Pengertian Syariah Card dan Perbedaannya dengan Kartu Kredit

Jika dilihat dari skema mekanisme transaksi antara kartu kredit konvensional dengan kartu kredit syariah, terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan yang pertama dari segi akad, syariah card menggunakan 3 akad yaitu kafalah, ijarah, qard. Perbedaan yang kedua adalah tidak adanya sistem bunga pada kartu kredit syariah. Penggunannya seperti kartu kredit tetapi tidak terdapat pembayaran minimum, jadi ketika jatuh tempo tagihan harus dibayar seluruhnya. Selain dua hal tersebut diatas, perbedaan antara kartu kredit syariah dan kartu kredit konvensional dapat terlihat pada sistem kontrol kartu kredit tersebut. Sistem kontrol kartu kredit konvensional adalah sebagai berikut : 1. Sistem kontrol bank terhadap nasabah kartu kredit. a. Sistem kartu yang dicabut oleh bank maka secepatnya nasabah kartu kredit mengembalikan kartu dan melunasi kewajibannya. b. Jika terdapat perubahan alamat atau data maka nasabah kartu kredit segera memberitahukan. 2. Sistem kontrol bank terhadap merchant. a. Bank berhak melakukan penolakan pembayaran untuk merchant atas transaksi yang dilakukan nasabah. b. Bank tidak bertanggung jawab atas segala transaksi yang dilakukan antara merchant dengan nasabah kartu kredit tentang kualitas suatu barang. 3. Sistem kontrol bank terhadap bank dan nasabah kartu kredit. a. Pihak penerima pembayaran kartu kredit dapat menolak untuk menerima pembayaran dengan kartu kredit dari seseorang pemegang kartu kredit atas pembelian suatu barang, apabila pihak penerima kartu kredit merasakan adanya keraguan atas kartu tersebut. b. Melakukan otoritas terlebih dahulu kepada pihak penerbit kartu apabila ada pihak pemegang kartu yang menggunakan kartu kredit melebihi batas maksimum c. Selalu memeriksa Card Recolvery Bulletin CRB daftar hitam yang telah dikirimkan atau diberikan oleh penerbit kartu dan bank. Sedangkan sistem kontrol pada kartu kredit syariah, yaitu sebagai berikut bank memberikan ketentuan dan batasan bahwa kartu tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat. Ini sesuai dengan konsep konsumsi dalam teori ekonomi Islam, bahwa ukuran kemaslahatan menjadi standar dalam berkonsumsi yaitu bahwa barang yang dikonsumsi adalah barang yang mendatangkan manfaat dan kemaslahatan bukan mendatangkan mudhrarat dan mafasid. Sedangkan pada kartu kredit konvensional tidak terdapat ketentuan mengenai objek transaksi, apakah harus barang yang halal dan bermanfaat atau tidak. Agar kartu kredit syariah tidak mendekati kartu kredit konvensional, DSN- MUI menetapkan ketentuan tentang batasan Dhawabith Wa Hudud, yaitu : 1. Tidak menimbulkan riba; 2. Tidak digunakan untuk transaksi yang, tidak sesuai syariah; 3. Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan atau konsumerisme, dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan; 4. Pemegang kartu utama harus mempunyai kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya; 5. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah. Terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam transaksi syariah card, yaitu : 1. Issuer Bank, yaitu pihak yang diberikan kuasa oleh undang-undang untuk menerbitkan katu kepada nasabahnya, ia menjadi wakil dari card holder dalam membayar nilai pembelian yang dilakukannya kepada merchant. 2. Card Holder, yaitu orang yang namanya dicantumkan dalam kartu, atau orang yang diberi kuasa untuk memakainya dan ia berkewajiban untuk melunasi semua kewajiban yang timbul sebagai akibat pemakaian kartu tersebut kepada pihak issuer bank. 3. Merchant, yaitu pihak yang terkait dengan issuer bank dengan memberikan barang dan jasa kepada card holder sesuai dengan kesepakatan mereka.

B. Prinsip Syariah Card dalam Perspektif DSN-MUI

Ada beberapa prinsip-prinsip yang diharamkan pada syariah card akan tetap terjadi pada kartu kredit konvensional. Hal tersebut dijelaskan pada fatwa DSN-MUI tentang syariah card pada ketentuan tentang batasan Dhawabith Wa Hudud. Yang pertama adalah tidak menimbulkan riba. Dalam bahasa Indonesia riba diartikan sebagai bunga baik sedikit maupun banyak. Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Dalam Inggris riba diartikan interest bunga sedikit atau usury bunga yang banyak. Riba dapat timbul dalam pinjaman riba dayn dan dapat pula timbul dalam perdagangan riba bai ‟. Riba bai terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena pertukaran barang sejenis tetapi jumlahnya tidak seimbang riba fadl, dan riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melibatkan jangka waktu riba nasiah. Riba dayn berarti tambahan, yaitu pembayaran premi atas setiap jenis pinjaman dalam transaksi utang-piutang maupun perdagangan yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman disamping pengembalian pokok yang ditetapkan sebelumnya. Inti dari riba pinjaman riba dayn adalah tambahan pokok yang ditetapkan sedikit maupun banyak. Larangan riba yang terdapat dalam Al-Quran tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap. Pada tahap pertama, keharaman riba untuk pertama kalinya secara implicit dijelaskan pada ayat 39 surat Ar-Rum yang berikut : Artinya : “Dan sesuatu riba tambahan yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipat gandakan pahalanya. ” Q.S. Ar-Ruum : 39. Penting dicatat, ayat tersebut merupakan bagian dari ayat-ayat Makiyyah. Pembahasan mengenai riba dalam ayat 39 surat Ar-Rum yang termasuk kategori ayat- ayat Makiyyah itu mempunyai sebuah indikasi mengenai betapa pentingnya tmasalah riba ini. Mayoritas ahli tafsir jumhur al-mufassirin berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba pada ayat tersebut adalah suatu bentuk pemberian al- „athiyyah yang disampaikan seseorang kepada orang lain bukan dengan tujuan untuk menggapai ridha Allah SWT, tetapi hanya sekedar mendapatkan imbalan duniawi semata. Karena itu pelakunya tidak akan memperoleh pahala dari Allah. Bila dicermati ayat 39 tidak secara eksplisit menyebutkan tentang keharaman riba. Karena itu para ulama berbeda pendapat mengenai apa sesungguhnya yang dimaksud dengan riba pada ayat tersebut. 16 Yang kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT akan memberikan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Seperti yang tertulis dalam Al- Qur‟an surat An-Nisaa‟ ayat 160-161, sebagai berikut: 16 Mujar Ibnu Syarif, Konsep Riba dalam Al-Quran, Makalah yang Belum Dipublikasikan, h. 3. Artinya : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka memakan makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang- orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.” An-Nisaa‟: 160-161. Ayat tersebut menjelaskan tentang adanya semacam hukuman Tuhan terhadap kaum Yahudi, sehingga mereka tidak boleh lagi mengkonsumsi beberapa jenis makanan tertentu yang semula dihalalkan bagi mereka. Kemudian Allah SWT