Pemukiman Kumuh

5. Pemukiman Kumuh

Istilah slum seringkali digunakan oleh para ahli penelitian sosial untuk menggambarkan pemukiman miskin. Menurut Bergel (1970), slum diartikan sebagai suatu kawasan pemukiman yang diatasnya terletak bangunan-bangunan yang berkondisi sub-standart. Pendapat Lubis (1985), mengartikan sebagai suatu daerah pemukiman dimana rumah-rumah yang tidak memenuhi syarat jumlahnya dominan. Menurut Salvato (1982), mengidentifikasi slum adalah suatu lingkungan pemukiman yang mana tempat tersebut tidak mempunyai fasilitas kamar mandi dan toilet secara khusus, saluran air, pencahayaan kurang, kepengapan, ventilasi, ketenangan, air bersih, tempat bermain. Perumahan tersebut kepadatan penduduknya tinggi dan kondisi lingkungan ekstrim miskin. Hal-hal berikut ini yang sering diidentifikasi sebagai karakteristik pemukiman miskin (Laquaian,1980), pertama pemukiman tersebut dihuni oleh penduduk yang padat dan berjubel, karena adanya pertumbuhan penduduk alamiah, maupun migrasi yang tinggi dari pedesaan. Kedua, pemukiman tersebut dihuni oleh warga yang berpenghasilan relatif rendah atau berproduksi sub-sistem yang hidup dibawah Istilah slum seringkali digunakan oleh para ahli penelitian sosial untuk menggambarkan pemukiman miskin. Menurut Bergel (1970), slum diartikan sebagai suatu kawasan pemukiman yang diatasnya terletak bangunan-bangunan yang berkondisi sub-standart. Pendapat Lubis (1985), mengartikan sebagai suatu daerah pemukiman dimana rumah-rumah yang tidak memenuhi syarat jumlahnya dominan. Menurut Salvato (1982), mengidentifikasi slum adalah suatu lingkungan pemukiman yang mana tempat tersebut tidak mempunyai fasilitas kamar mandi dan toilet secara khusus, saluran air, pencahayaan kurang, kepengapan, ventilasi, ketenangan, air bersih, tempat bermain. Perumahan tersebut kepadatan penduduknya tinggi dan kondisi lingkungan ekstrim miskin. Hal-hal berikut ini yang sering diidentifikasi sebagai karakteristik pemukiman miskin (Laquaian,1980), pertama pemukiman tersebut dihuni oleh penduduk yang padat dan berjubel, karena adanya pertumbuhan penduduk alamiah, maupun migrasi yang tinggi dari pedesaan. Kedua, pemukiman tersebut dihuni oleh warga yang berpenghasilan relatif rendah atau berproduksi sub-sistem yang hidup dibawah

Keempat, kondisi kesehatan dan sanitasi yang rendah, pemukiman miskin ini memang selalu ditandai oleh tersebarnya penyakit menular dan lingkungan fisik yang jorok. Kelima, langkanya pelayanan kota, seperti air minum, fasilitas mandi cuci kakus (MCK), listrik, sistem pembuangan kotoran dan sampah serta perlindungan terhadap kebakaran. Keenam, pertumbuhanya tidak terencana sehingga penampilan fisiknya tidak teratur dan terurus dalam hal pembangunan, halaman dan jalan-jalan dan selanjutnya ruang antar bangunan dan tidak ada ruang terbuka sama sekali. Ketujuh, penghuni pemukiman miskin ini mempunyai gaya hidup pedesaan yang masih suka menghidupkan pola-pola tradisional, gotong royong dan sebagainya. Kedelapan, secra sosial terisolasi dari pemukiman lapisan masyarakat lainya. Kesembilan, pemukiman miskin ini pada umumnya berlokasi di sekitar pusat kota dan sering kali tidak jelas pula status hukum tanah yang ditempati.

Commattee on the Hygeine of Housing the American public Health Association (APHA), menjabarkan kreteria kekurangan dasar slum dan ekstrim slum , kreteria kekurangan dasar tersebut pada umumnya dapat digambarkan sebagai berikut: pertama, sumber air minum tercemar. Kedua, sumber air minum terletak diluar daerah perumahan. Ketiga, jamban digunakan oleh beberapa keluargga dan terletak diluar daerah perumahan. Keempat, kamar mandi terletak diluar daerah perumahan dan digunakan oleh beberpa keluarga. Kelima, rumah dihuni satu setengah kali dari yang seharusnya. Keenam, kamar digunakan melebihi semestinya (over ctowding). Ketujuh, pintu darurat pada rumah tingkat umumnya hanya ada dua buah. Kedelapan, belum ada aliran listrik. Kesembilan, tidak ada jendela. Kesepuluh, kerusakan bangunan serius. Kesebelas, alat pemanas tidak mengenai tiga per empat ruangan.

disebut ekstrim slum. Banyak aspek yang mendorong timbulnya slum atau pemukiman miskin, menurut pendapat Lubis (1985), aspek yang mendorong timbulnya slum adalah karena tumbuhnya daerah-daerah industri yang biasanya terletak tidak jauh dari pinggiran sungai, sehingga para tenaga kerja atau karyawan berusaha dekat dengan tempat kerja maka dengan tergesa-gesa masyarakat membangun rumah dengan bahan-bahan seadanya tanpa memperhatikan fasilitas-fasilitas pelayanan bagi dirinya. Sanitasi, kerahasiaan pribadi, kesopanan dan keindahan akibatnya pemukiman di dekat sungai ini cepat berkembang sebagai slum.

Timbulnya slum erat kaitanya dengan masalah kependudukan (Batubara, 1985). Masalah kependudukan tersebut adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi di Indonesia 2,3% per tahun dan juga urbanisasi ke kota dari penduduk yang tidak merata, masyarakat memerlukan rumah sebagai kebutuhan. Di desa karena ekonomi dan pendidikn masih rendah sehingga rumah-rumah yang masyarakat dirikan tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan. Di kota karena tanah sulit dicari dan jika ada harganya relatif mahal juga kedatangan masyarkat di kota tanpa di dukung keterampilan dan pengetahuan yang memadai, bekerja di sektor informal, masyarakat mencari tempat untuk mendirikan rumah tanpa melalui prosedur di tanah-tanah yang masyarakat tidak perlu memebeli atau menempati bangunan-bangunan yang tua yang sudah tidak terpakai. Hal ini semua sebagai penyebab atau pendorong timbulnya pemukiman miskin atau slum.

Beberapa ahli berusaha mencari jalan keluar untuk memecahkan masalah slum , diantaranya adalah pendapat Lubis (1985), yaitu dengan memindahkan masyarakat ke perumahan-perumahan yang memenuhi syarat, dengan harapan setelah masyarakat dipindahkan dapat merubah pola tingkah laku penghuni ke arah kehidupan yang lebih baik.

Reksosubroto (1978), memberikan jalan keluar yang lain yaitu dengan melalui perencanaan kota yang matang menyediakan mess atau perumahan bagi

dan keindahan kota. Hal itu ditujukan untuk mencegah sebanyak mungkin timbulnya gangguan penyakit dan menekan serendah mungkin mortalitas dan morbiditas. Sedangkan Bara (1985), berpendapat bahwa dalam memecahkan masalah perumahan harus beracu pada garis-garis Besar Haluan Negara, dengan menyebut tiga hal yang harus dilaksanakan. Pertama, membuat rumah yang sebanyak-banyaknya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Kedua, bahan- bahan bangunan yang dipakai produksi dalam negeri. Ketiga, kondisi perumahan kumuh yang harus diperbaiki. Mengingat kemajuan desa dengan mengembangkan pembangunan desa dan kota dalam hubungan fungsional yang mendukung secara serasi (Ismanik, 1986), merupakan penangkal arus masuknya urbanisasi ke kota. Masyarakat menggambarkan efektivitas pembangunan desa sebagai penangkal arus masuknya para urban ke kota.