Data dasar untuk Pembelajaran Berbasis Masalah
G.2. Data dasar untuk Pembelajaran Berbasis Masalah
Sebelum melakukan penelitian tindakan, penulis melakukan survei awal untuk mengetahui kondisi awal dan membuat kuesioner untuk 50 mahasiswa mengenai pembelajaran berbasis masalah.
Daftar Pertanyaan
Tidak Keterangan Apakah anda pernah membaca UU Sistem Pendidikan
Ya
98% Nasional no 20 tahun 2003 Apakah anda pernah mengetahui tentang pembelajaran
75% berbasis masalah ?
Apakah anda pernah diminta dosen untuk presentasi dan kerja 100% 0 Apakah anda pernah diminta dosen untuk presentasi dan kerja 100% 0
Pertanyaan pada seluruh 95% dosen DKV saat rapat awal fakultas menyatakan.
Daftar Pertanyaan
Keterangan Apakah anda pernah membaca UU Sistem
Ya
Tidak
Tetapi intinya Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003
kurang ditangkap.
Apakah anda pernah mengetahui tentang
Tetapi tidak pembelajaran berbasis masalah ?
Dilihat dari jawaban survei singkat, kebanyakan 100% dosen pernah mendengar nama pembelajaran berbasis masalah (PBM), tetapi tidak mengetahui pelaksanaannya dan 98% mahasiswa tidak pernah mendengar nama pembelajaran berbasis masalah. Istilah PBM belum begitu dikenal dan diketahui bagaimana pelaksanaannya di Untar (Universitas Tarumanagara tempat di mana penulis menjadi tenaga pengajar) kecuali di
jurusan kedokteran yang sudah mulai menggunakan metode PBM. Kebanyakan di Untar masih menggunakan pembelajaran yang berpusat pada guru (“teacher centered”). Metode yang lebih menekankan ceramah, drills jurusan kedokteran yang sudah mulai menggunakan metode PBM. Kebanyakan di Untar masih menggunakan pembelajaran yang berpusat pada guru (“teacher centered”). Metode yang lebih menekankan ceramah, drills
Kebanyakan dan hampir 95% staf pengajar seni rupa tidak pernah membaca UU Sisdiknas 2003. Lima prosen pernah membaca tetapi kurang memahami UU Sisdiknas 2003, sehingga pengembangan bakat mahasiswa belum bisa secara optimal dan masih terpaku pada penekanan kemampuan praktek mahasiswa.
Bila ditinjau dari informasi pendidikan pembelajaran pada mahasiswa DKV Untar sudah berjalan baik dengan nilai A pada akredetasi jurusan Desain Komunikasi Visual Untar. Begitu pula dengan nilai dari rata-rata mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual yang berjumlah 873 mahasiswa yang berkisar IPK < 1, 99 sekitar 2, 98%, IPK 2.00- 2,24 sekitar
2, 42%, IPK 2,25-2,49 sekitar 5,61%, IPK 2,5-2,74 sekitar 15,23% , IPK 2,75- 2,99 sekitar 27,72%, IPK 3,00 – 3,24 sekitar 24,63%, IPK 3, 25- 3,49 sekitar 17,18%, IPK > 3,5 19,62%. 159 Prestasi akademik sudah berjalan lancar, tetapi penulis pernah memberi tes tertulis untuk membaca foto atau semacam latihan kritik seni rupa (dalam hal ini kritik foto) maka nilai yang keluar sebagai berikut 22 orang tidak lulus atau nilai di bawah 56 (nilai D dan E), 24 orang nilai C, tidak ada mahasiswa mendapat nilai B dan nilai A. Tentu berbeda
158 Yusufhadi Miarso, op.cit p. 545
Informasi Data Akademik, Semester Ganjil 2008-2009, no 036/TH.19/2008-2009, Universitas Tarumanagara, Maret 209 Informasi Data Akademik, Semester Ganjil 2008-2009, no 036/TH.19/2008-2009, Universitas Tarumanagara, Maret 209
Tabel 11. Tabel perbandingan hasil Kritik foto vs praktek memotret
Praktek No
Praktek
Kritik Foto Memotret
No
Kritik Foto
Memotret
60037
49.5 65 60103
51.5 75
70153
51 68 60133
56.5 75
70154
57.5 80 60156
52.5 75
70155
49.5 65 70027
55.5 68
70159
51.5 68 70054
49.5 56
70160
60 68 70057
56 -
70161
54 - 70058
58.5 65
70162
50.5 78 70131
51 68
70163
61 75 70132
61 65
70164
61 68 70133
61 73
70165
59 71 70134
51.5 75
70166
45 65 70135
51.5 71
70167
48 68 70136
62.5 68
70168
50.5 75 70137
57 75
70169
61.5 - 70139
60 71
70171
54 - 70140
62 68
70173
47 80 70141
60 75
70175
59.5 55 70144
57 -
70177
56 75 70145
54 71
70178
56 80 70146
45 75
70179
48 65 70147
56.5 70
70180
57 65 70148
49.5 68
70189
58 - 70150
60 71
80111
55 - 70152
55 68
80127
62 68
70156
56 -
Metode pembelajaran yang sering digunakan selama ini di Untar perlu di perbaiki, mengingat calon mahasiswa Untar tidak sama dengan mahasiswa seni rupa di Belanda yang diseleksi dengan sangat ketat dan hanya mahasiswa yang sangat berbakat saja yang ada di jurusan seni murni. Ujian seleksi SMU untuk seni rupa di Belanda yang memakan waktu 28 jam pelajaran di bawah pengawasan guru seni rupa dari bulan januari sampai dengan april. Semua pekerjaan dan tugas, perkembangan pemelajar terekam dan diseleksi untuk pameran karya seni yang diberi nilai 160 . Bila dibandingkan dengan di Indonesia yang rata-rata SMU tidak begitu memperhatikan pelajaran kesenian, sehingga pembelajaran yang holistik dengan ketiga kompetensi lain dan ilmu lain sangat diperlukan bagi mahasiswa. Tidak cukup hanya dengan penekanan pada pembuatan karya saja. Saat mereka masuk ke Universitas boleh dibilang pengetahuan sejarah seni rupa dan keterampilannya kurang.
Maka perlu dirancang rancangan penelitian tindakan untuk pembelajaran yang berbasis masalah dan meningkatkan kemampuan kritik foto mahasiswa Untar. Dari hasil pra observasi peneliti dan kolaborator berdiskusi untuk menentukan materi rencana tindakan yang akan diberikan yaitu kritik foto antara lain 1) kemampuan membaca atau mengkritik foto dari
160 Andrea Karpati, “Detection and Development of Visual Talent”, Journal of Aesthetic
Education, Vol 31 no 4 Speciall Issue : Giftedness and Talent in the art 1997, pp 79-93.
berbagai jenis foto yang sesuai dengan tingkatan taksonomi afektif 2) kemampuan menjabarkan dalam deksripsi kata sesuai dengan perasaan dan pemikiran 3) kemampuan membedakan dan menganalisis kondisi saat foto dibuat 4) kemampuan menganalisis pendapat lain atau kritik foto orang lain.
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan dalam beberapa siklus sesuai dengan hasil refleksi masing-masing siklus. Apabila pada siklus pertama tidak menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar kritik foto secara signifikan maka direncanakan siklus kedua, demikian seterusnya. Setiap siklus ini merupakan aksi yang dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar kritik foto.
Pada masa pra observasi peneliti dan kolaborator menemukan rendahnya kemampuan kritik foto pada mahasiswa Untar. Tes awal dilakukan secara praktik dan teori yang penilainnya sebagai berikut.
1. Untuk pengenalan subject matter yang menurut Barrett (2006) 161 merupakan keterampilan mengenal dan mengidentifikasi orang,
objek, tempat atau kejadian dalam imaji fotografi.
2. Untuk pengenalan “Form” yang menurut Barrett (2006 162 ). “Bentuk” merupakan pernyataan deskripsi tentang bagaimana imaji fotografi dikomposisikan, diatur dan dikonstruk secara visual.
161 Terry Barrett.op.cit. pp 21-32 162 Ibid.pp 21-32
3. Untuk pengenalan media (“medium”) yang menurut Barrett (2006) merupakan keterampilan mengenal apa bahan untuk membuat objek seni dalam foto.
4. Untuk pengenalan gaya (style) yang menurut Barrett (2006) merupakan keterampilan mengenali kesamaan dari objek seni rupa dari seniman, pergerakan (movement), jangka waktu, atau lokasi geografi yang ditandai dengan karakteristik penanganan subject matter dan elemen formal.
5. Untuk pengenalan membandingkan dan membedakan yang menurut Barrett (2006) sebagai membandingkan dan mengkontraskan imaji foto pada fotografer yang sama atau dengan fotografer lainnya.
6. Untuk pengenalan makna dari foto. Yang menurut Barthes, 2000, 163 Sunardi 2002 164 dan Barrett, 2006 165 membuat makna dengan menginterpretasikan imaji. Barthes membuat makna dengan melihat denotasi dan konotasi dari suatu gambar. Yang menurut Barrett, pembagian ini dapat diterapkan pada semua jenis foto. Pesan denotasi menurut Barthes berarti menunjukkan bentuk sedangkan pesan konotasi memberikan makna lebih dari yang dilihat. Tambahan pula pesan linguistik membuat makna penting dari sebuah foto.
163 Roland Barthes., op.cit. pp1 -119 164 Roland Barther dikutip langsung oleh Sunardi,2002. op.cit. p 186 165 Terry Barrett., op.cit. p