TINJAUAN PUSTAKA
1. Kecap manis
Kecap manis merupakan produk olahan kedelai, yang teksturnya kental dan berwarna coklat kehitaman (Suprapti 2005). Komposisi kimia kecap manis dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi kimia kecap manis, kecap asin dan santan
Komponen | Kadar (%) | ||
Kecap manis | Kecap asin | Santan | |
Air | 29,61a | 63, 84a | 54,9c |
Protein kasar | 1,46a | 6,55a | 4,20b |
Lemak | 0,14a | 0,35a | 34,30b |
Abu | 7,64a | 18,48a | 1-1,3c |
Karbohidrat | 61,15a | 10,78a | 5,60b |
Garam (NaCl) | 6,27a | 18,43a | (tidak ada informasi) |
Sumber: aJudoamidjojo (1987) , bDirektorat Gizi (1967), c Woodroof (1979)
Kandungan gula dan viskositas yang tinggi dari produk ini disebabkan karena penambahan gula dalam proses pembuatannya. Komponen terbesar kecap manis adalah karbohidrat, terutama sukrosa, glukosa dan fruktosa (Kusumadewi, 2011). Kandungan gula kecap manis, yaitu 26-61%, lebih banyak dari kecap asin yang hanya 4-19% (Judoamidjojo 1987). Kandungan asam amino yang cukup tinggi dari kecap manis karena salah satu bahan yang digunakan untuk membuatnya adalah kedelai yang memiliki kandungan protein yang tinggi (Santoso 1994). Rincian jenis asam amino kecap manis dapat dilihat pada Tabel 4.
Dalam kecap manis, selain dari kedelai senyawa organik yang ada juga berasal dari gula merah. Senyawa organik dalam kecap manis adalah asam sitrat, tartarat, suksinat, laktat, format, piroglutamat, propionate dan butirat (Judoamidjojo et al 1985). Kecap yang bermutu tinggi berkadar garam 18%, gula minimal 40% dan pHnya berkisar antara 4,7-4,8 (Buckle et al 1988). Adapun persyaratan BSN untuk kecap manis (SNI 01-2543-1999) kadar garam minimal 3% dan total gula (dihitung sebagai sakarosa) minimal 40%.
Tabel 4. Kandungan asam amino kecap asin dan kecap manis (g/100g)
Asam amino | Kecap Asin | Kecap Manis |
Asam aspartat | 0.42 | 0.03 |
Treonin | 0.21 | 0.01 |
Serin | 0.29 | 0.01 |
Glutamat | 0.63 | 0.10 |
Prolin | 0.16 | 0.01 |
Glisin | 0.15 | 0.00 |
Alanin | 0.30 | 0.02 |
Valin | 0.30 | 0.02 |
Metionin | 0.08 | 0.00 |
Isoleusin | 0.29 | 0.02 |
Leusin | 0.41 | 0.02 |
Tirosin | 0.15 | 0.02 |
Fenilalanin | 0.24 | 0.02 |
Lisin | 0.27 | 0.01 |
Histidin | 0.09 | 0.00 |
Arginin | 0.27 | 0.00 |
Triptofan | 0.00 | 0.00 |
Sistein | 0.00 | 0.00 |
Sumber: Judoamidjojo et al (1985)
2. Kecap kedelai asin
Kecap kedelai asin atau yang biasa dikenal dengan nama kecap asin merupakan hasil fermentasi dari kedelai. Menurut definisi SNI 01-3543-994 kecap kedelai adalah produk cair yang diperoleh dari hasil fermentasi dan atau cara kimia (hidrolisis) kacang kedelai (Glycine max. L) dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Warna dari kecap asin adalah coklat gelap. Tetapi warna ini bergantung pada proses penuaan atau agingnya. Kecap asin mirip dengan kecap manis, hanya tanpa penambahan gula. Komposisi kimia dari kecap kedelai dapat dilihat dari Tabel 3 dan kandungan asam aminonya dapat dilihat pada Tabel 4.
3. Santan
Berdasarkan SNI 01-3816-1995, santan adalah produk cair yang diperoleh dengan menyaring daging buah kelapa (Cocos nucifera) dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Santan merupakan emulsi lemak dalam air (Kirk dan Otmer 1950) yang distabilisasi secara alamiah oleh protein (globulin dan albumin) dan fosfolipida (Tangsuphoom dan Coupland, 2008). Senyawa δ-C8-laktone, δ-C10-laktone, dan n-oktanol merupakan komponen volatil utama dan memberikan karakteristik aroma pada santan kelapa (Lin dan Wilkens 2006),
Adapun komposisi kimia santan dapat dilihat di Tabel 3. Tetapi komposisi kimianya masih bervariasi tergantung pada varietas lokasi tumbuh, cara budi daya, kematangan buah, dan metode ekstraksi seperti jumlah penambahan air dan suhu ekstraksi. Menurut Seow dan Gwee (1997), komposisi kimia santan kelapa yang diekstraksi dengan tanpa penambahan air terdiri atas protein 2.6-4.4%; lemak 32-40%; air 50-54%; dan abu 1-1.5%.
4. Bahan Acuan
Semua metode instrumental membutuhkan bahan acuan, sekalipun untuk metode yang mengukur analat yang empiris. Analat yang empiris adalah analat yang nilainya tidak seperti senyawa kimia yang stoikiometris yang bersifat tetap. Analat empiris merupakan hasil dari penerapan prosedur yang biasa digunakan untuk mengukurnya, contohnya untuk kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar karbohidrat (by difference) dan kadar serat (AOAC 2002).
Bahan acuan memainkan peranan penting untuk mengetahui akurasi dalam melakukan validasi. Bahan acuan disini dapat diartikan sebagai bahan atau zat yang memiliki sifat-sifat tertentu yang cukup homogen dan stabil, yang telah ditetapkan untuk dapat digunakan dalam pengukuran atau dalam pengujian suatu contoh. Bahan acuan dapat digunakan untuk mengontrol presisi pengukuran walaupun bahan acuan tersebut tidak memiliki nilai acuan (assigned value), sedangkan untuk kalibrasi atau untuk mengontrol kebenaran pengukuran hanya bahan acuan yang memiliki nilai acuan yang dapat digunakan (Dara 2010). Kalibrasi dan pengontrolan analisis sangat penting, karena menyangkut kehandalan hasil pengujian. Untuk pengambilan keputusan yang krusial diperlukan hasil pengujian yang dapat dipercaya (Nuryatini 2010). Bahan acuan ini dapat diperoleh dari berbagai produsen bahan acuan seperti Puslit Kimia LIPI yang telah mengembangkan beberapa bahan acuan (in-house reference materials) khususnya untuk pengujian dalam bidang lingkungan dan pangan (Dara 2010).
Bahan acuan dapat dibagi menjadi dua yaitu Certified Reference Material (CRM) dan Standard Reference Material (SRM). CRM dapat ditelusur hingga standard internasional dengan ketidakpastian yang telah diketahui dan oleh karena itu dapat digunakan untuk mengukur semua aspek bias (bias metode, bias antarlab, and intralab) secara bersamaan, dengan asumsi bahwa tidak ada ketidaksesuaian matriks. Perlu dipastikan bahwa nilai ketidakpastian yang dimiliki cukup kecil sehingga dapat mendeteksi bias pada kisaran tertentu. Tetapi jika nilainya tidak cukup kecil, penggunaan CRM masih dianjurkan, tetapi dengan disertai dengan pengujian tambahan. Jika diperlukan dan dapat dilakukan, sejumlah CRM yang sesuai dengan matriks dan konsentrasi analit sebaiknya diujikan (Thompson et al 2002).
SRM dapat digunakan jika tidak ada CRM. SRM adalah material yang telah dikarakterisasi dengan baik untuk tujuan validasi. Hal yang perlu diperhatikan adalah jika nilai bias tidak signifikan, hal ini bukan berarti merupakan bukti bahwa tidak adanya bias sama sekali. Akan tetap jika terdapat bias yang signifikan, hal ini menandakan perlunya investigasi lebih lanjut. SRM dapat berupa material yang telah dikarakterisasi oleh produsen CRM tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen mengenai nilai ketidakpastiannya atau material yang telah terkualifikasi oleh sebuah manufakturer; materials yang dikarakterisasi dalam lab sebagai reference material; dan material yang didistribusikan dalam proficiency test. Meskipun ketertelusuran dari material tersebut dipertanyakan, jauh lebih baik untuk menggunakan material tersebut dibandingkan tidak melakukan pengukuran terhadap bias sama sekali. Material dapat digunakan dengan cara yang sama seperti CRM, sekalipun tidak ada nilai ketidakpastian yang tercantum, seluruh pengujian yang signifikan bergantung seluruhnya pada presisi yang dapat diamati dari hasil (Thompson et al 2002).
III. METODOLOGI PENELITIAN
1. Bahan dan Alat
1. Bahan
Seluruh bahan kimia yang digunakan memiliki grade analitik. Asam sulfat terkonsentrasi (H2SO4 98%), reagen anthrone, KI, HCl 37%, Na2CO3, asam sitrat, standar glukosa, CH3COOH 100%, Na2S2O3.5H2O, heksana, HgO dan indikator pati berasal dari Merck, Jerman. Kalium dikromat (K2CrO7), Cu2SO4.5H2O, H3BO3, K2SO4 dan NaOH berasal dari CICA, Jepang. Standar amilosa (potato amylose) berasal dari Sigma-Aldrich. Es, indikator fenolftalein, kapas bebas lemak dan air distilasi. Sampel matriks pangan cair yang digunakan untuk penelitian perbandingan metode analisis yaitu kecap asin, kecap manis dan santan. Selain itu juga untuk verifikasi digunakan sampel berupa bahan acuan tepung kedelai dan tepung kacang hijau dari LIPI Kimia Bandung dan bahan acuan susu bubuk dari BBIA Bogor.
2. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah hot plate (Cimarec 3 Thermolyne USA), oven vakum (V0-7-3 Ogawa Seiki Japan), tanur (4800 Furnace Barnstead Thermolyne USA), waterbath (Type 1008, GFL Gesselschaft fur Labortechnik mbH D-30938 Burgwedel Germany), kertas saring, alat ekstraksi soxhlet (kondensor dan pemanas listrik), labu lemak, desikator berisi bahan pengering, batang pengaduk, tabung reaksi, tabung reaksi bertutup, gelas piala, labu takar, baskom plastik, sudip, batang pengaduk, pipet tetes, pipet ukur, pH meter (Orion model 210 A, Thermo Electron Corp. USA), erlenmeyer, neraca analitik (Precisa XT 220A, Swiss), bulb, vortex, spektrofotometer (UV Mini 1240, UV-Vis Spectrophotometer, Shimadzu Japan), stopwatch, buret (volume 25 mL), cawan porselen, cawan alumunium dan labu Kjeldahl.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini memiliki tiga tahapan yaitu tahap penentuan matriks sampel, tahap perbandingan metode dan tahap validasi atau verifikasi metode. Bagan alir dari tahapan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2
Gambar 2. Tahapan penelitian validasi metode analisis karbohidrat
Tidak berbeda nyata Berbeda nyata
Validasi metode Anthrone sulfat Verifikasi metode SNI 01-2891-1992
3.2.1. Penentuan matriks sampel
Penentuan matriks sampel dilakukan untuk mendapatkan sampel yang mewakili segitiga pangan. Selain itu juga digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai komponen lain yang terdapat pada sampel yang akan digunakan.
3.2.1.1. Pemilihan sampel untuk uji validasi berdasarkan studi literatur
Studi literatur dilakukan untuk memetakan beberapa sampel berdasarkan ke dalam skema segitiga matriks pangan. Dari hasil pemetaan akan dipilih sampel yang dapat mewakili matriks dengan kadar karbohidrat rendah, sedang dan tinggi.
3.2.1.2. Analisis proksimat
Hasil pemilihan sampel berdasarkan literatur dikonfirmasi komposisinya dengan analisis proksimat. Selain untuk konfirmasi, analisis proksimat juga berfungsi untuk identifikasi komponen yang ada dalam sampel. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar lemak, kadar abu, kadar protein dan kadar karbohidrat menggunakan metode dari SNI 01-2891-1992 (Cara Uji Makanan dan Minuman).
2. Perbandingan metode
Perbandingan metode dilakukan untuk mengevaluasi sejauh mana kedua metode yang diperbandingkan menghasilkan kesesuaian nilai. Hasil dari perbandingan metode dapat digunakan untuk melihat apakah metode yang baru (metode kandidat) dapat menggantikan metode yang digunakan sebelumnya.
Sebanyak tiga kali ulangan dilakukan menggunakan metode kandidat dan metode SNI 01-2891-1992 pada tiga matriks yang telah ditentukan. Setelah itu hasil dari metode kandidat dan metode SNI 01-2891-1992 dibandingkan dan disesuaikan dengan data analisis proksimat. Perbandingannya meliputi uji varian (uji F), independent student t-test dan korelasi kedua metode dengan regresi linear. Jika hasil analisis metode kandidat tidak berbeda nyata dengan hasil analisis metode SNI 01-2891-1992 serta sesuai dengan hasil uji proksimat, maka akan dilakukan validasi metode kandidat. Jika hasil yang didapatkan berbeda jauh, maka akan dilakukan verifikasi pada metode SNI 01-2891-1992. .
2. Validasi metode Anthrone sulfat
Validasi dilakukan pada matriks sampel yang terpilih yaitu sampel yang mewakili kadar karbohidrat rendah, kadar karbohidrat sedang dan kadar karbohidrat tinggi. Beberapa sampel pada matriks karbohidrat rendah, sedang dan tinggi diukur kadar karbohidratnya untuk mengetahui tingkat validitas dari metode Anthrone sulfat. Penentuan tingkat validasi ini meliputi:
1. Ripitabilitas
Ripitabilitas merupakan salah satu aspek presisi yang menggambarkan keseragaman nilai yang diperoleh dari rangkaian pengukuran berulang terhadap analat dengan menggunakan prosedur analisis yang sama (Leyva et al 2008). Sebanyak 7 kali ulangan dengan prosedur yang sama, hari yang sama dan analis yang sama dilakukan pada sampel kemudian dihitung RSDnya. Besarnya RSD dalam satuan % menunjukkan ripitabilitas. Keberterimaan RSD analisi ditentukan sebesar 2/3 RSD Horwitz (Garfield 2000) atau 1/2 sampai 2 kali RSD AOAC (AOAC 2002).
2. Akurasi
Akurasi dilaksanakan dengan mengggunakan bahan acuan tepung kedelai dan tepung kacang hijau dari LIPI Kimia Bandung dan bahan acuan susu bubuk dari BBIA Bogor. Selain itu uji rekoveri juga dilakukan.
Tujuan uji rekoveri adalah memeriksa adanya interferensi kompetitif dan efek dari matriks sampel (Koch dan Peter 1999; Cembrowski dan Sullivan 1992). Uji rekoveri dilakukan dengan menggunakan sampel yang dispike (ditambahkan) standard glukosa. Percobaan spiking dilakukan sebanyak tujuh ulangan pada sampel bahan acuan. Sebelumnya juga dilakukan uji terhadap sampel yang tidak dispiking. Akurasi dilihat dari nilai rekoveri yang diperoleh. Recovery dihitung dengan rumus:
3. Linieritas
Linieritas dari metode analitis yang menggambarkan kemampuan suatu metode untuk hasil analisis yang proporsional dengan konsentrasi analat pada sampel dalam range tertentu baik secara langsung maupun melalui transformasi matematik (Leyva et al 2008). Untuk mengetahui linieritas metode, sebanyak tujuh kali ulangan dilakukan pada standar glukosa dengan 6-8 konsentrasi. Kemudian tiap kali ulangan dihitung rataan, SD1 dan RSD1. Selain itu tiap ulangan diplotkan persamaan garis dari kurva kalibrasi dan dihitung koefisien korelasinya (r2). Selanjutnya ditabulasikan nilai y yang baru berdasarkan persamaan garis yang ada. Dari nilai y yang baru dihitung rataan, standar deviasinya (yang kemudian disebut SD2) dan RSDnya. Uji F digunakan untuk mengetahui apakah ada perbedaan signifikan pada variansi kurva pada tiap kelompok konsentrasi.
2. Verifikasi metode SNI 01-2891-1992
Verifikasi dilakukan dengan mengukur kadar karbohidrat beberapa sampel yang telah diketahui nilainya yaitu bahan acuan (reference material). Verifikasi ini meliputi atribut presisi (ripitabilitas) dan akurasi (dengan bahan acuan uji rekoveri).
1. Ripitabilitas
Ripitabilitas merupakan salah satu aspek presisi yang menggambarkan keseragaman nilai yang diperoleh dari rangkaian pengukuran berulang terhadap analat dengan menggunakan prosedur analisis yang sama (Leyva et al 2008). Sebanyak 7 kali ulangan dengan prosedur yang sama, hari yang sama dan analis yang sama dilakukan pada sampel kemudian dihitung RSDnya. Besarnya RSD dalam satuan % menunjukkan ripitabilitas. Keberterimaan RSD analisi ditentukan sebesar 2/3 RSD Horwitz (Garfield 2000) atau 1/2 sampai 2 kali RSD AOAC (AOAC 2002).
2. Akurasi
Akurasi dilaksanakan dengan mengggunakan bahan acuan tepung kedelai dan tepung kacang hijau dari LIPI Kimia Bandung dan bahan acuan susu bubuk dari BBIA Bogor. Selain itu uji rekoveri juga dilakukan. Tujuan uji rekoveri adalah memeriksa adanya interferensi kompetitif dan efek dari matriks sampel (Koch dan Peter 1999; Cembrowski dan Sullivan 1992). Uji rekoveri dilakukan dengan menggunakan sampel yang dispike standard glukosa. Spiking dilakukan sebanyak tujuh ulangan pada sampel bahan acuan. Sebelumnya juga dilakukan uji terhadap sampel yang tidak dispiking. Akurasi dilihat dari nilai rekoveri yang diperoleh. Recovery dihitung dengan rumus:
IIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pemilihan Matriks Sampel
Matriks pangan sangat mempengaruhi performa suatu metode, terutama komponen mayor seperti protein, karbohidrat, dan lemak, oleh karena itu beberapa sampel pangan cair dari hasil studi literatur dipilih berdasarkan tiga kriteria karbohidratnya yaitu mewakili matriks sampel dengan kadar karbohidrat rendah, sedang dan tinggi menurut skema segitiga yang disusun oleh AOAC International seperti pada Gambar 1. Penempatan sampel menurut studi literatur dapat dilihat pada Gambar 3. Sampel kecap manis dimasukkan pada kelompok pangan dengan karbohidrat tinggi, sampel kecap asin dimasukkan pada kelompok pangan dengan karbohidrat sedang, lemak rendah dan protein sedang serta santan dimasukkan pada kelompok pangan dengan karbohidrat rendah, protein rendah dan lemak tinggi. Kemudian dilakukan analisis proksimat dengan menggunakan metode SNI 01-2891-1992 untuk mengofirmasi komposisi dan identitasnya. Hasil analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis proksimat sesuai dengan penempatan yang dilakukan berdasarkan studi literatur.
Gambar 3 Hasil penempatan sampel matriks berdasarkan studi literatur
Tabel 5. Komposisi proksimat matriks sampel cair yang terpilih untuk uji perbandingan metode analisis total karbohidrat (N=2)
No | Sampel | Kadar Air (g/100g) | Kadar Abu (g/100g) | Kadar Protein (g/100g) | Kadar Lemak (g/100g) | Kadar Karbohidrat by difference (g/100g) | | |||||
1 | Kecap Manis | 27.92 | 5.37 | 1.45 | 0.30 | 64.96 | | |||||
2 | Kecap Asin | 72.50 | 19.01 | 4.78 | 0.06 | 3.65 | | |||||
3 | Santan | 53.15 | 0.52 | 3.55 | 41.78 | 1.00 | |
2. Perbandingan metode
Hasil analisis total karbohidrat dengan menggunakan metode Luff-Schoorl dan metode Anthrone sulfat pada tiga matriks sampel pangan cair (kecap manis, kecap asin dan santan), yang mewakili skema segitiga matriks pangan, diuji statistik dengan SPSS 17.0 dengan menggunakan uji F menunjukkan bahwa varian kedua metode tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95% untuk sampel kecap asin, kecap manis, dan santan. Hasil uji F dapat dilihat pada Lampiran 2. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam segi presisi dari metode Luff-Schoorl dengan metode Anthrone sulfat untuk sampel kecap manis dan kecap asin dan santan.
Uji lanjut dilakukan dengan menggunakan independent student t-test, seperti yang terlihat pada Tabel 6. Perbedaan signifikan pada hasil analisis sampel kecap manis, kecap asin dan santan dengan metode Luff-Schoorl dan metode Anthrone sulfat terlihat pada tingkat kepercayaan 95%. Secara spesifik, hasil ini menunjukkan bahwa hasil analisis total karbohidrat dengan metode Luff-Schoorl berbeda nyata dengan hasil analisis total karbohidrat dengan metode Anthrone sulfat pada ketiga matriks sampel yang digunakan.
Tabel 6. Perbandingan metode Anthrone sulfat dan Luff-Schoorl untuk analisis karbohidrat total pada 3 matriks sampel pangan cair (N=3)
Sampel | Metode | Rataan (g/100g) | SD | RSDa | RSD H | Tobs | P value |
Kecap Manis | Luff-Schoorl | 38.71 | 0.69 | 1.77 | 2.30 | 11.785 | 0.000* |
Anthrone sulfat | 46.81 | 0.97 | 2.08 | 2.24 | |||
Kecap Asin | Luff-Schoorl | 2.21 | 0.05 | 3.31 | 3.74 | -22.136 | 0.000* |
Anthrone sulfat | 1.51 | 0.02 | 1.05 | 3.76 | |||
Santan | Luff-Schoorl | 1.08 | 0.04 | 3.36 | 3.95 | 13.000 | 0.000* |
Anthrone sulfat | 1.75 | 0.00 | 0.09 | 3.68 |
*berbeda nyata
Berdasarkan uji F dan uji t pada hasil analisis total karbohidrat dengan menggunakan metode Luff-Schoorl dan metode Anthrone sulfat terlihat adanya bias. Varian kedua metode tidak berbeda signifikan sedangkan hasil analisis kedua metode menunjukkan adanya perbedaan signifikan. Oleh karena itu, dilakukan uji korelasi dengan regresi linear untuk mengestimasi kesalahan sistematis (systematic error) diantara kedua metode.
Tepung beras Kecap manis Sarden Kecap asin Santan Susu bubuk
Gambar 4. Perbandingan hasil analisis karbohidrat total pada tiga matriks sampel pangan cair ditambah dengan tiga matriks sampel pangan padat (N=18) dengan metode SNI (Luff-Schoorl) dan metode Anthrone sulfat
Perbandingan antara kedua metode dilakukan dengan menggunakan suplemen data dari penelitian Novitri (2011). Hasil regresi linier dapat dilihat pada Gambar 4; dengan koefisien korelasi (r2) dari kurva regresi (y=1.1873x-1.6264) menunjukkan nilai yang memuaskan yaitu 0.9797 (n=18). Nilai ini menunjukkan bahwa range konsentrasi yang digunakan memadai untuk analisis regresi sederhana, tetapi nilai ini tidak digunakan untuk menentukan apakah suatu metode akurat, relatif terhadap metode baku (Walton 2001; Westgard 1998), yang dalam hal ini adalah Luff Schoorl. Slope kurva regresi (1.1873) memperlihatkan bahwa kurva sedikit lebih curam dibandingkan kurva regresi yang ideal yaitu 1:1. Hal ini menunjukkan adanya proportional systematic error diantara metode yang digunakan (Walton 2001) dan terlihat bahwa metode Anthrone sulfat sedikit lebih sensitif dibandingkan metode Luff-Schoorl. Dari intercept kurva regresi (-1.6264) kita dapat melihat bahwa metode Anthrone menghasilkan nilai analisis 1.63% lebih rendah dibanding metode Luff-Schoorl pada sampel dengan nilai karbohidrat terendah (intercept 1.6264 pada nilai total karbohidrat metode Anthrone= 0). Nilai ini juga menunjukkan estimated constant error diantara kedua metode (Walton 2001). Dari penjelasan ini menunjukkan bahwa, meskipun korelasi cukup baik, terdapat mutual bias diantara kedua metode. Tetapi karena konsentrasi dari populasi sampel kurang mewakili seluruh populasi matriks pangan secara umum, kesimpulan regresi linear pada perbandingan metode ini belum dapat dijadikan landasan yang kokoh. Regresi ini hanya memberikan gambaran sepintas dari populasi yang diujikan yaitu kecap manis, kecap asin, santan, sarden, susu bubuk dan tepung beras.
Hasil analisis menggunakan uji F, independent student t-test dan regresi linear sederhana tehadap perbandingan hasil analisis menggunakan metode Luff-Schoorl dan metode Anthrone sulfat pada tiga sampel matriks pangan cair, menunjukkan bahwa dengan presisi yang tidak berbeda nyata, nilai hasil yang didapat oleh kedua metode berbeda nyata. Oleh karena itu penyebab bias dari kedua metode dianalisis.
Bias dapat juga karena pengaruh interferensi dari komponen yang ada pada matriks dari sampel yang dianalisis. Bisa jadi suatu komponen dapat menginterferensi analisis pada suatu metode tapi tidak menganggu metode yang lain. Adanya interferensi dapat menyebabkan nilai yang terukur berbeda dari nilai sebenarnya. Tabel 7 menunjukkan nilai kadar karbohidrat dengan menggunakan metode by difference, SNI 01-2891-1992 dan metode kandidat. Perlu ditegaskan lagi bahwa nilai analisis metode by difference dapat mengandung akumulasi kesalahan, oleh karena itu nilai yang ada hanya dijadikan perbandingan.
Tabel 7. Karbohidrat total dari tiga sampel matriks pangan cair dengan beberapa metode
Sampel | Kadar karbohidrat (g/100g) | |||||
by difference | Luff-Schoorl | Anthrone sulfat | ||||
Kecap manis | 64.96 | 38.71 | 46.81 | | ||
Kecap asin | 3.65 | 1.57 | 1.51 | | ||
Santan | 1 | 1.08 | 1.75 | |
Dilihat dari Tabel 7 pada sampel kecap manis dan kecap asin, hasil metode pengukuran karbohidrat secara langsung yaitu baik Luff-Schoorl maupun metode Anthrone sulfat, nilainya lebih kecil dibandingkan metode by difference. Metode by difference dapat memiliki kesalahan positif karena metode ini tidak dapat membedakan komponen non karbohidrat seperti asam organik, tanin dan lignin. Baik kecap asin dan kecap manis merupakan produk hasil fermentasi oleh kapang, oleh karena itu produk samping hasil metabolit, seperti asam organik, dapat terkandung dalam kecap manis dan kecap asin.
Hal lain yang dapat menyebabkan lebih rendahnya nilai pengukuran karbohidrat secara langsung dibandingkan dengan metode by difference adalah tahap hidrolisis karbohidrat yang digunakan pada metode pengukuran karbohidrat secara langsung. Hidrolisis yang digunakan menggunakan asam kuat encer yaitu HCl 3% dan pemanasan pada ±99oC selama 3 jam untuk menghidrolisis sampel keseluruhan. Hidrolisis asam sampel seperti ini memiliki kelemahan dan dapat menjadi tidak akurat bahkan dapat menghasilkan nilai yang keliru karena pada kondisi yang dibutuhkan untuk dapat memecah pati dan dekstrin dapat menyebabkan destruksi dari fruktosa (Loomys dan Shull 1937); atau gula-gula lain (Shriner 1932). Glukosa juga terdegradasi perlahan jika dipanaskan dengan asam, laju destruksi ini dipercepat oleh asam sulfat dan jauh lebih cepat dengan HCl (Whelan dan Pirt 2006) sedangkan HCl digunakan pada tahap hidrolisis sampel. Jadi hal ini juga dapat menyebabkan nilai analisis dengan metode by difference nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan metode Anthrone sulfat maupun metode Luff-Schoorl pada sampel kecap asin.
Adapun nilai analisis sampel santan baik metode by difference dan Luff-Schoorl menunjukkan nilai yang hampir mirip dan metode Anthrone sedikit lebih besar dibandingkan metode by difference maupun Luff-Schoorl. Hal ini dapat disebabkan karena kandungan gula sederhana (terutama dalam bentuk glukosa dan fruktosa) yang ada pada santan tidak sebanyak pada kecap manis maupun kecap asin, sehingga pengaruh degradasi gula sederhana pada tahap hidrolisis asam tidak terlalu terlihat. Selain itu komponen non karbohidrat yang dapat terhitung sebagai karbohidrat oleh metode by difference, seperti asam organik, tidak terlalu banyak terdapat pada sampel santan yang digunakan.
Kita tidak dapat menjadikan metode by difference sebagai patokan karena metode ini tidak lepas dari banyak bias, tetapi adanya perbedaan nilai dari metode yang digunakan menunjukkan bahwa ada kemungkinan nilai yang didapat baik oleh metode Anthrone sulfat maupun metode Luff-Schoorl terutama untuk sampel kecap asin dan kecap manis bukanlah nilai kadar total karbohidrat karena kemungkinan keberadaan serat kasar seperti selulosa juga tidak dapat dihidrolisis dengan asam kuat encer saja (Southgate 1976) dan tidak dapat dikatakan sebagai nilai total available karbohidrat juga karena sulit untuk memisahkan fraksi pati dari karbohidrat struktural (Loomys dan Shull 1937). Nilai yang didapat lebih cocok jika disebut sebagai nilai total karbohidrat yang dapat terhidrolisis oleh asam (Weinmann 1946).
Pengaruh faktor konversi yang digunakan juga dapat berdampak pada perbedaan nilai yang didapat antara metode kandidat, Luff-Schoorl dan metode by difference. Tanpa melihat jenis karbohidrat yang banyak terkandung pada matriks, faktor konversi 0.9 diterapkan untuk semua matriks. Adapun dalam perbandingan metode ini pengaruh komponen lain seperti lemak dan protein belum dapat disimpulkan dalam percobaan ini.
Perbedaan nilai yang terlihat pada metode Luff-Schoorl dengan metode Anthrone seperti yang terlihat pada Tabel 7 dapat disebabkan karena metode Luff-Schoorl hanya mengidentifikasi gula pereduksi saja, kompleks karbohidrat yang ada belum tentu dihidrolisis sempurna seluruhnya menjadi gula pereduksi. Hal ini menyebabkan hasil analisis dari metode Anthrone sulfat menunjukkan nilai yang lebih besar pada sampel kecap manis dan santan. Selain itu juga, nilai yang lebih besar dari metode Anthrone sulfat dapat juga terkait dengan penguatan warna oleh ion Cl (Fales et al 1961, Jermyn 1975). Sedangkan untuk kecap asin, metode Luff-Schoorl menunjukkan nilai yang sedikit lebih besar dibandingkan metode Anthrone sulfat (selisih rataan 0.06%). Ada juga kemungkinan interferensi komponen pereduksi yang bukan gula yang menyebabkan kesalahan positif pada metode Luff Schoorl, tetapi pada sampel kecap asin, kemungkinan adanya interferensi itu kecil.
Tiap metode memang memiliki keterbatasan. Metode Anthrone sulfat rentan terhadap interferensi non spesifik (Faulks dan Timms 1985) salah satunya keberadaan ion halida (Fales et al 1961) terutama ion Cl yang berasal dari tahap hidrolisis dengan HCl. Intensitas warna yang dihasilkan oleh reaksi Anthrone juga berbeda-beda untuk gula yang berbeda (Yemm dan Willis 1954). Selain itu reaksi senyawa Anthrone cenderung lebih baik untuk senyawa heksosa dan reaksi dengan pentose kurang menghasilkan warna yang stabil (Koehler 1952; Southgate 1976).
Penggantian suatu metode dengan metode lain dapat dilakukan jika kedua metode memiliki kesesuaian hasil yang dapat diterima. Meski presisi kedua metode tidak berbeda nyata berdasarkan uji F, uji T yang dilakukan menunjukkan metode Anthrone sulfat dan metode Luff-Schoorl menghasilkan nilai yang berbeda nyata pada aplikasinya untuk sampel kecap manis, kecap asin dan santan yang mewakili matriks pangan cair. Karena kedua metode berbeda nyata dan tidak ada acuan bahwa metode Anthrone sulfat memiliki nilai yang lebih akurat dibanding metode yang telah baku (Luff-Schoorl dalam SNI 01-2891-1992), maka metode Anthrone sulfat dianggap tidak dapat menggantikan metode Luff-Schoorl, sehingga tahap selanjutnya yang dilakukan adalah verifikasi metode Luff-Schoorl yang telah baku. Selain karena metode Anthrone pada tahap yang telah dilakukan dianggap tidak dapat menggantikan metode Luff-Schoorl, keputusan untuk melakukan verifikasi ini diambil karena metode Luff-Schoorl merupakan metode yang telah baku (ditetapkan dalam SNI 01-2891-1992).
Penggunaan metode yang baku yang telah disepakati berdasarkan konsensus merupakan hal yang penting untuk menjamin bahwa hasil yang diperoleh sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah (Nielsen, 2010) dan dapat diterima sehingga dapat memenuhi permintaan dalam label pangan. Hasil perbandingan metode yang menunjukkan bahwa nilai yang didapat antara metode baku (Luff-Schoorl) dan metode kandidat (Anthrone) tidak menunjukkan kesesuaian (nilai berbeda nyata menurut uji statistik). Jika lab tetap memutuskan untuk menggunakan metode Anthrone, maka hasil yang diperoleh dapat bertentangan dengan hasil yang diperoleh lab lain untuk sampel yang sama sehingga kemungkinan hasil analisis tidak diakui atau diterima. Selain itu karena analis pangan terikat dengan prosedur analisis yang telah ditetapkan oleh peraturan dan menjadi kesepakatan di antara para analis, maka tidak dilanjutkan tahap validasi metode Anthrone dan dilakukan verifikasi terhadap metode baku yaitu Luff-Schoorl.
3. Verifikasi metode SNI 01-2891-1992
Tingkat validasi tergantung status dari suatu metode pada struktur analitik (AOAC 2002), yang dimaksud disini adalah validasi seperti apakah yang harus diterapkan pada suatu metode tergantung status metode itu sendiri. Metode yang telah baku hanya memerlukan verifikasi dari kemampuan suatu laboratorium untuk mencapai karakteristik performa yang ditetapkan, sedangkan di sisi lain untuk metode yang masih baru atau aplikasi suatu metode pada matriks yang baru memerlukan validasi (AOAC 2002). Karena metode Luff-Schoorl dalam SNI 01-2891-1992 sudah baku maka hanya dilakukan verifikasi.
Verifikasi dilakukan dengan bahan acuan pengendalian mutu hasil analisis (quality control reference material). Karena adanya kesulitan dalam mendapatkan bahan acuan, maka bahan acuan dipilih berdasarkan bahan acuan yang tersedia dan dapat diperoleh yaitu tepung kacang hijau dan tepung kedelai dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kimia Bandung serta susu bubuk dari Balai Besar Industri Agro (BBIA) di Bogor. Kadar karbohidrat yang ada pada bahan acuan kacang hijau berdasarkan nilai konsensus dari 8 lab dan kadar karbohidrat yang ada pada bahan acuan kedelai berdasarkan nilai konsensus dari 6 lab dengan menggunakan uji Luff-Schoorl. Untuk sampel susu bubuk, karena masih dalam tahap percobaan, maka nilai yang dicantumkan pada sampel susu bubuk bukanlah nilai konsensus dari beberapa lab seperti yang dicantumkan pada sampel tepung kacang hijau dan tepung kedelai, melainkan nilai yang didapat oleh satu lab saja (Lab Jasa Analisis Pangan (LDITP) IPB). Informasi bahan acuan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Komposisi proksimat bahan acuan yang digunakan dalam verifikasi metode karbohidrat total SNI 01-2891-1992
Parameter | Kedelaia | Kacang hijaua | Susu bubukb | ||||
Nilai g/100g | |||||||
rata-rata | Rentang | rata-rata | Rentang | rata-rata | Rentang | ||
Air | 7.24 | 6.60-7.87 | 9.49 | 8.66-10.31 | 3.14 | 3.14-3.15 | |
Abu | 4.73 | 4.53-4.93 | 3.07 | 2.89-3.25 | 4.48 | 4.47-4.50 | |
Protein | 33.26 | 31.24-35.28 | 23.49 | 21.69-25.28 | 14.48 | 14.46-14.50 | |
Karbohidrat | 16.64 | 14.02-19.26 | 53.61 | 49.26-57.96 | 59.64 | 59.61-59.67 | |
Lemak | 21.07 | 20.22-21.91 | NA | NA | 18.25 | 18.24-18.26 |
aberdasarkan nilai yang tercantum pada bahan acuan LIPI Kimia
bberdasarkan hasil analisis proksimat Lab Kimia LD-ITP
Bahan acuan yang dipakai jika dimasukkan ke dalam matriks segitiga pangan akan terbagi menjadi dua kelas matriks dalam segitiga pangan. Kedelai masuk ke dalam kelas dengan kadar karbohidrat rendah, lemak rendah dan protein sedang (yang ditandai dengan nomor 8 pada matriks segitiga pangan di Gambar 1). Sedangkan kacang hijau dan susu bubuk akan masuk ke dalam kelas protein rendah, lemak rendah dan karbohidrat sedang (yang ditandai dengan nomor 6 pada matriks segitiga pangan di Gambar 1). Sebelumnya pada perbandingan metode digunakan sampel yang mewakili tiga kelas matriks dalam segitiga pangan (Gambar 3). Sehingga kalau dijumlah sampel dan bahan acuan yang digunakan telah mewakili 5 dari 9 matriks segitiga pangan yang ada.
1. Verifikasi metode SNI 01-2891-1992 terhadap aspek presisi
Walton (2001) merekomendasikan evaluasi terhadap presisi sebagai langkah pertama dalam validasi metode. Jika presisi metode sudah tidak baik, maka sulit untuk mendapatkan hasil yang dapat dipercaya. Salah satu aspek yang umum digunakan dalam verifikasi adalah ripitabilitas (Mullins 2003). Tetapi dalam pengujian presisi metode untuk validasi satu lab (single laboratory validation) dapat berupa ripitabilitas dan reprodusibilitas intralab.
1. Ripitabilitas
Ripitabilitas memungkinkan variasi terkecil dapat ditemukan pada sebuah analisis (Jelita 2011). Ripitabilitas dapat dilihat dari nilai RSD. Nilai RSD dan RSDR(Horwitz) analisis total karbohidrat dengan menggunakan metode SNI 01-2891-1992 ditunjukkan pada Tabel 9 untuk analisis beberapa bahan acuan, Tabel 10 untuk uji rekoveri dengan spike glukosa.
Tabel 9. Ripitabilitas metode karbohidrat SNI 01-2891-1992 pada berbagai bahan acuan (N=7)
Bahan acuan | Hasil analisis (g/100g) | RSD analisis (%) | 2/3 RSDH (%) | 2xRSD AOAC (%) | ||
Rataan | Range | SD | ||||
Susu Bubuk | 45.72 | 45.11-46.08 | 0.43 | 0.93 | 1.50 | 2.25 |
Kacang kedelai | 15.90 | 15.19-16.50 | 0.41 | 2.58 | 1.76 | 2.64 |
Kacang hijau | 55.66 | 55.45-56.16 | 0.28 | 0.51 | 1.45 | 2.18 |
Tabel 10. Ripitabilitas metode karbohidrat SNI 01-2891-1992 pada berbagai bahan acuan dengan penambahan kadar glukosa (N=7)
Bahan acuan | Hasil analisis yang terbaca (g/100g) | RSD analisis (%) | 2/3 RSDH (%)a | 2x RSD AOAC (%)b | ||
Rataan | Range | SD | ||||
Susu Bubuk | 47.65 | 47.37-48.55 | 0.43 | 0.91 | 1.49 | 2.24 |
Kedelai | 23.44 | 22.98-24.05 | 0.42 | 1.80 | 1.66 | 2.49 |
Kacang hijau | 58.50 | 58.37-58.66 | 0.12 | 0.22 | 1.47 | 2.17 |
aGarfield (2000)
bAOAC (2002)
Koefisien variasi atau relatif standard deviasi yang diperoleh berkisar antara 0,51-2,58% untuk sampel bahan acuan (n=7) dan 0,22-1,80% untuk sampel bahan acuan yang mengalami penambahan kadar glukosa (n=7). Nilai ini menunjukkan variasi yang kecil dalam ulangan yang dilakukan pada tiap bahan acuan. Garfield (2000) mengatakan bahwa ripitabilitas dikatakan baik jika memiliki nilai RSD yang lebih kecil dari 2/3 RSDR yang dihitung dari rumus Horwitz. Tetapi AOAC (2002) mengatakan bahwa nilai yang dapat diterima untuk ripitabilitas adalah antara 0.5 sampai 2 kali dari nilai yang terhitung berdasarkan rumus atau di Tabel 2. Bahkan nilai RSD di bawah 5% dapat diterima, meskipun terkadang batas itu tergantung tipe dari analisis (Smith 2010).
Hasil analisis yang didapat pada bahan acuan susu bubuk dan kacang hijau menunjukkan nilai yang didapat kurang dari 2/3 RSDR yang dihitung dari rumus Horwitz, kecuali pada analisis bahan acuan tepung kedelai. Nilainya masih lebih kecil dari RSDR Horwitz tetapi lebih besar dari 2/3 RSDR Horwitz. Tetapi jika kita mengikuti acuan AOAC (2002) nilai ini masih dalam range yang dapat diterima. Begitupula jika mengikuti acuan Smith (2010), yaitu RSD masih di bawah 5%.
Nilai RSD kedelai cenderung lebih besar dibanding kacang hijau dan susu bubuk baik pada bahan acuan dengan penambahan glukosa maupun bahan acuan tanpa penambahan glukosa. Hal ini dapat disebabkan oleh konsentrasi karbohidrat pada kedelai yang lebih kecil dibandingkan susu bubuk dan kacang hijau. Akan tetapi jika dilihat dari nilai standard deviasi(SD)nya sendiri, kedelai memiliki SD yang hampir sama bahkan cenderung lebih kecil dibandingkan susu bubuk. Hal ini mengindikasikan bahwa konsentrasi karbohidrat yang lebih kecil (hingga pada range lebih dari ±15,90 gram karbohidrat setara glukosa/100 gram sampel) bukan berarti menyebabkan keterulangan yang lebih buruk dibandingkan konsentrasi karbohidrat yang lebih tinggi. Adanya kecenderungan bahwa nilai SD susu bubuk> kedelai>kacang hijau perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui komponen apa dari tiap bahan acuan yang mungkin dapat menyebabkan variasi yang ada. Dalam penelitian ini, range konsentrasi ±15,90-58.50 gram karbohidrat setara glukosa/100 gram sampel pada sampel kacang hijau, kedelai dan susu bubuk masih memiliki kerterulangan (ripitabilitas) yang dapat diterima terutama pada lab tempat penelitian dilaksanakan telah dikonfirmasi.
2. Reprodusibilitas
Reprodusibilitas dapat digunakan untuk memperkirakan bias yang terjadi jika analisis dilakukan pada hari yang berbeda. Reprodusibilitas yang diukur adalah reprodusibilitas intralab, yaitu dengan lab yang sama hanya selang waku yang berbeda. Selang waktu yang digunakan untuk mengukur reprodusibilitas intralab yang dilakukan dalam penelitian ini adalah lebih dari 2 bulan. Reprodusibilitas intralab diukur pada bahan acuan yang dapat dilihat pada Tabel 11 dan sampel matriks pangan cair pada Tabel 12.
Tabel 11. Reprodusibilitas metode karbohidrat SNI 01-2891-1992 pada berbagai bahan acuan
Bahan acuan | Tanggal pengerjaan | Rataan (g/100g) | SD | RSDa | RSD H | Tobs | P value |
Susu bubuk | 28 Juli 2011a | 45.72 | 0.42 | 1.77 | 2.30 | 29.263 | 0.000* |
11 Oktober 2011b | 36.27 | 0.58 | 1,79 | 2,32 | |||
Kedelai | 28 Juli 2011a | 16.01 | 0.27 | 3.31 | 3.74 | 3.229 | 0.012* |
11 Oktober 2011b | 14.73 | 1.05 | 8,58 | 3,60 | |||
Kacang hijau | 28 Juli 2011a | 55.66 | 0.28 | 3.36 | 3.95 | 0.708 | 0.518 |
11 Oktober 2011b | 55.79 | 1.68 | 6,92 | 3,78 |
Tabel 12 Reprodusibilitas metode karbohidrat SNI 01-2891-1992 pada berbagai sampel pangan cair
Sampel | Tanggal pengerjaan | Rataan (g/100g) | SD | RSDa | RSD H | Tobs | P value |
Kecap Manis | 5 Juli 2011 | 38.71 | 0.68 | 1.77 | 2.30 | 3.179 | 0.034* |
7 Oktober 2011 | 36.96 | 0.66 | 1,79 | 2,32 | |||
Kecap Asin | 5 Juli 2011 | 2.21 | 0.05 | 3.31 | 3.74 | 1.750 | 0.155 |
7 Oktober 2011 | 2.03 | 0.17 | 8,58 | 3,60 | |||
Santan | 5 Juli 2011 | 1.49 | 0.03 | 3.36 | 3.95 | 0.708 | 0.518 |
7 Oktober 2011 | 1.45 | 0.10 | 6,92 | 3,78 |
* berbeda nyata
Hasil uji reprodusibilitas diuji statistik dengan perangkat lunak SPSS 17.0 dengan menggunakan uji F dan independent t test untuk mengetahui perbedaan varian dan beda nyata dari rataan kedua metode. Hasil uji F menunjukkan bahwa hasil analisis dari baik semua bahan acuan maupun sampel matriks pangan cair tidak memiliki perbedaan varian yang signifikan dari analisis yang dilakukan pada dua waktu yang berbeda, oleh karena itu uji lanjut dengan independent t test dengan mengasumsikan varian analisis dari dua waktu yang berbeda itu sama.
Hasil independent t test menunjukkan bahwa pada analisis yang dilakukan pada 28 Juli 2011 untuk bahan acuan susu bubuk dan kedelai berbeda nyata dengan analisis yang dilakukan pada 11 Oktober 2011, sedangkan untuk bahan acuan kacang hijau tidak berbeda nyata. Adapun hasil independent t test pada analisis yang dilakukan pada 5 Juli 2011 untuk sampel matriks pangan cair yaitu kecap asin dan santan tidak berbeda nyata dengan analisis yang dilakukan pada 7 Oktober 2011, sedangkan untuk sampel kecap manis berbeda nyata. Nilai yang berbeda nyata ini mengindikasikan reprodusibilitas yang buruk.
Jumlah total karbohidrat yang ada pada bahan acuan seharusnya tidak akan banyak berubah karena lingkungan. Jika diasumsikan bahwa bahan acuan cenderung bersifat stabil, maka perubahan atau ketidakkonsistenan dapat berasal dari analis, reagen, atau lingkungan yang mempengaruhi performa metode itu sendiri. Reagen yang digunakan untuk analisis pada bulan Oktober 2011 sama dengan yang digunakan pada bulan Juli 2011, sehingga ada kemungkinan jika reagen kurang stabil dalam penyimpanan lebih dari 2 bulan, maka hal ini dapa menyebabkan bias. Adapun ketidakkonsistenan dari analis dan perubahan kondisi pada lingkungan juga dapat mempengaruhi performa metode.
Koefisien variasi atau relatif standard deviasi yang diperoleh untuk analisis yang dilakukan pada bulan Juli 2011 cenderung lebih baik dibandingkan hasil analisis yang dilakukan pada bulan Oktober 2011. Hal ini juga yang dapat menunjukkan bahwa adanya ketidakkonsistenan pada analisis yang dilakukan pada bulan 2011. Hal ini kemungkinan besar dapat disebabkan karena adanya perubahan pada reagen, matriks, analis dan lingkungan. Reagen dapat mengalami perubahan seperti yang disebutkan sebelumnya. Dari segi analis, metode yang memiliki tahapan yang panjang dan melelahkan dapat menyebabkan performa metode kurang konsisten. Selain itu perubahan dari matriks sampel (dalam hal ini matriks sampel pangan cair) baik secara biologis atau kimia dapat menyebabkan hasil kurang konsisten baik untuk ripitabilitas maupun reprodusibilitas. Dari sini dapat dilihat juga bahwa reprodusibilitas metode dipengaruhi oleh matriks sampel yang dianalisis.
Faulks dan Timms (1985) mengatakan bahwa metode dengan prinsip gula pereduksi memiliki reprodusibilitas yang buruk. Hal ini juga telah dikonfirmasi dalam percobaan ini, yaitu dimana pada matriks kecap manis serta bahan acuan susu bubuk dan kedelai, nilai reprodusibilitasnya buruk (analisis yang dilakukan dalam selang waktu dua bulan hasilnya berbeda nyata).
4.3.2. Verifikasi metode SNI 01-2891-1992 terhadap aspek akurasi
Akurasi dari metode SNI 01-2891-1992 dilakukan dengan menggunakan bahan acuan dan uji rekoveri. Hasil analisis terhadap bahan acuan dapat dilihat pada Tabel 13, dan uji rekoveri dengan menggunakan standard glukosa dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 13. Akurasi metode karbohidrat total SNI 01-2891-1992 pada berbagai bahan acuan (N=7)
Bahan acuan | Rentang bahan acuan(g/100g) | Hasil analisis (g/100g) | ||
Rataan | Range | SD | ||
Susu Bubuk | 59.61-59.67a | 45.72 | 45.11-46.08 | 0.43 |
Kedelai | 14.02-19.26b | 15.90 | 15.19-16.50 | 0.41 |
Kacang hijau | 49.26-57.96b | 55.66 | 55.45-56.16 | 0.28 |
a berdasarkan hasil analisis proksimat Lab Kimia LD-ITP
b berdasarkan nilai yang tercantum pada bahan acuan LIPI Kimia
4.3.2.1. Akurasi berdasarkan bahan acuan
Bahan acuan yang digunakan bukanlah Certified Reference Material (CRM), melainkan hanya bahan acuan yang nilai (assigned value) komposisinya berdasarkan konsensus beberapa lab dan digunakan untuk uji profisiensi. Sekalipun demikian, bahan acuan seperti ini masih dapat digunakan untuk mengetahui adanya bias (Thompson et al 2002). Hasil analisis terhadap bahan acuan menunjukkan nilai yang masih dalam rentang yang tercantum pada bahan acuan, kecuali untuk bahan acuan susu bubuk. Khusus untuk susu bubuk rentangnya masih sempit karena nilai yang ditampilkan merupakan hasil uji dari satu lab saja dan itupun masih menggunakan metode by difference.
Hasil analisis menunjukkan bahwa analisis total karbohidrat dengan metode Luff-Schoorl untuk sampel kedelai dan kacang hijau masih dalam rentang pengukuran. Hal ini juga mengonfirmasi bahwa pada rentang konsentrasi karbohidrat 15,90-55,66 gram karbohidrat setara glukosa/100 gram sampel untuk bahan acuan kacang hijau, kedelai dan susu bubuk masih dimungkinkan untuk dianalisis dengan metode Luff-Schoorl dengan menghasilkan nilai akurasi yang masih dapat diterima sesuai dengan rentang bahan acuan empiris. Bahan acuan empiris yang dimaksud di sini adalah bahan acuan yang nilai komposisinya merupakan hasil konsensus beberapa lab, bukan bahan acuan yang nilainya tetap seperti senyawa kimia standard.
4.3.2.2. Akurasi berdasarkan uji rekoveri
Bias yang terlihat dari perbandingan metode dapat dijelaskan dengan uji rekoveri (Lumsden 2000). Berdasarkan perbandingan metode yang telah dilakukan sebelumnya, diperkirakan adanya proportional error. Proportional systematic error dapat diperkirakan dengan uji rekoveri (Lumsden 2000; Koch dan Peter 1999). Selain itu uji rekoveri dapat digunakan untuk mendukung studi yang menggunakan bahan acuan (Thompson et al 2002). Rekoveri yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan pada bahan acuan dan pada matriks sampel pangan cair. Baik pada bahan acuan maupun matriks sampel pangan cair hanya menggunakan satu level konsentrasi, yaitu dengan menggunakan glukosa sebanyak 10% dari berat total sampel untuk bahan acuan dan sebanyak ±25% dari berat total sampel untuk matriks bahan pangan cair . Hasil uji rekoveri dapat dilihat pada Tabel 14 dan Tabel 15.
Tabel 14. Hasil uji rekoveri pada berbagai bahan acuan dengan spike glukosa (N=7)
Bahan acuan | Rata-rata glukosa spike (%w/w) | Rata-rata glukosa diperoleh (%w/w) | Hasil analisis yang terbaca (g/100g) | Rekoveri (%) | Rekoveri yang dapat diterimab (%) | |||
Rataan | Range | Rataan | Range | RSDa | ||||
Susu Bubuk | 10.0 | 6.7 | 47.65 | 47.37-48.55 | 65.0 | 62.2-74.1 | 6.68 | 98-102 |
Kedelai | 10.0 | 9.1 | 23.44 | 22.98-24.05 | 91.0 | 86.3-96.9 | 4.64 | |
Kacang hijau | 10.0 | 8.4 | 58.50 | 58.37-58.66 | 84.0 | 82.6-85.5 | 1. 48 |
a RSD analisis dari rekoveri
bmenurut AOAC(2002)
Tabel 15. Hasil uji rekoveri pada berbagai sampel pangan cair dengan spike glukosa (N=7)
Bahan acuan | Rata-rata glukosa spike (%w/w) | Rata-rata glukosa diperoleh (%w/w) | Hasil analisis yang terbaca (g/100g) | Rekoveri (%) | Rekoveri yang dapat diterimab (%) | |||
Rataan | Range | Rataan | Range | RSDa | ||||
Kecap manis | 25.4 | -7.2 | 47.65 | 47.37-48.55 | -28.34 | -36.9-(-23.7) | 6.68 | 98-102 |
Kecap asin | 25.5 | 22.3 | 47.19 | 39.85-54.90 | 87.12 | 51.5-121.7 | 25.62 | |
Santan | 24.8 | -10.3 | 21.38 | 19.65-22.79 | -41.82 | -57.88-(-30.49) | 24. 77 |
a RSD analisis dari rekoveri
bmenurut AOAC(2002)
Uji rekoveri dengan spiking glukosa untuk sampel susu bubuk pada Tabel 13 menunjukkan rata-rata rekoveri 65,0%, untuk sampel kedelai didapatkan rata-rata rekoveri 91.0% dan untuk bahan acuan kacang hijau didapatkan rata-rata rekoveri 84.0%. Berdasarkan uji rekoveri tidak ada hasil yang menunjukkan nilai rekoveri yang dapat diterima berdasarkan batas yang ditetapkan oleh AOAC (2002). Meski nilai rekoveri yang baik belum tentu menandakan bahwa nilai analisis merupakan nilai yang sebenarnya karena efek dari analat yang ditambahkan dengan analat dalam bentuk alaminya mungkin berbeda, tetapi nilai rekoveri yang buruk jelas menunjukkan adanya bias dari nilai yang sebenarnya (Thompson et al 2002).
Uji rekoveri dengan spiking glukosa untuk sampel kecap manis pada Tabel 14 menunjukkan rata-rata rekoveri -28,34%, untuk sampel kedelai didapatkan rata-rata rekoveri 87.12% dan untuk bahan acuan kacang hijau didapatkan rata-rata rekoveri -41.82%. Nilai rekoveri kecap manis dan santan lebih buruk dibandingkan pada bahan acuan. Nilai rekoveri bahan acuan pada Tabel 13 dan Tabel 14 tidak dapat dibandingkan karena level konsentrasi yang digunakan berbeda. Level konsentrasi yang digunakan untuk sampel bahan pangan cair lebih besar dibandingkan bahan acuan. Tetapi sama halnya dengan nilai rekoveri bahan acuan, untuk matriks sampel pangan cair tidak ada hasil yang menunjukkan nilai rekoveri yang dapat diterima berdasarkan batas yang ditetapkan oleh AOAC (2002).
Nilai rekoveri sampel kedelai (91.03%)> kacang hijau (83,95%) >susu bubuk (65,0%). Hal ini menunjukkan bahwa efek matriks yang dapat mengganggu analisis paling besar terlihat pada bahan acuan susu bubuk. Selain itu nilai rekoveri yang kurang dari 60-70% perlu pemeriksaan yang mengarah pada perbaikan (AOAC 2002) karena kemungkinan nilai rekoveri ini menunjukkan bahwa ada kesalahan sistematis. Nilai rekoveri rata-rata untuk bahan acuan susu bubuk adalah 65%, sehingga jika metode Luff-Schoorl seperti dalam prosedur SNI 01-2891-1992 diaplikasikan sampel yang komposisinya mirip seperti pada bahan acuan susu bubuk diperkirakan ada kemungkinan kesalahan sistematis dapat terjadi. Kemungkinan efek perbedaan matriks sampel terhadap perbedaan besarnya nilai rekoveri telihat dalam penelitian ini. Karena uji rekoveri dapat memeriksa adanya interferensi kompetitif dan efek dari matriks sampel (Koch dan Peter 1999; Cembrowski dan Sullivan 1992), sehingga kemungkinan diperkirakan pada susu bubuk ada substansi yang dapat menginterferensi. Hal ini juga diperkuat oleh koefisien variasi (RSD) yang ditunjukkan pada nilai perolehan rekoveri yaitu 6.68%, yang merupakan nilai yang paling besar dibandingkan nilai RSD yang didapat pada bahan kedelai (4,64%) dan kacang hijau (1,48%). Selain pada susu bubuk, kecap manis dan santan juga memiliki rata-rata nilai rekoveri yang buruk, yaitu masing-masing -28,34%dan -41.82%. Keduanya juga memiliki nilai RSD yang besar yaitu masing-masing 6,68% dan 24,77%.
Substansi yang dapat menginterferensi pada susu bubuk, kecap manis atau santan, dapat menganggu baik pada saat proses hidrolisis polisakarida menjadi gula-gula pereduksi atau pada saat kuantifikasi dari gula pereduksi. Karena nilai rekoveri yang rendah dapat mengindikasikan adanya kesalahan negatif. Kesalahan negatif dari tahap hidrolisis asam dapat disebabkan oleh destruksi glukosa atau gula lain oleh adanya asam dan panas (Whelan dan Pirt 2006; Loomys dan Shull 1937; Shriner 1932) atau terbentuk produk dari reaksi antara asam amino dan karbohidrat (Southgate 1976). Karena pada metode karbohidrat total SNI 01-2891-1992 tidak ada tahap deproteinisasi atau upaya lain untuk menghilangkan substansi yang dapat menginterferensi. Shaffer dan Hartman (1920) menyarankan untuk melakukan presipitasi protein dan lemak dengan asam tungstat untuk analisis sampel susu menggunakan metode gula pereduksi, tetapi hal ini tidak dilakukan pada analisis karbohidrat total metode SNI 01-2891-1992. Kemungkinan karena tidak adanya deproteinisasi dan rusaknya gula sederhana pada saat hidrolisis juga yang dapat menjadi penyebab nilai rekoveri pada bahan acuan lain yaitu kacang hijau dan kacang kedelai serta matriks sampel pangan cair (kecap manis, kecap asin dan santan) tidak mencapai range rekoveri yang dapat diterima. Sampel kecap manis yang banyak mengandung gula yang ditambahkan dalam proses pembuatannya menyebabkan adanya kemungkinan destruksi gula saat pemanasan sehingga nilai rekoveri yang didapat kecil bahkan negatif.
4. Faktor-Faktor Kesalahan Pada Analisis Total Karbohidrat SNI 01-2891-1992
Diagram Ishikawa adalah diagram sebab-akibat yang merupakan salah satu dari tujuh pengendali mutu. Faktor-faktor kesalahan yang digambarkan dalam diagram Ishikawa diperoleh melalui pengamatan selama penelitian dilakukan dan studi literatur. Faktor-faktor kesalahan yang dapat terjadi selama analisis total karbohidrat metode SNI 01-2891-1992 digambarkan melalui diagram Ishikawa (Gambar 5). Faktor-faktor kesalahan digolongkan ke dalam lima kategori utama yaitu reagen, metode, alat, matriks, lingkungan dan analis.
Masing-masing kategori terbagi menjadi beberapa faktor. Pada faktor reagen dibagi menjadi reagen yang rentan seperti reagen Luff-Schoorl (reagen tembaga sulfat dalam asam sitrat dan natrium karbonat), natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titer serta reagen lain seperti larutan KI, H2SO4 dan larutan yang digunakan untuk standardisasi. Kontaminasi atau kemurnian, umur simpan, serta stabilitas reagen merupakan kemungkinan penyebab terjadinya kesalahan selama analisis. Reagen yang digunakan ada beberapa yang tidak stabil seperti natrium tiosulfat, oleh karena itu perlu pengecekan konsentrasi (standardisasi) minimal dua minggu sekali. Selain itu reagen sitrat yang digunakan sebagai salah satu komponen campuran reagen Luff memiliki kekurangan. Reagen dianjurkan menggunakan tartarat untuk menstabilkan ion tembaga (Southgate 1976). Penggunaan sitrat dibanding tartarat menyebabkan berkurangnya jumlah tembaga yang tereduksi dan sensitifitas menjadi lebih buruk. Selain itu reagen Luff yang digunakan tidak mengandung iodida menunjukkan adanya pemisahan sejumlah kecil tembaga oksida dan kenaikan tingkat autoreduksi selama pemanasan yang meningkat seiring dengan usia reagen (Shaffer dan Somogyi 1932). Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan blanko secara berkala. Fluktuasi jumlah titer yang digunakan untuk mentitrasi blanko juga dikonfirmasi dalam penelitian ini. Adapun reagen yang paling tidak stabil adalah natrium tiosulfat.
Pada faktor metode terbagi menjadi sesuai tahapan analisis. Mulai dari persiapan sampel, hidrolisis, penetralan, penepatan volume, penyaringan, pemipetan, homogenisasi, pengisian buret, suhu dan waktu pemanasan reaksi Luff, waktu tunggu sebelum titrasi, pendinginan sebelum ditambahkan KI, penambahan reagen, pembacaan buret, penentuan titik akhir, dan kalkulasi gula pereduksi merupakan bagian dari faktor kesalahan metode. Persiapan sampel yang tidak tepat dapat menyebabkan sampel tidak homogen sehingga hasil analisis memiliki keragaman yang tinggi. Hidrolisis asam memerlukan kestabilan suhu dari waterbath, homogenitas panas dan ketepatan waktu hidrolisis. Proses pemanasan untuk reaksi reduksi tembaga harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena sangat laju reaksi reduksi sangat dipengaruhi oleh suhu dan waktu pemanasan. Pemanasan yang terlalu lama akan menyebabkan gula terdestruksi dan pemanasan yang terlalu sebentar akan menyebabkan hasil kurang reprodusibel dan proporsionalitas antara gula yang teroksidasi dan tembaga yang tereduksi kurang konstan (Shaffer dan Hartmann 1920). Selain itu laju kinetika reaksi juga berbeda-beda untuk kadar gula yang berbeda (Faulks dan Timms 1985). Kondisi saat pemanasan itu juga harus dikontrol agar tidak terjadi reoksidasi tembaga yang telah tereduksi, oleh karena itu kontaminasi dengan O2 harus dihindari (Shaffer dan Somogyi 1932). Titrasi harus dilakukan dengan cepat tetapi dengan hati-hati dan waktu tunggu antar sampel tidak boleh terlalu lama. Pembacaan titik akhir juga harus tepat, titik akhir titrasi kadang tidak terlalu jelas dan warna biru dapat muncul kembali (Shaffer dan Hartmann 1920) sehingga menyulitkan titrasi. Penambahan reagen KI dan H2SO4 harus sesuai urutan agar reaksi berjalan dengan benar (Shaffer dan Somogyi 1932). Pembacaan buret dan penambahan indikator pati harus dilakukan dengan tepat. Selain itu blanko harus dibuat berkala karena adanya kemungkinan autoreduksi yang meningkat perlahan seiring dengan usia reagen (Shaffer dan Somogyi 1932). Pembuatan dan penyimpanan reagen perlu diperhatikan agar menghindari kontaminasi. Standardisasi untuk reagen yang rentan seperti natrium tiosulfat perlu dilakukan secara berkala dan akurat.
Untuk faktor alat dapat dibagi menjadi alat gelas, neraca analitik, buret, pHmeter, waterbath, dan hotplate. Pencegahan alat-alat gelas dari kontaminasi baik debu maupun reagen lain dan penjagaan kebersihannya perlu diperhatikan karena akan mengganggu analisis (Shaffer dan Somogyi 1932). Neraca analitik, pH-meter dan waterbath adalah alat yang mungkin dapat menjadi penyebab kesalahan analisis. Neraca analitik dan pH-meter harus dikalibrasi terlebih dahulu karena dapat menyebabkan keragaman pada data yang dihasilkan. Waterbath harus memiliki suhu yang stabil dan homogenitas panas yang baik agar hidrolisis terkontrol. Buret juga harus dijaga agar tidak terkonaminasi serta mencegah tip buret dari kebocoran, adanya udara di dalam tube dan stopcock yang longgar.
Gambar 5. Diagram kesalahan analisis metode karbohidrat total SNI 01-2891-1992
Faktor analis yaitu ketrampilan, sikap atau perilaku dan faktor kelelahan menjadi penentu hasil analisis. Prosedur yang panjang dan memakan waktu mengharuskan analis mengatur waktu dengan baik agar hasil analisis tidak terpengaruh oleh ketrampilan yang tidak konstan akibat kelelahan.
Faktor lingkungan dapat berupa fluktuasi suhu, yang berpengaruh pada sampel dan titran. Terdapat juga faktor kesalahan dari sampel berupa efek interferensi dari matriks.
5. Kelemahan Analisis Total Karbohidrat SNI 01-2891-1992
Analisis total karbohidrat SNI 01-2891-1992 memiliki beberapa kelemahan, selain banyaknya faktor kesalahan yang mungkin terjadi dalam analisisnya. Salah satu kelemahannya ada pada tahap hidrolisis. Selain ada kemungkinan bahwa seluruh karbohidrat tidak terhidrolisis sempurna, hidrolisis asam yang dilakukan dapat menyebabkan destruksi dari fruktosa (Loomys dan Shull 1937); atau gula-gula lain (Shriner 1932). Glukosa juga terdegradasi perlahan jika dipanaskan dengan asam, laju destruksi ini dipercepat oleh asam sulfat dan jauh lebih cepat dengan HCl (Whelan dan Pirt 2006) terutama jika terdapat protein atau asam amino (Southgate 1976). Dekstruksi gula pada tahap hidrolisis dapat menyebabkan kesalahan negatif, nilai yang didapat menjadi tidak akurat bahkan dapat menghasilkan nilai yang keliru.
Nilai yang didapat dari analisis kadar karbohidrat dengan menggunakan hidrolisis asam tidak dapat dikatakan sebagai nilai kadar total karbohidrat maupun nilai total available karbohidrat juga karena sulit untuk memisahkan fraksi pati dari karbohidrat struktural (Loomys dan Shull 1937) dan kemungkinan keberadaan serat kasar juga tidak dapat dihidrolisis dengan asam kuat encer saja. Serat contohnya, selulosa cenderung tahan terhadap hidrolisis asam kuat encer (Southgate 1976). Dengan demikian, nilai yang didapat lebih cocok jika disebut sebagai nilai total karbohidrat yang dapat terhidrolisis oleh asam (Weinmann 1946).
Kelemahan metode SNI 01-2891-1992 lainnya terdapat pada tahap analisis gula pereduksi dengan metode Luff-Schoorl. Metode Luff Schoorl yang berprinsip pada reduksi Cu2+ oleh gula pereduksi, memiliki kelemahan yaitu reaksi reduksi antara gula dan tembaga sulfat tampaknya tidak stoikiometris (Davidson 1967; Southgate 1976), kondisi reaksi kritis (Miller 1959; Southgate 1976), dan laju reaksi tiap gula berbeda-beda (Miller et al 1961). Faktor utama yang mempengaruhi reaksi adalah pemanasan, alkalinitas, konsentrasi gula dan kekuatan reagen (Southgate 1976).
Faulks dan Timms (1985) mengatakan bahwa metode dengan prinsip gula pereduksi selain menunjukkan respon yang bervariasi, reprodusibilitasnya sering sekali buruk, sekalipun dengan menggunakan sistem yang terotomatisasi. Reagen yang diperlukan untuk analisis ini cukup banyak, dan beberapa reagennya rentan terhadap oksidasi oleh oksigen (Faulks dan Timms 1985) dan memerlukan standardisasi berkala. Reagen yang memerlukan standardisasi berkala salah satunya natrium tiosulfat. Selain itu pekerjaan yang diperlukan untuk metode SNI 01-2891-1992 cukup banyak (labourous), alat gelas yang banyak, memakan waktu dan memerlukan tenaga yang terampil.
Kesalahan dapat terjadi jika ada substansi dari sampel yang menghambat proses hidrolisis dari karbohidrat menjadi gula-gula pereduksi atau bereaksi dengan produk akhir hasil hidrolisis. Selain itu ada juga kemungkinan bahwa adanya substansi yang menghambat kuantifikasi dari gula pereduksi, misalnya ada agen pengoksidasi yang mengoksidasi kembali tembaga (Cu+) yang telah tereduksi oleh gula-gula pereduksi; gula pereduksi yang ada malah mereduksi senyawa yang lain bukannya tembaga atau ada substansi yang mengganggu kesetimbangan reaksi reversible dari residu garam tembaga. Reaksi residu garam tembaga yang membebaskan iodin adalah sebagai berikut:
Iodin yang terbentuk kemudian akan dititrasi dengan tiosulfat (Shaffer dan Hartmann 1920). Jika terjadi reoksidasi pada tembaga yang telah tereduksi oleh gula pereduksi maka residu garam tembaga ( akan semakin banyak dan iodine yang dibebaskan akan semakin besar. Hal ini berdampak pada nilai yang didapat menjadi lebih kecil dibanding nilai yang sebenarnya.
Kelemahan lain ada pada faktor konversi yang digunakan dalam perhitungan yang mengonversi total gula menjadi total karbohidrat, yaitu 0,9. Faktor ini seharusnya berbeda sesuai dengan jenis karbohidrat yang banyak terkandung pada matriks sampel. Faktor konversi 0,9 yang ditetapkan dalam analisis pati seharusnya tidak disamakan dengan analisis total karbohidrat, karena bisa saja komposisi karbohidrat yang terdapat pada matriks sampel tertentu lebih banyak dalam bentuk gula sederhana (monosakarida) dan bukan polisakarida, Sehingga faktor konversi 0,9 bisa jadi membuat nilai total karbohidrat lebih kecil dari yang seharusnya. Dari sini dapat terlihat bahwa pengaruh matriks terhadap hasil analisis salah satunya dipengaruhi komposisi (jenis) karbohidrat penyusun matriks itu sendiri. Konsentrasi dari analat (karbohidrat) suatu sampel diduga tidak terlalu mempengaruhi selama konsentrasinya masih dalam rentang yang dapat dianalisis oleh metode. Adapun pengaruh komponen lain seperti lemak dan protein belum dapat disimpulkan dalam percobaan ini.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Perbandingan metode analisis karbohidrat total menggunakan dua metode yang berbeda yaitu metode karbohidrat total SNI 01-2891-1992 yang menggunakan metode Luff Schoorl secara titrimetri dan metode kandidat yang menggunakan Anthrone sulfat secara spektrofotometri pada sampel pangan cair terpilih yang mewakili kadar karbohidrat rendah, sedang dan tinggi yaitu kecap manis, kecap asin dan santan yang dilakukan menunjukkan nilai presisi yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji F tetapi hasil yang berbeda nyata berdasarkan uji t. pada tingkat kepercayaan 95%. Estimasi error antara kedua metode dikonfirmasi melalui uji korelasi menggunakan regresi linear yang dilakukan dengan menggunakan tambahan data sekunder dari matriks sampel pangan yang berwujud padat. Metode Anthrone sulfat tidak dapat menggantikan metode Luff-Schoorl dalam SNI 01-2891-1992 untuk total karbohidrat, karena metode Anthrone sulfat dan metode Luff Schoorl tidak memiliki kesesuaian hasil yang dapat diterima.
Verifikasi terhadap metode karbohidrat total SNI 01-2891-1992 menggunakan tiga bahan acuan yaitu susu bubuk, tepung kedelai dan tepung kacang hijau memperlihatkan nilai rekoveri yang tidak masuk dalam range rekoveri yang dapat diterima, meski hasil analisis bahan acuan masih masuk dalam rentang dari nilai bahan acuan dan ripitabilitas metode menunjukkan nilai presisi yang dapat diterima. Dengan demikian, meski memiliki presisi yang dapat diterima akurasi dari metode karbohidrat total SNI 01-2891-1992 itu sendiri masih diragukan karena kemungkinan masih rentan terhadap interferensi dan pengaruh matriks.
5.2. Saran
Pengembangan dan validasi metode analisis terhadap total karbohidrat yang dapat diaplikasikan untuk pangan secara umum perlu dilakukan. Perhatian lebih perlu diberikan pada analisis total karbohidrat dengan metode kolorimetri kondensasi tanpa melakukan hidrolisis asam terlebih dahulu seperti pada prosedur karbohidrat total SNI 01-2891-1992. Perlakuan pendahuluan untuk menghilangkan substansi yang menginterferensi perlu dilakukan sesuai dengan matriks dimana metode itu hendak diterapkan. Invstigasi lebih lanjut terhadap penyebab bias dari metode dan analisis mengenai ruggedness dan selektivitas dari metode juga perlu dilakukan. Selain Anthrone sulfat, metode analisis dengan fenol sulfat juga perlu dipertimbangkan karena diperkirakan menganalisis jenis karbohidrat yang lebih luas dibandingkan Anthrone sulfat.