “Kami Mendengar Jeritan Rohingya” www.http:news.detik.com. Artinya ada indikasi pengkorelasiaan peristiwa tersebut dengan apa yang dialami oleh bangsa Rohingya.Memang bagi beberapa orang, hal ini sulit dipahami.Peristiwa yang terjadi jauh dari Indonesia, dapat berpengaruh terhadap sikap politik sebagian kecil orang di sini. Tetapi ini boleh jadi tafsiran terhadap hadits yang berbunyi : „Sesungguhnya Muslim itu bersaudara‟ dan hadits lain yang bermakna : “Barangsiapa yang tidak peduli dengan saudara mereka lainnya, maka tidaklah ia menjadi bagian dari mereka.” Apapun motif teror di balik kejadian tersebut ini tidak menjadi masalah bagi penulis. Tetapi sekecil apapun jejak yang ditinggalkan pelaku, itu harus menjadi perhatian aparat keamanan dan pemerintah. Sebab bila ini tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan antisipatif terkait dengan isu Rohingya dapat memicu peristiwa serupa di masa mendatang dalam skala yang bias lebih besar. Oleh karenanya, kondisi iniyang menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di ASEAN untuk aktif berkontribusi menyelesaikan konflik dan pertikaian etnis di Myanmar. Bila kondisi ini berlarur-larut dapat mendestabilisasi kawasan sebagaimana diprediksi oleh Sekjen ASEAN di atas. Kondisi ini semakin urgen ketika tidak ada satu negara anggota ASEAN pun yang all-out membantu penyelesaian kasus ini yang bisa jadi terikat dengan komitmen pada prinsip non- interference policy terhadap urusan masing-masing negara anggota.Singkatnya, menurut 8 penulis peran aktif Indonesia dalam kasus ini dapat mewujudkan stabilitas nasional dan perdamaian regional dalam jangka panjang. Kendati demikian, secara faktual pemerintah Jakarta atau pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menampakkan kebijakan dalam menyikapi kekerasan etnis atas komunitas muslim rohingya di Myanmar. Hal ini tampak pada kenyataan bahwa pemerintah Indonesia tidak secara eksplisit menggunakan pengaruhnya memberi tekanan terhadap pemerintah Myanmar baik di forum ASEAN ataupun forum-forum internasional lainnya, walau banyak statemen yang diucapkan SBY untuk berkomitmen membantu penyelesaian konflik komunal yang terjadi www.kemendagri.go.id. Tetapi lagi-lagi, itu tidak disinggung saat bertemu presiden Myanmar Thien Sien dalam kunjungan presiden RI ke Rangoon pada tanggal 23 April 2013 lalu. Kunjungan tidak lebih hanya sebagai penguatan hubungan ekonomi dan investasi semata. Memang isu Rohingya bagi Myanmar adalah persoalan sensitif dan eksistensial. Sebab kebijakan yang terkesan anti-Rohingya semakin tumbuh berkembang di tengah 60 juta masyarakat Myanmaryang menganut agama Budha. Bila isu ini diangkat oleh SBY dalam kunjungan tersebut dapat menyinggung „konsensus‟ nasional Myanmar bahwa Rohingya harus ditempatkan di negara ketiga yang mau menerima kehadiran mereka dan memicu keretakan hubungan bilateral. Hal ini dianggap konsensus sebab keinginan untuk mengusir bangsa Rohingya tidak hanya diusulkan oleh Presiden Thein Sein, tetapi juga oleh Biksu Win Rathu dan ketua partai Rakhine National Development Party Dr.Aye Maung democratic voice of Burma, http:archive.isRSubU. Kendati, sikap seperti ini dianggap tidak konsisten dengan apa yang kerap diucap terkait kasus Rohingya. Sebab tidak ada satu kebijakan luar negeri atau dalam negeri terkait dengan para pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia yang mewakili sikap pembelaanterhadap kaum Rohingya. 9 Memang saat bertemu Presiden Myanmar Thein Sein dalam sesi pertemuan bilateral di Phnom Penh, Kamboja, Selasa 20 November 2012, Presiden SBY menawarkan bantuan penyelesaian konflik etnis di negara bagian Rakhine http:www.suarapembaruan.com. Bahkan SBY menyarankan Presiden Thein Sein untuk mengundang negara-negara Organisasi Konferensi Islam OKI yang selama ini dilarang oleh Thein Sein untuk mengunjungi lokasi konflik http:www.suarapembaruan.com.Namun demikian tidak ada tanda-tanda dan indikasi bahwa tawaran dan himbauan politik RI atas Myanmar membuahkan hasil yang menggembirakan dan kekerasan kerap terulang kembali. Dan pada tingkat kebijakan Luar Negeri RI Republik Indonesia pemerintah SBY telah mengutus Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tanggal 7-8 Januari 2013 untuk melakukan diplomasi publik mencoba menekan pemerintah Myanmar supaya menghentikan kekerasan etnis wwwkhabarsoutheastasia.com. Sejatinya, ketika misi Menlu MartyNatalegawa dan himbauan yang ada tidak berhasil ada upaya diplomatik dan kebijakan luar negeri lain yang lebih efektif. Apakah itu dengan mengundang sidang darurat ASEAN, UN atau lembaga-lembaga internasional lainnya yang dapat menghentikan konflik berkepanjangan di Rakhine di atas. Yang ada justru memberdayakan Palang Merah Indonesia PMI untuk terlibat langsung dalam penanganan dan resolusi konflik di Negara itu. Misalnya, Pada tanggal 10 Agustus 2012 di bawah rombongan Jusuf Kalla mantan wakil presiden Indonesia dan direktur utama Palang Merah Indonesia PMI mengirim bantuan kemanusiaan untuk komunitas Rohingya berupa antara lain 500 paket kebersihan, 3.000 selimut dan 10 ribu sarung. 10

1.2 Pertanyaan Penelitian

Di sini, peneliti melihat keterlibatan pemerintah SBY dalam penyelesaian kasus kekerasan komunal di Rakhine adalah keniscayaan kepentingan nasional, regional dan internasional. Maka dalam konteks ini, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah : 1. Bagaimana kebijakan SBY Susilo Bambang Yudhoyono dalam membantu penyelesaian konflik Rohingya

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan SBY dalam membantu penyelesaian konflik Rohingya. 2. Memberikan sumbangsih bagi para pengambil kebijakan, mahasiswa dan analis terhadap kebijakan pemerintah Indonesia dalam membantu penyelesaian konflik rohingya.

1.4 TinjauanPustaka

Kajian tentang derita komunitas Muslim Rohingya tergolong sedikit. Pada level internasional, kajian hanya sedikit. Di antaranya adalah kajian Saiful Huq Omi documentary photographer dan pemenang National Geographic 1996, www.saifulhuq.com dengan judul Fleeing Burma yang mengkaji tentang sebab musabab diaspora komunitas Muslim Rohingya.Menurut penulis yang mengutip data UNHCR, tidak kurang dari 29 ribu orang asli Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh www.worldpolicy.org . Mereka bertahun-tahun berada di negeri jiran ini dengan menyandang status sebagai imigran gelap dan hidup dalam satu tempat yang sempit untuk 16-18 orang. Jumlah ini hanya sebagian dari 167 ribu pengungsi dan sumber lain mengatakan tidak kurang dari 210 ribu 11 orang mengungsi ke Bangladesh www.pi.library.yorku.ca yang terusir akibat kekerasan yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap komunitas Muslim ini di tahun 1970an www. Synergiescanada.org. K.C. Saha, kepala Bihar Public Service Commission, India, menulis pada jurnal Refuge tema lain terkait dengan Rohingya dengan judul “Learning from Rohingya Refugee Repatriation to Myanmar” bahwa repratriasi pengungsi Rohingya terjadi pada 15 Mei 1992 ketika sebuah kesepakatan ditandatangani antara Menlu Myanmar dan Menlu Bangladesh di awal 1992 lalu. Empat butir yang dicantumkan dalam kesepakatan itu adalah soal Azan boleh dikumandangkan di masjid-masjid daerah dengan mayoritas Muslim, bebas berpindah dari satu daerah ke daerah lain yang sebelumnya dilarang keras, komunitas Rohingya dapat bepergian dari tempat pengungsiannya di Bangladesh ke Arakan untuk melihat kondisi yang disiapkan untuk mereka jika kembali dan terakhir bagi orang Rohingya yang tidak punya kewarganegaraan dapat mendaftarkan diri jika sudah kembali ke Myanmarwww. Synergiescanada.org. Dan banyak lagi tulisan-tulisan ringkas dan liputan media tentang pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh rezim Rangon dan penganut Budha di Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya Arakan Report, IHH Insani Yardim Vakfi, Istanbul Turkey, July 2012. Demikian juga halnya pada level nasional, tema Rohingya belum menjadi konsen banyak civitas akademika, para analis dan pemerhati. Salah satu buktinya, tidak banyak tulisan serius terkait dengan kekerasan yang berlangsung di salah satu negeri anggota ASEAN tersebut. Namun, salah satu karya ilmiah yang di level terakhir tadi berjudul Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Rohingya di Wilayah Indonesia sesuai Konvensi 1951 Convention Relating to the Status of Refugees ditulis oleh Kadarudin, peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas HasanuddinJurnal Jurishdictionary, vol. VI, 1, Juni 2010.Dalam tulisan ini Kadarudin menegaskan bahwa 12 penderitaan minoritas Rohingya bermula tahun 1978 yang berakibat ratusan ribu manusia terusir, mengungsi ke perbatasan Myanmar-India, Myanmar-Bangladesh, dan tidak sedikit wanita Rohingya dijual di tempat-tempat prostitusi di perbatasan Cina. Penulis telah menelusuri banyak literatur yang terkait dengan tema Rohingya, tetapi masih sedikit sekali yang menaruh perhatian terhadapnya apalagi secara spesifik memperbincangkan tentang peran Indonesia dalam penyelesaian krisis kemanusiaan ini. Di sini, penelitian penulis menjadi sangat berarti dalam mengangkat tema Kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono SBY dalam penyelesaian kekerasan etnis muslim rohingya di Myanmar.

1.5 KerangkaPemikiran

Dalam penelitian ini penulis menggunakan bebrapa teori untuk mendukung permasalahan yang sedang diteliti. Konsep-konsep tersebut yaitu Kepentingan Nasional dan Kebijakkan Luar Negeri

1.5.1 Teori Kepentingan Nasional

Ketika membahas tentang peran Indonesia di kancah internasional tentu tidak lepas dari teori kepentingan nasional yang menjadi substansi fundamental hubungan internasional sebuah negara. Banyak pihak membahas tentang teori ini, salah satunya adalah Michael Doyle Simpson dalam tesisnya A Concept of the National Interest, Ia menyimpulkan bahwa kepentingan nasional adalah kepentingan-kepentingan publik yang menggerakkan sebuah bangsa guna meraih harapan dan komitmen pada karakter dan aspirasi bangsa Michael Doyle 1984: 129.Teori ini jauh dari konsep kepentingan nasional yang diusung oleh Hans J. Morgenthau dalam tulisannya “Another Great Debate : the National Interest of the United States” yang lebih menegaskan bahwa kepentingan nasional erat kaitannya dengan kekuasaan, pengaruh 13 dan kekuatan atau power Hans Margenthau 1952: 961-988 dan Umar Saryadi Bakri 1999: 60-61. Tentu kepentingan nasional Morgenthau di atas dapat dipersepsi sebagai konsep yang bernuansa sempit, antagonis dan tidak universal. Bisa dibayangkan bila semua negara dunia menjalankan kebijakan luar negerinya dengan nasional interest masing-masing yang bersandar kuat pada pengaruh, kekuatan dan kekuasaan, maka dunia akan kembali terseret pada lembah gesekan dan konflik tidak berkesudahan. Oleh karenanya, Frankel seperti dikutip Umar Saryadi melihat kepentingan nasional yang berlandaskan pada moralitas, religiusitas dan nilai-nilai humanis. Konsep ini juga diamini oleh Nicholas Spykman yang juga menambahkan aspek kepentingan kultural sebagai bagian integral dari kepentingan nasional Umar Saryadi Bakri 1999: 61. Kepentingan nasional sebuah negara menurut Charles Evans Hunges merupakan motivasi kuat dari kebijakan luar negeri dan hubungan internasionalnya Umar Saryadi bakri 1999: 73. Bahkan yang menjadi konsideran atau determinan utama dan motor kebijakan luar negeri atau hubungan internasional sebuah negara adalah national interest kepentingan nasional itu sendiri. Lebih dari itu, kebijakan luar negeri sebuah negara yang berlandaskan pada kepentingan nasional menjadi landasan mazhab realist dalam hubungan internasional. Tentu dalam mempraktekkan teori kepentingan nasional ini tidak semudah membalikkan tangan. Sebab negara-negara besar dapat secara arogan memaksa negara kecil dan lemah atas nama keadilan yang sesungguhnya artifisial tidak murni dan lain sebagainya demi kepentingan nasional individualnya. Dalam hal ini, konsep keseimbangan kekuatan balance of power menjadi keniscayaan praktek mazhab realist. Di sini, warga Myanmar beretnis Rohingya secara kebetulan beragama sama dengan mayoritas agama penduduk Republik Indonesia yang juga didiami oleh kelompok minoritas 14 yang beragama sama dengan mayoritas penduduk Myanmar. Keterlibatan aktif para agamawan atau Biksu Budha dalam demonstrasi pengusiran Muslim Rohingya berpotensi mengusik solidaritas-religi sebagian warga Muslim Indonesia. Bila realitas tersebut berlarut- larut, tidak mustahil dapat menyulut instabilitas di bumi pertiwi ini. Dikutip dari Jemadu, menurut Miroslav Nincic Terdapat 3 asumsi dasar yang dalam mendefinisikan kepentingan nasional Aleksius 2008: 67yakni:  Pertama, kepentingan itu bersifat vital sehingga pencapaiannya menjadi prioritas utama pemerintah dan Masyarakat.  Kedua, kepentingan harus berkaitan dengan lingkungan internasional. Artinya, pencapaian kepentingan nasional dipengaruhi oleh lingkungan internasional.  Ketiga, kepentingan nasional harus melampaui kepentingan yang bersifat pertikularistik dari individu, kelompok atau lembaga pemerintahan sehingga menjadi kepedulian masyarakat secara keseluruhan. Di sini, peran Indonesia dalam penanganan persoalan minoritas Rohingya di Myanmar yang merupakan salah satu dari negara anggota ASEAN Association of South- East Asian Countries tidak terlepas dari penggejawantahan salah satu dari empat elemen dan jenis kepentingan nasional di atas yaitu kepentingan tata internasional. Di samping itu, pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 kita dengan tegas menyebutkan bahwa „sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan peri-keadilan UUD 1945 perubahan 4 .‟Ini artinya, peran Indonesia dalam penyelesaian kasus Rohingya tidak lain adalah implementasi dari pembukaan UUD 1945 itu sendiri. Oleh karenanya, peneliti sepakat dengan tesis yang diungkap Frankel seperti dikutip Umar Saryadi di atas sebagai teori yang mestinya diambil oleh Indonesia bahwa kepentingan nasional adalah kepentingan yang meliputi kepentingan pertahanan defense interest,