Penilaian Remaja Terhadap Tipe Pola Asuh Keluarga di SMA N. Padangsidimpuan.

(1)

Penilaian Remaja Terhadap Tipe Pola Asuh Keluarga di

SMA NEGERI 1 Padangsidimpuan

Sri Wahyuni

SKRIPSI

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Penilaian Remaja Terhadap Tipe Pola Asuh Keluarga di SMA N. Padangsidimpuan”. Skripsi ini terlaksana karena arahan, masukan, dukungan dan koreksi dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, dan Pembantu Dekan I ibu Erniyati, S.Kp, MNS, Pembantu Dekan II ibu Evi Karota Bukit S.Kp, MNS, dan Pembantu Dekan III bapak Ikhsanuddin A Harahap, S.Kp, MNS.

2. Ibu Siti Zahara Nst, S.Kp, MNS, selaku dosen pembimbing skripsi saya yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini dalam Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU

3. Ibu Reni Tariga S.Kp, MARS dan Bapak Iwan Rusdi S.Kp, MNS, selaku dosen penguji yang telah memberikan saran yang membangun atas skripsi saya dalam Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU. 4. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Ayah dan Ibuku tercinta yang selalu


(4)

5. Terima kasih buat sahabat-sahabat ku Lia ,Ismu, Wie dan Nanda, yang banyak membantu, selalu mendukung dan mendoakanku dalam menyelesaikan skripsi penelitian ini.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan pihak-pihak yang membutuhkan. Penulis sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, 6 Januari 2012


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBARAN PERSETUJUAN ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR SKEMA ... viii

ABSTRAK ... ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 4

1.3. Pertanyaan Peneliti ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1. Praktek Keperawatan ... 4

1.4.2. Pendidikan Keperawatan ... 5

1.4.3. Penelitian ... 5

1.4.3. Keluarga ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Pengertian Penilaian ... 6

2.2. Remaja ... 7

2.2.1 Pengertian Remaja ... 7

2.2.2. Tahapan Perkembangan Remaja ... 8

2.2.3. Perkembangan Kognitif Remaja ... 11

2.3. Pola Asuh Keluarga ... 15

2.3.1. Pengertian Pola Asuh ... 15

2.3.2. Tipe Pola Asuh ... 16

2.3.3. Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh ... 26

2.4. Keluarga ... 29

2.4.1. Pengertian Keluarga ... 29

2.4.2. Karakteristik Keluarga ... 31

BAB III KERANGKA KONSEP ... 34

3.1. Kerangka Konsep ... 34

3.2. Definisi Konseptual dan Operasional ... 35

3.2.1. Definisi Konseptual ... 35

3.2.2. Definisi Operasional ... 36

BAB IV METODE PENELITIAN ... 37


(6)

4.2. Populasi Dan Sampel ... 37

4.2.1. Populasi ... 37

4.2.2. Sampel ... 37

4.2.3. Teknik Sampling ... 38

4.3. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 39

4.4. Pertimbangan Etik ... 39

4.5. Instrumen Penelitian ... 40

4.5.1. Data Demografi ... 40

4.5.2. Penilaian Remaja Terhadap Tipe Pola Asuh ... 41

4.6. Uji Validitas dan Realibitas ... 41

4.7. Pengumpulan Data ... 42

4.8. Analisa Data ... 43

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

5.1. Hasil penelitian ... 45

5.1.1. Karakteristik Responden ... 45

5.1.2. Penilaian Remaja Terhadap Tipe Pola Asuh ... 46

5.2. Pembahasan ... 49

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

6.1. Kesimpulan ... 57

6.2. Saran ... ... 58 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Inform Consen

2. Lembar Instrument Penelitian 3. Lembar Rincian Biaya

4. Lembar Jadwal Penelitian 5. Lembar Bukti Bimbingan 6. Surat izin fakultas

7. Surat Bukti Telah Melakukan Penelitian 8. Pengolahan Data


(7)

DAFTAR TABEL

 

TABEL 5.1. ... 46

TABEL 5.2. ... 47

TABEL 5.3. ... 48

TABEL 5.4. ... 48

TABEL 5.5. ... 48  

                       


(8)

DAFTAR SKEMA

 


(9)

Judul : Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan

Nama mahasiswa : Sri wahyuni

Nim : 101121013

Jurusan : SI Keperawatan Ekstensi

Tahun : 2012

ABSTRAK

Pola asuh adalah cara yang digunakan keluarga dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan tersebut antara lain pengetahuan, nilai moral, dan standart perilaku yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti. Terdapat 3 macam tipe pola asuh orang tua yaitu; demokratis, otoriter, permisif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Desain penelitian ini adalah deskriptif. Pengambilan sampel dengan teknik quota sampling. Sample sebanyak 56 orang yang terdiri dari siswa-siswi kelas 2 di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 12 juli 2011. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang meliputi data demografi dan pernyataan terkait dengan tiga tipe pola asuh. Kemudian data yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik komputerisasi dan dideskripsikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Berdasarkan penelitian, Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan yaitu 40 responden (71.4%) menilai tipe pola asuh keluarganya demokratis, dan 13 responden (23,2%) menilai tipe pola asuh keluarganya otoriter, dan 3 responden (5,4%) menilai tipe pola asuh keluarganya permessive. Adapun kesimpulan dari penelitian ini yaitu, penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan adalah tipe pola asuh demokratis. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melengkapi penelitian ini dengan mengembangkan metode lain dan dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan penelitian selanjutnya mengenai tipe pola asuh keluarga.


(10)

Judul : Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan

Nama mahasiswa : Sri wahyuni

Nim : 101121013

Jurusan : SI Keperawatan Ekstensi

Tahun : 2012

ABSTRAK

Pola asuh adalah cara yang digunakan keluarga dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan tersebut antara lain pengetahuan, nilai moral, dan standart perilaku yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti. Terdapat 3 macam tipe pola asuh orang tua yaitu; demokratis, otoriter, permisif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Desain penelitian ini adalah deskriptif. Pengambilan sampel dengan teknik quota sampling. Sample sebanyak 56 orang yang terdiri dari siswa-siswi kelas 2 di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 12 juli 2011. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang meliputi data demografi dan pernyataan terkait dengan tiga tipe pola asuh. Kemudian data yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik komputerisasi dan dideskripsikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Berdasarkan penelitian, Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan yaitu 40 responden (71.4%) menilai tipe pola asuh keluarganya demokratis, dan 13 responden (23,2%) menilai tipe pola asuh keluarganya otoriter, dan 3 responden (5,4%) menilai tipe pola asuh keluarganya permessive. Adapun kesimpulan dari penelitian ini yaitu, penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan adalah tipe pola asuh demokratis. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melengkapi penelitian ini dengan mengembangkan metode lain dan dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan penelitian selanjutnya mengenai tipe pola asuh keluarga.


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh dengan kesukaran. Bukan saja kesukaran pada individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi orang tuanya. Hal ini disebabkan karena masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa.Yang dimulai pada saat terjadi kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu menjelang masa dewasa muda. Masa transisi ini sering kali menghadapkan individu yang bersangkutan kepada situasi yang membingungkan, disatu pihak ia masih kanak-kanak, tetapi dipihak lain ia harus bertindak seperti orang dewasa. Ausabel (dalam Soetjiningsih, 2004) mengatakan bahwa jika status orang dewasa sebagai status primer, artinya status ini diperoleh berdasarkan kemampuan dan usaha sendiri dan status anak adalah status yang diperoleh dari apa yang diperoleh dari orang tua dan masyarakat, maka remaja ada dalam situasi interim sebagai akibat dari posisi yang sebagian diberikan orang tua dan masyarakat dan sebagian dari usaha sendiri yang selanjutnya memberi prestice tertentu untuk dirinya.

Dalam perkembangannya menuju kedewasaan, remaja berangsur-angsur mengalami perubahan. Seperti perubahan kognitif pada remaja dimana penalaran logis yang berkembang, pemikiran idealis yang meningkat dapat mempengaruhi hubungan orangtua dan remaja (Santrock, 2003). Selama masa kanak-kanak orang tua dapat berkata “cukup sampai disitu, kita lakukan dengan cara saya”, si anak akan menurut.


(12)

Tapi dengan kemampuan kognitif yang meningkat, remaja tidak mau lagi menerima pendiktean orang tuanya. Remaja ingin tau kenapa dia dihukum, bahkan ketika orang tua memberi alasan yang cukup dan masuk akal untuk menghukum mereka, kemajuan kognitif mereka dapat menemukan kekurangan dialasan tersebut.

Kesenjangan dan konflik antara remaja dan orangtua terjadi karena remaja membutuhkan kebebasan emosional dari orang tua, misalnya dalam hal memilih teman maupun melakukan aktifitas. Sifat remaja yang sangat ingin memperoleh kebebasan emosional dan sementara orang tua yang masih ingin mengawasi dan melindungi anaknya dapat menimbulkan konflik diantara mereka.

Orang tua sekarang dinilai dengan secara langsung membandingkan dengan orang tua yang ideal. Interaksi yang sangat nyata dengan orang tua, yang mau tidak mau melibatkan hal negatif, dibandingkan dengan skema remaja mengenai orang tua ideal. Pemikiran tentang orang tua ideal didasarkan terutama pada bagaimana perlakuan orang tua terhadap mereka, terutama dibidang disiplin, pengasuhan, dan rekreasi. Remaja dapat menilai terhadap apa saja yang dilihat dan didengarnya, dan akan memiliki penilaian terhadap norma-norma keluarga, tata cara keluarga yang terdiri dari nilai-nilai, larangan-larangan, yang membatasi dan mengatur tingkah laku keluarga (Gunarsah, 2003).

Orangtua yang menerapkan disiplin yang kaku dan menuntut anak untuk mematuhi aturan-aturannya, yang membuat remaja frustasi, mereka akan


(13)

menilai pola asuh yang diterapkan otoriter. Sebaliknya penerapan pola asuh, dimana orang tua memberikan kebebasan kepada anak sebanyak mungkin dalam beraktifitas atau memilih teman sesuai keinginan mereka, orang tua akan dinilai baik.

Hasil survey pada remaja di 10 kota besar diindonesia tahun 2003, mayoritas (82%) mereka menyatakan pola asuh orangtua mereka adalah otoriter, 50% mengaku pernah mendapat hukuman fisik ( Ariani, 2006). Dan hasil penelitian ada 87,5% responden yang bersuku batak, memiliki pola asuh demokratis. Ini sesuai dengan hasil penelitian Irmawati (2007) bahwa 71,4% yang bersuku suku batak memiliki pola pengasuhan demokratis, karena asumsi orang batak bahwa anak adalah kekayaan yang sangat berharga seperti semboyan suku Batak “Anakkonki do hamoraon di au”, sehingga orangtua selalu memberi dukungan untuk menjunjung tinggi kebaikan dan kedisiplinan dalam mengasuh untuk mencapai keberhasilan tanpa melakukan pemaksaan dalam mengasuh anak.

Berdasarkan studi pendahuluan peneliti mendapatkan data siswa kelas 2 SMA N 1 Padangsidimpuan tahun 2010-2011 dengan jumlah 224 orang. Dan peneliti melakukan wawancara pada 5 orang siswa, 4 orang siswa mengatakan orang tuanya memberikan kebebasan pada mereka untuk melakukan aktifitas diluar rumah tetapi mereka harus pulang kerumah sebelum magrib dan mereka bebas memilih teman yang mereka sukai tetapi mereka tidak boleh mengikuti perilaku buruk dari temannya. Dan satu siswa laki-laki yang diwawancarai mengatakan orangtuanya memberikan kebebasan


(14)

melakukan apapun, bahkan ketika dia pulang tengah malam orang tuanya tidak marah, asalkan dia tidak mabuk-mabukan.

Dari latar belakang diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian remaja terhadap pola asuh keluarganya berbeda-beda,dan penilaian remaja terhadap pola asuh orang tuanya belum tentu benar. Karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Penilaian Remaja Tentang Pola Asuh Keluarga di SMA N 1 Padangsidimpuan”.

1.2.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga diSMA N. 1 Padangsidimpuan.

1.3.Pertanyaan Penelitian

Bagaimana penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan.

1.4. Manfaat penelitian

1.4.1. Bagi Prakek keperawatan

Sebagai bahan masukan bagi praktek keperawatan komunitas khususnya keperawatan keluarga mengenai pola asuh keluarga. Dengan diketahuinya penilaian remaja terhadap pola asuh keluarga dapat menjadi dasar bagi perawat dalam menerapakan pola asuh yang baik dalam lingkungan masyarakat.


(15)

1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat diintegrasikan dalam pembelajaran keperawatan komunitas, khususnya keperawatan keluarga tentang penilaian remaja terhadap pola asuh keluarga, sehingga fakta ini dapat dikembangkan dalam praktek belajar lapangan keperawatan komunitas maupun lingkungan masyarakat.

1.4.3. Bagi Penelitian Selanjutnya

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang Penilaian remaja terhadap pola asuh keluarga di komunitas untuk digunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan pola asuh keluarga.

1.4.4. Bagi Keluarga

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada keluarga dalam memberikan pola asuh keluarga yang benar pada remaja.


(16)

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Pengertian Penilaian

Teori penilaian sosial judgemen teory memberikan perhatian pada bagaimana orang memberikan penilaian mengenai segala informasi atau pernyataan yang didengarnya. Teori penilaian sosial disusun berdasarkan penelitian Muzafer sheriff yang berupaya memperkirakan bagaimana orang menilai pesan dan penilaian yang dibuat tersebut dapat mempengaruhi sistem kepercayaan yang sudah dimiliki sebelumnya (Morissan, 2010). Penilaian adalah alih bahasa dari istilah assessmen. Menurut Buana (2005) penilaian dapat didefenisikan sebagai kegiatan menentukan nilai suatu objek, seperti baik- buruk, efektif tidak efektif. Berhasil-tidak berhasil, dan semacamnya sesuai criteria atau tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Penilailan adalah merupakan kegiatan untuk mengetahui apakah suatu program yang telah dilaksanakan telah berhasil dan efisien. Menurut Sudijono (2005), penilaian berarti menilai sesuatu, sedangkan menilai itu mengandung arti : mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri dan berpegang pada ukuran baik atau buruk, sehat atau sakit, pandai atau bodoh dan sebagainya. Menurut Buana (2005) ada empat unsur pokok penilaian yaitu : objek yang dinilai, criteria tolak ukur, data tentang objek yang akan dinilai, dan pertimbangan keputusan.


(17)

2.2. Remaja

2.2.1. Pengertian Remaja

Menurut WHO anak diakatakan remaja bila telah mencapai umur 10-18 tahun.Masa remaja menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) seorang bapak pelopor psikologi perkembangan remaja, dianggap sebagai masa topan-badai dan stress (strom & stress), karena mereka telah mmiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Jika terarah dengan baik maka ia akan menjadi seorang individu yang memiliki tanggung jawab, tetpi jika tida terbimbing, maka akan menjadi seseorang yang tida memiliki masa depan yang baik.

Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. Menurut Hurlock(1999) Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget yang menyatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.

Santrock mengartikan masa remaja (adolescence) sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Masa


(18)

remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 20 tahun(Santrock, 2003). Perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berfikir abstrak sampai pada kemandirian. Semakin banyak ahli perkembangan yang menggambarkan remaja sebagai masa remaja awal dan akhir. Masa remaja awal kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencangkup kebanyakan perubahan pubertas.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa. Pada saat anak mulai remaja, dimana anak merasa tidak lagi di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama.

2.2.2. Tahapan Perkembangan Remaja dan Ciri-cirinya

Hurlock(1999) mengemukakan bahwa seperti halnya semua periode penting selama rentang kehidupan, masa remaja juga mempunyai ciri-ciri yang membedakan dengan periode lain. Menurut Hurlock, masa remaja merupakan suatu periode yang sangat penting karena akan terjadi serangkaian perubahan. Pada masa remaja, akan terjadi perkembangan fisik yang cepat dengan disertai juga oleh perkembangan mental, terutama pada masa awal remaja.Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental untuk membentuk sikap, nilai, dan minat baru.


(19)

Peralihan tidak berarti terputus atau berubah terhadap apa yang terjadi sebelumnya, melainkan peraliahan dari satu tahapperkembangan ketahap berikutnya. Artinya,apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang akan terjadi sekarang dan berikutnya.Bila masa kanak-kanak beralih kemasa dewasa, anak-anak harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan. Hurlock(1999) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan, dimana dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Begitu juga dengan remaja, remaja akan mengalami ketidakjelasan dan keraguan terhadap perannya. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa.

Masa remaja adalah masa perubahan. Ada empat perubahan yang sama yang hampir bersifat universal dialami oleh semua remaja. Pertama adalah meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, sehingga remaja akan mengalami masalah baru. Ketiga, dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai akan ikut berubah. Apa yang pada masa kanak kanak dianggap penting, maka pada masa remaja bisa saja sesuatu yang tidak penting itu berubah menjadi penting. Misalnya, penampilan. Keempat, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap


(20)

perubahan. Remaja menginginkan kebebasan, tetapi takut untuk bertanggungjawab akan akibat yang ditimbulkan.

Remaja juga merupakan usia bermasalah. Dikatakan sebagai usia bermasalah karena pertama, sepanjang masa kkanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang dewasa yang ada di sekitarnya, misalnya guru atau orangtua. Hal ini mengakibatkan remaja tidak terbiasa memecahkan masalahnya sendiri. Kedua, remaja merasa dirinya mandiri, sehingga remaja ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan orang lain, dalam hal ini orangtua dan guru. Masa remaja juga dicirikan dengan adanya pencarian identitas. Masa remaja dikatakan juga sebagai masa yang tidak realistik, karena remaja cenderung memandang kehidupan dari kaca matanya sendiri. Remaja melihat dirinya sendiri maupun orang lain seperti yang diinginkan dan bukan apa adanya. Hal ini menimbulkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari masa awal remaja.

Hurlock (1999) menyatakan bahwa perkembangan remaja merupakan proses untuk mencapai kematangan, baik secara fisik, mental, emosi maupun sosial. Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik yang meliputi pertumbuhan yang pesat pada kerangka tubuh, organ-organ internal, otot-otot, pertumbuhan berat badan, tinggi badan dan terjadinya tanda-tanda kelamin primer dan sekunder dan mulai berfungsinya kelenjar-kelenjar kelamin.


(21)

Remaja juga mengalami perkembangan psikis yang meliputi aspek-aspek intelektual, bakat dan emosi.pandangan bertambah luas karena perhatian remaja pada ilmu pengetahuan mengalami perkembangan. Kemampuan mental yang menyangkut aspek intelektualnya berkembang dan kini mampu mengadakan generalisasi dan berpikir abstrak. Pertumbuhan mental remaja yang menyangkut kemampuan kognitif juga terus berkembang. baik secara kualitatif maupun kuantitatif, selama tahun-tahun masa remaja. Perolehan tersebut dikatakan kuantitatif dalam pengertian bahwa remaja mampu menyelesaikan tugas-tugas intelektual dengan lebih mudah, lebih cepat dan efisien dibanding ketika masih kanak-kanak. Dikatakan kualitatif dalam arti bahwa perubahan yang bermakna terjadi juga dalam proses mental dasar yang digunakan untuk mendefinisikan dan menalar pemasalahan.

Berdasarkan pernyataan di atas maka disimpulkan bahwa remaja mengalami perkembangan baik dari segi fisik maupun segi intelektual, emosi dan sosial, seperti adanya perubahan hubungan dengan orangtua ataupun orang lain, selain itu remaja juga harus dapat menjadi individu yang mandiri karena memang tugas paling mendasar dari remaja adalah mencapai kemandirian agar remaja dapat merencanakan kegiatan-kegiatannya. Perkembangan positif pada remaja akan membentuk kepribadian remaja ke arah yang positif dan sebaliknya perkembangan negatif akan membentuk kepribadian diri remaja yang negatif pula


(22)

2.2.3. Perkembangan Kognitif Remaja

Kognitif dalam konteks ilmu psikologi sering didefenisikan secara luas mengenai kemampuan berpikir dan mengamati, suatu perilaku yang mengakibatkan seseorang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian. Salah satu tugas perkembangan remaja yang harus dilaluinya adalah mampu berpikir secara lebih dewasa dan rasional, serta memiliki pertimbangan yang lebih matang dalam menyelesaikan masalah.

Dengan kata lain remaja harus memiliki kemampuan intelektual serta konsepsi yang dibutuhkan untuk menjadi masyarakat yang baik (Soetjiningsih, 2004).

Perubahan yang terjadi dimana pada masa anak-anak cara berpikirnya masih preoperasional dan konkrit operasional. Akan tetapi pada masa remaja perkembangan kognitif menuju pada level yang paling tinggi yaitu formal operasional ( Piaget dalam Ariani, 2006 ).

Cara berpikir remaja tidak terlepas dari kehidupan emosinya yang naik turun . Penentangan dan pemberontakan yang ditunjukkan denganselalu melancarkan banyak kritik, bersikap menentang peraturan sekolah, maupun dirumah menjadi suatu ciri mulai meningkatnya kemampuan berpikir dengan sudut pandang yang mulai meluas pada remaja.


(23)

Kemampuan kognitif manusia berkembang secara bertahap Pieget (dalam Soetjiningsih, 2004) membaginya dalam beberapa stadium, stadium sensori motorik (umur 0-18 bulan), stadium pra opersional (umur 18- 7 tahun), stadium operasional konkrit (umur 7-11 tahun, stadium operasional formal (mulai 11 tahun).

Tahap formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal.

Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2003).

Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya. Dengan kemampuan tersebut maka remaja semakin yakin akan kemampuannya dalam mengambil keputusan sendiri dan tidak lagi terlalu


(24)

tergantung pada kepada orang lain (Murniati & Beatrix, 2000) yang sering mengakibatkan konflik remaja dengan sekolah, orangtua atau lingkungannya.

Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis.

Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001). Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain” .

2.3. Pola Asuh Keluarga

2.3.1. Pengertian Pola Asuh Keluarga

Pendidikan anak dalam keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi dewasa, dengan demikian menjadi hak dan kewajiban orangtua sebagai penanggung jawab yang utama dalam mendidik anak-anaknya. Tugas


(25)

orang tua adalah melengkapi anak dengan memberikan pengawasan yang dapat membantu anak agar dapat menghadapi kehidupan dengan sukses.

Pengasuhan menurut Porwadarminta (dalam Amal, 2005) adalah orang yang melaksanakan tugas membimbing, memimpin, atau mengelola. Pengasuhan yang dimaksud disini adalah mengasuh anak. Menurut Darajat (dalam amal, 2005) mengasuh anak maksudnya adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makan, minumnya, pakaiannya, dan keberhasilannya dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian diatas dapat dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan, yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya.

Pola asuh adalah cara yang digunakan keluarga dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan tersebut antara lain pengetahuan, nilai moral, dan standart perilaku yang harus dimiliki anak bila dewasa nanti (Mussen, 1994).

Tujuan mengasuh anak adalah memberikan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan remaja agar mampu bermasyarakat. orangtua menanamkan nilai-nilai kepada anak-anaknya untuk membantu mereka membangun kompetensi dan kedamaian. Mereka menanamkan kejujuran, kerja keras, menghormati diri sendiri, memiliki perasaan kasih sayang, dan bertanggung jawab. Dengan latihan dan kedewasaan,


(26)

karakterkarakter tersebut menjadi bagian utuh kehidupan anak-anak (Edwards, 2006).

2.3.2. Tipe Pola Asuh Keluarga

Orangtua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu diantaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anak, orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada dilingkungannya. Disamping itu, keluarga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memilihara, membimbing putra- putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anak-anaknya yang berbeda-beda, karena keluarga memiliki pola asuh tertentu. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh keluarga petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh keluarga berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh keluarga yang berpendidikan tinggi (Tarmudji, 2009) .

Beberapa pendapat mengenai tipe pola asuh keluarga diantaranya sebagai berikut:

Tipe pola asuh menurut Baumrind (dalam santrock, 2003) terdiri dari tiga tipe yaitu :


(27)

1. Pola Asuh Authoritarian (Otoriter)

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali memaksa anak untuk berprilaku seperti dirinya (orangtua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-cerita, bertukar pikiran dengan orangtua, orangtua malah menganggap bahwa semua sikapnya yang dilakukan sudah benar sehingga tidak perlu anak dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang menyangkut permasalahan anak-anaknya(Santrock, 2003).

Pola asuh otoriter cenderung untuk menentukan peraturan tanpa berdiskusi dengan anak-anak mereka terlebih dahulu. Mereka tidak mempertimbangkan harapan-harapan dan kehendak hati anak-anak mereka. Petunjuk atau keputusan dari orangtua dicukupkan dengan kalimat ”karena aku bilang begitu”. keluarga otoriter menuntut keteraturan, sikap yang sesuai dengan ketentuan masyarakat dan menekankan kepatuhan kepada otoritas. Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2003) pola asuh authoritarian (otoriter) adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orangtua atau kontrol yang ditujukan pada anak untuk mendapatkan ketaatan dan kepatuhan.


(28)

Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku,diktator, dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orangtua tanpa banyak alasan. Perilaku orangtua dalam berinteraksi dengan anak bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orang tua tanpa merasa perlu menjelaskan pada anak apa guna dan alasan dibalik aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anak.

Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua. Karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006).

Menurut Yusniah (2008) ciri – ciri pola asuh otoriter adalah sebagai berikut : 1) anak harus mematuhi peraturan – peraturan orang tua dan tidak boleh membantah, 2) orang tua cenderung mencari kesalahan – kesalahan anak dan kemudian menghukumnya, 3) orang tua cenderung memberikan perintah dan


(29)

larangan kepada anak, 4) jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang, 5) orang tua cenderung memaksakan disiplin, 6) orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana, 7) tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak.

Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk terhadap anak, anak akan merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif, selalu tegang, cenderung ragu, dan tidak mampu menyelesaikan masalah, kemampuan komunikasinya buruk, akibat seringnya mendapat hukuman dari orang tua. Anak menjadi tidak disiplin dan nakal dengan pola asuh seperti ini anak diharuskan untuk berdisiplin Karena semua keputusan dan peraturan ada ditangan orangtua.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter menunjukkan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anaknya ditandai dengan hubungan orangtua dengan anak yang tidak hangat, kaku, orangtua lebih suka memaksa kehendak, mereka menentukan peraturan tanpa diskusi dengan anak, dan anak sering diberi hukuman sebaliknya jarang mendapat pujian.

2. Pola Asuh Authortative (Demokratis)

Pola asuh authoritative adalah pola asuh yang bercirikan adanya hak, dan kewajiban, orang tua dan anak adalah sama dalam


(30)

arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdisiplin. Pola asuh demokratis mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orangtua bersikap hangat dan bersikap membesarkan hati remaja (Sim, 2000). Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang kompeten.

Menurut Shochib (dalam Yuniarti, 2003) orangtua yang menerapkan pola asuh authoritative banyak memberikan kesempatan pada anak untuk membuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung anak untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan sedikit menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan disiplin. Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang ditandai dengan pengakuan orangtua terhadap kemampuan anak-anaknya, dan kemudian anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orangtua. Dalam pola asuh seperti ini orangtua memberikan sedikit kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang dikehendaki dan apa yang diinginkan yang terbaik bagi dirinya, anak diperhatikan dan didengarkan saat anak berbicara, dan bila berpendapat orangtua memberikan kesempatan untuk mendengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan


(31)

terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri(Kuczynski & Lollis, 2002).

Menurut Yusniah (2008) ciri – ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut; 1) menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan – alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak, 2) memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar ditinggalkan, 3) memberikan bimbingan dengan penuh pengertian, 4) dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga, 5) dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta sesama keluarga.

Menurut Park & Locke (dalam Lestari, 2006) teori sistem keluarga menjelaskan bahwa penting didalam sosialisasi seorang anak tidak hanya eratnya hubungan keluarga, tetapi keseluruhan kombinasi dari tingkah laku tersebut. Orangtua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu fungsinya mengasuh putra- putrinya. Dalam mengasuh anak, orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada dilingkungannya.

3. Pola Asuh Permisif

Menurut Baumrin Pola asuh keluarga permissive tidak memberikan struktur dan batasan-batasan yang tepat bagi anak-anak mereka. Pola asuh permissive merupakan bentuk pengasuhan dimana


(32)

orang tua memberikan kebebasan sebanyak mungkin pada anak untuk mengatur dirinya. Anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua. Pola asuh ini memandang anak sebagai seorang pribadi dan mendorong mereka untuk tidak berdisiplin dan anak diperbolehkan untuk mengatur tingkah lakunya sendiri. Dengan pola asuh seperti ini anak mendapat kebebasan sebanyak mungkin dari keluarganya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Pelaksanaan pola asuh permisif atau dikenal dengan pola asuh serba membiarkan adalah orang tua yang bersikap mengalah, menuruti semua keinginan, dan melindungi secara berlebihan serta memberikan atau memenuhi semua keinginan anak. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

Pola asuh permissive memuat hubungan antara anak dan orangtua penuh dengan kasih sayang, tetapi membuat anak menjadi agresife dan suka menurutkan kata hatinya. Secara lebih luas, kelemahan orangtua dan tidak konsistennya disiplin yang diterapkan membuat anak-anak tidak terkendali, tidak patuh, dant ingkah laku agresif diluar lingkungan keluarga.


(33)

maupun kognitif pada anak.Menurut Hetherington clingempeel (dalam, lestari 2006) Pola asuh permissive cederung menjadikan anak tidak mampu bersosialisasi, tidak bertanggung jawab, tidak dewasa, terasing dari keluarga mereka, dan menunjukkan gangguan dalam perkembanagan kognitif, prestasi, dan keunggulan disekolah.

Pola asuh ini membuat remaja meghabiskan waktu diluar rumah dengan teman. Orangtua permissive adalah orangtua yang kaku dan berfokus pada kebutuhan mereka sendiri. Terutama pada saat anak menjadi lebih dewasa, orangtua gagal mengawasi mereka, apa yang sedang mereka lakukan atau siapa teman-teman mereka.

Baumrind menggambarkan 2 jenis keluarga yang permessive antara lain:

1. Keluaraga permisif lunak (memanjakan)

Pola asuh permisif memanjakan (permissive-indulgent parenting) adalah suatu pola dimana orangtua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif memanjakan berkaitan dengan ketidak cakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri. Orangtua permisif lunak bisa hangat, bersifat ngemong, dan responsif, tetapi mereka menggunakan sedikit sekali struktur dan bimbingan. Karena orangtua dengan tipe ini cenderung mempercayai bahwa ekspresi bebas dari keinginan hati dan harapan sangatlah penting bagi


(34)

perkembangan psikologis, mereka sedikit sekali tuntutan kepada anak-anak mereka untuk menjadi matang dan bersikap mandiri.

Anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua tipe ini biasanya menjadi anak-anak yang ”manja”. Mereka cenderung tidak cocok dengan orang dewasa lainnya, mereka sangat menuntut, kurang percaya diri, dan kurang bisa mengandalikan diri. Mereka tidak menetapkan tujuan atau menikmati kegiatan yang mengandung tanggung jawab. Mereka bisa menjadi senang dan bersikap baik selama segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan mereka, tetapi mudah frustasi jika keinginan mereka tidak terpenuhi.

2. Keluaraga yang lepas tangan (tidak peduli)

Gaya pengasuhan permisif tidak peduli (permissive-indifferet

parenting) adalah suatu pola dimana keluarga sangat tidak ikut

campur . dalam kehidupan remaja.

Hal ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri. keluarga semacam ini gagal memberikan bimbingan dan dukungan emosional yang cukup bagi anak-anak mereka. keluarga yang tidak peduli bisa saja memulai dengan mencintai dan tegas, tetapi dalam perjalanannya mereka menjadi kewalahan menghadapi seringnya respons negatif dari anggota keluarga yang lain. Mereka mencoba menghindari konflik dengan bertahap menarik diri dari kehidupan emosional anak mereka. Seakan-akan orangtua yang lepas tangan mengatakan kepada diri


(35)

mereka sendiri, ”apapun yang kulakukan, semuanya tidak berhasil. Jika aku baik kepada anak ini, juga tidak akan berhasil. Jika aku coba untuk memaksa anak ini untuk mengerajakan apa yang aku inginkan, anakmu menolak dan semua menjadi lebih buruk lagi”.

Huffman (dalam Ali, 2004) mengemukakan tiga jenis pola asuh orangtua, yaitu:

1. Pola asuh bina kasih (induction)

Pola asuh bina kasih adalah pola asuh yang diterapkan keluarga dalam mendidik senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang diambil bagi anggota keluarganya.

2. Pola asuh unjuk kuasa (power asertion)

Pola asuh unjuk kuasa adalah pola asuh yang diterapkan orangtua terhadap anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi oleh anak meskipun sebenarnya anak tidak dapat menerimanya.

3. Pola asuh lepas kasih (love withdrawal)

Pola asuh yang diterapkan keluarga dalam mendidik anggota keluarganya dengan cara menarik sementara cinta kasihnya ketika anak tidak menjalankan apa yang dikehendaki orangtuanya, tetapi jika anak sudah mau melaksanakan apa yang dikehendaki orangtuanya maka cinta kasihnya itu dikembalikan seperti sediakalanya. Dalam konteks pengembangan kepribadian remaja, termasuk di dalamnya


(36)

pengembangan hubungan sosial, pola asuh yang disarankan oleh Hoffman untuk menerapkan adalah pola asuh bina kasih.

2.3.3. faktor yang mempengaruhi pola asuh

Menurut Mussen (1994) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua, yaitu sebagai berikut:

a. Jenis kelamin

Orang tua pada umumnya cenderung lebih keras terhadap anak wanita dibandingkan terhadap anak laki-laki

b. Ketegangan orangtua

Pola asuh seseorang bisa berubah ketika merasakan ketegangan ekstra. Orangtua yang demokratis kadang bersikap keras atau lunak setelah melewati hari-hari yang melelahkan orangtua bisa selalu bersikap konsisten. Peristiwa sehari-hari dapat mempengaruhi orangtua dengan berbagai cara.

c. Pengaruh cara orangtua dibesarkan

Para orang dewasa cenderung membesarkan anak-anak mereka dengan cara yang sama seperti mereka dibesarkan oleh orangtua mereka. Namun, kadang-kadang orangtua membesarkan anak dengan cara yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan waktu mereka dibesarkan.


(37)

dengan latihan dan komitmen, para orangtua dapat mempelajari tugas- tugas yang secara canggung. Dengan komitmen dan latihan tugas-tugas berat dapat terselesaikan.

d. Lingkungan tempat tinggal

Lingkungan tempat tinggal suatu keluarga akan mempengaruhi cara orangtua dalam menerapkan pola asuh. Hal ini bisa dilihat bila suatu keluarga tinggal di kota besar, maka orangtua kemungkinan akan banyak mengkontrol karena merasa khawatir, misalnya melarang anak untuk pergi kemana-mana sendirian. Hal ini sangat jauh berbeda jika suatu keluarga tinggal di suatu pedesaan, maka orangtua kemungkinan tidak begitu khawatir jika anak-anaknya pergi kemana mana sendirian.

e. Sub kultur budaya

Budaya disuatu lingkungan tempat keluarga menetap akan mempengaruhi pola asuh orangtua. Hal ini dapat dilihat bahwa banyak orangtua di Amerika Serikat yang memperkenankan anak-anak mereka untuk mepertanyakan tindakan orangtua dan mengambil bagian dalam argumen tentang aturan dan standar moral.

f. Status sosial ekonomi

Keluarga dari status sosial yang berbeda mempunyai pandangan yang berbeda tentang cara mengasuh anak yang tepat dan dapat diterima, sebagai contoh: ibu dari kelas menengah kebawah lebih menentang


(38)

ketidak sopanan anak dibanding ibu dari kelas menengah keatas. Begitupun juga dengan orangtua dari kelas buruh lebih menghargai penyesuaian dengan standar eksternal, sementara orangtua dari kelas menengah lebih menekankan pada penyesuaian dengan standar perilaku yang sudah terinternalisasi.

Jadi dari ketiga jenis pola asuh yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif. Pola asuh orangtua yang biasa diandalkan adalah pola asuh orangtua demokratis karena orangtua dalam memberikan pujian, hukuman dan berkomunikasi dengan anak-anak mereka akan turut mempengaruhi terbentuknya kemampuan berpenyesuaian yang baik dalam lingkungannya. Sebagai faktor pola asuh demokratis orangtua merupakan kekuatan yang penting dan sumber utama dalam pengembangan kemampuan sosial anak.

2.4. Keluarga

2.4.1. pengertian keluarga

Keluarga merupakan bagian dari manusia yang setiap hari selalu berhubungan dengan kita. Keluarga menurut Friedman (1998) adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu yang mempunyai peran maasing-masing yang merupakan bagian keluarga. Menurut UUD No. 10 tahun keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari


(39)

suami-Dalam keluarga terdapat ikatan perkawinan dan hubungan darah yang tinggal bersama dalam satu atap (serumah) dengan peran masing-masing serta keterikatan emosional, seperti yang tertulis dalam peraturan pemerintahan (PP) No. 21 tahun 1994 bahwa keluarga dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah.

Menurut duvall dan logan (1986) keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga.

Allender dan Spradley ( dalam Ariani, 2006) mengemukakan bahwa struktur keluarga terdiri dari dua kategori umum yaitu keluarga tradisional seperti keluarga inti, keluarga besar, keluarga suami istri tanpa anak, janda/duda (single parent), keluarga usia lanjut, dan non tradisional seperti homoseksualitas, keluarga yang mempunyai anak tetapi tidak menikah, dan hidup bersama tanpa menikah.

David (1992) mengkategorikan keluarga berdasarkan pengertian sebagai berikut :

1. Keluarga seimbang

Keluarga yang ditandai dengan keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan anak. Dalam keluarga ini orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Setiap


(40)

anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi tanpa harus diminta. Anak-anak measa aman, walaupun tidak selalu disadari. Dianatara keluarga saling mendengarkan jika bicara bersama, melalui teladan dan dorongan orangtua. Setiap masalah dihadapi dan diupayakan untuk dipecahkan bersama.

2. Keluarga kuasa

Keluarga ini lebih menekankan kekuasaan daripada relasi. Pada keluarga ini, anak merasa seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku peraturan, ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis. Orang tua bertindak sebagai bos dan pengawas tertinggi. Anggota keluarga terutama anak-anak tidak memiliki kesempatan atau peluang agar dirinya didengarkan.

3. Keluarga protektif

Keluarga ini lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari perasaan satu sama lain. Dalam keluarga ini ketidakcocokan sangat dihindari karena lebih menyukai suasana kedamaian.

4. Keluarga kacau

Keluarga ini kurang teratur dan selalu timbul konflik. Orangtua kurang peka terhadap kebutuhan anak-anak. Anak sering diabaikan dan diperlakukan secara kejam karena kesenjangan antara anak dan orang tua. Orangtua sering bersikap kasar terhadap anak. Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau ditekan.


(41)

5. Keluarga simbotis

Keluarga simbotis dicirikan oleh orientasi dan perhatian keluarga yang kuat bahkan hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak. Keluarga ini berlebihan dalam relasi. Orangtua sering merasa terancam karena meletakkan diri sepenuhnya pada anak-anak, dengan alasan “demi keselamatan” . orangtua banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan dan memenuhi keinginan anak.

2.4.2. Karakteristik keluarga

Karakteristik keluarga dapat dikembangkan berdasarkan pendidikan orang tua, penghasilan orang tua, dan tipe keluarga. Orangtua yang memiliki pendidikan tinggi cenderung akan memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik. Hal ini disebabkan bapak akan mendapatkan informasi yang lebih banyak sehingga dalam memberikan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan dan permasalahan remaja akan lebih baik pula ( Harlock, 1999).

Informasi yang didapatkan oleh bapak dari Pendidikan formal, akan memperkaya wawasan bapak terkait dengan pengasuhan dan upaya mengantisipasi perilaku remaja. Disamping itu, dilihat dari peran formal bapak sebagai pencari nafkah dengan pendidikan formal yang memadai memberikan peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak jg semakin terbuka ( Mcmurray, 2003, dalam Ariani, 2006).

Bapak dalam keluarga memilki peran formal sebagai pencari nafkah dan peran informal sebagai pelindung keluarga, pendorong, dan


(42)

pengambil keputusan. Dalam budaya indonesia peran bapak masih dominan dalam berbagai segi kehidupan dan pengambil kepurusan. Keputusan-keputusan yang diambil berkaitan dengan pengasuhan yang dibeikan pada remaja masih banyak ditentukan oleh bapak. Keputusan akan semakin baik apabila bapak memilki wawasan dan pendidikan yang memadai ( Ariani, 2006).

Demikian juga pendidikan yang tinggi pada ibu, ibu sangat mempengaruhi perilaku remaja, ibu yang berpendidikan tinggi memiliki kemampuan kognitif yang lebih tinggi dan mendapatkan informasi yang lebih baik, sehingga mampu memberikan keputusan yang terkait dengan masalah remaja ( Harlock, 1999 ). Ibu sebagai pilar rumah tangga tentu memiliki peran formal yaitu sebagai ibu runah tangga dan juga sebagai pengasuh anak. Mendidik dan mengasuh anak bukanlah suatu hal yang mudah, mengingat anak-anak terutama remaja memiliki keunikan masing-masing.

Dalam proses pembimbingan dan pengasuhan anak, dibutuhkan strategi dan kiat-kiat cermat sehingga remaja akan tumbuh dan berkembang secara optimal ( Harlock, 1999). Kiat-kiat dan strategi yang cermat membutuhkan kemampuan kognitif dan wawasan yang baik. Selain peran formal, ibu juga memiliki peran informal dimana seorang ibu harus mampu sebagai manajer keuangan keluarga sehingga stabilitas ekonomi keluarga dapat terjamin.


(43)

Pendidikan yang tinggi pada ibu, juga memiliki peluang bagi ibu untuk mendapatkan pekerjaan. Ibu yang bekerja pada umumnya memiliki pendidikan yang lebih baik, sehingga kualitas pengasuhan juga lebih baik, meskipun dalam segi kuantitas frekuensi keberadaan didalam rumah lebih sedikit dibandingkan ibu yang tidak bekerja ( Ariani, 2006).


(44)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual

Kerangka konsep pada penelitian ini disusun berdasarkan serangkaian konsep yang saling terkait yaitu remaja, penilaian,dan tipe pola asuh keluarga. Berikut ini akan dijabarkan konsep terkait yang akan digunakan sebagai dasar dalam merumuskan kerangka dan instrument penelitian.

Kerangka penelitian Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan dapat dilihat dari skema dibawah ini.

Skema 3.1 kerangka Penelitian penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga Tipe pola asuh keluarga

- Otoriter - Demokratis - Permesif Penilaian Remaja


(45)

3.2. Defenisi Konseptual dan Operasional

3.2.1. Defenisi Konseptual

Defenisi konseptual penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga adalah:

a. Penilaian

Penilaian adalah kegiatan menentukan nilai suatu objek, seperti baik- buruk, efektif tidak efektif. Berhasil-tidak berhasil, dan semacamnya sesuai kriteria atau tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya(Buana, 2005).

b. Remaja

Remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial- emosional (Santrock, 2003). Masa remaja dimulai kira-kira usia 10-13 tahun dan berakhir antara usia 18-20 tahun (Santrock, 2003).

c. Tipe pola asuh Keluarga

Cara yang digunakan keluarga dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan(Mussen, 1994). Tipe pola asuh keluarga menurut Baumrind (dalam Santrock, 2003) ada tiga tipe yaitu otoriter, demokratis, permissive.


(46)

3.2.2. Defenisi Operasional

Defenisi Operasional pada penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga adalah:

a. Penilaian

Penilaian dalam penelitian ini yang dimaksud adalah pola asuh keluarga yang dinilai oleh remaja atau responden di SMA N 1 padangsidimpuan berdasarkan tolak ukur tipe pola asuh otoriter. Demokratis, permissive.

b. Remaja

Dalam penelitian ini yang dimaksud remaja adalah responden yang berusia 15-17 tahun di SMA N 1 Padangsidimpuan yang berada dikelas 2.

c. Tipe pola asuh keluarga

Dalam penelitian ini yang dimaksud tipe pola asuh keluarga adalah cara yang digunakan keluarga remaja atau responden di SMA N 1 padangsidimpuan untuk mencapai tujuan yang diingikan oleh keluarga responden berdasarkan tipe pola asuh otoriter,demokratis, dan permisif.


(47)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif . Dimana peneliti akan mengetahui penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan.

4.2. Populasidan Sampel Penelitian

4.2.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa remaja pria dan wanita usia 15-17 tahun yang duduk dikelas 2 SMA N 1 Padangsidimpuan, Dengan jumlah populasi siswa/i kelas 2 sebanyak 224 orang .

4.2.2. Sampel

Menurut Arikunto (2002), untuk pengambilan sampel jika subjeknyakurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya, jika subjeknya lebih dari 100 maka dapat diambil antara 10-15 % atau 20-25% atau lebih, tergantung pada kemampuan peneliti dilihat dari segi waktu, tenaga, dan dana serta luasnya wilayah pengamatan, maka peneliti mengambil jumlah sampel sebanyak 56 orang yaitu 25% dari


(48)

populasi. Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi.

4.2.3 .Teknik Sampling

Teknik Sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan subjek penelitian (Nursalam, 2003).

Sampel dipilih dengan menggunakan Quota Sampling yaitu pengambilan sampel dilakukan dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian), jika sampel sudah terpenuhi maka pengambilan sampel dihentikan (Nursalam, 2003).

ada beberapa kriteria responden sebagai subjek studi dan dianggap representative yaitu :

1. Siswa/siswi kelas 2 SMA 2. Siswa remaja usia 15-17

3. Tinggal dengan keluarga inti, baik sekandung atau tidak 4. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian.


(49)

4.3. Lokasi Waktu Penelitian

Penelitian telah dilakukan di SMA N 1 Padangsidimpuan, dengan pertimbangan banyak terdapat remaja usia 15-17 tahun masih memiliki orang tua atau keluarga inti dan tinggal bersama,dan belum pernah dilakukan penelitian di SMA ini. Penelitian dilakukan pada tanggal 12 juni 2011 di SMA N 1 Padangsidimpuan.

4.4. Pertimbangan Etik

Dalam melakukan penelitian ini, permohonan izin diajukan kepada Fakultas Keperawatan USU, kemudian izin penelitian disampaikan kepada kepala sekolah SMA N 1 Padangsidimpuan agar penelitian dapat dilaksanakan.

Pada pelaksanaan penelitian, kepada calon responden diberikan penjelasan tentang informasi esensial dari penelitian yang akan dilakukan, antara lain tujuan, manfaat, kegiatan dalam penelitian serta hak-hak responden didalam penelitian ini.

Penelitian ini memperhatikan, menghormati, dan memberikan sepenuhnya hak-hak perlindungan diri bagi responden, yaitu hak atas privacy diri, kerahasian identitas diri, dengan perlakuan yang sama dalam penelitian.

Responden berhak untuk menentukan sendiri kesediaan berpartisipasi sampai akhir penelitian ini selesai atau menarik diri dari penelitian walaupun penelitian masih berlangsung dan belum selesai. Hal tersebut tercantum


(50)

dengan jelas dalam informend consent yang berupa pernyataan prsetujuan partisipasi secara lisan atau yang ditandatangani oleh responden sebelum penelitian dilaksanakan.

Sebelum menandatangani informend consent tersebut, responden diberi waktu hingga benar-benar paham sepenuhnya atas apa yang akan dijalaninya dalam penelitian.

4.5. Instrumen Penelitian

Untuk megetahui informasi dari responden, peneliti menggunakan alat pengumpul data berupa kuisoner yang disusun sendiri oleh peneliti dengan berpedoman pada konsep dan tinjauan pustaka. Kuisoner Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga merupakan instrument yang digunakan dalam penelitian ini. Item-item dalam instrumen terbagi menjadi 2 bagian yaitu:

4.5.1. Data Demografi Remaja

Bagian ini terdiri dari 10 item yaitu umur, jenis kelamin, agama, suku, tinggal dengan keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orangtua. Data demografi merupakan variabel yang tidak diteliti.


(51)

4.5.2. Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga

Bagian ini ditujukan untuk mengkaji penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga. Pengkajian penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga. menggunakan skala likert dengan cara menetapkan bobot jawaban terhadap tiap-tiap item (Mardalis, 1995). Kuesioner terdiri dari 36 pernyataan, dengan tiga pilihan jawaban yaitu tidak pernah (TP), jarang terjadi (JT), atau sering terjadi (ST). Kuesioner ini terbagi atas dua kategori pola asuh keluarga meliputi pernyataan tentang tipe pola asuh otoriter pernyataan no. 1-12, dimana TP ( Nilai 1), JT (Nilai 2), dan ST (Nilai 3). pernyataan tentang tipe pola asuh demokratis pernyataan no. 13-24, dimana TP ( Nilai 1), JT (Nilai 2), dan ST (Nilai 3) pernyataan tentang tipe pola asuh permisif no. 25-36, dimana TP (Nilai 1), JT (Nilai 2), dan ST (Nilai 3) .

4.6. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas telah dilakukan oleh dosen pembimbing ibu Siti Zahara S.Kp.MNS. dengan cara validitas isi yaitu instrumen dilihat dan dikoreksi oleh dosen apakah sesuai dengan konsep pola asuh keluarga, jika instrumen sesuai maka instrumen dikatakan valid.

Uji reliabilitas dilakukan pada 20 remaja yang bertempat tinggal di jl.perjuangan Padangsidimpuan yang memiliki kriteria yang sama dengan sampel penelitian. Hasil uji reliabilitas kuesioner untuk penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga menggunakan uji Cronbach Alfa dengan


(52)

hasil 0.730. Menurut Polit & Hungler (1995) suatu instrumen yang baru reliabel bila koefisiennya 0.70 atau lebih. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kuesioner penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel.

4.7.Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Mengajukan permohonan izin kepada pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan program studi ilmu keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatra Utara.

2. Mengirimkan permohonan izin yang diperoleh ketempat penelitian (SMA N. 1 Padangsidimpuan )

3. Setelah mendapatkan izin dari kepala sekolah SMA N.1 Padangsidimpuan, maka peneliti melakukan pengumpulan data penelitian dikelas 2 IPA3 dan dikelas 2 IPA4.

4. Menjelaskan kepada calon responden tentang prosedur, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan cara pengisian kuesioner

5. Peneliti meminta kesediaan responden untuk mengikuti penelitian dengan memberikan informend consent dan meminta untuk menandatanganinya


(53)

6. Seluruh responden yaitu 56 orang bersedia untuk menjadi responden dan responden diminta menjawab pertanyaan dengan mengisi sendiri kuesioner yang diberikan sesuai dengan waktu yaitu ± 30 menit.

7. Peneliti menganalisa data.

4.8. Analisa Data

Setelah data terkumpul, maka analisa data dilakukan melalui pengolahan data secara komputerisasi dengan menggunakan SPSS versi 14.0. Data demografi disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. Hasil analisa data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase untuk melihat penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga yaitu otoriter, demokratis, permessive, dengan pembagian rentang kelas menggunakan rumus menurut Hidayat (2009).

Data demografi dianalisis disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase dan data hasil analisa tipe pola asuh keluarga juga akan disajikan dalam bentuk frekuensi dan persentase.

Berdasarkan rumus statiska P = Rentang , dimana P merupakan panjang kelas dan Banyak kelas

rentang adalah nilai tertinggi dikurangi nilai terendah (Hidayat, 2009).

Untuk analisa tipe pola asuh Authoritarian (otoriter) dengan rentang sebesar 28 dan jumlah kategori sebanyak 2 maka diperoleh panjang kelas sebesar 12. Dengan P = 12 dan nilai terendah = 12 sebagai batas bawah kelas interval pertama, pemberian skor adalah sebagai berikut:


(54)

Tidak Otoriter = 12-23 Otoriter = 24-36

Untuk analisa tipe pola asuh Demokrasi dengan rentang sebesar 28 dan jumlah kategori sebanyak 2 maka diperoleh panjang kelas sebesar 12. Dengan P = 12 dan nilai terendah = 12 sebagai batas bawah kelas interval pertama, pemberian skor adalah sebagai berikut :

Tidak Demokratis = 12-23 Demokratis = 24-36

Untuk analisa tipe pola asuh permissive dengan rentang sebesar 28 dan jumlah kategori sebanyak 2 maka diperoleh panjang kelas sebesar 12. Dengan P = 12 dan nilai terendah = 12 sebagai batas bawah kelas interval pertama, pemberian skor adalah sebagai berikut :

Tidak Permisif = 12-23 Permisif = 24-36

Dan skor tertinggi dari ketiga skor penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga yaitu otoriter,demokratis,dan permessive merupakan tipe pola asuh yang dominan digunakan oleh keluarga responden di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Hasil analisa data baik data demografi maupun kuesioner akan disajikan dalam bentuk table distribusi frekuensi.


(55)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini diuraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 12 juli 2011 Padangsidimpuan dengan jumlah 56 orang responden di SMA N.1 Padangsidimpuan.

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Karakteristik Responden

Pada penelitian diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden berusia 16 tahun, yaitu sebanyak 51 orang (91,1%) dari total sampel. Mayoritas responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 35 responden (62,5%) . Untuk karakteristik agama, mayoritas responden beragama Islam (89,3%) dan mayoritas bersuku Batak (87,5%).

Sebanyak 52 responden tinggal dengan keluarga inti (92,2%). Pendidikan orang tua terakhir (Ayah) 27 responden (48,2%) adalah lulusan SMA dan (Ibu) pendidikan terakhir adalah SMA dari 33 responden (59 %). Sedangkan untuk penghasilan keluarga lebih dari


(56)

setengah responden yaitu 32 responden (57,1%) berpenghasilan lebih dari Rp. 3.000.000,00.

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan karakteristik demografi responden (N= 56).

Karakteristik Demografi Frekuensi(n) Persentase(%) 1. Umur

15 tahun 3 5,3 16 tahun 51 91,1 17 tahun 2 3,6

2. Jenis Kelamin

Perempuan 35 62,5

Laki-laki 21 37,5

3. Agama

Islam 50 89,3

Kristen 6 10,7

4. Suku

Batak 49 87,5

Jawa 4 7,1

Minang 2 3,5

Aceh 1 1,9

5. Remaja Bertempat Tinggal dengan

Keluarga Inti sekandung 52 92,9 Keluarga inti tidak

Sekandung 4 7,1

6. Pendidikan terakhir orang tua Ayah

SD 3 5,4

SMP 4 7,1

SMA 27 48,2

Perguruan tinggi 22 39,3 7. Pendidikan terakhir orang tua

Ibu

SD 3 3,5

SMP 3 7,1

SMA 34 48,2

Perguruan tinggi 16 39,3

8. Pekerjaan orangtua Ayah

PNS/TNI 30 53,9


(57)

Tabel 5.1. Lanjutan

Karakteristik Demografi Frekuensi(n) Persentase(%) 9. Pekerjaan orangtua

Ibu

PNS 14 25

Wiraswasta 23 41

IRT 19 34

10.Penghasilan keluaraga per bulan

< Rp.1.000.000 5 14,3

Rp. 1.000.000 – Rp. 3.000.000 18 28,6

>Rp.3.000.000 33 57,1

5.1.2 Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan ( N- 56).

Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh otoriter berdasarkan hasil skor yang dihitung terdapat 43 (76,8 %) responden yang masuk kedalam tipe pola asuh otoriter.

Tabel 5.2 distribusi frekuensi dan persentase penilaian remaja terhadap tipe pola asuh otoriter (N-56)

tipe pola asuh otoriter frekuensi (N) persentase(%)

Tidak otoriter : 12-23 13(23.2)

Otoriter : 24-36 43(76,8)

Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh demokratis berdasarkan hasil skor yang dihitung terdapat 54 responden (96,4) yang masuk kedalam tipe pola asuh demokratis.


(58)

Tabel 5.3 distribusi frekuensi dan persentase penilaian remaja terhadap tipe pola asuh demokratis (N-56)

tipe pola asuh demokratis frekuensi (N) persentase (%)

Tidak demokratis : 12-23 2 (3,6)

demokratis : 24-36 54 (96,4)

Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh permisif berdasarkan hasil skor yang dihitung hanya terdapat 8 responden (14,3%) yang masuk kedalam tipe pola asuh permessive.

Tabel 5.4. distribusi frekuensi dan persentase penilaian remaja terhadap tipe pola asuh permisif (N-56)

tipe pola asuh Permisif frekuensi (N) persentase (%)

Tidak permisif : 12-23 48 (85,7)

permisif : 24-36 8 (14,3)

Secara keseluruhan data yang diperoleh dari penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N.1 Padangsidimpuan berdasarkan nilai tertinggi dari perhitungan skor tiga tipe pola asuh terdapat 40 responden (71,4%) menilai tipe pola asuh keluarganya adalah tipe pola asuh demokratis.

Tabel 5.5. Distribusi frekuensi dan persentase penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N.1 Padangsidimpuan

Tipe pola Asuh Frekuensi (N) Persentase(%)

Permisif 3 5,4

Demokratis 40 71,4


(59)

5.2. Pembahasan

Penelitian ini menjelaskan penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan. Dengan jumlah responden 56 orang.

Pada penelitian ini, penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga dikelompokkan dari 3 tipe pola asuh orang tua yaitu tipe pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga dari hasil skor tertinggi dari ketiga tipe pola asuh keluarga menunjukkan bahwa 71,4% responden menilai tipe pola asuh keluarganya demokratis, 23,8 % menilai tipe pola asuh keluarganya tipe pola asuh otoriter, dan 5,4 % tipe pola asuh permisif. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh jenis kelamin, suku/budaya, tipe keluarga, pekerjaan orang tua, pendidikan orangtua, pendapatan orang tua.

Dilihat dari jenis kelamin, 62,5% responden berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin mempengaruhi pola asuh yang diberikan keluarga, Orangtua pada umumnya lebih keras terhadap anak perempuan daripada anak laki-laki (Rahmawati, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian ada 87,5% responden yang bersuku batak, dimana hampir seluruh responden merupakan penduduk asli di padangsidimpuan yang merupakan suku batak mandailing, dan memiliki pola asuh demokratis. Ini sesuai dengan hasil penelitian Irmawati (2007) bahwa 71,4% yang bersuku suku batak memiliki pola pengasuhan demokratis, karena asumsi orang batak bahwa anak adalah kekayaan yang sangat berharga seperti


(60)

semboyan suku Batak “Anakkonki do hamoraon di au”, sehingga orangtua selalu memberi dukungan untuk menjunjung tinggi kebaikan dan kedisiplinan dalam mengasuh untuk mencapai keberhasilan tanpa melakukan pemaksaan dalam mengasuh anak. Dan hasil penelitian yang tinggal dengan keluarga inti sekandung ada 92,9 % responden memiliki pola asuh demokratis. Menurut Allender dan spradley (dalam Ariati, 2006) keluarga inti merupakan bagian dari keluarga tradisional yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak baik sekandung ataupun tidak. Keluarga merupakan lingkungan pertama anak, keluarga juga meletakkan landasan bagi pola penyesuaian dan belajar berpikir tentang diri mereka (Hurlock, 1999). dan keluarga inti sekandung atau tidak mempengaruhi ketegangan atau konflik dalam keluarga dan itu mempengaruhi pola asuh yang diterapkan pada remaja.

Tingkat pendidikan terakhir pada ayah responden 48,2% tamatan SMA, dan pada ibu 59% tamatan SMA. Ayah yang memiliki pendidikan yang tinggi cenderung akan memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik. Dan hal ini disebabkan ayah yang mendapatkan informasi yang lebih banyak (Hurlock, 1999). Dari informasi yang didapat akan memperkaya wawasan ayah terkait dengan pengasuhan anak. Dan pendidikan yang tinggi pada ibu akan meningkatkan rasa percaya diri ibu dan rasa aman bagi ibu untuk mengasuh anaknya (Mcmurray, dalam Ariani, 2006) sehingga mempengaruhi pola asuh yang diberikan pada anaknya. Dan pada pekerjaan orangtua responden 53.9% ayah responen bekerja sebagai PNS, dan pada ibu 41% bekerja sebagai wiraswasta, Ayah yang bekerja sebagai PNS/ABRI kebnyakan responden


(61)

memiliki pola asuh otoriter.orangtua yang bekerja umumnya memiliki pengetahuan yang lebih baik sehingga kualitas pengasuhan juga lebih baik, wawasan yang tinggi diperlukan dalam kiat-kiat mengasuh dan mendidik anak, pendidikan dan pekerjaan mempengaruhi pola asuh yang diberikan. Hasil penelitian pada pendapatan orang tua 57,1% berpenghasilan diatas Rp.3.000.000, menurut Mussen (1994) keluarga dari status sosial yang yang berbeda mempunyai pandangan yang berbeda tentang cara mengasuh anak yang tepat dan diterima.orangtua dari kelas menengah lebih menekankan pada penyesuaian standar perilaku yang sudah terinternalisasi.

Berdasarkan hasil penilaian remaja terhadap tipe pola asuh otoriter sebanyak 43 responden (76,8%) menilai pola asuh keluarganya masuk kedalam kategori pola asuh otoriter, hal ini berdasarkan lebih dari setengah pertanyaan pada tipe pola asuh otoriter, responden menjawab sering terjadi, yaitu pada pertanyaan no.1,3,4,5,6,7,11,12. Dimana sebanyak 62,5% responden menjawab sering terjadi pada keluarga menetapkan aturan dirumah tanpa boleh dilanggar, dan 62,5% responden menjawab sering terjadi keluarga akan menghukum remaja jika pulang larut malam, dan 53,6% responden menjawab sering terjadi keluarga saat ini melarang remaja berpacaran, 37,5% sering terjadi keluarga mengatur remaja bersekolah sesuai keinginan keluarga, 48,2% keluarga membandingkan remaja dengan saudara atau teman remaja yang berprestasi, 39,3% sering terjadi keluarga mengatur jam tidur dan bangun tidur setiap hari, 44,6% sering terjadi keluarga akan memarahi remaja jika nilai raport tidak memuaskan, dan 48,2% sering terjadi keluarga melarang remaja


(62)

membantah segala keputusan keluarga. Dan ini sesuai dengan pendapat Yusniah (2008) ciri – ciri pola asuh otoriter adalah sebagai berikut : 1) anak harus mematuhi peraturan – peraturan orang tua dan tidak boleh membantah, 2) orang tua cenderung mencari kesalahan – kesalahan anak dan kemudian menghukumnya, 3) orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak, 4) jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang, 5) orang tua cenderung memaksakan disiplin, 6) orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana, 7) tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak. Tipe pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali memaksa anak untuk berprilaku seperti dirinya (orangtua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-cerita, bertukar pikiran dengan orangtua, orangtua malah menganggap bahwa semua sikapnya yang dilakukan sudah benar sehingga tidak perlu anak dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang menyangkut permasalahan anak-anaknya (Santrock, 2003). Dan ini sesuai dengan penelitian Ariani (2006) bahwa hasil survey pada remaja di 10 kota besar diindonesia tahun 2006, mayoritas 82% mereka menyatakan pola asuh orangtua mereka adalah tipe pola asuh otoriter, dan 50% mengaku pernah mendapat hukuman fisik.

Dan pada penilaian remaja terhadap tipe pola asuh demokratis, 54 (96,4%) responden masuk kedalam kategori tipe pola asuh demokratis, hal ini


(63)

berdasarkan seluruh pertanyaan pada tipe pola asuh demokratis responden menjawab sering terjadi, yaitu pada pertanyaan no.13-24. Dimana 87,5% responden menjawab sering terjadi keluarga memberikan hadiah jika remaja berbuat baik dan menghukum remaja jika melakukan kesalahan, dan 87,5% responden bahwa sering terjadi keluarga berkomunikasi dengan hangat dan baik, 89,4% responden sering terjadi keluarga membicarakan dengan remaja dalam memilih sekolah yang diinginkan, 91,1% responden menjawab sering terjadi keluarga menasehati remaja jika berbuat salah, 83,9% sering terjadi keluarga mengizinkan teman remaja bermain kerumah, 78,6% keluarga percaya remaja mampu bersikap baik dimasyarakat, 75% keluarga mengenal teman dekat remaja, 83,9% keluarga mengajarkan untuk meminta maaf jika menyakiti hati teman, 78,6% keluarga cemas jika remaja pulang terlambat kerumah, 62,5% keluarga selalu memceritakan keberhasilan remaja didepan keluarga yang lain. Ini sesuai dengan pernyataan Baumrind (dalam Santrock, 2003) bahwa pola asuh demokratis adalah pola asuh yang bercirikan adanya hak, dan kewajiban, orang tua dan anak adalah sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdisiplin. Pola asuh demokratis mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orangtua bersikap hangat dan bersikap membesarkan hati remaja (Sim, 2000). Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang ditandai dengan pengakuan orangtua terhadap kemampuan anak-anaknya, dan


(64)

kemudian anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orangtua. Dalam pola asuh seperti ini orangtua memberikan sedikit kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang dikehendaki dan apa yang diinginkan yang terbaik bagi dirinya, anak diperhatikan dan didengarkan saat anak berbicara, dan bila berpendapat orangtua memberikan kesempatan untuk mendengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri (Kuczynski & Lollis, 2002).

Dan pada penilaian remaja terhadap tipe pola asuh permisif hanya 8 (14,3%) responden yang masuk kedalam kategori tipe pola asuh permessive. Dari jawaban responden pada pertanyaan no.26,27,29,30,32,33,34. tentang tipe pola asuh permessive responden menjawab jarang terjadi. 57,1% jarang terjadi keluarga memenuhi keinginan remaja untuk membeli barang yang diinginkan remaja, dan 53,6% jarang terjadi keluarga memberikan kebebasan dalam berpakaian sesuai dengan tuntutan mode, 46,4% jarang terjadi keluarga membebaskan remaja untuk belajar atau tidak dirumah, 42,8% jarang terjadi keluarga lebih baik mangalah daripada berdebat dengan remaja, 39,3% jarang terjadi keluarga tidak tahu kegiatan remaja ketika membuka internet dirumah atau diwarnet, 46,4% jarang terjadi keluarga memberikan kebebasan untuk remaja menonton tv, 42.9% jarang terjadi keluarga karena kesibukan tidak sempat membicarakan masalah remaja. Hal ini dapat dipengaruhi dari sebagian ibu responden 66% bekerja, dan 7,1% responden tinggal dengan keluarga tidak sekandung. Menurut Baumrin (2003) Pola asuh keluarga permissive tidak memberikan struktur dan batasan-batasan yang tepat bagi anak-anak mereka.


(65)

Pola asuh permissive merupakan bentuk pengasuhan dimana orang tua memberikan kebebasan sebanyak mungkin pada anak untuk mengatur dirinya. Anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua. Pola asuh ini memandang anak sebagai seorang pribadi dan mendorong mereka untuk tidak berdisiplin dan anak diperbolehkan untuk mengatur tingkah lakunya sendiri. Dengan pola asuh seperti ini anak mendapat kebebasan sebanyak mungkin dari keluarganya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Pelaksanaan pola asuh permisif atau dikenal dengan pola asuh serba membiarkan adalah orang tua yang bersikap mengalah, menuruti semua keinginan, dan melindungi secara berlebihan serta memberikan atau memenuhi semua keinginan anak (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006).

Namun berdasarkan hasil penelitian penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N.1 Padangsidimpuan dari nilai yang paling tinggi pola asuh utama yang diterapkan menunjukkan mayoritas responden 71,4% menilai tipe pola asuh keluarganya adalah pola asuh demokratis. Pola asuh yang diberikan keluarga bisa berubah-ubah ketika merasakan ketegangan ekstra, orang tua yang demokratis kadang bersikap keras atau lunak setelah melewati hari-hari yang melelahkan, peristiwa sehari-hari dapat mempengaruhi orangtua dengan berbagai cara. Pengaruh cara orangtua dibesarkan juga mempengaruhi pola asuh yang diberikan.Para orang dewasa cenderung membesarkan anak-anak mereka dengan cara yang sama seperti mereka dibesarkan oleh orangtua


(66)

mereka. Namun, kadang-kadang orangtua membesarkan anak dengan cara yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan waktu mereka dibesarkan ( Mussen, 1994 ). Pada setiap keluarga tidak selamanya pola asuh yang diberikan hanya satu tipe pola asuh, terkadang orang tua menerapkan pola asuh pada anaknya lebih dari satu tipe pola asuh.


(67)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan dapat diambil kesimpulan dan saran mengenai penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan.

6.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa sebagian besar responden berusia 16 tahun, yaitu sebanyak 51 orang (91,1%) dan mayoritas responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 35 responden (62,5%), responden mayoritas beragama Islam sebanyak 50 responden (89,3%), dan yang bersuku Batak 49 responden (87,5%) dan remaja yang tinggal dengan keluarga inti Sebanyak 52 responden (92,2%) dengan pendidikan orang tua terakhir (Ayah) 27 responden (48,2%) adalah lulusan SMA dan pendidikan terakhir (ibu) adalah lulusan SMA dari 33 responden (59 %), pekerjaan orangtua responden (ayah) 30 orang (53,9%) bekerja sebagai PNS/TNI, dan (ibu) 23 orang (41%) bekerja sebagai wiraswasta dan 32 responden (57,1%) penghasilan keluarga lebih dari Rp. 3.000.000,00.

Penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan yaitu 40 responden (71.4%) menilai tipe pola asuh keluarganya demokratis, dan 13 responden (23,2%) menilai tipe pola asuh keluarganya otoriter, dan 3 responden (5,4%) menilai tipe pola asuh


(68)

keluarganya permessive, sehingga dapat dikatakan penilaian remaja terhadap tipe pola asuh keluarga di SMA N. 1 Padangsidimpuan adalah tipe pola asuh demokratis.

6.2. Saran

6.2.1 Bagi Peneliti Keperawatan

Penelitian ini telah dilakukan secara deskriptif maka untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat melengkapi penelitian ini dengan mengembangkan metode lain dan dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan penelitian selanjutnya mengenai tipe pola asuh keluarga

6.2.2. Bagi Praktek Keperawatan

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan keluarga kearah yang lebih baik lagi dengan cara memberikan pendidikan kesehatan dan penyuluhan keperawatan keluarga.

6.2.3. Bagi Pendidikan Keperawatan

Dalam pendidikan keperawatan khususnya bagi mata ajaran keperawatan keluarga dapat menjadi suatu pertimbangan untuk mempelajari pola asuh sehingga nantinya dapat diaplikasikan ketika terjun langsung dimasyarakat.


(69)

DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, Hendriati. (2006). Psikologi Perkembangan : Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan

Konsep Diri dan Penyesuain Diri pada Remaja. Bandung: PT. Refika Aditama

Ariani, Ni Putu. (2006). Hubungan Karekteristik Remaja, Keluarga, dan Pola Asuh Keluarga Dengan Perilaku Remaja : Merokok, Agresif, Seksual, Pada siswa SMA dan SMK Di Kecamatan Bogor Barat . Dalam http://Khairuddin hsb.blogspot.com

Ali, Mohammad & Mohammad Asrori. (2004). Psikologi Remaja.Jakarta : Bumi Aksara

Arikunto, S. (2002). Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktek. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

.Amal, Bakhrul Khair.(1998). Pendidikan Anak di Usia Dini. Dalam http://www.Waspada.co.id

Aziz Alimul Hidayat, A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika

Dariyo, Agoes. (2004). Psikologi Perkmbangan Remaja. Bogor : Ghalia Indonesia Gunarsah, Singgih D. (1993). Psikologi Remaja. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan : Suatu pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Edisi 5. Jakarta: Erlangga

Morissan. (2010). Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia

Mussen, P.H. 1994. Perkembangan dan Kepribadian Anak (Terjemahan Budiyanto, F.X., dkk). Jakarta : Archan.

Notoadmojo, Soekidjo, (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta :


(70)

Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Ed. 1 Jakarta : Salemba

Polit. D.F. Hungler. B.P. (1999). Nursing Research Principles and Method. Philadelphia : Lippinchat. Company.

Santrock, John W. (2007). Perkembangan Anak Ed. 7 Jilid 2. Jakarta : Erlangga Sarwono, Sarlito Wirawan. (1997). Psikologi Remaja. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Shochib, Moh. (1998). Pola Asuh Orangtua dalam Membantu Anak

Mengembangkan Disiplin.Jakarta : Rineka Cipta

Sobur, Alex. (2003) . Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung : CV

Pustaka Setia

Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya. Jakarta : CV Sagung Seto

Suparatjino. (2003). Asuhan Keperawatan Keluarga : Aplikasi Dalam Praktek . Jakarta : EGC

Tarmidji, Tarsis. (2009). Pola Asuh Orangtua dalam Mengarahkan Perilaku Anak.

Yusuf, Syamsu L.N. (2000) . Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosdakarya


(1)

Keluarga membebaskan remaja untuk belajar atau

tidak dirumah

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

tidak

pernah 23 30,26316 41,07143 41,07143

jarang

terjadi 26 34,21053 46,42857 87,5

sering

terjadi 7 9,210526 12,5 100

Total 56 73,68421 100

Keluarga lebih baik mengalah dari pada

berdebat dengan remaja

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

tidak

pernah 23 30,26316 41,07143 41,07143

jarang

terjadi 24 31,57895 42,85714 83,92857

sering

terjadi 9 11,84211 16,07143 100

Total 56 73,68421 100

Keluarga mengijinkan remaja melakukan kegiatan

sekolah

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

tidak

pernah 26 34,21053 46,42857 46,42857

jarang

terjadi 18 23,68421 32,14286 78,57143

sering

terjadi 12 15,78947 21,42857 100


(2)

Keluarga tidak tahu kegiatan remaja ketiaka membuka

internet dirumah atau warnet

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

tidak

pernah 20 26,31579 35,71429 35,71429

jarang

terjadi 22 28,94737 39,28571 75

sering

terjadi 14 18,42105 25 100

Total 56 73,68421 100

Keluarga memberikan kebebasan untuk remaja menonton tv dirumah

hingga larut malam

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

tidak

pernah 19 25 33,92857 33,92857

jarang

terjadi 26 34,21053 46,42857 80,35714

sering

terjadi 11 14,47368 19,64286 100

Total 56 73,68421 100

Keluarga tidak pernah tega menghukum remaja sejak

kecil

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

tidak

pernah 25 32,89474 44,64286 44,64286

jarang

terjadi 23 30,26316 41,07143 85,71429

sering

terjadi 8 10,52632 14,28571 100


(3)

Keluarga tidak mengontrol buku atau majalah bacaan

remaja

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

tidak

pernah 24 31,57895 42,85714 42,85714

jarang

terjadi 22 28,94737 39,28571 82,14286

sering

terjadi 10 13,15789 17,85714 100

Total 56 73,68421 100

Karena kesibukan bekerja keluarga tidak sempat membicarakan masalah

remaja

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

tidak

pernah 21 27,63158 37,5 37,5

jarang

terjadi 24 31,57895 42,85714 80,35714

sering

terjadi 11 14,47368 19,64286 100

Total 56 73,68421 100

Keluarga memenuhi keinginan remaja untuk membeli barang yang

diinginkannya

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

tidak

pernah 4 5,263158 7,142857 7,142857

jarang

terjadi 32 42,10526 57,14286 64,28571

sering

terjadi 20 26,31579 35,71429 100


(4)

Keluarga membeikan kebebasan dalam

berpakaian sesuai dengan

tuntutan mode

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

tidak

pernah 19 25 33,92857 33,92857

jarang

terjadi 30 39,47368 53,57143 87,5

sering

terjadi 7 9,210526 12,5 100

Total 56 73,68421 100

Keluarga tidak pernah menanyakan remaja jika remaja pulangsekolah

lebih awal atau terkambat

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

tidak

pernah 24 31,57895 42,85714 42,85714

jarang

terjadi 20 26,31579 35,71429 78,57143

sering

terjadi 12 15,78947 21,42857 100

Total 56 73,68421 100

Tipe pola asuh

otoriter

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

Non

otoriter 13 23,21429 23,21429 23,21429

Otoriter 43 76,78571 76,78571 100


(5)

Tipe pola asuh

demokratis

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

Non

demokratiss 2 3,571429 3,571429 3,571429

Demokratis 54 96,42857 96,42857 100

Total 56 100 100

Tipe pola asuh

permessive

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid

Non

permessive 48 85,71429 85,71429 85,71429

Permessive 8 14,28571 14,28571 100

Total 56 100 100

Tipe Pola

Asuh

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Otoriter 13 23,21429 23,21429 23,21429 Demokratis 40 71,42857 71,42857 94,64286

Perrmessive 3 5,357143 5,357143 100


(6)

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Sri Wahhyuni

Tempat Tanggal Lahir : Padangsidimpuan, 6 November 1988 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Perjuangan Blok 1 No. 12 Padangsidimpuan Nama Ayah : Sofian Efendi Nst

Nama Ibu : Elvi Khairani Srg Riwayat Pendidikan :

1. TK Aisyiah Padangsidimpuan 2. SD N. 7 Padangsidimpuan 3. SMP N. 4 Padangsidimpuan 4. SMA N. 1 Padangsidimpuan 5. D3 Keperawatan USU 2007 6. SI Keperawatan USU 2010