Pelaksanaan Analisis Terhadap Tanah dan Bangunan Sebagi Jaminan Hutang Dalam Kaitannya Dengan Proses Pemberian Kredit (Studi Penelitian Pada PT. BPR Duta Adiarta Medan)

(1)

PELAKSANAAN ANALISIS TERHADAP TANAH DAN BANGUNAN

SEBAGAI JAMINAN HUTANG DALAM KAITANNYA

DENGAN PROSES PEMBERIAN KREDIT

(Studi Penelitian Pada PT. BPR Duta Adiarta Medan)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan

Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

IMAM WAHYUDI NIM : 05020044

Departemen hukum Keperdataan Program kekhususan dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI

PELAKSANAAN ANALISIS TERHADAP TANAH DAN BANGUNAN

SEBAGAI JAMINAN HUTANG DALAM KAITANNYA

DENGAN PROSES PEMBERIAN KREDIT

(Studi Penelitian Pada PT. BPR Duta Adiarta Medan)

Disusun Oleh :

IMAM WAHYUDI NIM : 05020044

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Ketua Departemen

Program Kekhususan Keperdataan

NIP.196204211988 03 1004 (Prof.Dr.H. Tan Kamello, SH, MS)

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Prof.Dr.H. Tan Kamello, SH, MS) (Sinta Uli P, SH, M.Hum) NIP.196204211988 03 1004 NIP.195506261986012001


(3)

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap Pelaksanaan Analisis Terhadap Tanah dan Bangunan Sebagi Jaminan Hutang Dalam Kaitannya Dengan Proses Pemberian Kredit (Studi Penelitian Pada PT. BPR Duta Adiarta Medan). Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah Bagaimanakah pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang dalam proses pemberian kredit di PT. BPR Duta Adiarta Medan, Kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan diatasnya sebagai jaminan hutang dalam proses pemberian kredit di PT. BPR Duta Adiarta Medan, Upaya Hukum Yang Dilakukan PT. BPR Duta Adiarta jika penilaian analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang terjadi penyimpangan.

Adapun metode penelitian dilakukan dengan pengembilan data, dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan metode

penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) atau disebut penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan hukum normatif dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari bahan hukum primer, sekunder maupun tertier. Penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum tidak saja yang ada dalam peraturan perundang-undangan ataupun keputusan-keputusan pengadilan, tetapi juga norma-norma yang hidup dalam masyarakat.


(4)

Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa Pelaksanaan Analisis yang dilakukan Bank Perkreditan Rakyat Duta Adiarta terhadap tanah dan bangunan di atasnya yang dijadikan jaminan hutang dalam proses pemberian kredit, adalah dengan mengidentifikasi permasalahan

untuk dapat dibuat action plan-nya. Kemudian pengumpulan data yang diikuti dengan

verifikasi data untuk dilakukan analisa data dengan metode pendekatan (cost approach, market data approach atau income approach), sehingga berdasarkan analisa data ini dicapailah suatu kesimpulan nilai dari tanah berikut bangunan diatasnya tersebut. Berdasarkan penilaian ini Bank Perkreditan Rakyat Duta Adiarta dapat mengetahui nilai hak tanggungan dari jaminan hutang yang harus ditetapkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Selanjutnya pengikatan kredit dan pengikatan jaminan dilakukan dengan menandatangani perjanjian kredit dan perjanjian jaminan.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas anugerah dan karunianyalah masih diberikan kesehatan dan kemampuan untuk menjalani perkuliahan sampai pada menyelesaikan skripsi pada Program Kekhususan Dagang di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini.

Skripsi ini berjudul “PELAKSANAAN ANALISIS TERHADAP TANAH DAN BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN HUTANG DALAM KAITANNYA DENGAN PROSES PEMBERIAN KREDIT (Studi Penelitian Pada PT. BPR Duta Adiarta)”.

Skripsi ini menganalisa bagaimana Pelaksanaan terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang dalam proses pemberian kredit di PT. BPR Duta Adiarta Medan, kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan diatasnya sebagai jaminan hutang dalam proses pemberian kredit di PT. BPR Duta Adiarta Medan dan Upaya Hukum Yang Dilakukan PT. BPR Duta Adiarta jika penilaian analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang terjadi penyimpangan

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH, MS selaku Ketua Departemen Keperdataan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing I.


(6)

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi mahasiswa selama ini.

5. Seluruh staf dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Teman-teman yang merupakan teman akrab yang tidak pernah merasa lelah dalam

memberikan dukungannya.

7. Kedua orangtua yang sangat dihormati yang senantiasa membimbing,

memperhatikan dan menyediakan segala apa yang diperlukan dalam segala hal sampai saat ini.

Medan, 12 Januari 2010


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Tinjauan Kepustakaan ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 11

F. Metode Penulisan ... 13

G. Keaslian Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT ... 16

A. Pengertian Perjanjian Kredit ... 16

B. Jenis-jenis dan Prinsip Perkreditan ... 18

C. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Pemberian Kredit ... 28

D. Ketentuan KUHPerdata yang Berkaitan Dengan Perjanjian Pinjaman Hutang ... 32

BAB III TANAH DAN BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT... 37

A. Kebendaan menurut Hukum . ... 37

B. Tinjauan Tentang Jaminan ... 46


(8)

Jaminan Dalam Proses Pemberian Kredit ... 53

D. Pengaruh Internal dan Eksternal Perbankan Dalam Analisis Permohonan Kredit ... 56

BAB IV UPAYA HUKUM YANG DILAKUKAN DALAM PELAKSANAN ANALISIS TERHADAP TANAH DAN BANGUNAN DIATASNYA SEBAGAI JAMINAN HUTANG... 68

A. Hak Tanggungan Sebagai Pengikat Hak Jaminan Hutang ... 68

B. Hambatan Yang Ditemui PT. BPR Duta Adiarta Dalam Pelaksanaan Analisis Terhadap Tanah dan Bangunan Sebagai Jaminan Hutang Dalam Proses Pemberian Kredit ... 74

C. Upaya Hukum Yang Dilakukan Jika Dalam Pelaksanaan Penilaian dan Analisis Terhadap Tanah dan Bangunan Diatasnya Sebagai Jaminan Hutang Terjadi Penyimpangan ... 77

D. Hasil Analisis terhdap tanah dan Bangunan sebagai Jaminan Hutang dalam Proses Pemberian Kredit pada PT. BPR Duta Adiarta . ... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. Kesimpulan... 92

B. Saran ... 94


(9)

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap Pelaksanaan Analisis Terhadap Tanah dan Bangunan Sebagi Jaminan Hutang Dalam Kaitannya Dengan Proses Pemberian Kredit (Studi Penelitian Pada PT. BPR Duta Adiarta Medan). Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah Bagaimanakah pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang dalam proses pemberian kredit di PT. BPR Duta Adiarta Medan, Kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan diatasnya sebagai jaminan hutang dalam proses pemberian kredit di PT. BPR Duta Adiarta Medan, Upaya Hukum Yang Dilakukan PT. BPR Duta Adiarta jika penilaian analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang terjadi penyimpangan.

Adapun metode penelitian dilakukan dengan pengembilan data, dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan metode

penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) atau disebut penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan hukum normatif dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari bahan hukum primer, sekunder maupun tertier. Penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum tidak saja yang ada dalam peraturan perundang-undangan ataupun keputusan-keputusan pengadilan, tetapi juga norma-norma yang hidup dalam masyarakat.


(10)

Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa Pelaksanaan Analisis yang dilakukan Bank Perkreditan Rakyat Duta Adiarta terhadap tanah dan bangunan di atasnya yang dijadikan jaminan hutang dalam proses pemberian kredit, adalah dengan mengidentifikasi permasalahan

untuk dapat dibuat action plan-nya. Kemudian pengumpulan data yang diikuti dengan

verifikasi data untuk dilakukan analisa data dengan metode pendekatan (cost approach, market data approach atau income approach), sehingga berdasarkan analisa data ini dicapailah suatu kesimpulan nilai dari tanah berikut bangunan diatasnya tersebut. Berdasarkan penilaian ini Bank Perkreditan Rakyat Duta Adiarta dapat mengetahui nilai hak tanggungan dari jaminan hutang yang harus ditetapkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Selanjutnya pengikatan kredit dan pengikatan jaminan dilakukan dengan menandatangani perjanjian kredit dan perjanjian jaminan.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah memajukan

kese-jahteraan Umum.1 Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum tersebut, pemerintah

Indonesia dan lembaga DPR Republik Indonesia membebankan tujuan dari negara Republik Indonesia tersebut kepada lembaga perbankan yang berada di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya rumusan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, disebutkan bahwa “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.2

Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa bank termasuk lembaga penyedia jasa keuangan serta merupakan suatu sektor yang strictly well regulated atau yang sangat diatur.

3

1

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.Alinea 4.

2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992, tentang Perbankan, Pasal 1 Ayat (1) Jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1988 Pasal 1 Ayat (2).

3

Anwar Hafid, Reformasi Manajemen, Jakarta, PT. Raja Grafika Persada, 2003. hal. 221.

Hal ini bisa terjadi dikarenakan perbankan menyangkut kepentingan banyak orang. Situasi di Indonesia adalah suatu hal yang cukup memberi gambaran bahwa perbankan merupakan sebuah sektor yang sangat diperhatikan.


(12)

Salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup rakyat yang dapat dilakukan oleh pihak perbankan berupa pemberian kredit. Bank sebagai badan usaha yang menjalankan bisnis yang berisiko tinggi tentu saja dalam memberikan kredit kepada nasabah harus selalu didasarkan kepada prinsip kehati-hatian. Apalagi peristiwa krisis moneter yang melanda dunia perekonomian kawasan Asia tahun 1997 telah membuat lembaga perbankan nasional Indonesia menjadi muram dengan harus ditutup sejumlah bank yang dianggap tidak sehat dalam segi finansial maupun perkreditannya.

Masalah kredit macet sebenarnya bukan hanya dialami oleh bank-bank umum nasional, melainkan juga dialami oleh bank-bank kecil, yaitu bank perkreditan rakyat yang sebagian besarnya turut terpuruk disaat terjadi krisis moneter ditahun 1997, maka sejak saat itulah banyak bank yang terkena likuidasi, sehingga memaksa regulator dalam hal ini Bank Indonesia dan pemerintah membenahi kembali lembaga perbankan secara menyeluruh untuk mewujudkan bank yang sehat dan kuat, khususnya melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, guna mencegah terulangnya krisis

tersebut yang disebabkan kwalitas perkreditan yang buruk dengan tingkat NPL (Non

Performing Loan) yang sangat tinggi dan meruntuhkan satu persatu lembaga perbankan nasional Indonesia.

Saat ini, di Indonesia setelah program rekapitalisasi dan restrukturisasi dilaksanakan, pihak lembaga perbankan Indonesia sudah mulai berhati-hati melepaskan kreditnya dengan sangat selektif, sehingga setiap kali bank akan mengucurkan kreditnya telah memperhitungkan segala aspek yang kemungkinan terjadi untuk memperkecil risiko kredit macet.


(13)

Dalam usaha untuk menanggulangi masalah kredit macet, Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No.8/2/PBI/2006 tanggal, 30 Januari 2006 tentang Perubahan atas PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum untuk merubah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/147/ KEP/DIR tertanggal, 12 Nopember 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif. Golongan kredit macet yang sebelumnya ditentukan selama 270 hari menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/147/KEP/DIR tanggal, 12 Nopember 1998, akan dipercepat menjadi 180 hari. Hal ini tentu saja akan membawa dampak percepatan penambahan kredit macet di bank, dengan perincian sebagai berikut :

a. Kredit lancar adalah kredit yang tepat waktu dalam membayar kredit sesuai dengan

waktu yang telah diperjanjikan (disebut dengan KLTB 1);

b. Kredit dalam perhatian khusus adalah kredit yang telah terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga sampai dengan 90 hari (disebut KLTB 2);

c. Kredit kurang lancar adalah kredit yang terjadi tunggakan pembayaran baik pokok

maupun bunga melampaui 90 hari sampai dengan maksimal 120 hari (disebut KLTB 3);

d. Kredit diragukan adalah kredit yang terjadi tunggakan pembayaran baik pokok

maupun bunga melampaui 120 hari sampai dengan maksimal 180 hari (disebut KLTB 4);

e. Kredit macet adalah kredit yang terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun

bunga melampaui 180 hari (disebut KLTB 5).4

Munculnya PBI No.7/2/PBI/2005 Jo PBI No.8/2/PBI/2006 dalam rangka menanggulangi masalah kredit macet ternyata telah membawa kecemasan terhadap pihak perbankan terhadap kemungkinan berkurangnya laba bank, disebabkan pihak bank wajib menyediakan cadangan khusus. Hal ini dapat dilihat dari rumusan Peraturan Bank Indonesia yang merincikan sebagai berikut :

4

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Jo.Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006, tentang Penilaian Aktiva Produktif.


(14)

a. 5% (lima persen) dari aktiva dengan kualitas dalam status perhatian khusus setelah dikurangi dengan agunan;

b. 15% (lima belas persen) dari aktiva dengan kualitas dalam status kurang lancar

setelah dikurangi dengan agunan;

c. 50% (lima puluh persen) dari aktiva dengan kualitas dalam status diragukan setelah dikurangi dengan agunan;

d. 100% (seratus persen) dari aktiva dengan kualitas dalam status macet setelah

dikurangi dengan agunan.5

Keadaan tersebut membuat lembaga perbankan di Indonesia harus senantiasa memiliki strategi yang tepat dan ampuh untuk mengatasi kredit macet sebagai terjemahan dari manajemen risiko yang mutlak harus dijalankan oleh semua lembaga perbankan di Indonesia.

Hak jaminan kebendaan adalah hak yang memberikan kepada seorang kreditur kedudukan yang lebih baik, karena kreditur didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan atas tagihannya atas hasil penjualan benda tertentu atau sekelompok benda tertentu milik debitur dan/atau ada benda tertentu milik debitur yang dipegang oleh kreditur atau terikat kepada hak kreditur, yang berharga bagi debitur dan dapat memberikan suatu tekanan psikologis terhadap debitur untuk memenuhi kewajibannya dengan baik terhadap kreditur. Di sini adanya semacam tekanan psikologis kepada debitur untuk melunasi hutang-hutangnya adalah karena benda yang dipakai sebagai jaminan umumnya merupakan barang yang berharga baginya. Sifat manusia untuk berusaha mempertahankan apa yang berharga dan telah dianggap atau diakui telah menjadi miliknya, menjadi dasar hukum jaminan.6

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, “agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur

)

5

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005, Ibid, Pasal 42 Ayat (3).

6)


(15)

kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”, oleh karena itu agunan tersebut adalah upaya preventif apabila di kemudian hari pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Dan selanjutnya dalam Pasal 8 undang-undang tersebut ditegaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank dan disalurkan dalam bentuk kredit kepada masyarakat. Artinya bank dalam memberikan kredit wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan oleh bank.

Beberapa ketimpangan yang mencuat akhir-akhir ini salah satunya disebabkan oleh kesalahan dalam melakukan penilaian. Di tengah krisis ekonomi yang menguncang perekonomian nasional, masyarakat dikejutkan adanya pernyataan bahwa nilai aset yang dikuasai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dari senilai Rp. 644,8 trilyun akhirnya menjadi senilai Rp. 167,7 trilyun pada saat penilaian pasca revaluasi. Beberapa kasus yang ditangani BPPN menunjukkan bahwa besarnya nilai aset yang sebenarnya tidak sesuai dengan besarnya nilai aset yang dijaminkan, dan pada saat terjadi kredit bermasalah penjualan aset tersebut nilainya tidak mencukupi.7

Tanah dan bangunan di atasnya yang dijadikan jaminan hutang dapat juga Dalam rangka likuidasi aset/agunan, terdapat suatu kecenderungan nilai pasarnya lebih rendah daripada harga yang sebenarnya, yang berarti merugikan bank karena pada saat bank harus menjual/melepaskan aset tersebut harga yang terjadi relatif murah, sehingga tidak dapat menutupi kewajiban yang ada.

7

Siti Resmi S, “Urgensi Penilaian Properti Dalam Tatanan Ekonomi Masyarakat”, Usahawan, No.03 Th.XXXII Maret 2003, hal. 15-16.


(16)

dikategorikan berpotensi tidak laku dijual, karena berkurang kualitasnya atau terjadi persengketaan dengan pihak lain sehingga tanah dan bangunan di atasnya tersebut tidak setiap waktu tersedia bilamana harus dilakukan eksekusi untuk pembayaran hutang debitur.

Dengan demikian penilaian terhadap benda jaminan hutang menjadi sangat penting, terlebih-lebih apabila benda jaminan tersebut berupa tanah dan bangunan di atasnya. Pihak bank harus mempunyai keyakinan atau kepastian penilaian sebelum menyetujui tanah dan bangunan di atasnya dipergunakan sebagai jaminan hutang dalam pemberian kredit.

Salah satu BPR yang ada di kota Medan yang menjadi tempat penelitian penulis adalah PT. Bank Perkreditan Rakyat Duta Adiarta, berkedudukan di Medan, Jalan Brigjend Katamso No.158.

BPR Duta Adiarta pertanggal, 31 Desember 2008 memiliki total aset sebesar Rp.50,54 milliar,8

Berdasarkan data di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang dan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia BPR Duta Adiarta adalah bank yang berorientasi pada kredit usaha mikro dan kecil. Selama lebih kurang 5 (lima) tahun beroperasi sejak dari didirikan pada tahun 2003, BPR Duta Adiarta juga tidak terlepas dari ancaman kredit macet yang cukup menjadi perhatian serius bagi pihak manajemen BPR Duta Adiarta, karena sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997 sampai sekarang, perkembangan perekonomian Indonesia masih belum pulih, sehingga diakui oleh pihak BPR Duta Adiarta, ada sebagian besar debiturnya mengalami kemerosotan hasil usaha, malah ada yang bangkrut, sehingga mendorong tingkat kredit macet menjadi besar.

8


(17)

dalam proses pemberian kredit di PT. BPR Duta Adiarta Medan, kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan diatasnya sebagai jaminan hutang dalam proses pemberian kredit di PT. BPR Duta Adiarta Medan dan upaya Hukum Yang Dilakukan PT. BPR Duta Adiarta jika penilaian analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang terjadi penyimpangan

Atas dasar uraian-uraian tersebut di atas, penulis mengangkat judul skripsi; “Pelaksanaan Analisis Terhadap Tanah dan Bangunan Sebagi Jaminan Hutang Dalam Kaitannya Dengan Proses Pemberian Kredit (Studi Penelitian Pada PT. BPR Duta Adiarta Medan)”.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan pokok dalam penulisan skripsi sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai

jaminan hutang dalam proses pemberian kredit di PT. BPR Duta Adiarta Medan ?

2. Kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan

diatasnya sebagai jaminan hutang dalam proses pemberian kredit di PT. BPR Duta Adiarta Medan?

3. Upaya Hukum Yang Dilakukan PT. BPR Duta Adiarta jika penilaian analisis

terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang terjadi penyimpangan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan. I. Tujuan Penulisan


(18)

Adapun yang menjadi tujuan utama penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya

sebagai jaminan hutang dalam proses pemberian kredit di PT. BPR Duta Adiarta Medan.

2. Untuk mengetahui Kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaan analisis terhadap

tanah dan bangunan diatasnya sebagai jaminan hutang dalam proses pemberian kredit di PT. BPR Duta Adiarta Medan

3. Untuk mengetahui Upaya Hukum Yang Dilakukan PT. BPR Duta Adiarta jika

penilaian analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang terjadi penyimpangan

II. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara akademis-teoritis, penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai perkembangan Bank Perkreditan Rakyat Duta Adiarta dalam menyelesaikan pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan sebagai jaminan hutang dalam kaitannya dengan proses pemberian kredit.

2. Secara sosial-praktis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para mahasiswa pada umumnya dan para pelaku dunia perbankan pada khususnya, agar dapat mengetahui tentang proses pemberian kredit antara nasabah dengan pihak Bank Perkreditan Rakyat.


(19)

D. Tinjauan kepustakaan

Perjanjian kredit adalah perjanjian kredit pihak bank dengan pihak nasabah. Subjek dari perjanjian kredit adalah pihak bank (kreditur) dan pihak nasabah (debitur), sedangkan objek dari perjanjian kredit adalah sejumlah uang (harta kekayaan).

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.9

Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.10

Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Kredit macet adalah kredit yang terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 180 hari.

11

Wanprestasi adalah suatu keadaan yang menunjukkan kepada ketidaklaksanaan suatu prestasi oleh salah satu pihak, yang dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. 12

Debitur atau Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. 13

9

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Kencana, 2005. hal. 2.

10

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995, Op.Cit, Pasal 1 ayat (1).

11

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998, Op.Cit, hal 1 ayat (4).

12

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Op.Cit. hal. 69.

13


(20)

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 14

E. Sistematika Penulisan.

Tanggungjawab adalah kewajiban untuk memenuhi suatu perjanjian.

Dalam penulisan suatu karya ilmiah khususnya skripsi, sistematika penulisan merupakan suatu bagian yang sangat penting, karena dengan adanya sistematika penulisan ini maka pembahasannya akan dapat di arahkan untuk menjawab masalah-masalah dan membuktikan kebenaran hipotesanya.

Kemudian agar memudahkan isi dari skripsi ini, maka sistematika penulis disusun secara menyeluruh mengikat kerangka dasarnya yang di bagi dalam beberapa bab serta sub bab secara berurutan, yang masing-masing bab itu akan menantang pemecahan permasalahan dalam pembahasannya dan kita lihat sebagai berikut.

Pada bab I sebagai pendahuluan, penulis menguraikan tentang hal-hal umum dari sekripsi ini seperti uraian singkat garis besar permasalahan yang digunakan sebagai dasar pemegang dalam penulisan skripsi ini.Secara sistematis Bab I ini di bagi dalam beberapa sub bab, yaitu tentang :

A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah

14


(21)

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian E. Sistematika Penulisan

F. Metode Penulisan G. Keaslian Penulisan

Pada Bab II penulis membahas tentang tinjauan umum tentang kredit yang dibagi menjadi beberapa sub bab yaitu :

A. Pengertian Kredit

B. Jenis-Jenis Kredit dan Prinsip Perkreditan

C. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pemberian Kredit

Pada Bab III penulis membahas tentang tanah dan bangunan sebagai jaminan dalam proses pemberian kredit yang di bagi menjadi beberapa sub bab yaitu :

A. Tinjauan Umum tentang Jaminan

B. Penilaian Properti terhadap tanah dan bangunan sebagai jaminan dalam proses pemberian kredit

C. Pengaruh Internal dan Eksternal Perbankan dalam analisis Permohonan Kredit

Pada bab IV penulis membahas tentang upaya hukum yang dilakukan dalam pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan diatasnya sebagai jaminan hutang yang di bagi menjadi beberapa sub bab yaitu :

A. Hak Tanggungan Sebagai Pengikat Hak Jaminan Hutang

B. Hambatan Yang Ditemui PT BPR Duta Adiarta Dalam Pelaksanaan Analisis

Terhadap Tanah Dan Bangunan Diatasnya Sebagai Jaminan Hutang Dalam Proses Pemberian Kredit


(22)

C. Upaya Hukum Yang Dilakukan Jika Dalam Pelaksanaan Analisis Terhadap Tanah Dan Bangunan sebagai jaminan hutang dalam kaitannya dengan proses pemberian kredit terjadi penyimpangan

D. Hasil analisis terhadap tanah dan bangunan sebagai jaminan hutang dalam

proses pemberian kredit pada PT. BPR Duta Adiarta

Dan terakhir bab V, pada bab ini penulis membicarakan tentang kesimpulan dan saran, dimana kesimpulan tersebut menggambarkan secara singkat isi pokok dari skripsi ini, kemudian saran juga merupakan bagian akhir dari pembahasan skripsi ini yang mana sangat berguna bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

F. Metode Penulisan.

Sudah merupakan ketentuan dalam hal ini penyusunan serta penulisan suatu karangan ilmiah atau skripsi haruslah berdasarkan pada data yang di peroleh secara objektif dan berarti pula harus di pertanggungjawabkan secara ilmiah.

Jenis penelitian dan metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) atau disebut penelitian hukum yang dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.15 Penelitian hukum dengan

menggunakan pendekatan hukum normatif dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari bahan hukum primer, sekunder maupun tertier.16

15

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2003), halaman 13 – 14.

16

Bahan Hukum Primer yakni : 1) norma-norma dasar Pancasila; 2) peraturan dasar : Batang Tubuh UUD 1945 atau TAP MPR; 3) peraturan perundang-undangan; 4) bahan hukum yang tidak dikodifikasi misalnya Hukum Adat; 5) yurispridensi; dan 6) traktat Bahan Hukum Sekunder yakni : 1) Rancangan


(23)

Bahan primer yaitu peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan BUMN yang terdiri dari : a) peraturan dasar (UUD Negara Republik Indonesia 1945) dan b) peraturan perundang-undangan berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan daerah dan peraturan atau keputusan menteri. Bahan hukum sekunder seperti Rancangan Undang-Undang, hasil penelitian dan hasil karya para ahli hukum.

Penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum tidak saja yang ada dalam peraturan perundang-undangan ataupun keputusan-keputusan pengadilan, tetapi juga norma-norma yang hidup dalam masyarakat.

Pengumpulan data ini merupakan landasan utama dalam menyusun skripsi, didasarkan atas sesuatu penelitian penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1) Penelitian Kepustakaan (Library Research).

Dengan hal ini penulis membaca beberapa literatur berupa buku-buku ilmiah, peraturan perundang-undangan dan dokumentasi lainnya seperti majalah, koran serta sumber-sumber teoritis lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan sebgai jaminan hutang dalam kaitannya dengan proses pemberian kredit.

2) Penelitian Lapangan (Field Research).

Undang-Undang; 2) hasil karya ilmiah para sarjana dan 3) hasil-hasil penelitian. Sedang Bahan Hukum Tertier h ukum dan Yurimetri, (Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia, 1988), Hal. 11.


(24)

Dengan mengadakan wawancara pada pihak berwenang di PT. Bank Perkreditan Rakyat Duta Adiarta untuk memperoleh hasil yang akurat.

Mengingat bahwa apa yang dikemukakan dalam tulisan ini merupakan suatu hal yang baru maka pengambilan bahan tidak terlepas dari media cetak.

G. Keaslian Penulisan

Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang di peroleh selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di angkatlah suatu materi

yaitu mengenai “Pelaksanaan Analisis Terhadap Tanah dan Bangunan Sebagai Jaminan

Hutang Dalam Kaitannya Dengan Proses Pemberian Kredit (Studi Penelitian Pada PT. BPR Duta Adiarta Medan)” .

Dalam proses pengajuan judul skripsi ini harus di daftarkan terlebih dahulu kebagian hukum perdata dan telah di periksa dan disahkan oleh Ketua Departemen Hukum Keperdataan atas dasar pemeriksaan tersebut di yakini bahwa judul yang di angkat termasuk pembahasan yang ada di dalamnya belum pernah ada penulisan sebelumnya dan merupakan karangan ilmiah yang memang benar atau dibuat tanpa menciplak dari skripsi lain, khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sehingga dapat di pertanggung jawabkan keaslian penulisannya.


(25)

BAB II

TINJAUAN TENTANG HUKUM KREDIT

A. Pengertian Perjanjian Kredit

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian itu mengandung elemen-elemen sebagai berikut :

1. Adanya pihak-pihak, setidak-tidaknya harus ada dua orang, inilah yang disebut

sebagai subyek dalam konsep hukum.

2. Adanya persetujuan diantara para pihak itu, inilah yang disebut sebagai

konsensus.

3. Adanya obyek berupa benda yang diperjanjikan.

4. Adanya tujuan yang hendak dicapai bersifat kebendaan yakni menyangkut harta

kekayaan

5. Ada bentuk tertentu, apakah itu lisan atau tulisan.17

Menurut ketentuan pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perjanjian didefinisikan sebagai : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perjanjian tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terdapat orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.

17

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 1996. hal : 78


(26)

Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.

Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil.

Dalam khasanah hukum perjanjian dikenal beberapa asas yang menjadi dasar para pihak di dalam melakukan tindakan hukum guna melahirkan suatu perjanjian.

Umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, jadi dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti. Dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum melainkan

merupakan hubungan hukum (rechtsverhouding)

Kredit merupakan istilah yang lazim dalam bahasa sehari – hari yang diartikan sebagai pinjaman sejumlah uang. Selain itu kredit diartikan pula sebagai pembayaran secara cicilan dalam perjanjian jual beli.

Secara etimologi menurut Savelberg sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya yang berjudul “Perjanjian Kredit Bank”.


(27)

Oleh karena itu apabila seseorang atau suatu badan memberikan kredit berarti ia percaya akan kemampuan pihak debitur pada masa yang akan mampu memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan baik itu berupa uang, barang atau jasa.

Noah Websten, sebagaimana dikutip Munir Fuady mengartikan kata “kredit” berasal dari bahasa Latin “creditus” yang berarti to trust. Kata “trust” itu sendiri berarti “kepercayaan”.18

1. Sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain.

Dengan demikian, walaupun kata “kredit” telah berkembang, tetapi dalam tahap apapun dan kemanapun arah perkembangannya, kata “kredit” tetap mengandung usaha “kepercayaan” walaupun sebenarnya kredit tidak hanya sekedar kepercayaan.

Savelberg mangatakan bahwa kredit mempunyai arti antara lain :

2. Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain

dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.19

Levy merumuskan arti hukum dari kredit sebagai berikut ;

Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit mempergunakan pinjaman itu untuk

18

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang – Undang Tahun 1998, Buku Kesatu, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 128

19


(28)

kepentingannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang hari.20

Sedangkan M. Jake mengemukakan bahwa “Kredit adalah suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti dari janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu”.21

Dari Black’s Laws Dictionary yang dikutip oleh Djulhaendah Hasan, diproleh pengertian bahwa “Credit is the ability of a businessman to borrow money, or to obtain goods on time, inconsequence of favorable opinion held by the particular tender, as to his solvency and reliability”.22

Dalam dunia bisnis kata “kredit” diartikan sebagai “Kesanggupan dalam meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang, atau jasa dengan perjanjian akan membayarkannya kelak”.23

Pengertian kredit dapat juga dilihat dalam Pasal 1 butir 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disingkat dengan UU Perbankan), kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam – meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

20

Ibid, hal. 22

21

Ibid

22

Djulhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 140-141

23

A. Abdurrahman, Ensikopedia Ekonomi, Keuangan Perdagangan, Jakarta : Pradnya Paramita, 1993, hal. 279, dalam S. Mantayborbir, Iman Jauhari, Agus Hari Widodo, Pengurusan Piutang Negara Macet Pada PUPN/BUPLN Suatu Kajian Teori dan Praktek, (Medan : Pustaka Bangsa. 2001), hal. 17


(29)

Sedangkan pengertian kredit macet diartikan bahwa debitor tidak mampu melaksanakan prestasinya sesuai jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Konsekuensi yuridis bagi debitor yang telah melakukan wan prestasi tersebut adalah wajib membayar ganti kerugian kepada kreditornya.24

a. Kelembagaannya;

B. Jenis – Jenis dan Prinsip Perkreditan

Kredit, khususnya kredit perbankan terdiri beberapa jenis apabila dilihat dari beberapa segi criteria tertentu. Pengklasifikasian jenis – jenis kredit tersebut bermula dari klasifikasi yang dijalankan oleh perbankan dalam rangka mengontrol portofolio secara efektif. Dari kegiatan pengklasifikasian tersebut maka saat ini dikenal jenis – jenis kredit yang didasarkan kepada :

b. Jangka waktu;

c. Penggunaan Kredit;

d. Kelengkapan dan keterikatannya dengan dokumen yang dibutuhkannya;

e. Aktivitas perputaran usaha;

f. Jaminannya;

g. Atau berbagai criteria lainya.25

Pengelompokan kredit dengan melihat jenisnya tersebut tidaklah merupakan sesuatu yang kaku, pengelompokan tersebut hanyalah untuk mempermudah dalam penatalaksanaannya.

a. Kredit menurut kelembagaan

24

Tan Kamello,“Perspektif Notaris Sebagai Pejabat Lelang“, (Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional tentang Notaris sebagai Pejabat Lelang yang diselenggarakan oleh Universitas Suamtera Utara, Medan, 14 April 2007), hal. 4

25

Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 373


(30)

Kredit perbankan dengan melihat kelembagaannya adalah dalam arti pihak yang terkait sebagai pihak pemberi dan pihak penerima kredit terutama menyangkut struktur kelembagaan pelaksana kredit itu sendiri. Adapun jenis kredit dengan pengelompokan menurut kriteria kelembagaan ini, terdiri dari :

1. Kredit perbankan yang diberikan oleh Bank Pemerintah, atau Bank Swasta kepada

masyarakat untuk kegiatan usaha, dan atau konsumsi. Kredit ini diberikan kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan atau untuk membiayai pembelian kebutuhan individu untuk membiayai kebutuhan hidup yang berupa barang maupun jasa.

2. Kredit likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada bank – bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya.

3. Kredit langsung, diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah atau

semi pemerintah (kredit program). Misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program pengadaan pangan, atau pemberian kredit langsung kepada Pertamina, atau pihak ketiga lainya.

4. Kredit (pinjaman antar bank), diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang kekurangan dan. Pelaksanaannya dapat menggunakan surat, sarana

telekomunikasi maupun wesel unjuk, cek, promes (promissory note) atau sarana

lainya. Dalam prakteknya pinjaman, antara bank tidak terikat hanya dengan bank di dalam negeri saja, melainkan juga dapat terkait dengan antar bank di luar negeri.

b. Kredit menurut jangka waktu

Dari segi jangka waktunya jenis kredit meliput i :

1. Kredit jangka pendek (short term loan) yaitu kredit yang berjangka waktu maksimum 1 (satu) tahun. Bentuknya dapat berupa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembelian, dan kredit wesel, juga dapat berupa kredit modal kerja yaitu kredit untuk membiayai kebutuhan modal kerja usaha atau proyek.

2. Kredit jangka menengah (medium term loan) yaitu kredit berjangka waktu antara 1

(satu) tahun sampai 3 (tiga) tahun, bentuknya dapat berupa kredit investasi jangka menegah.

3. Kredit jangka panjang yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun. Kredit jangka panjang ini pada umumnya yaitu kredit investasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitasi, ekspansi (perluasan), dan pendirian proyek baru.


(31)

Dari segi tujuan penggu naan kredit, jenis kredit terdiri dari :

1. Kredit konsumtif yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah, atau bank

swasta yang diberikan kepada perseorangan untuk membiayai keperluan konsumsinya untuk kebutuhan sehari – hari.

2 Kredit produktif baik kredit investasi, maupun kredit eksploitasi.

Kredit investasi yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai pembiayaan modal tetap, yaitu peralatan produksi, gedung, dan mesin – mesin, juga untuk membiayai rehabilitasi, dan ekspansi, relokasi proyek atau pendirian proyek baru. Adapun jangka waktunya dapat berjangka waktu menengah atau berjangka waktu panjang. Sedangkan kredit eksploitasi, adalah yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan kebutuhan dunia usaha akan modal kerja berupa persediaan bahan baku, persediaan produk akhir, barang dalam proses produksi serta piutang, sedangkan jangka waktunya berlaku pendek.

2. Perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif (semi konsumtif dan semi

produktif).

d. Kredit menurut keterikatannya dengan dokumen

Dari segi dokumen maka jenis ini, yaitu kredit yang sangat terikat dengan dokumen – dokumen berharga yang memiliki substitusi nilai jumlah uang, dan dokumen tersebut merupakan jaminan pokok pemberian kredit sehingga sering disebut

documentary credit. Kredit seperti ini banyak digunakan oleh orang yang mengadakan transaksi dagang yang berlainan tempat, dan apabila transaksinya berlainan negara maka sangat terkait sekali dengan valuta asing.

Jenis kredit ini diantaranya terdiri :

1. Kredit Ekspor yang semua bentuk kredit sebagai sumber pembiayaan bagi usaha


(32)

pembiayaan kredit modal kerja jangka pendek, maupun kredit investasi untuk jenis industri yang berorientasi ekspor.

2. Kredit Impor, unsur dan ruang lingkup dari kredit impor pada dasarnya hampir

sama dengan kredit ekspor karena jenis kredit tersebut merupakan kredit dokumen.

Kedua jenis kredit yang sangat erat hubungannya dengan dokumen – dokumen tersebut pada pelaksanaanya harus terkait di antaranya dengan surat izin, korespondensi, pengangkutan, administrasi kepabeanan, dan sebagainya.

e. Kredit menurut perputaran aktivitas usaha

Dari segi besar kecilnya perputaran usaha, yaitu melihat dinamika, sektor yang digeluti, asset yang dimiliki, dan sebagainya, maka jenis kredit terdiri dari :

1. Kredit Kecil, yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan

sebagai pengusaha kecil. Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/4/KRP/DIR tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil (4 April 1997), yang dimaksudkan Kredit Usaha Kecil (KUK) yaitu kredit investasi dan atau kredit modal kerja, yang diberikan dalam rupiah atau valuta asing kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit keseluruhan maksimum Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) untuk membiayai usaha yang produktif.

2. Kredit Menengah, yakni kredit yang diberikan kepada pengusaha yang asetnya

lebih besar dari pengusaha kecil.

3. Kredit Besar, pada dasarnya ditnjau dari segi jumlah kredit yang diterima oleh

debitur. Dalam pelaksanaan pemberian kredit yang besar ini bank dengan melihat resiko yang besar pula biasanya memberikannya kredit sindikasi ataupun


(33)

konsorsium. Hal ini dilakukan untuk menekan resiko serta dana yang tersedia dapat disebar tidak hanya pada satu perusahaan saja.

3. Kredit menurut jaminannya

Dari segi jaminannya jenis kredit dapat dibedakan, antara lain : a. Kredit tanpa jaminan, atau kredit blanko (unsecured loan).

Adapun yang dimaksudkan dengan kredit tanpa jaminan ini yaitu pemberian kredit tanpa jaminan material (agunan fisik), pemberiannya sangatlah selektif dan ditujukan kepada nasabah besar yang telah teruji bonafiditas, kejujuran dan ketaatannya dalam transaksi perbankan maupun kegiatan usaha yang dijalaninya. Kredit tanpa jaminan mengandung resiko lebih besar sehingga semua harta kekayaan debitur baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada kemudian seluruhnya menjadi jaminan pemenuhan pembayaran hutang.

b. Kredit dengan jaminan (secured loan)

Kredit dengan jaminan diberikan kepada debitur selain didasarkan pada keyakinan atas kemampuan debitur juga disandarkan pada adanya agunan atau jaminan yang berupa fisik (collateral) sebagai jaminan tambahan misalnya berupa tanah, bangunan, alat –alat produksi dan sebagainya.26

Dalam mengucurkan kredit oleh suatu bank juga harus berpegang pada beberapa prinsip perkreditan sebagai berikut:27

a. Prinsip kepercayaan

26

Ibid, hal. 374-382

27


(34)

Sesuai dengan asal kata kredit yang berarti kepercayaan, maka dalam pemberian kredit sebenarnya hendaklah selalu dibarengi oleh kepercayaan. Yakni kepercayaan dari kreditur akan bermanfaatnya kredit bagi debitur sekaligus kepercayaan oleh kreditur bahwa debitur dapat membayar kembali kreditnya. Tentunya untuk dapat memenuhi unsur kepercayaan ini, oleh kreditur mestilah dilihat apakah calon debitur deberikan berbagai kriteria yang biasanya diberlakukan terhadap pemberian suatu kredit. Karena itu timbul prinsip lain yang disebut prinsip kehati – hatian.

b. Prinsip kehati – hatian

Prinsip kehati – hatian (prudent) ini adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Untuk mewujudkan prinsip kehati – hatian dalam pemberian kredit ini maka berbagai fungsi usaha pengawasan dilakukan, baik oleh bank itu sendiri, Bank Indonesia maupun oleh pihak luar.

c. Prinsip5 C

Prinsip 5 C adalah singkatan dari unsur – unsur Character, Capacity, Capital,

Condition dan Collateral. 1. Character (kemampuan)

Salah satu unsur yang harus diperhatikan oleh bank sebelum memberikan kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadian/watak dari calon debiturnya. “kepribadian, moral dan kejujuran dari calon nasabah perlu diperhatikan sehubungan untuk mengetahui apakah ia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik, yang timbul dari perjanjian yang akan diadakan”.28

28

Edi Putra The’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta : Liberty, 1989), hal. 12.


(35)

dikucurkan, harus terlebih dahulu ditnjau apakah misalnya calon debitur yang bersangkutan berkelakuan baik, dan tidak terlibat tindakan – tindakan tidak terpuji lainnya.

2. Capacity (kemampuan)

Seorang calon debitur harus pula diketahui kemampuan bisnisnya, sehingga dapat diprediksikan kemampuan untuk melunasi hutangnya. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika trend bisnisnya ataupun kinerja bisnisnya lagi menurun, maka kreditnya juga semestinya tidak diberikan. Kecuali jika menurunnya itu karena kekurangan biaya sehingga dapat diantisipasi dengan tambahan biaya peluncuran kredit, maka kinerja bisnisnya dipastikan akan semakin membaik.

3. Capital (Modal)

Capital adalah ”modal usaha dari calon nasabah yang telah tersedia/telah ada sebelum mendapatkan fasilitas kredit”29. Permodalan dari suatu debitor juga merupakan hal-hal yang harus diketahui oleh calon kreditornya. Karena permodalan dan kemampuan keuangan dari seorang debitor akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan bayar kredit. Jadi, masalah likuidasi dan solvabilitas dari suatu badan usaha menjadi penting artinya.

29


(36)

4. Condition (kondisi)

Kondisi perekonomian secara mikro maupun makro merupakan faktor penting pula untuk dianalisa sebelum suatu kredit diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitur.

5. Collateral (agunan)

Dalam pemberian kredit, fungsi agunan sangat penting. Jaminan ini bersifat sebagai jaminan tambahan karena jaminan utama kredit adalah pribadi calon nasabah dan usahanya.

d. Prinsip 5 P

Dalam pemberian kredit, selain prinsip 5 C juga terdapat prinsip 5 P yang merupakan singkatan dari Party, Purpose, Payment, Profitability dan Protection.

1. Party (para pihak)

Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh suatu “kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur. Bagaimana karakternya, kemampuannya dan lain sebagainya.

2. Purpose (tujuan)

Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak kreditur. Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal – hal yang positif yang benar – benar dapat menaikkan income perusahaan. Dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar – benar diperuntukkan untuk tujuan yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian kredit.


(37)

Sumber pembayaran kredit dari calon debitur juga harus diperhatikan, apakah cukup tersedia atau cukup aman sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar kembali oleh debitur yang bersangkutan. Jadi harus dilihat dan dianalisa apakah setelah pembayaran kredit nanti, debitur punya sumber pendapatan, dan apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kreditnya.

4. Profitability (perolehan laba)

Unsur perolehan laba oleh debitur tidak kurang pula pentingnya dalam suatu pembayaran kredit. Untuk itu, kreditur harus dapat berantisifasi, apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan menutupi pembayaran kembali kredit, cash falow

dan sebagainya.

5. Protection (perlindungan)

Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitur. Untuk itu, perlindungan dari kelompok perusahaan, atau jaminan dari holding atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting dan harus diperhatikan. Terutama untuk berjaga – jaga sekiranya terjadi hal – hal di luar prediksi semula.

e. Prinsip 3 R

Yang dimaksud dengan prinsip 3R adalah singkatan dari Returns, Repayment, dan

Risk Bearing Ability.

1. Returns (hasil yang diperoleh)

Returns merupakan hasil yang akan diperoleh oleh debitur, dalam hal ini ketika telah dimanfaatkan nanti mestilah dapat diantisipasi oleh kreditur. Artinya perolehan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta bunga,


(38)

ongkos – ongkos, di samping membayar cash flow, kredit lain jika ada dan lain – lain.

2. Repayment (pembayaran kembali)

Kemampuan membayar dari pihak debitur tentu saja harus dipertimbangkan. Apakah kemampuan membayar tersebut sesuai dengan jadwal pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikan itu.

3. Risk Bearing Ability (kemampuan menanggung resiko)

Selain itu juga perlu diperhatikan sejauh mana terdapatnya kemampuan debitur untuk menanggung resiko. Misalnya dalam hal terjadi hal – hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jika dapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu harus diperhatikan apakah jaminan dan/atau asuransi barang atas kredit sudah cukup aman untuk menutupi resiko tersebut.

C. Hal-hal yang Perlu diperhatikan Dalam Pemberian Kredit

Analisa kredit merupakan tahap awal dari proses perkreditan, yang akan mem-pengaruhi keberhasilan atau kegagalan bank dalam menjalankan usaha perkredit-annya. Berhubungan dengan hal ini, Roger H. Hale menyatakan bahwa :

if a banker lends money either to a person or a corporate, the banker needs credit analysis to help determine the risks involved with the loan and the likelihood of repayment “.30

30

Roger H. Hale, Credit Analysis; A Complete Guide, John Willey & Son, 1994. hal.1. artinya :


(39)

“ Jika sebuah bank meminjamkan uangnya baik kepada individu maupun bidang usaha, maka pihak bank harus memerlukan analisis kredit untuk membantu dalam menentukan risiko-risiko terkait dengan pinjaman dan pembayarannya “.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya analisa kredit sangatlah penting, karena analisa kredit dapat berguna untuk :

a. Menentukan berbagai risiko yang akan dihadapi oleh bank dalam

membe-rikan kredit kepada seseorang atau kepada badan usaha.

b. Mengantisipasi kemungkinan pelunasan kredit tersebut karena bank telah

mengetahui kemampuan pelunasan melalui analisis cashflow usaha debitur.

c. Mengetahui jenis kredit, jumlah kredit dan jangka waktu pemberian kredit

yang dibutuhkan oleh usaha debitur, sehingga bank dapat melakukan penyesuaian dengan struktur dana yang siap untuk digunakan.

d. Mengetahui kemampuan dan kemauan debitur untuk melunasi kreditnya, baik

dari sumber pelunasan primer maupun sekunder.

Dalam hubungan dengan hal-hal tesebut, bank perlu memperoleh data yang lengkap, akurat dan relevan dengan bidang usaha debitur atau nasabah. Data yang diperoleh akan dijadikan bahan analisis dengan urutan kegiatan sebagai berikut :

a. Aplikasi kredit tertulis

Permohonan kredit kepada pihak bank harus di backup atau didukung dengan adanya unsur yuridis dan unsur ekonomis agar hak dan tanggung jawab kedua belah pihak menjadi jelas dan pasti, oleh karena itu maka aplikasi kredit harus dibuat oleh calon debitur secara tertulis dan ditanda-tangani oleh orang atau


(40)

pejabat perusahaan yang berhak mengajukan per-mohonan kredit tersebut menurut status dan bentuk hukum perusahaan.

Lampiran dari aplikasi kredit terdiri dari data-data sebagai berikut :

1. Kartu Tanda Penduduk,

2. Bentuk hukum perusahaan,

3. Bidang atau usaha yang dikelola,

4. Riwayat perusahaan (termasuk data mengenai penjualan, keuntungan dan

modal),

5. Kinerja perusahaan selama tiga tahun terakhir, 6. Jangka waktu dan rencana penggunaan kredit, 7. Surat perjanjian atau kontrak dengan pihak ketiga,

8. Manajemen berikut curriculum vitae atau riwayat masing-masing,

9. Rencana kerja dan anggaran perusahaan,

10.Neraca dan rugi/laba tiga tahun terakhir,

11.Sumber dan penggunaan dana,

12.Jadwal penggunaan dana yang didukung oleh feasibility study atau studi kelayakan dari objek kredit,

13.Cashflow atau modal usaha dan variabel-variabel yang mendukung dan, 14.Jadwal pelunasan kredit dari sumber primer dan sekunder.

b. Pengumpulan data melalui wawancara dan investigasi kredit

Walaupun pihak bank telah menerima data secara langsung dari calon debitur, namun untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan akurat, maka pihak bank juga wajib melakukan wawancara dengan calon peminjam (debitur),


(41)

mitra usaha maupun orang-orang yang berkompeten. Sewaktu mengadakan wawancara dengan calon debitur, pihak bank seha-rusnya mempersiapkan

para loan officer atau pegawai kredit yang mempunyai kemampuan untuk

mendengar dan mencatat fakta serta angka, meng-evaluasi hasil wawancara dengan data yang diperlukan.

Setelah melakukan wawancara dengan calon debitur, loan officer dapat

meneruskan analisanya dengan credit investigation atau menelusuri peng-gunaan kredit sebagai konfirmasi dengan sumber informasi lainnya, antara lain mengenai hal-hal sebagai berikut : trade checks, bank to bank infor-mations, mercantile credit report, local credit bureau reports, check of public records, informasi dari pesaing dan informasi dari pelanggan.

Pihak bank, setelah melakukan berbagai analisa data, maka hasil analisa kredit tersebut akan dikonfirmasikan dengan beberapa hal seperti :

a) Aplikasi dan lampirannya, b) Hasil wawancara dan investigasi, c) Studi dan penelitian berbagai aspek,

d) Financial statement ratio analysis atau analisis ratio laporan keuangan,

e) Pendekatan analisis kredit yang dipergunakan sesuai dengan permintaan dari calon debitur dan struktur/strategi alokasi dana bank.

Sebelum keputusan diberikan, para analisis kredit harus membuat summary

executive artinya berupa kesimpulan pokok dan argumentasinya yang akan menjadi pedoman pokok dan dasar hukum bagi pejabat pemutus persetujuan kredit untuk mengambil keputusan sesuai dengan organisasi perkreditan yang telah diberi wewenang


(42)

oleh pihak direksi bank. Di sini terlihat bahwa persetujuan pemberian kredit melalui

tahapan-tahapan dalam analisa kredit akan menimbulkan pertimbangan (judgement).

Pertimbangan ini setelah diberikan data logis akan menimbulkan keyakinan dan kemudian diikuti dengan suatu keputusan, adapun jenis-jenis keputus-an pemberian kredit bank terdiri dari: disetujui, ditunda untuk disempurnakan atau ditolak.31

Mariam Darus secara implicit mengemukakan bahwa rumusan persetujuan dalam

Pasal 1313 KUHPerdata adalah rumusan perjanjian.

D. Ketentuan KUHPerdata yang berarti dengan perjanjian pinjaman utang

32

31

Roby Kusno, Dasar-Dasar Perkreditan, Yogyakarta, BPFE-UGM, 2005. hal.32.

32

Mariam Darus B. Zaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, Hal. 89

Dengan demikian, berdasarkan kedua pendapat sarjana diatas maka pengertian perjanjian itu dapat dibaca dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang mempergunakan istilah persetujuan yang berbunyi :

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu satu orang atau lebih.”

Umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, jadi dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti. Dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum melainkan

merupakan hubungan hukum (rechtsverhouding). Pandangan ini dikemukakan oleh van

Dunne yang mengatakan bahwa :


(43)

Menurut pasal 1338 KUHPerdata ayat 1 menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang – undang bagi mereka yang membuatnya.

Secara sah maksudnya berarti memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1338 ayat 2 dikatakan persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang –undang dinayatakan cukup untuk itu, persetujuan-persetujuan dilaksanakan dengan itikad baik.

Dari bunyi Pasal tersebut dapat diambil beberapa ketentuan yang penting dalam hukum perjanjian, dan hal inilah yang merupakan akibat hukum dari suatu perjanjian yaitu:

a. Berlaku sebagai Undang – undang

Berlaku sebagai Undang – undang berarti ketentuan – ketentuan itulah yang mengatur hubungan antara kreditur dan debitur. Isi perjanjian ini dapat ditentukan sendiri dan atau oleh pihak ketiga untuk kepentingan debitur. Dengan demikian perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat yaitu mengikat para pihak yang membuatnya.

Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala hal/sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang – undang. Dalam hal ini maksudnya adalah bahwa para pihak tidak terlepas dari tanggungjawab atau akibat yang timbul dari suatu prestasi yang dipenuhi, juga para pihak juga harus memperhatikan undang undang.


(44)

Apabila terjadi perselisihan dan perselisihan itu sampai kehidupan hakim maka dalam mengadilinya hakim harus menyesuaikan isi perjanjian dengan ketentuan perundang-undangan, kebiasaan dan kepatutan.

b. Tidak dapat dibatalkan secara sepihak

Sesuai dengan asas konsensualitas, bahwa perjanjian dibuat atas persetujuan kedua belah pihak, sebaliknya bahwa untuk merubahkembali persetujuan harus ada ijin pihak lainnya. Namun demikian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak apabila ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh Undang –undang yaitu pada Pasal 1814 KUHPerdata.

c. Pelaksanaan dengan itikad baik

Pelaksanaan itikad baik artinya kejujuran dari orang yang mengadakan perjanjian. Istilah itikad baik ada dua macam yaitu sebagai unsur subjektif dan sebagai unsur objektif untuk memulai pelaksanaan.

Yang dimaksud baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata, bukanlah dalam arti subjektif, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan norma kesusilaan. Jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif, perjanjian itu harus berjalan di atas jalur benar.

Hal yang menjadi masalah dalam praktek perkreditan adalah apabila debitor mulai tidak lancar dalam pembayaran utangnya. Pada tahap awal pihak kreditor bisa menegur atau memberi peringatan dan juga kesempatan agar debitor bisa melanjutkan kewajiban untuk memenuhi pelunasan utang tersebut, hanya apabila debitor tidak bisa diharapkan lagi untuk menutup seluruh utangnya sehingga terjadi kredit macet, maka kreditor bisa


(45)

mengambil pelunasan dari penjualan obyek Hak Tanggungan. Apabila dimungkinkan para

pihak tersebut bisa mengadakan musyawarah untuk menjual sendiri obyek Hak Tanggungan, dengan adanya kesepakatan harga diantara mereka. Dari hasil penjualan tersebut kreditor langsung dapat mengambil pelunasan piutangnya, dan bila masih ada sisa dikembalikan kepada debitor. Penjualan dibawah tangan ini akan lebih mempermudah para pihak dalam pengurusannya, karena tanpa melalui prosedur

tertentu seperti dalam lelang eksekusi yang membutuhkan waktu dan biaya.

Dalam hal eksekusi, masalah akan muncul apabila sejak semula kreditor kurang waspada terhadap kebenaran / keberadaan barang yang akan dijadikan jaminan. Banyak alasan yang sah secara hukum yang dapat digunakan untuk menunda / menghalangi, bahkan mungkin sesungguhnya atau hanya dibuat - buat saja, misalnya eksekusi tertunda karena alasan kemanusiaan, adanya perlawanan oleh pihak ke-3, atau barang obyek eksekusi masih dalam proses perkara lain.

Selain itu juga harus diperhatikan tata cara dari prosedur pengikatan jaminan, karena adanya kekurangan yang sedikit saja bisa menyebabkan eksekusinya ditolak. Mengenai permasalahan yang terakhir, yaitu tentang roya parsial, meskipun belum ada undang - undang tersendiri yang mengaturnya secara khusus namun di dalam UUHT ditampung hal yang demikian. Dinyatakan dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) bahwa: yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi - bagi dari hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan ini tetap membebani seluruh obyek hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi.


(46)

Kemudian ayat (2)-nya menyatakan bahwa : ketentuan ini merupakan perkecualian dari asas yang ditetapkan pada ayat (1), untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan, antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan yang semuanya menggunakan kredit untuk pembangunan seluruh kompleks dan kemudian akan dijual kepada pemakai satu per satu, sedangkan untuk membayarnya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan rumah yang bersangkutan.

Sesuai dengan ketentuan ayat ini apabila hak tanggungan itu dibebankan pada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing - masing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas tidak dapat dibagi –bagi ini dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikan secara tegas dalam APHT (Akta Pemberi Hak Tanggungan) yang bersangkutan. sebelum pembangunan proyek dilaksanakan diadakan pemecahan atas sertifikat induk. Kemudian sertifikat per bagian ini dibebani pula dengan Hak Tanggungan. Untuk pembelian dengan menggunakan fasilitas kredit dari bank, apabila suatu bagian telah dilunasi maka langsung bisa dan Hak Tanggungan hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan (bangunan lain yang belum lunas) untuk menjamin sisa utang atas bangunan yang belum lunas tersebut. Hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UUHT karena telah dinyatakan secara jelas dalam pasal 2 ayat 2 UUHT.


(47)

BAB III

TANAH DAN BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT

A. Kebendaan Menurut Hukum

1. Subyek hak atas tanah

Subyek hak atas tanah merupakan orang perseorangan atau badan hokum yang dapat memperoleh sesuatu hak atas tanah. Subyek hukum adalah orang perseorangan (nuturliijke van een recht) atau badan hukum rechts person yang mempunyai hak, mempunyai kehendak dan dapat melakukan perbuatan hokum.

a. Orang perseorangan selaku subyek hak atas tanah

Orang perseorangan selaku subyek hak atas tanah, yaitu setiap orang yang identitasnya terdaftar selaku Warga Negara Indonesia atau warga Negara asing, berdomisili di dalam atau diluar wilayah Republik Indonesia dan tidak kehilangan hak memperoleh sesuatu hak atas tanah.

Sekalipun manusia diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban, namun hukum dapat mengecualikan manusia sebagai makhluk hukum atau hukum bisa tidak mengakuinya sebagai orang dalam arti hokum. Apabila hukum sudah menentukan demikian maka tertutup kemungkinan bagi manusia tersebut menjadi pembawa hak dan kewajiban selaku subyek hukum.


(48)

Badan Hukum selaku subyek hak atas tanah antara lain lembaga pemerintahan Indonesia, lembaga perwakilan Negara asing, lembaga perwakilan internasional, badan usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia atau badan hukum asing melalui penanaman modal asing di Indonesia, badan keagamaan atau badan social lainnya.

Perhimpunan orang yang tergabung dalam badan hukum walau tidak berjiwa seperti halnya manusia, namun mempunyai kehendak dan dapat melakukan perbuatan hukum sehingga dipersamakan dengan orang, selanjutnya diakui oleh undang-undang sebagai subyek hukum.

1. Badan hukum Publik

Badan hukum public merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan keputusan pejabat pemerintah Indonesia, pejabat Negara asing atau pejabat internasional yang bertujuannya yaitu untuk kepentingan umum.

2. Badan hokum privat

Badan hukum provat merupakan badan hukum yang didirikan oleh dua orang atau lebih dengan tujuan taitu untuk kepentingan perseronya, misalnya perseroan terbatas, yayasan atau koperasi.

3. Badan hukum lainnya

Selain badan hukum publik dan privat murni juga ada perkumpulan orang atau badan hukum yang didirikan oleh dua orang atau lebih dengan tujuan yaitu untuk kepentingan umum yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia.


(49)

2. Obyek hak atas tanah

Obyek hak atas tanah merupakan bidang-bidang tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang dapat dipunyai dengan sesuatu pemilikan hak atas tanah oleh orang atau badan hukum menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Obyek pemilikan hak atas tanah yang dimaksud sama dengan obyek pendaftaran tanah sebagaiman ketentuan pasal 9 peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 yaitu:

a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna

bangunan dan hak guna pakai. b. Tanah hak pengelolaan

c. Tanah wakaf

d. Hak milik atas satuan rumah susun

e. Hak tanggungan

f. Tanah Negara

Supaya penggunaan dan pemanfaatan tanah dimaksud sejalan dengan hak dan kewajibannya maka dapat dilakukan koordinasi horizontal.

Masuknya hak-hak tanah menurut KUH Perdata dan hukum adat tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) melalui lembaga konversi. Dengan demikian kita melihat bahwa ketentuan konversi yang diatur oleh Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan pelaksanaanya memberikan tempat yang terhormat dan kembali kepada hukum adat sebagai landasan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sehingga seluruh hak-hak tanah yang ada baik yang tunduk kepada 3 W maupun kepada hukum


(50)

adat, di konversi menjadi hak-hak yang tunduk kepada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Pada ayat 3 pasal 1 ketentuan konversi dapat kita lihat yaitu :

a. Hak Eigendom kepunyaan orang asing

b. Hak Eigendom kepunyaan seorang warga negara Indonesia yang mempunyai

kewarganegaraan asing.

c. Badan-badan hukum yang mempunyai hak milik

3. Kebendaan

Ketentuan dalam KUH Perdata tentang kebendaan umumnya, mendefinisikan kebendaan sebagai tiap-tiap benda dan hak yang dapat dikuasai dengan hak milik, demikian pula segala apa yang karena hukum perlekatan termasuk dalam pengertian kebendaan, seperti segala hasil daripada kebendaan tersebut, baik hasil karena alam maupun hasil karena pekerjaan orang, selama yang terakhir ini melekat pada kebendaan itu seperti dahan dan akar terpaut pada tanahnya, semuanya itu adalah bagian dari suatu kebendaan, jika dan selama hasil itu belum dapat ditagih. Yang dinamakan dengan hasil karena alam adalah segala sesuatu yang tumbuh timbul dari tanah sendiri, dan yang merupakan hasil dari atau dilahirkan oleh binatang-binatang;dan hasil karena pekerjaan orang yang ditarik dari tanah adalah segala sesuatu yang diperoleh karena penanaman diatasnya; sedangkan yang dinamakan hasil perdata adalah uang sewa, uang upeti, uang angsuran dan bunga.

Pasal 504 Kitab Undang-undang Hukum Perdata membagi semua kebendaan dan perlekatannya tersebut kedalam dua kelompok besar yaitu : kebendaan bergerak dan


(51)

kebendaan tidak bergerak. Masing-masing kebendaan tersebut selanjutnya dibagi lagi atas kebendaan yang berwujud dan kebendaan yang tidak berwujud.33

a. kebendaan tidak berwujud atas nama

Secara konseptual kebendan berwujud dibedakan dari kebendaan tidak berwujud berdasarkan pada sifat dapat dilihat-tidaknya (konkrit-abstraknya) kebendaan tersebut. Namun demikian, pada kenyataannya kepentingan praktis telah membuat masyarakat menciptakan materialisasi dari kebendaan tidak berwujud dalam bentuk surat atau akta yang menjadi bukti kepemilikan dari kebendaan tidak berwujud tersebut. Jadi walaupun disebut dengan kebendaan tidak berwujud, kebendaan tersebut sebenarnya dapat dilihat pada materialnya.

Terhadap kebendaan tidak berwujud, ilmu hukum selanjutnya membedakan kedalam tiga kategori, yaitu:

b. kebendaan tidak berwujud atas tunjuk c. kebendaan tidak berwujud atas bawa.

Penggolongan tersebut didasarkan pada sifat mudah tidaknya kebendaan tidak berwujud tersebut dialihkan. Untuk yang pertama peralihannya hanya dapat dilakukan dengan cara tertulis melalui pembuatan akta, baik notariil maupun dibawah tangan, yang dikenal dengan nama akta cessie. Sedangkan untuk kebendaan tidak berwujud atas tunjuk peralihannya cukup dilakukan dengan cara endosemen, yang diikuti dengan penyerahan surat atau akta kepemilikan kebendaan tidak berwujud yang hendak dialihkan tersebut. Dan bagi kebendaan tidak berwujud atas bawa, peralihannya dapat dilakukan hanya

33


(52)

dengan melakukan penyerahan fisik dari surat atau akta kepemilikan kebendaan tidak berwujud tersebut.

Dengan demikian secara garis besar, penggolongan kebendaan dapat diringkas sebagai berikut;

1. kebendaan bergerak yang menurut sifatnya adalah dapat dipindahkan (kebendaan

yang berwujud; merupakan hak-hak atas kebendaan bergerak itu sendiri (kebendaan yang tidak berwujud);

2. kebendaan tidak bergerak yang menurut sifatnya tidak dapat dipindahkan, serta

yang segala sesuatu yang melekat padanya (kebendaan yang berwujud); menurut tujuannya tidak untuk dipindah-pindahkan (kebendaan yang berwujud); merupakan hak-hak atas kebendaan tidak bergerak itu sendiri (kebendaan yang tidak berwujud).

Dengan adanya pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak tersebut maka akan terjadi pembedaan dalam hal:

1. Pembebanan jaminan

Pembebanan benda bergerak dan tidak bergerak akan menentukan bentuk atau jenis pembebanan atau pengikatan jaminan atas benda tersebut dalam pemberian kredit. Misalnya jaminan berupa bentuk pengikatan atau pembebanannya berupa fidusia atau gadai. Jaminan berupa benda tidak bergerak (tanah dan bangunan), bentuk pengikatan dan pembebanannya berupa hak tanggungan. Kapal bobot lebih dari 20 (dua puluh) meter kubik dan pesawat udara bentuk pengikatan dan pembebanannya berupa hipotik.


(53)

Pembedaan mengenai benda bergerak dan benda tidak bergerak mengakibatkan perbedaan dalam penyerahan benda itu. Untuk benda bergerak penyerahan dilakukan dengan penyerahan nyata (penyerahan bendanya), sedangkan untuk benda tidak bergerak penyerahan dilakukan dengan balik nama.

3. Dalam hal daluwarsa (verjaring)

Untuk benda bergerak tidak mengenal daluarsa, sedangkan benda tidak bergerak mengenal daluarsa (tiga puluh tahun).

4. Berkenaan dengan bezit.

Untuk benda bergerak berlaku ketentuan Pasal 1977 KUH Perdata yaitu seorang

bezitter dari barang bergerak adalah pemilik benda itu sedangkan untuk benda tidak bergerak tidak demikian.

4. Hak Kebendaan

Hak kebendaan adalah hak bersifat atas suatu kebendaan, yang memberikan kepada pemiliknya kekuasaan secara langsung atas kebendaan tersebut yang bersifat mutlak, yang dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Hak kebendaan ini dibedakan dari hak perseorangan yang bersifat relatif, yang hanya dapat dipertahankan oleh pemilik hak tersebut terhadap orang perorangan tertentu saja, terhadap siapa pemilik hak perseorangan ini berhubungan hukum. Dalam KUH Perdata hak kebendaan diatur dalam buku II tentang kebendaan, sedangkan hak perseorangan diatur dalam Buku III tentang perikatan.


(54)

Berdasarkan pada tujuan pemanfaatannya hak kebendaan dapat digolongkan dalam:

1. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan kepada pemilik haknya, yang dibedakan atas; Pertama, kebendaan yang nyata-nyata dimiliki olehnya sendiri (hak penguasaan atau bezit);

Pembedaan kedua macam hak kebendaan tersebut didasarkan pada sifat bergerak, terkecuali kebendaan tidak berwujud atas nama dan atas tunjuk, KUH Perdata memberlakukan prinsip bezit berlaku sebagai titel sempurna, dengan pengertian setiap penguasa fisik atas kebendaan bergerak dianggap sebagai pemiliknya sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Sedangkan terhadap kebendaan tidak bergerak, undang-undang menciptakan suatu sistem pencatatan dan publikasi hak kebendaan, yang akan menjadi bukti yang otentik atas setiap kebendaan yang melekat pada suatu kebendaan tidak begerak. Untuk hal yang terakhir setiap peralihan kepemilikan dan atau pembebanan atas setiap kebendaan tidak bergerak tersebut dianggap baru terjadi setelah dilakukannya pendaftaran dan atau pencatatan atas peralihan kepemilikan dan atau pembebanan atas kebendaan tersebut.

2. Hak kebendaan yang memberikan jaminan kepada pemegang haknya (hak pembebanan atau jaminan)

b. Hak Mendasar Yang Dimiliki Pemilik Hak Kebendaan

Ilmu hukum memberikan tiga hak mendasar yang dapat dimiliki oleh setiap pemilik hak kebendaan tersebut, yaitu:


(55)

1. Hak penguasaan yang berlaku mutlak, yang dapat dipertahankan setiap orang; dengan pengertian bahwa kemanapun suatu kebendaan beralih, pemegang haknya yang sah berhak untuk menuntut kepada siapapun juga agar kebendaan tersebut dikembalikan kepadanya.

2. Hak kemelekatan dari hak kebendaan tersebut terhadap kebendaan yang dihaki;

dengan pengertian kepada siapapun kebendaan tersebut beralih karena hukum, hak kebendaan akan tetap ada dan melekat pada kebendaan itu.

3. Hak mendahului dari pemilik hak kebendaan yang berupa jaminan, untuk

memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas setiap penjualan kebendaan yang dijaminkan dengan hak kebendaan tersebut.

Ketiga hak mendasar tersebut memungkinkan pemilik hak kebendaan tersebut memperoleh berbagai macam hak lainnya, seperti misalnya hak revindikasi.

5. Hak Bangunan

Hak guna bangunan merupakan surat tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya guna membangun dan menggunakan bangunan yang berdiri atau tempat usaha.

Hak guna bangunan maka perlu pula didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 adalah:

a. Semua hak pakai yang diperoleh departemen-departemen, direktorat-direktorat

dan daerah-daerah swatantra sebagai yang dimaksud dalam Peraturan Menteri agraria nomor 9 tahun 1965.

b. Semua hak-hak pengelolaan sebagai yang dimaksud dalam Peraturan Menteri


(56)

Pasal-pasal tersebut ditujukan kepada pemegang hak atas bangunan yang bersangkutan supaya mendaftarkan tanahnya masing-masing dalam rangka memperoleh surat tanda bukti hak atas bangunan yang berlaku sebagai alat pembuktian yang lewat bagi pemegang hak tersebut.

Sertifikat hak bangunan dapat beralih dan dialihkan sepanjang dimungkinkan dalam perjanjian oleh para pihak yang bersangkutan dengan ketentuan bahwa terlebih dahulu mendapat persetujuan dari penguasa hak atas bangunannya, dalam hal ini persetujuan tertulis dari pemegang hak miliknya atau hal ini persetujuan tertulis dari pemegang hak miliknya atau dari pemegang hak pengelolaannya atau atas tanah Negara dengan izin tertulis dari pejabat berwenang.

B. Tinjauan Tentang Jaminan

1. Pengertian Jaminan Secara Umum

Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan Zaker Heiddos Stelling atau

Security Of Law. Dalam seminar badan pembinaan hukum nasional tentang lembaga politik dan jaminan lainnya, yang diselenggarakan di Yogyakarta, pada tanggal 20 sampai 30 Juli 1977, disebutkan bahwa hukum jaminan, meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan. Pengertian hukum jaminan ini mengacu pada jenis jaminan, bukan pengertian hukum jaminan. Definisi ini menjadi tidak jelas, karena yang dilihat hanya dan penggolongan jaminan. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, mengemukakan bahwa hukum jaminan adalah :

“Mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberi fasilitas kredit,


(57)

demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi

lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya

lembaga jaminan dan lembaga demikian, kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar dengan jangka waktu lama dan bunga yang relatif rendah”.

2. Dasar Hukum Jaminan

Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam yakni sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. Sumber hukum materiil adalah tempat materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional dan keadaan geografis.

Sumber hukum formal ini dapat digolongkan menjadi 2 macam, yaitu sumber formal tertulis dan tidak tertulis. Analog dengan hal ini, maka sumber hukum jaminan dapat dibagi menjadi 2 macam, yakni sumber hukum jaminan tertulis dan tidak tertulis. Yang dimaksud dengan sumber hukum jaminan tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum jaminan yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya sumber hukum jaminan tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan

yurispendensi.

Sedangkan sumber hukum jaminan tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum jaminan yang berasal dari sumber tidak tertulis. Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan. Adapun yang menjadi sumber hukum jaminan tertulis, yaitu :


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan Analisis yang dilakukan Bank Perkreditan Rakyat Duta Adiarta terhadap tanah dan bangunan di atasnya yang dijadikan jaminan hutang dalam proses pemberian kredit, adalah dengan mengidentifikasi permasalahan untuk dapat dibuat action plan-nya. Kemudian pengumpulan data yang diikuti dengan verifikasi data untuk dilakukan analisa data dengan metode pendekatan (cost approach, market data approach atau income approach), sehingga berdasarkan analisa data ini dicapailah suatu kesimpulan nilai dari tanah berikut bangunan diatasnya tersebut. Berdasarkan penilaian ini Bank Perkreditan Rakyat Duta Adiarta dapat mengetahui nilai hak tanggungan dari jaminan hutang yang harus ditetapkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Selanjutnya pengikatan kredit dan pengikatan jaminan dilakukan dengan menandatangani perjanjian kredit dan perjanjian jaminan.

2. Kendala yang ditemui Bank Perkreditan Rakyat Duta Adiarta Medan dalam pelaksanaan penilaian dan analisis terhadap tanah dan bangunan diatasnya sebagai jaminan hutang dalam proses pemberian kredit berdasarkan pada penjelasan Pasal 48 Peraturan Bank Indonesia No: 9/6/PBI/2007 tentang Perubahahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 72/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, penilaian adalah pernyataan tertulis dari penilai independen atau penilai intern Bank mengenai taksiran dan


(2)

pendapat atas nilai ekonomis dari agunan berdasarkan analisis terhadap fakta-fakta obyektif dan relevan menurut metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum yang ditetapkan oleh asosiasi dan atau institusi yang berwenang. Tetapi adanya objek jaminan tidak jelas karena sulitnya kondisi di lapangan dan petunjuk jaminan tidak ada, status tanah masih berupa SK Camat yang mungkin beresiko sebagai jaminan pada bank dimana dapat timbul spekulasi dualisme kepemilikan, sertifikat tidak jelas yaitu letak dan bangunan yang di sertifikat tidak sesuai dengan yang di lapangan, adanya konflik dilapangan yang ditimbulkan akibat sengketa perkawinan dari calon debitur yang mengagunkan harta bersama dan ataupun akibat dari konflik keluarga calon debitur (tanah yang diagunkan merupakan tanah warisan).

3. Upaya yang dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat Duta Adiarta, jika dalam pelaksanaan penilaian dan analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang terjadi penyimpangan, adalah dengan melihat pada bentuk penyimpangan yang terjadi, sebagai berikut: a) Nilai hak tanggungan yang ditetapkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan nilainya lebih rendah dari nilai jaminan, maka upaya yang dilakukan harus meningkatkan nilai hak tanggungan dengan cara memasang hak tanggungan kedua dengan nilai hak tanggungan yang mendekati nilai jaminan. b) Perbedaan penilaian dari penilai independen atau intern bank, maka bank wajib menggunakan nilai yang terendah. Jika kredit baru/ penambahan/perubahan diajukan dan penilaian jaminan telah dilakukan tetapi melewati waktu yang ditentukan, maka harus dilakukan penilaian kembali. c) Adanya gugatan dari pihak istri/suami karena debitur menjaminkan harta bersama, maka pihak yang melakukan gugatan harus melengkapi dokumen yang menunjukkan bukti kedudukan jaminan tersebut sebagai harta bersama, berupa KTP, Kartu Keluarga (KK), akta


(3)

perkawinan jika ada atau akta kelahiran anak yang terakhir, dan surat keterangan lurah/kepala desa domisili suami isteri tersebut, yang kemudian diselesaikan secara kekeluargaan (musyawarah), tetapi jika tidak berhasil diselesaikan, maka dengan sangat terpaksa diselesaikan melalui lembaga hukum.

B. Saran

1. Disarankan kepada appraisal baik appraisal independent ataupun internal agar benar-benar mengikuti ketentuan yang berlaku dalam melakukan penilaian terhadap agunan/jaminan calon debitur di lapangan dan benar-benar mempelajari dokumen jaminan yang diserahkan oleh calon debitur guna menciptakan prinsip Bank yang sehat, aman dan bersih.

2. Disarankan kepada petugas Bank, khususnya analis kredit petugas arsip dan dokumen yang menunjukkan bukti kedudukan jaminan tersebut sebagai harta bersama, berupa KTP, Kartu Keluarga (KK), akta perkawinan jika ada atau akta kelahiran anak yang terakhir, dan surat keterangan lurah/kepala desa domisili suami isteri tersebut agar benar-benar lebih teliti dalam hal memeriksa dokumen yang diserahkan oleh calon debitur baik itu laporan keuangannya, data agunan, identitas calon debitur, dan persyaratan lainnya. Sehingga akan menutup peluang segala itikad yang tidak baik yang membahayakan kelancaran pengembalian kredit.

3. Disarankan kepada pihak debitur untuk tetap memelihara pembukuan laporan keuangan dengan baik, serta kerjasama dan kejujuran dalam hal melengkapi segala persyaratan permohonan kredit yang diminta oleh petugas Bank sehingga mempermudah proses analisis kredit oleh pihak Bank, karena dengan dicairkannya kredit maka berkonsekuensi logis guna memperlancar usaha debitur


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku:

Adjie, Habib, 2000, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, CV. Mandar Maju, Bandung.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1994, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung.

Emirzon, Joni, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perusahaan Jasa Penilai, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Jusuf, Jopie, 2003, Kiat Jitu Memperoleh Kredit Bank, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta.

_____, 2005, Analisis Kredit Untuk Account Officer, cetakan keenam, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kamelo, Tan, 2002, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: PPs-USU.

Machfud Siddik, 2000, Model Penilaian Properti Berbagai Penggunaan Tanah di Indonesia, Yayasan Bina Umat Sejahtera, Jakarta.

Mantayborbir, S., 2004, Sistem Hukum Pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta.


(5)

Mantayborbir, S., Iman Jauhari, dan Agus Hari Widodo, 2002, Hukum Piutang dan Lelang Negara di Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa.

Masdiasmo, 2004, Perpajakan, edisi revisi, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Muljono, Eungenia Liliawati, 2003, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan, Jakarta: Harvarindo.

Satrio, J., 1991, Hukum Jaminan, Hak Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

_____, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

_____, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

_____, 2004, Hukum Jaminan, Hak Jaminan, Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Siregar, D. Doli, 2002, Optimalisasi Pemberdayaan Harta Kekayaan Negara: Peran Konsultan Penilai Dalam Pemulihan Ekonomi Nasional, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta.

Suhardana, F.X., 2001,Hukum Perdata I, Prenhallindo, Jakarta.

Sutarno, 2005, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, cetakan ketiga, CV. Alfabeta, Bandung.


(6)

“Pendidikan Penilaian Aset”, Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), Jakarta 14 Nopember 2005 s/d 19 Nopember 2005.

Resmi, Siti S., ”Urgensi Penilaian Properti Dalam Tatanan Ekonomi Masyarakat”, Usahawan No. 03 Th XXXII Maret 2003.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.