Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masjid memiliki kedudukan yang sangat penting bagi umat muslim, penting dalam upaya membentuk pribadi dan masyarakat yang islami. Untuk merasakan urgensi itulah, masjid harus difungsikan dengan sebaik-baiknya dalam arti harus dioptimalkan dalam memfungsikannya. Namun perlu diingat bahwa, masjid yang fungsinya dapat dioptimalkan secara baik adalah masjid yang didirikan di atas dasar taqwa. Allah berfirman: ☺ ☺ “Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa Masjid Quba, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih” QS. 9:108 Sebagai muslim kita tidak boleh puas hanya sampai pada keberhasilan membangun fisik masjid yang megah hingga menghabiskan dana ratusan juta bahkan milyaran rupiah, karena itu Rasulullah SAW mengingatkan agar diperhatikan dan diupayakan juga pemakmuran masjid seoptimal mungkin sesudah pembangunan selesai. Jangan sampai masjid yang dibangun dengan 2 megah dan indah serta menghabiskan dana yang besar, tapi hanya sedikit orang yang memakmurkannya. Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh akan datang pada umatku suatu masa di mana mereka saling bermegah-megahan dengan membangun masjid tapi yang memakmurkannya hanya sedikit.” F 1 Merupakan sarana dakwah karena masjid tidak hanya digunakan dan dimanfaatkan sebagai sarana ibadah semata, tetapi harus digunakan sebagai tempat atau sarana untuk melakukan muamalah. Masjid sebagai pusat ibadah, dakwah dan peradaban Islam dalam sejarahnya yang panjang, dari perubahan yang positif sampai pergeseran yang bersifat negative. Selama dalam pergeseran yang bersifat negative, ia bergeser dari fungsi yang sangat terbatas. Ia tidak ingin menjadi pusat dakwah dan peradaban Islam, tetapi hanya berfungsi sebagai tempat ibadah mahdah saja. Masjid merupakan sarana dakwah karena masjid tidak hanya digunakan dan dimanfaatkan sebagai sarana ibadah semata, tetapi harus digunakan atau dimanfatkan sebagai tempat atau sarana untuk melakukan muamalah. F 2 Masjid sebagai pusat ibadah, pendidikan dakwah dan peradaban Islam. Dalam sejarahnya yang panjang terus berkembang, semakin kokoh dan berakar pada kehidupan masyarakat dunia. Ia merupakan bangunan monument religius, yang menyatu dengan hati masyarakat dalam hidup dan kehidupan mereka. Sesuai dengan perkembangan sejarahnya sampai masa kini, masjid dikategorikan 1 H. Ahmad Yani dan Achmad Satori Ismail. Menuju Masjid Ideal. LP2SI Harmain. Cet 1, Mei 2001 MSyafar 1422 H 2 Zubaidi Natsir, Fungsi Masjid Di Zaman Modern Dipertanyakan, Suara Masjid, 161, Februari 1989 Hal 50 3 menjadi dua bagian yaitu: 1. Masjid-masjid yang dikelola dengan manajemen tradisional, dan 2. Masjid-masjid dikelola dengan manajemen modern. Dengan demikian kemakmuran masjid secara hakiki adalah penghambaan kepada Allah sesuai dengan urusan dan kedudukan yang layak di masjid-masjid tersebut. Banyaknya orang yang mengingat Allah dan mengingatkan orang lain kepada Allah SWT. Terpeliharanya masjid dari semua perkara dan perkataan yang sia-sia dan khurafat. F 3 Islam sangat menekankan persamaan dalam masyarakat. Manusia disebut juga dengan makhluk sosial, karenanya hubungan di antara masyarakat muslim berlangsung secara harmonis sehingga tidak terjadi adanya kesenjangan sosial, apalagi melalui sholat berjamaah, prinsip kehidupan sosial itu dibina. Menurut Sidi Ghazalba: “Dalam masjid pada waktu sholat, ajaran persamaan dan persaudaraan umat manusia dipratekkan. Disinilah tiap muslim disadarkan bahwa sesungguhnya mereka semua sama. Di dalam masjid akan hilanglah perbedaan warna kulit, suku, nasion, kedudukan, kekayaan, mazhab, ideology. Semuanya berbaris di depan Tuhannya tanpa perbedaan, bagai sekumpulan saudara seiya sekata, serempak mematuhi imam yang di depannya. Peranan sosial agama harus dilihat terutama sebagai suatu yang mempersatukan. Dalam pengertian harfiyahnya, agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu memepersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh 3 Moh. E. Ayub, Muhsin MK., H Ramlan Mardjoned. Manajemen Masjid. Cet Ke 9. ramadhan 1428 HSeptember 2007 M 4 kelompok-kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan bersama dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial. Fakta yang menunjukan bahwa nilai-nilai keagamaan itu sakral berarti bahwa nilai-nilai keagamaan tersebut tidak mudah diubah karena adanya perubahan- perubahan dalam konsepsi-konsepsi kegunaan dan kesenangan duniawi. Perilaku sosial masyarakat Indonesia akhir-akhir ini begitu merisaukan. Dimana rasa solidaritas sosial gampang terkikis oleh kepentingan dan egosentris pribadi. Jangankan antar agama, dalam satu agama saja, orang-orang dengan mudah mengolok-olok ini lebih baik itu lebih buruk, ini selamat itu sesat, ini benar itu salah, dan seterusnya. Mengapa semua ini bisa terjadi? Padahal, agama islam sangat mengajarkan umatnya tentang ‘kebajikan’ dan menjauhi perbuatan mengolok-olok. Begitu kuatnya perumpamaan Nabi saat memaparkan kepada umatnya tentang urgensi solidaritas sosial. Meski sudah biasa terdengar, konsep ini belum tercerna dengan baik. Lazimnya, orang memaknai solidaritas sosial hanya pada lingkup sisi kehidupan tertentu saja, seperti mengulurkan tangan kepada fakir miskin, orang-orang yang terpinggirkan, dan kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan. Hemat saya, solidaritas antar sesama manusia kini mengalami degradasi. Ini sangat terkait dengan rendahnya moralitas warga negara. Perlu diketahui, moral di sini tidak hanya bicara seputar disiplin tubuh, batas-batas aurat. Tapi, ia bermakna luas dan menyeluruh, sebagaiamana yang diemban Muhammad SAW. 5 saat pertama kali ditugaskan untuk menyampaikan risalah: Liutammima Makarima al-Akhlaq, menyempurnakan akhlak yang mulia. Pada saat-saat awal berdakwah, Rasulullah tidak langsung mengajarkan syari’at: semisal shalat, puasa, zakat, dll. Tapi, beliau mengajarkan umatnya tentang etika secara universal. Dapatkah kita memaknai akhlak atau moral dalam konteks ini hanya sebatas aturan aurat: sensual apa tidak sensual, mengundang syahwat atau tidak, menimbulkan fitnah atau tidak, dan seterusnya. Tidak sesederhana itu. Jika makna moral hanya disempitkan pada wilayah itu, maka Nabi tidak perlu lama-lama dalam menapaki lika-liku berdakwah. Akhlak adalah prilaku sosial seseorang. Biasa juga disebut moral atau budi pekerti. Karena sifatnya yang universal, Abdullah Nashin Ulwan dalam al-takaful al-ijtima’i fi al-Islam merumuskannya dengan sebutan solidaritas sosial al- takaful al-ijtima’i. Kehadiran rumusan ini tak lain untuk menjembatani pluralitas individu dan kepentingan dalam suatu masyarakat. Agar moralitas tetap tegak dan tidak diinjak-injak, maka diperlukan pemahaman tentang solidaritas sosial. Rasulullah menggambarkan solidaritas sosial ini, sebagaimana diceritakan Imam al-Bukhari, layaknya sekelompok orang di atas kapal. Mereka akan mengundi, siapa yang berada di dek atas dan siapa yang di bawah. Setelah itu, ketika yang di bawah ingin mengambil air minum, maka ia harus melewati mereka yang di atas, bahkan tidak sekedar melewati tapi juga minta bantuannya. Karena sering dipersulit, salah seorang di dek bawah punya usul, “Bagaimana kalau kita belah saja perahu ini menjadi dua, sehingga kami yang di bawah tidak merepotkan yang di atas?” 6 Nabi pun melanjutkan cerita sambil mengomentari pertanyaan di atas. Kalau keinginan mereka itu dituruti, tentu semuanya akan celaka, tenggelam. Tapi, jika mereka saling berpegang tangan dan bekerja sama, pasti mereka akan selamat. Bagi penulis, tidak semudah itu. Sebab, banyak orang yang gemar memberi santunan kepada fakir miskin, korban bencana alam, anak-anak jalanan, tapi hanya untuk mencari muka dan simpatik. Sementara itu, kita dikelabuhi bahwa ‘materi’ yang mereka gunakan dalam aksi sosial itu adalah uang hasil merampok negara. Ini senada dengan ‘teori dramaturgi’ ala sosiolog kondang abad ke-20 Erving Goffman. Yaitu sesuatu yang dipentaskan di atas panggung itu ghalibnya amat sangat bertolak belakang dengan kondisi di belakang panggung. Apa yang tampak dipermukaan dan ditonton oleh khalayak tak ubahnya sepenggal kisah drama atau sandiwara yang hilang begitu saja usai lakon dipentaskan. Karena itu, solidaritas sosial harus meliputi dua hal: 1 pembentukan jati diri atau kepribadian dan 2 pembentukan prilaku sosial. Keduanya harus berjalan selaras, serasi, dan seimbang. Sebaik apapun kepribadian seseorang jika ia tidak mampu mengaktualkan dalam kehidupan bermasyarakat, maka tidak masuk kategori solidaritas sosial. Begitu pula sebaliknya. Berarti, kualitas individu dan prilaku sosial seseorang harus integral dalam satu nafas kehidupan. Kalau begitu, bermoral sama dengan berjiwa solidaritas sosial. Kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan, bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik-buruk atau berakhlak baik. Prinsip ‘baik-buruk’ tentu tidak mungkin hanya 7 melingkupi diri seseorang secara individual, tapi cakupannya luas, antara individu dengan lingkungan. Berarti, kita dapat meraba apakah ‘si fulan’ itu bermoral atau tidak, yaitu dengan melihat kepribadiannya dan tindakan sosial di masyarakat bukan dengan cara sekadar melihat gaya berpakaiannya. Prinsip-prinsip solidaritas sosial yang mendasar dalam Islam adalah, pertama, ‘pemerataan harta’ untuk kepentingan sosial. Saking pentingnya, al- Quran menyebut harta dengan istilah ‘kebaikan’ khair. Apabila seseorang di antara kamu kedatangan maut, lalu meninggalkan ‘kebaikan’, maka diwajibkan atas kamu untuk berwasiat kepada orang tua dan para kerabat. QS. 2: 180. Pada ayat lain juga disebutkan, sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada ‘kebaikan’. QS. 100: 8. Makna kebaikan yang dimaksud dalam dua ayat tersebut tak lain adalah ‘harta’. Setidaknya ayat tersebut menyiratkan makna, bahwa harta akan bernilai jika: 1 diperoleh dari jalan yang baik dan 2 didermakan untuk kebaikan. Karenanya, Islam melarang keras penumpukan harta untuk memperkaya diri. Surat Al-Humazah ayat 1-4 mengajarkan kepada kita, bahwa orang yang gemar harta dan tidak punya jiwa peduli sosial adalah termasuk golongan orang-orang yang culas. Dengan melihat latar belakang masalah di atas, maka penulis untuk mengajukan judul “Peran Masjid Raya Cinere Dalam Meningkatkan Solidaritas Sosial Masyarakat Cinere, Limo-Depok”. 8

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah