Mahāsāropama Sutta: Khotbah Panjang tentang Perumpamaan Inti Kayu

29 Mahāsāropama Sutta: Khotbah Panjang tentang Perumpamaan Inti Kayu

[192] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di Gunung Puncak Nasar; tidak lama setelah Devadatta pergi. 346 Di sana, dengan

merujuk pada Devadatta, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, di sini seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya terpenuhi. Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku memiliki keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkenal, tidak berharga.’ Ia menjadi mabuk dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

466 · Mahāsāropama Sutta: Sutta 29 “Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti

kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya, kulit dalamnya, dan kulit luarnya, ia memotong ranting dan dedaunannya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan… [193] … ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa ranting dan dedaunan kehidupan suci dan berhenti di sana.

3. “Di sini, para bhikkhu, seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal-hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan keuntungan, kehormatan, dan

Khotbah panjang tentang Perumpamaan Inti Kayu · 467 kemasyhuran; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak

jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu dan tujuannya tercapai. Karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku adalah orang yang bermoral, berkarakter baik, tetapi para bhikkhu lain ini tidak bermoral, berkarakter buruk.’ Ia menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya, kayu lunaknya dan kulit dalamnya, ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kulit luarnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan… ia hidup dalam penderitaan. [194] Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kulit luar kehidupan suci dan berhenti di sana.

4. “Di sini, para bhikkhu, seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan

468 · Mahāsāropama Sutta: Sutta 29 kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan,

dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian moralitas itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu dan tujuannya terpenuhi. Dan karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku terkonsentrasi, pikiranku terpusat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak terkonsentrasi dan pikiran mereka mengembara.’ Ia menjadi mabuk dengan pencapaian konsentrasi itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya dan kayu lunaknya, ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kulit dalamnya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya tidak akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … ia hidup dalam penderitaan. [195] Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kulit dalam kehidupan suci dan berhenti di sana.

5. “Di sini, para bhikkhu, seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan

Khotbah panjang tentang Perumpamaan Inti Kayu · 469 merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan

kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia tidak senang akan pencapaian moralitas itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan pencapaian konsentrasi itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan. 347 Ia senang dengan pengetahuan dan penglihatan tersebut dan tujuannya terpenuhi. Karena hal itu ia memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain sebagai berikut: ‘Aku hidup dengan mengetahui dan melihat, tetapi para bhikkhu lain ini tidak mengetahui dan tidak melihat.’ Ia menjadi mabuk dengan pengetahuan dan penglihatan itu, mengembangkan kelengahan, jatuh dalam kelengahan, dan karena lengah, ia hidup dalam penderitaan.

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu. Dengan melewatkan inti kayunya ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini tidak mengenali inti kayu, … atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu .. ia memotong kayu lunaknya dan membawanya dengan berpikir bahwa itu adalah inti kayu.

470 · Mahāsāropama Sutta: Sutta 29 Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya

tidak akan terlaksana.’ [196] Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … ia hidup dalam penderitaan. Bhikkhu ini disebut seorang yang membawa kayu lunak kehidupan suci dan berhenti di sana.

6. “Di sini, para bhikkhu, seorang anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah, dengan merenungkan: ‘Aku adalah korban kelahiran, penuaan, dan kematian, korban dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; Aku adalah korban penderitaan, mangsa bagi penderitaan. Akhir dari keseluruhan kumpulan penderitaan ini pasti dapat diketahui.’ Ketika ia telah meninggalkan keduniawian demikian, ia memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran. Ia tidak senang dengan keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran itu, dan tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian moralitas. Ia senang akan pencapaian moralitas itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi … Karena rajin, ia mencapai pencapaian konsentrasi. Ia senang akan pencapaian konsentrasi itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Karena rajin, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan. Ia senang akan pengetahuan dan penglihatan itu, tetapi tujuannya belum terpenuhi. Ia tidak, karena hal itu, memuji dirinya sendiri dan mencela orang lain. Ia tidak menjadi mabuk dengan

penglihatan itu; ia tidak mengembangkan kelengahan dan tidak jatuh dalam kelengahan. Karena rajin, ia mencapai kebebasan terus-menerus. Dan adalah tidak mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari kebebasan terus-menerus itu. 348

pengetahuan

dan

“Misalkan seseorang yang memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti

Khotbah panjang tentang Perumpamaan Inti Kayu · 471 kayunya, ia akan membawanya dengan mengetahui bahwa itu

adalah inti kayu. Kemudian seseorang dengan penglihatan yang baik, melihatnya, akan berkata: ‘Orang ini mengenali inti kayu, kayu lunak, kulit dalam, kulit luar, atau ranting dan dedaunan. Demikianlah, sementara ia memerlukan inti kayu, mencari inti kayu, berkeliling mencari inti kayu, [197] ia sampai pada sebatang pohon besar yang memiliki inti kayu, dan dengan hanya memotong inti kayunya, ia membawanya dengan mengetahui bahwa itu adalah inti kayu. Apapun yang akan dilakukan olehnya dengan inti kayu, tujuannya akan terlaksana.’ Demikian pula, para bhikkhu, di sini beberapa anggota keluarga meninggalkan keduniawian karena keyakinan … Karena ia rajin, maka ia mencapai kebebasan terus-menerus. Dan adalah tidak mungkin bagi bhikkhu itu untuk terjatuh dari kebebasan terus-menerus itu.

7. “Demikian pula kehidupan suci ini, para bhikkhu, bukan memperoleh keuntungan, kehormatan, dan kemasyhuran sebagai manfaatnya, atau pencapaian moralitas sebagai manfaatnya, atau pencapaian konsentrasi sebagai manfaatnya, atau pengetahuan dan penglihatan sebagai manfaatnya. Melainkan kebebasan pikiran yang tak tergoyahkan yang merupakan tujuan kehidupan suci, inilah inti kayunya, dan inilah akhirnya.” 349

Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Para bhikkhu merasa puas dan gembira mendengar kata-kata Sang Bhagavā.

346 Setelah kegagalan usaha Devadatta dalam membunuh Sang Buddha dan merampas kekuasaan atas Sangha, ia berpisah dari Sang Buddha dan mencoba untuk membentuk sektenya sendiri dengan dirinya sebagai pemimpin. Baca Ñāṇamoli, The Life of the Buddha, hal.266-69.

347 “Pengetahuan dan penglihatan” (ñāṇadassana) di sini merujuk pada mata dewa (MA), kemampuan melihat bentuk-bentuk yang halus yang tidak terlihat oleh penglihatan normal.

348 Terjemahan ini mengikuti BBS dan SBJ, yang menuliskan asamayavimokkhaṁ

dalam

kalimat

sebelumnya dan

472 · Mahāsāropama Sutta: Sutta 29

asamayavimuttiyā dalam kalimat ini. Edisi PTS, yang mana Horner dan Ñm menggunakannya sebagai dasar terjemahan mereka, terbukti keliru dalam membaca samaya dalam dua kata majemuk dan ṭhānaṁ sebagai pengganti aṭṭhānaṁ. MA mengutip Paṭisambhidāmagga (ii.40) untuk definisi asamayavimokkha (secara literal, kebebasan bukan-sementara atau “terus-menerus”) sebagai empat jalan, empat buah, dan Nibbāna, dan samayavimokkha (kebebasan sementara) sebagai empat jhāna dan empat pencapaian tanpa bentuk., baca juga MN 122.4.

349 “Kembebasan pikiran yang tidak tergoyahkan” adalah buah Kearahatatan (MA). Demikianlah “kebebasan terus-menerus” – sebagai termasuk empat jalan dan buah – memiliki jangkauan makna yang lebih luas daripada “Kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan,” yang dinyatakan sebagai tujuan kehidupan suci.