A . Fakta Cerita

A . Fakta Cerita

Fakta cerita meliputi alur, karakter dan latar. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Pembahasan fakta cerita dalam novel Blakanis sebagai berikut.

1. Alur

Alur yang dipakai dalam novel Blakanis ini adalah menggunakan teknik alur kilas balik (back tacking), meski secara umum yang tampak adalah alur maju, tetapi dalam cerita terdapat sisipan-sisipan cerita yang sudah lebih dulu berlangsung dari alur yang sedang berjalan. Alur mempunyai beberapa struktur atau bagian yang masing-masing membentuk satu keutuhan cerita. Alur terdiri dari beberapa peristiwa-peristiwa yang mempunyai hubungan sebab-akibat. Tahapan alur dalam karya fiksi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir (Stanton, 2007:15).

a) Tahapan Alur

(1) Bagian awal Tahap awal sebuah cerita merupakan tahap perkenalan. Dalam tahap ini terdapat segala informasi yang menerangkankan berbagai hal penting yang akan dikisahkan pada tahap selanjutnya. Tahap awal ini biasanya dimanfaatkan pengarang untuk memberikan pengenalan latar ataupun pengenalan tokoh yang terdapat dalam novel.

commit to user

gambaran kehidupan Ki Blaka yang diceritakan oleh Mareto salah satu pengikut Ki Blaka. Mareto menceritakan asal mula Ki Blaka yang datang ke sebuah tanah tandus, tidak ada sumber air tetap, tanahnya sedikit berbukit-bukit, panas dengan angin yang keras. Tanah yang dianggap liar karena meskipun sebagai penghuni, mereka tak diakui sebagai penunggu tanah. Kalau pun juga ada bangunan rumah, tetap saja tanpa surat tanda kepemilikan, penghuninya dapat diusir sewaktu-waktu. Ke tempat itulah Ki Blaka datang dan kemudian menetap. Semua orang yang datang dapat menetap di situ dan mendirikan bangunan di atasnya.

Ke tempat itulah Ki Blaka datang, suatu siang, dan kemudian menetap. Tak ada yang memedulikannya, karena siapa saja bisa datang menetap, bisa mendirikan bangunan kalau mau, bisa membuat batas wilayah sampai ke berbagai arah. Hanya sekedar melapor kepada yang dianggap menjadi ketua, atau yang dituakan, memberikan uang, sekali itu saja. Tak ada iuran atau bayaran yang lain. Sebetulnya sangat menyenangkan untuk ditinggali (Arswendo Atmowiloto, 2008: 10).

Ki Blaka mulai hidup di situ, rumahnya selalu terbuka. Berbicara dengan warga sebelumnya, mengenalkan diri kalau bertemu, mengundang mereka datang, menghidangkan makanan yang dimiliki. Kehadiran Ki Blaka tak terlalu istimewa, tidak ada nilai tambah, tidak ada yang berubah. Ki Blaka mulai mengajak orang berbicara untuk mengatakan hal-hal yang jujur. Pembicaraan mulai berkembang, semakin lama semakin banyak yang berdatangan. Pertemuan itu menjadi hiburan tersendiri bagi warga yang tidak memiliki hiburan lain.

commit to user

apa yang mereka punyai dan saling bersikap jujur dan semakin banyak pula yang datang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan peristiwa berikut.

Mulailah pembicaraan berkembang. Juga pada perteuan berikutnya, ibu-ibu ikut serta. Mereka paling banyak bertanya kepada suaminya ─soal punya duit atau tidak, main perempuan atau tidak, dan juga ditanyai kenapa tidak gairah melayani suami, kenapa kakinya bau, minggu lalu pura-pura menstruasi atau tidak.

Pertemuan itu menjadi hiburan tersendiri bagi warga yang tidak memiliki hiburan lain. Mereka berkumpul dan bisa bertanya apa saja... (Arswendo Atmowiloto, 2008: 14).

Kemudian cerita berlanjut dengan mulai bergabungnya Suster Emmanuel yang biasa di panggil dengan Suster Emak atau Emak. Setelah kedatangan Emak, pertemuan menjadi teratur. Kedatangan Emak juga membawa perubahan yang signifikan terhadap Kampung Blakan. Perubahan tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.

Perubahan terjadi ketika Suster Emak bergabung. Dipanggil Suster karena memakai pakaian biarawati, sering datang mengajar anak-anak membaca dan menulis, dipanggil Emak, bisa jadi karena dianggap emak oleh anak- anak, bisa juga karena singkatan nama baptisnya, Emanuela. Suster Emak tertarik dengan Ki Blaka dan banyak membantu. Membereskan rumah Ki Blaka, menyediakan minuman, membuat catatan, dan kemudian ikut dalam obrolan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 16).

Semakin lama banyak orang yang berdatangan sekedar berkunjung saja, melihat-lihat, mengikuti pertemuan rutin, dan ada yang mencari keuntungan dengan berdagang. Pengunjung yang berdatangan dari penjual makanan, penjaji judi koprok, penggembira, serta perempuan jalanan yang menjajakan diri. Hal ini pula yang membuat Ki

commit to user

terdapat dalam kutipan berikut. Ini terjadi ketika pengunjung pertemuan makin banyak.

Dan tentu di antara yang berdatangan banyak yang muncul dengan kepentingan berbeda. Para perempuan jalanan juga ikut datang, menjajakan diri. Bercampur dengan penjual makanan, penjaji judi koprok, penggembira yang lain, yang meramaikan suasana. Juga ada keributan dan perkelahian.

Ketika itulah Ki Blaka dibawa pihak keamanan untuk ditanyai.

Dibawa ke kantor polisi, Ki Blaka yang ditemani Emak menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya (Arswendo Atmowiloto, 2008: 21-22).

Akibat kejadian itu pula banyak wartawan yang mulai mendatangi Ki Blaka untuk diwawancarai. Hampir semua media menulis, memotretnya, menampilkan selimut loreknya yang sudah hilang warnanya. Menuliskan asal-usul Ki Blaka dalam berbagai versi. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.

Sejak dibawa aparat keamanan, Ki Blaka mulai dikenal luas. Hampir semua media menulis, memuat potretnya, menampilkan selimut lorek yang sudah hilang warna (Arswendo Atmowiloto, 2008: 23).

Cerita berlanjut dengan kedatangan Ai yaitu istri dari Linggar Jimaro (seorang anak pengusaha paling menonjol dari kelompok grup bisnis Jimaro) dan Jamil Akamid. Kedatangan banyak orang termasuk Jamil Akamid seorang tokoh penting, pengakuannya jujurnya secara tidak langsung membawa pengaruh negatif bagi Ki Blaka. Pengakuan Jamil Akamid yang sangat berani tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

commit to user

“Saya ingin meminta maaf kepada seluruh masyarakat, yang selama ini telah saya kelabui, kepada Bapak Presiden yang saya curangi tanggung jawabnya, kepada siapa saja yang saya rugikan.”

Penampilan Jamil Akamid benar-benar mengobarkan perang, bagai membakar sampah yang terus merambat kemana-mana. Karena selama tiga hari berturut-turut Jamil menceritakan semuanya. Juga di luar jam-jam pertemuan. Semuanya dituturkan, semua pertanyaan dijawab, semua yang diketahui ditambahkan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 55).

(2) Bagian Tengah Tahap tengah cerita berisi pertikaian. Pengarang menampilkan pertentangan, konflik yang semakin lama semakin meningkat dan menegangkan pembaca. Konflik dapat berupa konflik internal, ataupun konflik eksternal. Tahap tengah cerita merupakan tahap yang terpenting dari sebuah karya karena pada tahap inilah terdapat inti cerita. Pada umumnya tema pokok cerita diungkapkan pada bagian tengah cerita.

Cerita berlanjut pada bagian tengah cerita. Pada bagian tengah cerita diceritakan tentang pengakuan Jamil Akamid seorang pejabat tinggi yang pernah melakukan korupsi serta manipulasi-manipulasi birokrasi. Kemudian cerita berlanjut dengan ditahannya Jamil Akamid. Hal tersebut secara tidak langsung menimbulkan pemberitaan negatif terhadap Ki Blaka, dan diperburuk dengan mulai terjadinya kekacauan yang disebabkan oleh ulah para pendatang yang tidak bertanggung jawab. Peristiwa tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

Itu kalimat terakhir di Desa Blakan. Selanjutnya ia diperiksa, ditahan, dituduh melakukan kejahatan soal

commit to user

masih menjabat (Arswendo Atmowiloto, 2008: 60).

Hal kedua, tersebarnya berita buruk tentang Ki Blaka hampir di semua media, secara serempak, secara bersamaan, secara berturut-turut. Sisi gelap kehidupan Ki Blaka dituliskan terang benderang (Arswendo Atmowiloto, 2008: 68).

Namun kemudian juga terjadi perubahan lain. Mereka yang datang, yang selama ini tenang-tenang, mulai ribut. Tiba-tiba ada yang muncul dan membuat keributan ─tanpa sebab. Hanya karena berdesakan , lalu terjadi perkelahian agak massal. Pada waktu yang sama ada rombongan yang berkelahi dengan pemalak ─yang sebenarnya tak pernah ada. Hampir semua ditandai dengan keributan ─perkelahian, ada darah ada umpatan, ada permusuhan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 71).

Bermula dari peristiwa itu, niat Mareto untuk membunuh Ki Blaka semakin besar namun Emak berhasil meredamnya. Dan kabar penangkapan Ki Blaka pun semakin santer didengar.

“Kenapa hanya membunuh dan membunuh yang ada dalam kepalamu?”

“Apakah Emak melihat jalan lain? “Apakah Emak melihat cara lain? “Membunuh Ki Blaka adalah cara yang terbaik, cara

yang sempurna mengakhiri semua ini. Hanya itu cara terindah sebagai penyelesaian.

“Aku hanya membantu menyempurnakannya.” “Tidak. Pikiran itu harus dibuang jauh-jauh.” “Tak bisa, Mak. “Itu jalan yang benar, yang tepat.” “Tidak. Saya tidak akan membiarkan.” “Itu hanya soal waktu, Mak.” (Arswendo Atmowiloto,

2008: 73).

Cerita berlanjut dengan ditangkapnya Ki Blaka oleh petugas keamanan. Mareto pun ikut ditangkap dan dibawa ke suatu tempat menggunakan mobil untuk dihabisi nyawanya. Mareto tidak mati

commit to user

sempat dirawat oleh Ai, namun karena kesaksiannya tentang Ki Blaka, ia dianggap gila dan karena tidak kuat lagi menahan penderitaan, Mareto lalu bunuh diri dengan gantung diri. Berikut kutipan yang menunjukkan peristiwa tersebut.

Ini lebih menyakitkan. Aku mengalami semua, tapi tidak dipercaya. Jalan kematian akhirnya kupilih untukku. Untuk pembebasan sempurna. Aku memakai cara yang murah, mudah, dengan

mengalungkan tali ke leher, berayun di pohon (Arswendo Atmowiloto, 2008: 92).

Cerita berlanjut dengan pergantian sudut pandang penceritaan oleh beberapa karakter, seperti Emak dan Ai, serta diceritakan juga kesaksian orang-orang yang pernah mengikuti pertemuan di Kampung Blakan. Seperti halnya pada bagian awal cerita, bagian tengah cerita terdapat sisipan cerita masa lalu yang dialami oleh karakter. Peristiwa tersebut turut membangun alur dan mempunyai keterkaitan dengan peristiwa selanjutnya. Pada bagian tengah cerita ini bercerita tentang hal-hal yang diajarkan oleh Ki Blaka kepada Emak, Ai dan orang yang mengikutinya. Selain Kampung Blakan yang didiami oleh Ki Blaka, terdapat pula Kampung Blakan di daerah lain, yaitu di Klaten yang dipimpin oleh pemimpin yang yang bernama Ki Blaka Lurik. Bahkan di komunitas Blakan telah menyebar di luar Pulau Jawa, yaitu di daerah Jambi. Para anak-anak sekolah dasar di daerah Jambi dan didampingi seorang guru yang bernama Pak Kukuh, mengikuti ajaran yang pernah

commit to user

menggambarkan peristiwa tersebut. Pak Kukuh, guru honorer yang sudah mengajar selama

tiga tahun, sempat terperangah. “Saya tak membayangkan itu bisa terjadi. Bayangkan, kami tak perlu mengawasi berkeliling, tak perlu menunggui. Dan yang terpenting, sangat penting sekali, kami para guru dan siswa saling percaya (Arswendo Atmowiloto, 2008: 126).

Pada bagian tengah cerita ini di akhiri dengan tertangkapnya Ki Blaka oleh petugas keamanan. Ki Blaka dibawa menggunakan helikopter dan ketika dalam perjalanan helikopter yang membawa Ki Blaka meledak di udara dan terbakar tanpa sisa. Berikut kutipan yang menunjukkan penangkapan Ki Blaka dan meledaknya helikopter yang mengangkut Ki Blaka.

Kami belum sempat mandi sampai malam, ketika kami digerebek. Ada pembicaraan kecil, Ki Blaka akhirnya diangkut menggunakan pesawat helikopter. Yang kemudian meledak (Arswendo Atmowiloto, 2008: 140).

(3) Bagian Akhir Tahap akhir merupakan tahap penyelesaian. Pengarang menampilkan adegan sebagai akibat dari klimaks. Pertanyaan yang muncul dari pembaca mengenai akhir cerita terjawab.

Bagian akhir cerita menceritakan kematian Ki Blaka yang sulit dipercaya oleh Emak, Ai dan para pengikutnya. Setelah kematian Ki Blaka, Kampung Blakan ditutup. Pada bagian akhir cerita ditandai dengan berkumpulnya banyak orang setelah empat puluh hari kematian Ki Blaka. Ketika sore hari tampak ada aktivitas yang dilakukan oleh

commit to user

Ki Blaka yang lain. Mereka berada kembali untuk memperingati kematian Ki Blaka, semakin lama semakin bertambah banyak orang yang hadir. Saat itu pula Ai menunjuk Emak sebagai penerus Ki Blaka. Pada bagian akhir, cerita diakhiri dengan peristiwa ditunjuknya Pak Kukuh sebagai penerus Ki Blaka oleh Emak dan pengikut Ki Blaka lainnya. Peristiwa tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

“Sebentar, saya kemari untuk berdoa, untuk mengucapkan salam buat arwah Ki Blaka. Saya guru sekolah dasar di Jambi yang membolos kemari, karena saya... seperti kita semua para Blakanis ini. Artinya...”

Emak mengangguk. Lalu duduk. Bersila. Diikuti Bu Memun, Ai, Jamil Akamid yang harus

dibantu, Ali, kemudian juga Lingar Jimaro.

Serentak dengan itu, semua yang sempat terlihat bersila. Hanya Kukuh yang berdiri. “Pak Guru... silahkan...” “Mak, saya...” “Pak Guru pemimpin kami”, kata Ai lembut. “Tak akan

diganti sampai musnah.”

Hening lama. Lalu terdengar: Yayayayayayayayayayayayayayayayayayayayayayayay

ayayaya

mengangguk-angguk,

mengangguk-angguk, berayun-ayun dalam irama dan gerakan yang sama (Arswendo Atmowiloto, 2008: 282-283)

b) Kausalitas

Konsep kausalitas dalam sebuah alur berkaitan dengan peristiwa- peristiwa yang dihubungkan secara sebab akibat, yaitu sebuah peristiwa akan terjadi sebagai sebuah sebab atau akibat dari peristiwa yang lain. Jika salah satu peristiwa tersebut dihilangkan, maka akan merusak jalan cerita

commit to user

kausalitas dari masing-masing peristiwa yang terjadi, maka akan dipaparkan kronologis peristiwa berdasarkan episode dalam cerita.

Peristiwa-peristiwa dalam novel Blakanis memiliki hubungan kausalitas. Suatu peristiwa dalam episode muncul karena adanya peristiwa lain. Rangkaian peristiwa berawal ketika Suster Emak bergabung mengikuti pertemuan di Kampung Blakan. Karena kedatangan Emak, obrolan semula yang bersifat bebas mulai diatur oleh Emak menjadi pertemuan rutin dan Emak pula yang mengkoordinir pertemuan dan membantu semua kegiatan serta aktivitas Ki Blaka. Kedatangan Emak pula yang mulai ikut membantu mengajari anak-anak membaca dan menulis, melatih warga bernyanyi, mengatur pertemuan, memoderatori, dan memberikan kesimpulan-kesimpulan.

Perubahan terjadi ketika Suster Emak bergabung. Dipanggil Suster karena memakai pakaian biarawati, sering datang mengajar anak-anak membaca dan menulis, dipanggil Emak, bisa jadi karena dianggap emak oleh anak-anak, bisa juga karena singkatan nama baptisnya, Emanuela. Suster Emak tertarik dengan Ki Blaka dan banyak membantu. Membereskan rumah Ki Blaka, menyediakan minuman, membuat catatan, dan kemudian ikut dalam obrolan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 16).

Peristiwa berlanjut ketika nama Ki Blaka mulai tersebar karena semakin lama bertambah wajah-wajah baru yang mengikuti pertemuan, hanya sekedar berkunjung bahkan punya kepentingan berbeda. Secara perlahan itulah yang membuat nama kampung itu berubah menjadi Kampung Blakan atau Desa Blakan. Pengunjung yang berdatangan dari

commit to user

jalanan yang menjajakan diri. Hal ini pula yang membuat Ki Blaka dibawa oleh pihak keamanan dan diinterogasi.

Ini terjadi ketika pengunjung pertemuan makin banyak. Dan tentu di antara yang berdatangan banyak yang muncul dengan kepentingan berbeda. Para perempuan jalanan juga ikut datang, menjajakan diri. Bercampur dengan penjual makanan, penjaji judi koprok, penggembira yang lain, yang meramaikan suasana.

Juga ada keributan dan perkelahian. Ketika itulah Ki Blaka dibawa pihak keamanan untuk

ditanyai.

Dibawa ke kantor polisi, Ki Blaka yang ditemani Emak menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya (Arswendo Atmowiloto, 2008: 21-22).

Setelah peristiwa tersebut Ki Blaka dibebaskan dan pihak keamanan mengatakan kepada Ki Blaka agar menghimbau semua pengunjung untuk lebih tertib. Akibat kejadian itu pula banyak wartawan yang mulai mendatangi Ki Blaka untuk diwawancarai. Hampir semua media menulis, memotretnya, menampilkan selimut loreknya yang sudah hilang warnanya. Menuliskan asal-usul Ki Blaka dalam berbagai versi.

Kemudian Kampung Blakan dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita cantik dan mempesona, model, yang bernama Ali Hasan atau biasa dipanggil Ai. Ai adalah istri dari Linggar Jimaro, seorang pengusaha kaya dan menonjol dari grup bisnis Jimaro. Penyebab Ai datang ke Kampung Blakan adalah karena merasa pertemuan yang diadakan oleh di Kampung Blakan adalah pertemuan yang lucu, aneh, menarik. Ai juga merasakan bosan dengan yang kehidupan yang dia jalani sebelumnya. Kedatangan Ai pula yang membuat ritual yang dinamakan

commit to user

“Ya, betul. Saya perlu membersihkan diri...saya mau mencoba jujur... semacam persiapan mental. Kenapa tidak di tempat lain? Saya dengar Ki Blaka juga suka mandi di sungai. Kamar mandi di sini agak susah, lagi pula airnya belum tentu lebih bersih dari yang di sungai... air dari sini tampungan dari hujan, kan?” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 39).

Jamil Akamid adalah seorang mantan menteri yang tangguh, pernah diperiksa, ditahan, dan dibebaskan. Dia datang ke Kampung Blakan dengan tujuan meminta kesembuhan. Ki Blaka menegaskan bahwa ia sendiri mempunyai penyakit, ia hanya menyuruh Jamil Akamid mengatakan apa saja yang ingin dikatakan dan Jamil Akamid mengatakan segala hal termasuk perbuatan yang pernah dilakukannya selama menjadi menteri. Hal inilah yang mengakibatkan Jamil Akamid diperiksa, ditahan, dituduh melakukan kejahatan menyangkut pengalihan tanah.

“Keyakinannya makin kuat, suaranya makin mantap. “Dengan blaka, tidak membuat saya meninggalkan kursi

roda segera. Tapi saya merasa saya tidak cacat.”

Itu kalimatnya terakhir di Desa Blakan. Selanjutnya ia diperiksa, ditahan, dituduh melakukan kejahatan soal pengalihan tanah-tanah besar dan luas di Jakarta semasa masih menjabat.

Sebagian orang menduga ada yang takut, karena Jamil Akamid akan mengatakan semua yang diketahui, mengakui semua tindakan tercela yang dituduhkan, dan mengatakan dengan siapa saja ia bekerja sama, serta bagaimana caranya.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 60).

Peristiwa penahanan Jamil Akamid membawa beberapa pengaruh yang menarik. Pertama adalah terciptanya ritual selapanan, terjadi karena tinggalnya Jamil Akamid di Desa Blakan selama 35 hari, dari malam Jumat Pon sampai malam Jumat Pon berikutnya. Hal kedua adalah

commit to user

yang dikatakan itu benar adanya. Sejak penahanan Jamil Akamid, ada dua hal yang

menarik.

Pertama, “ritual” selapanan, atau juga dikenal dengan cara Jamil Akamid. Yaitu tinggal di Desa Blakan selama 35 hari, dari malam Jumat Pon sampai malam Jumat Pon berikutnya. Mereka yang tinggal terus-menerus selama selapan hari, tanpa meninggalkan desa, dianggap sebagai warga Desa Blakan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 64).

Hal kedua, tersebarnya berita buruk tentang Ki Blaka di hampir semua media, secara serempak, secara bersamaan, secara berturut-turut. Sisi gelap Ki Blaka dituliskan terang benderang (Arswendo Atmowiloto, 2008: 68).

Sulit dibayangkan, tapi itulah yang terjadi: semua media bisa secara bersama-sama menorehkan warna hitam pada wajah Ki Blaka. Juga bermunculan kembali kasus-kasus penipuan yang selama ini tak terdengar. Jumlahnya sedemikian banyak, memenuhi laporan di kepolisian (Arswendo Atmowiloto, 2008: 69).

Bermula dari peristiwa tersebut, maka Mareto menganggap Ki Blaka adalah sebuah seorang yang munafik. Ki Blaka tak lebih daripada penipu, yang memalsukan

semua segi kehidupan, tidak punya moral baik sedikit pun. Kita sedang memasuki zaman edan dengan menampilkannya sebagai sosok hero. Dan Ki Blaka saat ini sedang menertawai, meledek, menghina kita semua.

Peristiwa tersebut tidak menyusutkan para pengunjung untuk datang ke Kampung Blakan. Keramaian Kampung Blakan tak terusik karenanya. Namun terjadi perubahan lain, semula tenang tenang-tenang, mulai terjadinya banyak keributan. Dari peristiwa itu, niat Mareto dari awal untuk membunuh Ki Blaka semakin kuat.

Itulah saat aku merasakan tugasku: membunuh Ki Blaka. Ini harus dilakukan sebelum nama Ki Blaka benar-benar

hancur. Sebelum akhirnya dilupakan dan tak berarti apa-apa

commit to user

Selain sikap pengakuan Jamil Akamid terhadap apa yang telah dilakukannya, gerakan blaka yang diterapkan Ki Blaka juga telah membawa dampak positif di tempat lain, seperti Kampung Blakan di Klaten dan komunitas Blakan di Jambi.

Itu yang dikatakan Ki Blaka ketika mendengar kabar bahwa sekarang ada juga Kampung Blakan yang tumbuh di daerah Klaten, Jawa Tengah. Mereka menyebut diri sebagai Blakanis ─warga desa Blakan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 114).

.... Tapi itu juga dikatakan Ki Blaka saat menanggapi berita dari Desa Blakan di Jambi.

Sendiri setengah tak percaya berita itu. Dikabarkan bahwa di suatu sekolah dasar negeri di Jambi, para murid yang sedang menempuh ulangan bernyanyi, “Blaka, blaka, blaka...” Kemudian mengejakan ulangan tanpa menyontek, tanpa meniru pekerjaan teman sebelahnya. Para guru tak perlu mengawasi, tak perlu menunggui. Semua berjalan lancar (Arswendo Atmowiloto, 2008: 124).

Bahkan gerakan blaka yang diterapkan serta pengalaman beberapa orang yang pernah singgah di Kampung Blakan tersebut ditulis dan kemudian dibukukan.

Buku itu diberi judul Kisah Para Blakanis, dengan sampul depan bergambar tokoh wayang, Petruk. Disertai penjelasan: Petruk adalah tokoh punakawan, anak Semar. Nama lain Petruk adalah Kanthong Bolong, saku berlubang. Bisa diartikan tanda ikhlas, jujur, tak ada yang ditahan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 232).

Sikap Ki Blaka yang sangat sederhana dan blaka menimbulkan permasalahan. Puncak permasalahan tersebut terjadi dikarenakan persoalan sederhana. Persoalan terjadi ketika Ki Blaka malas untuk mengantre membeli makanan di sebuah restoran cepat saji. Kemudian hal

commit to user

para pengikut tidak mau mempergunakan mata uang dolar dan tidak mau belanja ke restoran cepat saji milik Amerika.

“Dolar adalah dunia yang jauh dari kehidupan saya sehari- hari di sini, juga para pemukim di Kampung Blakan ini. Tapi ternyata ada gemanya. Saya mendengar bahwa Linggar Jimaro serta merta memerintahkan melepas dolar cadangannya. Ia hanya menyimpan untuk keperluan bisnisnya, selebihnya tidak. Apa yang dilakukan Linggar Jimaro diikuti oleh rekan- rekannya, sehingga kurs dolar makin anjlok.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 260).

“Saya menghancurkan bisnis Amerika di sini. “Mungkin benar. “Saya anti Amerika di sini. “Mungkin keliru. “Saya tak mungkin harus anti makanan Amerika, atau duit

Amerika atau makanan Jepang atau Inggris atau juga duit mereka.

“Saya tetap makan kalau saya menghendaki. “Saya akan antre kalau saya tidak malas.” (Arswendo

Atmowiloto, 2008: 263).

Hal inilah yang kemudian membuat Ki Blaka dan para pengikutnya ditangkap oleh pasukan keamanan. Hal ini pula yang membawa Ki Blaka pada kematian, yaitu ketika ditangkap dan dibawa menggunakan helikopter yang kemudian meledak di udara.

Tapi sebelum tengah malam, pasukan keamanan datang, Ki Blaka dibawa dengan helikopter dan meledak, terjatuh, terbakar habis (Arswendo Atmowiloto, 2008: 274).

Kabar kematian Ki Blaka mengakibatkan Emak lemas dan hanya mengigaukan doa terus-menerus. Emak tetap berada di rumah Ki Blaka sampai hari

ketiga.

Tubuhnya lemas, mengigaukan doa. Itu yang dilakukan sejak Ki Blaka diangkut. Tak bisa menjawab pertanyaan, tak

commit to user

kaku ketika diangkat (Arswendo Atmowiloto, 2008: 274).

c) Plausibilitas

Sebuah karya sastra disebut plausibel jika tokoh-tokoh dan dunianya dapat dibayangkan dan peristiwa-peristiwanya layak terjadi. Cerita dikatakan plausibel jika tindakan-tindakan tokohnya benar-benar mengikuti kepribadian yang telah diketahui pada bagian sebelumnya dan bertindak sesuai apa yang seharusnya dilakukan (Stanton, 2007:13).

1. Emak atau Suster Emak tertarik mengikuti Ki Blaka adalah plausibel karena Emak adalah seorang biarawati. Seorang biarawati dituntut melakukan pelayanan kepada Tuhan, oleh karena itu Emak mengajarkan anak-anak membaca dan menulis di Kampung Blakan, kemudian mulai mengenal sosok Ki Blaka lebih dekat dan apa yang dilakukan Ki Blaka.

“Kenapa Emak lebih banyak di sini?” Saya sudah minta izin atasan saya. Saya diberi

kesempatan enam bulan untuk di sini atau kembali.” “Kenapa Emak di sini?” “Ini jawaban dari doa saya, Ki. Saya minta diberi petunjuk

ke mana harus melakukan pelayanan, dan saya ketemu Ki” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 18).

2. Kedatangan Ai seorang model ke Kampung Blakan untuk mengikuti pertemuan adalah peristiwa plausible, karena Ai merasa bosan dengan yang ia jalani selama ia menjadi istri Linggar Jimaro, dan merasa pertemuan itu menarik karena aneh dan lucu, tidak pernah ia jumpai dalam hidupnya.

commit to user

pertemuan lucu, aneh, menarik... bisa jadi saya mulai bosan dengan yang saya jalani sekarang. Kehidupan saya tidak aneh, tidak lucu” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 39).

3. Ditangkapnya Jamil Akamid oleh petugas keamanan setelah mengikuti pertemuan dan banyak bercerita dalam pertemuan adalah peristiwa yang plausibel, karena Jamil Akamid menceritakan segala tidakan tercela yang pernah ia lakukan.

Lalu, Jamil Akamid mengatakan apa saja ─bahwa semua yang dituduhkan kepadanya sebenarnya memang dilakukan. Bahkan lebih dari itu semua, hal-hal yang selama ini tidak diketahui diceritakan secara urut. Siapa saja yang selama ini terlibat, bagaimana proses terjadinya, berapa besarnya, di mana sebagian uang itu disimpan, kepada siapa saja keuntungan dan harta yang ada, nama bank-bank di luar negeri, nama-nama yang selama ini tak pernah disinggung, proyek-proyek yang ada (Arswendo Atmowiloto, 2008: 53).

4. Mareto membenci Ki Blaka dan menganggap Ki Blaka seorang yang munafik adalah peristiwa plausibel, karena Mareto mengetahui sisi gelap Ki Blaka setelah banyak media massa memberitakan masa lalu yang suram mengenai Ki Blaka.

Ki Blaka adalah contoh sempurna kemunafikan. Di satu sisi ia meneriakkan dan menuntut orang lain jujur, ia sendiri sebenarnya

melakukan

penipuan

mentah-mentah, menyalahgunakan kepercayaan, dan berbohong secara sadar. Ki Blaka adalah tokoh tragis, justru karena ia didewa- dewakan sebagai penganjur hidup jujur (Arswendo Atmowiloto, 2008: 69).

5. Keinginan Mareto untuk membunuh Ki Blaka adalah plausibel, karena Mareto tidak ingin Ki Blaka menjadi lebih hancur lagi dan ujung-

commit to user

Emak tak segera menangkap maksudku. Sehingga aku mengulangi lagi, menjelaskan agak rinci. Bahwa satu-satunya jalan menyelamatkan Ki Blaka adalah dengan membunuhnya (Arswendo Atmowiloto, 2008: 72).

Aku mendewakan Ki Blaka lebih daripada semua yang pernah kukenal. Dan aku tak mau membuatnya sengsara. Itulah tugasku. Membunuhnya. Membebaskannya

disepelekan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 76).

6. Peristiwa akhir ketika Ki Blaka ditangkap pihak keamanan dan ingin dilenyapkan adalah plausibel, karena tindakan Ki Blaka, para pengikut Ki Blaka mengikuti Ki Blaka yang sebenarnya hanya malas antri ketika ingin makan di rumah makan fast food. Kemudian pihak yang berlawanan menganggap Ki Blaka anti Amerika, Eropa, bahkan antiperdagangan. Mereka juga menganggap serius gerakan Ki Blaka dan para pengikutnya.

“Maksud saya, kalau tidak ikut antre ─karena secara jujur saya tak terlalu menghendaki saat itu, antrean bisa lebuh pendek. Orang yang menghendaki bisa lebih cepat mendapatkan.

“Saya sudah jelaskan berulang-ulang. “Tapi yang terjadi kemudian adalah, tak ada yang mau

mengantr. Tak ada lagi yang membeli di fast food, sehingga akhirnya ditutup. Kemudian menjadi berita besar, dan di kota- kota, resto Amerika ini menjadi sepi. Serentak sepi. Bukan sepuluh demi sepuluh yang tutup, tapi terjadi bersamaan.

“Terus terang, saya tak membayangkan akan begitu cepat dan meluas. Saya merasa ini hanya musiman. Nanti pembeli akan datang lagi. Namun nyatanya tidak begitu. Boleh dikatakan semua tutuptuptuptup.

“Lalu jadi masalah besar: saya, Ki Blaka, melarang makan di fast food, Ki Blaka menyerang Amerika, perang besar sedang dimulai (Arswendo Atmowiloto, 2008: 262).

commit to user

1. Konflik Bawahan

Dalam sebuah cerita terdapat banyak konflik atau disebut konflik bawahan. Konflik bawahan dalam novel Blakanis terdiri dari konflik eksternal dan konflik internal.

(a) Konflik Eksternal

Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara tokoh satu dan tokoh yang lain (antartokoh) atau antara tokoh dan lingkungannya. Berikut diuraikan konflik eksternal yang terdapat dalam novel Blakanis . (1) Mareto dengan pengunjung Desa Blakan

Konflik antara Mareto dan pengunjung Desa Blakan adalah manifestasi dari sebuah keributan yang dilakukan oleh para pengunjung Desa Blakan. Semula desa Blakan yang tenang, ramah, dan damai menjadi desa liar. Mareto yang dianggap sebagai keamanan di Desa Blakan mencoba menengahi, namun usahanya tidak pernah berhasil. Konflik tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

dengan keributan ─perkelahian., ada darah, ada umpatan, ada permusuhan.

Aku mencoba menengahi, tapi sering kali gagal. Mereka tak melihatku lagi. Wibawaku,

keberadaanku di sini tak ada gunanya. Mereka yang ribut tetap saja ribut, sampai aparat keamanan turun tangan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 71).

commit to user

Konflik antara Mareto dan Emak muncul karena keinginan Mareto untuk membunuh Ki Blaka makin kuat. Hal tersebut kemudian disampaikan kepada Emak, namun Emak tidak menyetujui keinginan Mareto tersebut. Keinginan Mareto tersebut muncul karena timbulnya ketegangan-ketegangan yang terjadi di Desa Blakan dan Mareto merasakan ada upaya sistematis untuk menghancurkan Desa Blakan. Konflik antara Mareto dan Emak terdapat dalam kutipan berikut.

“Kenapa hanya membunuh dan membunuh yang ada dalam kepalamu?” “Apakah Emak melihat jalan lain? “Apakah Emak melihat cara lain? “Membunuh Ki Blaka adalah cara yang terbaik,

cara yang sempurna mengakhiri semua ini. Hanya itu cara terindah sebagai penyelesaian.

“Aku hanya membantu menyempurnakannya.” “Tidak. Pikiran itu harus dibuang jauh-jauh.” “Tak bisa, Mak. “Itu jalan yang benar, yang tepat.” “Tidak. Saya tidak akan membiarkan.” “Itu hanya soal waktu, Mak.” (Arswendo

Atmowiloto, 2008: 73).

(3) Ai dengan petugas keamanan Konflik yang terjadi antara Ai dengan petugas keamanan disebabkan karena petugas keamanan bersikeras akan membongkar dan menertibkan segala bangunan yang ada di Kampung Blakan. Ai menentang tindakan petugas keamanan, namun tindakan Ai tidak mengubah Kampung Blakan untuk tidak

commit to user

dalam kutipan berikut.

“Sebelum jam dua belas tengah malam nanti harus bersih, kalau tidak akan kami bongkar paksa. Kami tak menghendaki kekerasan.”

Ai makin tegang dan paling menentang (Arswendo Atmowiloto, 2008: 82).

(4) Pengunjung Suami-Istri Konflik terjadi karena mulai berdatangannya para pengunjung. Mereka adalah keluarga, ada suami dengan istri. Konflik terjadi ketika para pengunjung bertanya kepada suami atau istrinya tentang apa yang dilakukannya di belakang mereka masing-masing. Berawal dari peristiwa tersebut, kemudian mulai terjadi banyak keributan antara suami dan istri atau pasangan- pasangan lain yang datang ke Kampung Blakan. Semua rahasia- rahasia yang selama ini dibiarkan, terbuka begitu saja.

“Sudah beberapa kali ada kerisauan di lapangan. Sekarang yang berdatangan adalah keluarga. Ada suami dengan istri. Begitu sampai di sini, si istri biasanya bertanya langsung: bagaimana dengan istri muda, benar apa tidak, di mana sekarang, begaimana simpanan uangnya, masih ada berapa, disimpan di mana?

“Ini yang terjadi. Sehingga akhirnya bertengkar dan menjadi ribut. Banyak sekali. Saya kuatir sekali perkembangannya justru akan menghentikan kegiatan ini.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 105).

commit to user

Konflik internal merupakan konflik antara dua keinginan dalam diri seorang karakter. Konflik internal yang dapat ditemukan dalam novel Blakanis adalah sebagai berikut. (1) Konflik batin Ki Blaka yang berhubungan dengan pemberitaan

media.

Konflik batin Ki Blaka terjadi ketika muncul pemberitaan negatif tentang masa lalu Ki Blaka. Berita buruk Ki Blaka tersebar hampir di semua media. Pemberitaan itu diberitakan hampir secara serempak dan berturut-turut. Sisi gelap kehidupan Ki Blaka dituliskan terang benderang, dari awal pernikahannya sampai berita mengenai riwayat pekerjaannya, bahkan riwayat kesehatannya diuraikan secara rinci. Semua berita tersebut diakui oleh Ki Blaka, namun sebenarnya dia ingin membantah demi kejujuran yang telah ia lakukan. Tapi memang semua yang dikatakan oleh media benar adanya. Kebimbangan Ki Blaka tampak dalam kutipan berikut.

Tak ada sedikit pun yang membanggakan. Tak ada yang tersisa. Kabar yang begitu gencar, begitu mencecar,

ditambah kebiasaan yang tak menyenangkan sejak kanak, terus bermunculan seolah ada lomba pekabaran mengenai riwayat hidup yang suram.

Tak ada yang dibantah. “Saya ingin membantah, demi kejujuran. Tapi

memang semua yang dikatakan itu benar adanya.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 105).

commit to user

dengan Ki Blaka

Konflik dalam diri Emak terjadi ketika Emak mengirim surat kepada pemimpin rohani Emak. Surat tersebut berisi tentang keraguan Emak akan tarekatnya. Salinan surat tersebut dibaca oleh Ki Blaka, dan Ki Blaka dalam segala hal tetap menganggap hubungan dirinya dengan Emak adalah hanya seorang umat dan biarawati yang ingin bersikap jujur dan tak lebih dari itu. Keraguan Emak tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

“Kalau saya memeluk Emak, mencium tangan Emak, karena saya merasa umat Emak. Merasa diteguhkan, bahwa di dunia ada orang seperti Emak, karena kebaikan yang diberikan oleh Tuhan.

“Emak adalah tanda kemurahanNya.” “Maaf, Ki, saya tidak seperti itu.” “Dalam mata batin saya seperti itu, Mak.” “Itu terlalu tinggi dan mulia... saya tak seteguh itu

benar.”

“Mak, saya bukan umat yang baik, saya bahkan tak bisa berdoa dengan urut dan benar, tak berperilaku baik. Saya melihat Emak sebagai tanda, seberapa saya menjauh dan mendekat kembali.

“Itulah yang saya lihat, saya rasakan kehadiran Emak di sini.” Lalu Ki Blaka melepas rangkulan. “Kalau Emak ingin memutuskan sesuatu, Emak

ingat ini, ya?”

Saya mengangguk, saya menangis terguguk. “Bahwa setelah mempertimbangkan hal ini, apa pun keputusan Emak, saya lega menerimanya.” Saya seperti tanah kering yang disiram air hujan. Saya mengangguk dan akan melanjutkan

pekerjaan, tapi Ki Blaka masih melanjutkan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 133-134).

commit to user

Konflik ini terjadi ketika banyak keributan, perkelahian di pertemuan, ada rumah tangga yang ambrol. Ki Blaka merasa sedih dan merasa gagal ketika niat baiknya menerapkan sikap blaka berubah menjadi malapetaka. Sikap penyesalan Ki Blaka tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

“Saya merasakan bahwa ini ulah saya. Kalau kemudian ada keributan, perkelahian di pertemuan, ada rumah tangga yang ambrol, bukan karena kehendak Tuhan.

“Terdengarnya agak sombong, namun saya merasa ini tanggung jawab saya, dan saya tak bisa memindahkan bahwa ini kehendak Tuhan.”

Kenapa begitu, Ki? Kenapa harus begitu? “Saya menjadi sedih, merasa gagal, ketika niat

baik, penghiburan diri dengan blaka menjadi malapetaka. Ketika menyeret banyak kegaduhan. Saya menyesal karena telah membuat orang lain merasakan akibat yang tidak menyenangkan.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 121).

(4) Konflik dalam diri Ki Blaka berkaitan dengan kekecewaannya terhadap para menteri dan pejabat tinggi baik nasional maupun internasional yang tidak mendukung kejujuran para blakanis. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

“Saya menyadari peran ekonomi adalah peran yang menentukan, sebab bisa diukur, diberi angka, dan diperbandingkan. Tutupnya dua ratus kios resto adalah terukur, ada dalam angka, dan bisa dibandingkan dengan resto Amerika di tempat lain. Juga penjualan pakaian, minyak wangi, mobil, nonton film, atau produk industri lainnya.

Sedangkan sikap jujur tak bisa diberi angka, tak bisa diukur dan diperbandingkan . Seratus orang

commit to user

Karena seberapa kadar jujur itu hanya bermain di dalam batin kita masing-masing.

“Saya mengetahui kesibukan yang besar ini. Tiba- tiba para menteri, para pejabat tinggi, berdatangan ke Indonesia. Pertemuan demi pertemuan terus berlangsung,

mengamati Kampung Blakan ini.

“Padahal apa salah pemukim Blakan ini? Mereka tak punya bom nuklir. Mereka tidak menjadi teroris. Mereka tidak meresahkan masyarakat sekitar atau bahkan internasional. Mereka tak melakukan kekerasan. Tak ada yang salah kalau seseorang tidak makan atau minum atau memakai pakaian dari negara lain. Tak bisa disalahkan.

“Tapi kadang tak memerlukan kesalahan untuk menjadi serakah, untuk menguasai orang lain, untuk memaksakan kehendak, untuk memerkosa (Arswendo Atmowiloto, 2008: 266-267).

2. Konflik Sentral dan Klimak Sentral

Di antara konflik bawahan yang telah dijabarkan, baik konflik eksternal maupun konflik internal, terdapat konflik yang penting, yaitu konflik sentral. Sebuah cerita bisa terdiri atas banyak konflik bawahan, tetapi hanya ada satu konflik sentral yang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan peristiwa-peristiwa yang membangun alur (Stanton, 2007:16).

Klimaks adalah peristiwa ketika konflik berlangsung memuncak dan mengakibatkan terjadinya penyelesaian yang tidak dapat dihindari. Klimaks cerita merupakan pertemuan antara dua kekuatan sehingga menentukan bagaimana pertentangan itu dapat diselesaikan. Meskipun kekuatan yang satu mungkin mengalahkan yang lain, tetapi sering dalam kehidupan nyata penyelesaian konflik memerlukan keseimbangan yang kompleks yang tidak sepenuhnya menang dan kalah (Stanton, dalam

commit to user

Konflik dalam novel Blakanis ini dimulai ketika Ki Blaka merasa gelisah dengan banyaknya terjadi keributan dan kekacauan di dalam pertemuan dan di luar pertemuan. Kemudian mulai muncul pemberitaan tentang sisi gelap masa lalu Ki Blaka. Konflik mulai memuncak ketika di Kampung Blakan kehadiran seorang Jamil Akamid mantan pejabat tinggi, yang pernah melakukan tindak-tindak kecurangan ketika dia menjabat. Kedatangan Jamil Akamid ke Kampung Blakan disertai pengakuannya yang memberikan dampak tidak langsung terhadap Kampung Blakan dan Ki Blaka khususnya.

Konflik sentral dalam novel Blakanis ini adalah upaya pencekalan dan pelenyapan Ki Blaka dan Kampung Blakan karena gerakan blaka-nya dianggap sebagai gerakan serius yang bersimpangan dengan sebagian pemerintahan pada saat itu. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

“Tuduhan saya anti Amerika, anti Eropa, anti perdagangan, sangat serius. “Juga gawat. “Pertama, itu tuduhan keliru. “Kedua, mereka menganggap sangat serius gerakan ini. Saya mendengar bahwa saya bisa dilenyapkan karena ini

semua. Semuanya mungkin, ya, kan?

“Saudara kan melihat sendiri. Saya hanya perlu kain lorek. Bukan saya tidak mau memakai baju atau celana panjang, atau celana dalam, atau kaus, atau jas, atau sepatu, atau semua aksesori yang diiklankan itu. Jam tangan saja saya tak pakai.

“Saya juga tidak melarang membeli baju atau gaun mahal. Atau tas, atau minyak wangi, atau mobil merek tertentu. Silakan kalau memang dibutuhkan.

“Kalau tidak jangan memaksa diri. “Setiap pemaksaan adalah tanda ketidakjujuran”

(Arswendo Atmowiloto, 2008: 245-246).

commit to user

Kampung Blakan yang ada. Ki Blaka ditangkap kemudian dibawa menggunakan helikopter. Helikopter yang membawa Ki Blaka meledak di udara dan terbakar habis.

Konflik cerita menuju satu titik pusat, yaitu klimaks cerita. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua keadaan atau lebih yang saling bertentangan dan hal ini berhubungan dengan bagaimana konflik tersebut terselesaikan. Klimak cerita terjadi ketika berkumpulnya kembali para Blakanis ke Kampung Blakan. Mereka datang untuk memperingati kematian Ki Blaka. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

“Sebentar, saya kemari untuk berdoa, untuk mengucapkan salam buat arwah Ki Blaka. Saya guru sekolah dasar di Jambi yang membolos kemari, karena saya... seperti kita semua para Blakanis ini. Artinya...”

Emak mengangguk. Lalu duduk. Bersila. Diikuti Bu Memun, Ai, Jamil Akamid yang harus

dibantu, Ali, kemudian juga Lingar Jimaro.

Serentak dengan itu, semua yang sempat terlihat bersila. Hanya Kukuh yang berdiri. “Pak Guru... silahkan...” “Mak, saya...” “Pak Guru pemimpin kami”, kata Ai lembut. “Tak akan

diganti sampai musnah.” Hening lama. Lalu terdengar: Yayayayayayayayayayayayayayayayayayayayayayayay

ayayaya

mengangguk-angguk,

mengangguk-angguk, berayun-ayun dalam irama dan gerakan yang sama (Arswendo Atmowiloto, 2008: 282-283).

Penetapan Pak Kukuh sebagai penerus gerakan Ki Blaka oleh para Blakanis adalah klimak sentral dari novel Blakanis.

commit to user

a. Karakter Sentral

Novel Blakanis menghadirkan karakter Ki Blaka sebagai karakter yang dominan dalam berbagai peristiwa. Ki Blaka atau yang bernama asli Wakiman merupakan karakter yang diutamakan penceritaannya. Keberadaan tokoh Ki Blaka sangat mempengaruhi jalannya cerita dari awal hingga akhir. Intensitas keterlibatan karakter Ki Blaka dengan karakter lain dan dengan berbagai peristiwa cukup banyak.

Secara fisik Ki Blaka dideskripsikan sebagai seorang lelaki yang berusia menjelang enam puluh tahun. Keadaan fisik Ki Blaka dapat digambarkan dalam kutipan sebagai berikut.

Ia, lelaki dalam usia menjelang enam puluh tahun, usia yang bisa dipakai alasan untuk gelisah. Meskipun penampilan masih agak gagah, walau kepalanya mulai botak di tengah pusar kepala yang sudah hilang, rambutnya panjang sebagian berwarna putih dan ujungnya cokelat merah. Rambut merah berasal dari bekas dihitamkan

sebelumnya,

sedangkanrambut putih memperlihatkan aslinya memang sudah putih sejak tumbuh.

Matanya kecil, jarak kiri-kanan agak berjauhan. Daun telinganya kecil, seperti tikus. Ia sendiri yang mengatakan semua itu, sambil mengeluarkan perutnya yang membuncit. “Kalau saya tarik dan menahan napas, masih bisa rata. Tapi perut atas memang susah dikerutkan.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 5-6).

Berikut terdapat juga kutipan yang mendeskripsikan tentang keadaan fisik Ki Blaka. Jari-jari kakinya melebar, karena biasa berjalan tanpa

sendal. Tak ada bulu lebat di kakinya, juga di dadanya, yang mudah terlihat karena hanya mengenakan selimut (Arswendo Atmowiloto, 2008: 7).

commit to user

dilihat lewat cara Ki Blaka berpakaian. Ia hanya memakai selimut atau sarung, berpakaian pun hanya kalau dia merasa memerlukan saja. Bahkan Ki Blaka tidak pernah menggunakan alas kaki. Sosok sederhana Ki Blaka tampak dalam kutipan berikut.

Seperti yang digambarkan, Ki Blaka hanya mengenakan selimut lorek untuk menutupi tubuhnya. Selimut lorek yang banyak dipergunakan di rumah sakit, dengan warna hitam atau biru yang sudah pudar. Sehelai kain yang tak dijahit itu dipergunakan sebagai penutup tubuh. Tanpa memakai kaus dalam, kadang tanpa memakai celana dalam (Arswendo Atmowiloto, 2008: 6).

Jari-jari kakinya melebar, karena biasa berjalan tanpa sendal (Arswendo Atmowiloto, 2008: 7).

Ki Blaka juga digambarkan sebagai seorang sosok yang bijak. Dia sering menanggapi segala jawaban dengan bijak, penuh arti dan bermakna dalam. Seperti perkataannya ketika Ai mulai datang ke mengikuti pertemuan. Perkataan Ki Blaka tersebut tampak dalam kutipan berikut.

“Dunia ini sesungguhnya adil. Segala ketidakadilan menunjukkan perubahan menuju keseimbangan, untuk menjadi adil.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 108).

Ki Blaka juga mempunyai kebiasaan jorok dan kurang sopan. Ia sering buang angin dan sering pipis. Kebiasaan Ki Blaka yang lain adalah mudah sekali merasa kantuk. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.

Yang menjengkelkan adalah karena ia suka kentut ─sengaja dibunyikan dengan keras, kemudian senyum lega (Arswendo Atmowiloto, 2008: 13).

commit to user

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya dengan jujur. Seperti pada kutipan berikut.

“Sekali ini kita ngobrol begini, kita berbuat jujur. Kita harus menjawab pertanyaan dengan jujur. Bapak-bapak boleh bertanya apa saja ke saya dan saya akan menjawab dengan sejujur-jujurnya.”

Mereka tertawa-tawa. Ada yang bertanya apakah Ki Blaka sudah

berkeluarga.

Ki Blaka menjawab sudah berkeluarga, tapi ia bosan, sehingga ia meninggalkan. “Apakah punya rokok?” “Ada. Tapi tak bisa saya berikan, karena saya sendiri

merokok. Dan belum bisa beli.” “Apakah kamu orang Jawa?” “Bisa dikatakan begitu. Saya lahir di Jawa, tapi sejak

muda bekerja di Jakarta. Saya tak tahu persis apakah saya orang Jawa, karena wajah saya ada Cinanya, ada Manadonya, paling saya tidak pernah disangka itu (Arswendo Atmowiloto, 2008: 13).

Sikap terbuka Ki Blaka ditunjukkan dengan kehidupannya ketika pertama dia bermukim di Kampung Blakan. Ia sangat terbuka dengan tetangga sekitar yang juga bermukim di tempat itu. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.

Ki Blaka mulai hidup di situ, rumahnya selalu terbuka. Berbicara dengan warga sebelumnya, mengenalkan diri kalau

bertemu,

mengundang

mereka datang, menghidangkan apa yang dimiliki ─dan sebenarnya juga dimiliki oleh tetangga (Arswendo Atmowiloto, 2008: 12).

Selain jujur dan terbuka, Ki Blaka adalah seorang yang tegas. Ki Blaka menyampaikan ketegasannya dengan mengatakan tidak menerima sumbangan baik uang atau pun barang.

commit to user

sumbangan, baik uang atau pun barang. “Tidak ada yang boleh menerima. “Kalau ada yang mau membagi-bagikan untuk warga

di sini, harus diberikan langsung. Yang dibutuhkan di sini adalah kejujuran. Berani jujur. Berani blaka. Bukan menjadi dermawan. Banyak tempat lain untuk menjadi dermawan.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 49).

Ki Blaka juga seorang yang memiliki sikap spontanitas. Hal itu terlihat melalui ucapan-ucapan yang sederhana dan tanpa dibuat menjadi rumit. Sikap spontanitas Ki Blaka dapat dilihat dari kutipan berikut.

Entah apa maksud Ki Blaka yang sebenarnya. Ia sendiri tak pernah secara runut menjelaskan, bahkan juga batasan jujur. Ia menjelaskan secara spontan, dalam rumusan yang longgar (Arswendo Atmowiloto, 2008: 21).

b. Karakter Bawahan

Keterlibatan karakter bawahan dalam berbagai peristiwa yang terdapat di dalam novel relatif sedikit dibandingkan karakter utamanya. Keterangan mengenai sikap dan watak karakter tersebut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan karakter sentralnya, jadi tidak semua karakter bawahan yang terdapat dalam novel Blakanis ini dianalisis. Berikut ini analisis terhadap beberapa karakter bawahan dalam novel Blakanis.

(1) Suster Ema atau Suster Emak atau Emak Suster Emak atau Emak adalah seorang yang bisa dikatakan memiliki jiwa nasionalisme. Hal itu dilakukan ketika Emak datang ke Kampung Blakan memberikan latihan menulis dan menyanyi kepada anak-anak. Ajakan menyanyikan nyanyian nasional tersebut juga diterapkan kepada para peserta pertemuan ketika menjelang usai

commit to user

berikut. Di akhir obrolan, Suster Emak mengajak peserta

seluruhnya menyanyikan lagu Padamu Negeri, Berkibarlah Benderaku, atau Rayuan Pulau Kelapa. Di waktu senggang, Suster Emak melatih warga setempat bernyanyi. Para ibu dengan anak mereka, para bapak- bapak yang malu-malu (Arswendo Atmowiloto, 2008: 18).

Seorang suster dan agamawan wajib melakukan pelayanan kepada Tuhan. Sikap pelayanan tersebut di tunjukkan Suster Emak dengan melalukan pelayanan dan membantu anak-anak serta orang- orang di Kampung Blakan yang sekaligus juga melayani Ki Blaka juga. Sikap pelayanan Emak dan ringan tangan tersebut terdapat pada kutipan berikut.

...sering datang mengajar anak-anak membaca dan menulis. Suster Emak tertarik dengan Ki Blaka dan banyak membantu. Membereskan rumah Ki Blaka, menyediakan minuman, membuat catatan, dan kemudian ikut dalam obrolan, pun kalau diadakan di malam hari (Arswendo Atmowiloto, 2008: 18).

Sosok Emak digambarkan seorang yang religius. Hal ini karena Emak adalah seorang Suster. Hal itu dilakukan Emak untuk menguatkan batin Emak kepada Tuhan. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

Saya membawa dalam doa berlarut-larut. “Tuhan Yesus, beri jalan, agar kami bisa memuliakan Bapa.” Saya bisa berlama berdoa mohon kepada Ibu Maria untukmendoakan... Saya memasukkannya ke doa makan, doa pagi, doa menjelang tidur, doa yang saya maui (Arswendo Atmowiloto, 2008: 95).

commit to user

Ai adalah adalah seorang mantan model. Pengenalan karakter seorang Ai terjadi ketika Ai mengikuti pertemuan di Kampung Blakan. Ai mempunyai deskripsi fisik yang hampir sempurna sebagai seorang perempuan. Kutipan berikut ini menjelaskan hal-hal yang disampaikan di atas.

Tidak banyak, tapi pastilah tidak sedikit yang mengenal Ai. Dengan sekali melihat, mudah mengingat Ai. Seluruh tubuhnya sangat putih ─betul-betul putih, bersih, memesona. Tak cukup menatap satu kali. Pasti akan mencoba mencuri-curi lihat, apakah benar kakinya yang putih adalah warna kulit asli atau ditutupi kaus kaki panjang. Karena sulit dipercaya. Tapi tangannya, lehernya sangat putih. Juga kulit wajahnya yang berseri (Arswendo Atmowiloto, 2008: 36-37).

Penggambaran fisik Ai yang sempurna juga dikatakan oleh Ki Blaka. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut ini.

Perempuan yang sangat putih kulitnya, cantik, mulus, alisnya tebal. Mata senang menatap ke arahnya: tubuhnya, pembawaannya, senyumnya (Arswendo Atmowiloto, 2008: 108).

Ai adalah seorang yang cerdas, tenang dan tegas dalam mengambil keputusan. Selain sikap-sikap di atas, Ai juga seorang penyayang. Sikap-sikap Ai tersebut tercermin dalam kutipan berikut.

Ai tampak cerdas, tampak tenang, dan merumuskan kalimatnya menjadi enak didengar.

Dan mantap dalam mengambil keputusan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 44).

commit to user

adalah seorang penyayang. Terutama terhadap anaknya yang bernama Ruben.

“Kalau Ruben kangen, ajak ke sini... jangan waktu sekolah.”

Ruben, anaknya, beberapa kali datang. Lengkap dengan baby sitter yang mengelilingi, petugas yang sigap, dan perlengkapan untuk keperluannya. Juga dokter serta perawat yang menjaga terus-menerus. Ruben menderita penyakit pernapasan. Gangguan pernapasan yang bisa muncul setiap saat secara tak terduga (Arswendo Atmowiloto, 2008: 44).

Selain itu Ai juga tak suka pamer dengan kekayaan yang dimilikinya. Justru ia banyak membantu Kampung Blakan dengan membantu menyumbang fasilitas-fasilitas yang mendukung kehidupan di Kampung Blakan. Ai juga seorang yang rendah hati. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

Adalah Ai yang membuat tontonan itu menjadi bermanfaat.

Dokter

yang

mengawal Ruben dimanfaatkan Ai. “Mereka dibayar untuk memeriksa.” Pasiennya adalah warga desa setempat. Mulai dari anak- anak, para remaja, ibu-ibu, bapak-bapak, semua mendapat pemeriksaan gratis, mendapat perawatan gratis,

mendapat

pengobatan

gratis. Semua dimungkinkan oleh Ai. Termasuk penyediaan obat- obatan, atau petugas yang akan membeli di apotek di Karawang. Atau bahkan di Jakarta. Untuk pertama kalinya, barangkali sejak desa itu ada, didirikan Puskesmas tenda yang luas. Tanda putih yang sangat mencolok, kukuh, tertata rapi, tertib, dan menjadi sangat mewah (Arswendo Atmowiloto, 2008: 45).

Ai menetapkan bahwa semua pemeriksaan, perawatan, dan pengobatan harus gratis (Arswendo Atmowiloto, 2008: 46).

Suaminya pengusaha yang sangat terkenal, tapi Ai rendah hati. Tidak mengingkari nama besar keluarga

commit to user

itu (Arswendo Atmowiloto, 2008: 109)

(3) Mareto Mareto digambarkan sebagai seorang yang aneh. Mareto adalah seorang mantan polisi. Ia mengikuti pertemuan dan kemudian ikut membantu Ki Blaka. Ia mengenal Ki Blaka pertama kali ketika ketika masih dinas. Pengenalan sosok Mareto terdapat dalam kutipan berikut.

Selain Pak Ali, ada juga Mareto. Tampan, ganteng, tapi suka melamun dan sorot matanya aneh. Pernah menjadi intel polisi, dikeluarkan, agak terganggu jiwanya. Tapi untuk pekerjaan yang diserahkan kepadanya, menjadi tanggung jawabnya, semuanya beres, rapi, dan hasilnya memuaskan. Sangat mengagumi Ki Blaka. Bahkan memuja (Arswendo Atmowiloto, 2008: 100).

Mareto mempunyai naluri membunuh. Mareto melakukan hal tersebut ketika masih bekerja di kepolisian. Hal itu dilakukan saat bertugas di Timor dan di Aceh. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.

...Kukatakan apa adanya, bahwa dulu pun aku dibayar sangat kecil, untuk pekerjaan membunuh. Bayaran bulanan, dan tak ada bonus kalau aku melakukan pembunuhan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 33).

Di kampungku, ketika ada pencuri motor yang digebuki ─mungkin akan dibakar, juga kumatikan dengan cepat. Kuputar kepalanya sampai mengeluarkan bunyi krak yang panjang, lalu terkulai.

Selesai. Tak lagi mengaduh. Bahkan darah pun berhenti

mengucur (Arswendo Atmowiloto, 2008: 75).

commit to user

dengan keinginan utamanya, yaitu ingin membunuh Ki Blaka. Namun sikap ambisius tersebut masih dapat dicegah oleh Emak dan Bu Memun. Berikut ini adalah keambisiusan Mareto untuk membunuh Ki Blaka.

“Tak baik ngomong bunuh-bunuhan... ngomong itu yang baik-baik. Apa dikiranya gampang membunuh?” “Pertama memang susah, bingung... tapi lama-lama gampang.” “Membunuh ayam saja susah.” “Ayam susah, manusia lebih gampang.” “Hush.” “Aku bisa ngomong karena pernah melakukan. Dan

bukan sekali, bukan dua kali, bukan lima kali.”

“Hush.” “Bu, ini di Blakan, aku di sini sudah lama. Aku

dekat dengan Ki Blaka, dengan Emak... aku mengatakan apa adanya.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 33).

Keinginan Mareto untuk membunuh Ki Blaka juga tampak dalam percakapannya dengan Emak. Berikut ini adalah kutipan percakapan Emak dengan Mareto.

“Kenapa hanya membunuh dan membunuh yang ada di kepalamu?” “Apakah Emak melihat jalan lain?” “Apakah Emak melihat cara lain?” “Membunuh Ki Blaka adalah cara yang terbaik, cara

yang sempurna mengakhiri semua ini. Hanya itu cara terindah sebagai penyelesaian.

“Aku hanya membantu menyempurnakannya.” “Tidak. Pikiran itu harus dibuang jauh-jauh.” “Tak bisa, Mak.” “Itu jalan yang benar, yang tepat.” “Tidak. Saya tidak akan membiarkan.” (Arswendo

Atmowiloto, 2008: 72-73).

commit to user

Jamil Akamid digambarkan sebagai seorang lelaki yang mempunyai keinginan kuat. Hal itu ditunjukkan ketika Jamil Akamid datang ke Kampung Blakan dan meminta kepada Ki Blaka kesembuhan terhadap dirinya. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

“Saya senang Pak Jamil kemari. Saya akan mengantarkan bapak ke tenda Puskesmas. Suster Emak, silakan antar Pak Jamil.”

“Maaf, Ki Blaka, saya sudah berobat sampai ke ujung dunia. Saya kemari bukan minta pengobatan gratis, melainkan kesembuhan.”

“Lho, apa yang bisa saya lakukan? Saya sendiri sakit-sakitan, pipis tak tertahan.”

“Ki Blaka, ” suara sang istri terdengar rendah, “katakanlah apa saja, untuk mandi di sungai, atau untuk gundul... Suami saya akan percaya.”

Baik, Bu Jamil, tapi saya tidak bisa mengatakan apa yang tidak saya ketahui.” “Katakan apa saja, Ki Blaka....” Suasana hening. Ki Blaka menghela napas. “Pak Jamil yang mengatakan... apa saja yang ingin

dikatakan.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 52-53).

Jamil Akamid adalah orang yang ambisius dan keras bicaranya. Ketika ia telah mengatakan apa adanya tentang semua hal yang pernah ia lakukan semasa ia menjabat menteri. Jamil Akamid berharap sikapnya dapat diikuti oleh banyak pengusaha dan pejabat yang terlibat. Ia juga berharap gerakannya jujur Ki Blaka menjadi gerakan moral yang spektakuler. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

“Ki Blaka, kalau saya memulai mengatakan apa yang saya alami, pasti ada gelombang besar. Banyak menteri, banyak pengusaha, banyak penguasa terlibat.”

“O, begitu.”

commit to user

yang lain, akan menjadi peristiwa yang luar biasa.”

“O, bisa, ya?” “Artinya, gerakan Ki Blaka menjadi gerakan

spektakuler. Semua perhatian akan tertuju kepada Ki Blaka, ke permukiman ini.

“Hebat.” “Ya, bisa jadi.” “Kita siapkan sebagai momentum dasyat, sebagai

langkah awal gerakan raksasa... perubahan... kesadaran. Biarlah saya menjadi tumbal pertama.

“Ki Blaka mendukung penuh?” “O, bagus itu.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 57-

58)

Jamil Akamid juga digambarkan sebagai seorang yang berani. Jamil Akamid berani mengatakan apa adanya tentang hal-hal menyimpang yang pernah dilakukannya semasa menjadi pejabat. Kalau pun dipanggil ia akan mengatakan hal yang sama ketika ia berbicara apa adanya di Kampung Blakan. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

“Di sini saya mengatakan apa adanya. Apakah bisa menjadi bukti di pengadilan atau tidak, itu urusan hukum. Kalau saya diperlukan dan dipanggil, akan saya katakan seperti yang katakan di sini.”

Lalu, “Kebenaran sudah dikatakan. Apakah itu menjadi dasar hukum atau tidak, tidak mengurangi kebenaran yang ada.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 56).

Jamil Akamid juga digambarkan sebagai sosok yang tegas dan percaya diri. Ia juga seorang yang perhatian. Sikap perhatian itu ia tujukan kepada Ki Blaka saat Jamil Akamid dikunjungi Emak dan Mareto ketika ia di penjara. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

“Ki Blaka menyampaikan salam, tidak lewat ucapan.” Jamil tertawa lepas.

commit to user

masih berada di atas kursi roda, ketika dibopong masuk pendapa pertemuan. Sosok ini kelihatan percaya diri, lebih tegas (Arswendo Atmowiloto, 2008: 62).

Sedangkan sikap perhatian Jamil Akamid kepada Ki Blaka tampak dalam kutipan berikut. “Mak, tolong jaga Ki Blaka. Saya kuatir akan ada

orang yang membunuhnya.”

Kalimatnya diucapkan biasa. Smasekali tidak melirik ke arahku.

“Siapa yang diuntungkan kalau Ki Blaka dibunuh?” Jamil baru memandangku. “Ki Blaka sendiri. Siapa lagi?” (Arswendo

Atmowiloto, 2008: 62-63).

(5) Bu Memun Bu Memun digambarkan sebagai seorang yang mudah kuatir atau tidak tenang. Ketika banyak pasangan keluarga datang ke pertemuan dan saling jujur mengatakan apa yang telah disimpan dan dirahasiakan. Mulai terjadi banyak keretakan, permusuhan, dan kecurigaan karena masing-masing mengetahui apa yang selama ini telah dirahasiakan. Hak tersebut tampak dalam kutipan berikut.

“Ini yang terjadi. Sehingga akhirnya bertengkar dan menjadi ribut. Baanyak sekali. Saya kuatir sekali perkembangannya justru akan menghentikan kegiatan ini.

“Dalam setiap keluarga, pasti ada rahasia-rahasia yang selama ini dibiarkan. Tak bisa dibuka begitu saja. Siapa yang ingin mengatakan kepada pasangannya, siapa saja yang pernah ditiduri, atau sampai sekarang masih?

“Ini berat. “Saya sangat kuatir. “Karena yang terjadi adalah keluarga yang baik-

baik, yang saling menyimpan perkara dalam hati,

commit to user

permusuhan, kecurigaan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 105).

(6) Sopi Sopi adalah sopir pribadi Ai. Sopi digambarkan sebagai seorang yang baik hati. Sopi selalu mengantar dan mendampingi Ai untuk datang ke pertemuan di Kampung Blakan. Berikut kutipan yang menggambarkan tentang fisik dan karakter Sopi.

Sopi berbadan kecil, cenderung kurus, kulitnya hitam, pandangan matanya tajam, jarang berbicara ─dan belum pernah ikut bertanya dalam pertemuan. Ia menguasai jalanan di Jakarta ─juga Bandung, Cirebon, dan Surabaya, dalam arti hafal jika ada kemacetan di mana dan harus melalui jalan apa (Arswendo Atmowiloto, 2008: 41).

Sebagai seorang mantan preman, Sopi juga digambarkan sebagai seorang yang baik hati, taat, dan bawaannya sopan. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut ini.

Tadinya menjadi pemimpin preman di Pasar Senen Jakarta ─wilayahnya sampai Matraman juga perempatan Coca Cola. Ia mengembalikan handphone mahal milik Linggar yang diambil paksa anak buahnya, dan sejak itu dijadikan sopir pribadi. Anaknya satu, bawaan dari istrinya satu, dan sebagai sopir pribadi, penghasilannya sangat besar. Memiliki rumah sendiri, isterinya membuka warung yang laris, sering bertemu menteri ─pak dan bu menteri, sering diajak ke luar negeri, menginap di hotel yang tarifnya semalam sama dengan gajinya tiga tahun (Arswendo Atmowiloto, 2008: 41).

Selama menjadi sopir belum pernah menyerempet atau diserempet, belum pernah melanggar lalu lintas, bawaannya

sopan,

mendengarkan

(Arswendo

Atmowiloto, 2008: 41).

commit to user

Pak Kukuh digambarkan sebagai seorang guru honorer yang baik dan periang. Ia juga seorang guru yang jujur dan patut menjadi teladan. Itu terjadi ketika sekolah dasar yang diajar oleh Pak Kukuh mengikuti prinsip blaka yang dianjurkan oleh Ki Blaka. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

Pak Kukuh bukan hanya gembira, melainkan juga bangga. “Kini semua orang tahu sekolah dasar kami di desa, yang selama ini tak diperhitungkan, bahkan tak dikenali. Dikenali bahwa masih ada anak-anak di Indonesia yang mengenakan seragam sekolah warna merah-putih ini yang benar, baik adanya. Saya percaya banyak anak yang lain yang sama. Kami yang memulai.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 127).

(8) Ali Ali digambarkan sebagai seorang yang kurus. Ia salah satu orang yang ikut membantu Emak dan Ki Blaka. Ali, lelaki yang agak kurus, kalau membaca seperti

mengeja, yang merupakan pemukim sebelum Ki Blaka. Dia pula yang mengusulkan memelihara kambing, kemudian itik, dan terakhir dua ekor sapi (Arswendo Atmowiloto, 2008: 34).

Tidak semua karakter bawahan dalam novel Blakanis penulis analisis, sebab karakter-karakter bawahan ini yang hanya sesekali muncul atau bahkan sekali saja muncul di dalam cerita. Karakter-karakter tersebut antara lain, Lola (Ola), Sujan, Windi, Darmo, Marni, Wahyu Arioutomo, Eyang Brondol, Ibu Ning, Marabun, Wicaksono Kusmanto, Sheila Wicaksono, Ama, Darius Astina, Inca, Ipul, Tuk atau Muk atau Puk,

commit to user

Kampung Blakan, petugas keamanan, dan Yatmo. Karakter-karakter tersebut tidak dianalisis karena perwatakannya tidak dijabarkan oleh pengarang. Namun peranan karakter-karakter tersebut tidak dapat dianggap remeh karena kehadiran mereka selain ikut mendukung cerita, juga menonjolkan peran tokoh utama.

c. Motivasi Karakter

Analisis motivasi dalam novel Blakanis hanya dibatasi pada karakter-karakter tertentu yaitu Ki Blaka, Suster Emak, Ai, Mareto, dan Jamil Akamid. Sementara itu karakter-karakter yang lain tidak dianalisis motivasinya karena terbatasnya keterangan mengenai karakter yang bersangkutan.

(1) Ki Blaka Motivasi dasar Ki Blaka adalah ingin membuat hidupnya menjadi menyenangkan, tanpa banyak beban, tanpa banyak ketakutan, sehingga hidup menjadi lebih damai dan tenteram. Berdasarkan hal tersebut Ki Blaka melakukan hal yang disebut motivasi khusus. Ki Blaka memulai segala sesuatu dengan sikap blaka. Ki Blaka mencoba menanamkan semangat kejujuran di dalam hati, di dalam batin, dan mengatasi ikatan-ikatan yang membatasi dirinya untuk berbuat blaka. Kemudian sikap tersebut secara tidak langsung oleh banyak orang.

commit to user

Motivasi dasar Emak sebagai seorang suster adalah memuliakan dan mengabdikan diri kepada Tuhan serta menjalankan tarekat yang ia yakini. Untuk mewujudkan motivasi dasar tersebut, Emak membantu Ki Blaka, mengajari anak-anak di Kampung Blakan membaca dan menulis, serta melatih warga bernyanyi. Selain itu, Emak juga banyak membantu kegiatan yang berlangsung di Kampung Blakan. Tindakan Emak tersebut adalah sebuah motivasi khusus untuk mendukung motivasi dasarnya.

(3) Ali Hasan Motivasi dasar Ai adalah untuk menghindari kebosanan dan kepenatan terhadap kehidupan sehari-hari Ai selama menjadi istri Linggar Jimaro. Ai datang ke Kampung Blakan dan mengikuti pertemuan yang ia anggap menarik, aneh, lucu, dan tak pernah ia jumpai selama menjadi istri Linggar Jimaro. Ai juga memendukung segala aktivitas positif serta banyak membantu memberikan fasilitas gratis di Kampung Blakan. Tindakan Ai merupakan motivasi khusus.

(4) Mareto Motivasi dasar Mareto adalah ingin menyelamatkan Ki Blaka dan mengakhiri penderitaan Ki Blaka dari pemberitaan-pemberitaan sisi gelap Ki Blaka oleh media yang mengakibatkan nama Ki Blaka

commit to user

apa. Motivasi khusus yang dilakukan Mareto adalah ingin membunuh Ki Blaka. Hal tersebut dilakukan Mareto untuk mendukung motivasi dasar Mareto.

(5) Jamil Akamid Motivasi dasar Jamil Akamid adalah meminta kesembuhan terhadap penyakit yang ia derita. Karena anjuran dari Ki Blaka, Jamil Akamid mengatakan apa adanya semua hal yang telah ia lakukan selama menjadi seorang pejabat. Ia melakukan hal tersebut untuk membuat hidupnya lebih semangat dan lebih blaka dalam menjalankan segala sesuatu. Tindakan Jamil Akamid tersebut merupakan motivasi khusus.

3. Latar

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan nyata kepada para pembaca untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi, sehingga pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga pembaca merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dari dirinya.

commit to user

memperjelas tema. Dalam banyak cerita, latar dapat menggugah nada emosi di sekeliling karakter. Istilah lain nada emosi adalah atmosfer, yaitu suasana yang mencerminkan emosi tokoh atau merupakan bagian dari dunia di sekeliling tokoh (Stanton, 2007:19).

Latar dapat dipergunakan untuk beberapa maksud atau tujuan yaitu: untuk memperbesar keyakinan terhadap tokoh dan geraknya serta tindakannya, dapat mempunyai suatu relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan dan arti yang umum dari suatu cerita, dapat bekerja bagi maksud- maksud yang lebih tertentu dan terarah dari pada menciptakan suatu atmosfer yang bermanfaat dan berguna (Henry Guntur Tarigan, 1993:136).

a. Latar Tempat

Latar tempat yang digunakan dalam novel Blakanis lebih dominan memakai latar permukiman Blakan dan sekitarnya. Terdapat juga beberapa tempat di luar permukiman Blakan yang digunakan sebagai latar. Permukiman Blakan sendiri terletak di daerah pinggiran tol dekat kawasan pabrik-pabrik.

1) Permukiman atau Kampung Blakan Permukiman atau Kampung Blakan merupakan latar utama pada novel Blakanis ini. Latar tersebut mendominasi dalam cerita novel Blakanis. Secara lebih rinci, latar tempat di Kampung Blakan dapat di analisis sebagai berikut.

commit to user

Pendapa pertemuan adalah tempat Ki Blaka mengadakan pertemuan resmi bersama para pendatang dan sekaligus tempat ia bermukim.

Bangunan pendapa itu sangat bagus, megah, bahkan untuk ukuran orang kota sekalipun. Atapnya tinggi, lebar, dengan beberapa hiasan di sudutnya. Dindingnya dari papan kayu, empat persegi panjang dengan berbagai daerah yang disambungkan begitu saja, beda ketebalan kayu, beda jenis dan motif ukiran, juga ada yang diwarnai. Sebagian sangat antik, sangat kuno, sangat mahal. Disambungkan ornamen ukiran dari Jawa Tengah, dari Madura, dari tempat lain lagi (Arswendo Atmowiloto, 2008: 8).

(b) Sungai Blakan Sungai adalah tempat Ai melakukan ritual yang dinamakan Adus Ai . Ritual ini dilakukan pertama kali oleh Ai dan motivasi Ai melakukannya adalah untuk membersihkan diri, namun para pendatang memakainya sebagai ritual ketika pertama kali datang ke Kampung Blakan.

Ai menuju sungai, lalu tanpa canggung sedikit pun melepaskan pakaiannya, meninggalkannya begitu saja di pinggiran, dan dengan telanjang bulat masuk ke sungai. Mencelupkan tubuhnya, membersihkan diri. Baru kemudian berdiri, berjalan ke pinggir, menghanduki tubuhnya, rambutnya, sebelum menutupi tubuhnya dengan selimut lorek (Arswendo Atmowiloto, 2008: 38).

(c) Tenda putih (Puskesmas Blakan) Tenda putih adalah tempat yang di bangun di Kampung

commit to user

diperuntukkan bagi pemukim maupun pendatang di Kampung Blakan. Berikut ini adalah kutipan yang menjelaskan peristiwa di tenda putih.

Linggar berjalan biasa, langsung menuju tenda putih satu, di mana Ai sedang bersama-sama ibu-ibu yang diperiksa. Ai tampak terkejut, setengah tak percaya bahwa Linggar menemuinya. Bukan hanya menemui, memeluk erat sekali, merangkul lama, dan menggegam tangan Ai, tanpa pernah melepaskannya (Arswendo Atmowiloto, 2008: 65).

(d) Bekas Kolam Peristiwa yang terjadi di bekas galian kolam adalah ketika para pengikut Ki Blaka kembali ke Kampung Blakan yang sudah tak berpenghuni. Mereka berkumpul lagi untuk mendoakan Ki Blaka dan meneruskan kembali gerakan blaka. Latar peristiwa tersebut terdapat pada kutipan berikut.

Rombongan ternyata melalui rumah yang pernah didiami Ki Blaka, yang sekarang nyaris tak ada bekasnya. Mereka menuju kolam, ke bekas galian yang dulunya akan digunakan sebagai kolam. Yang selalu kering. Tapi kali ini, rasanya ada air sedikit. Semacam genangan. Bisa jadi rembesan dari sungai yang karena tak terurus lagi, airnya membelok.

Ada air di bekas kolam itu (Arswendo Atmowiloto, 2008: 280).

2) Di Depan Kantor Polisi Peristiwa di depan kantor polisi adalah ketika Mareto dan banyak warga menunggu penyelesaian terhadap Ki Blaka yang dibawa

commit to user

ribut dan melakukan aktivitas terlarang. Berikut kutipan yang menjelaskan latar terjadinya peristiwa tersebut.

Karena aku termasuk dari sekian warga yang menunggu di depan kantor polisi, yang ingin tahu bagaimana penyelesaiannya, apa yang ditanyakan, dan bagaimana nasib Ki Blaka selanjutnya. Yang berdatangan makin lama makin banyak lagi. Kemudian bertambah dengan kedatangan para wartawan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 22).

3) Tahanan Tahanan merupakan latar di luar Kampung Blakan. Peristiwa yang terjadi di tahanan adalah ketika Emak dan Mareto mengunjungi Jamil Akamid.

Emak juga makin pelit dengan komentar. Di dalam bus, Emak banyak berdoa. Aku tidur, dua kali. Dan malas untuk berbasa-basi menemui petugas. Emak berbeda. Emak menjelaskan maksudnya, mengisi buku tamu, meninggalkan kartu pengenal, menunggu apakah Jamil bersedia menemuinya, lalu menghadap pemimpin tahanan lagi, menunggu lama, ditanyai banyak: apa keperluannya, kenal di mana, sejak kapan.

Lama baru kemudian Jamil keluar. Berkeringat banyak, karena berusaha jalan, dipapah sesama tahanan. Ia tak lagi menggunakan kursi roda. Emak adalah tamu pertama, karena selama ini tak ada yang menjenguknya. Tidak juga anak dan istrinya. (Arswendo Atmowiloto, 2008: 62).

b. Latar Waktu

Latar waktu yang digunakan dalam novel Blakanis terdiri dari latar waktu parsial. Latar parsial dapat digunakan menjadi dua kelompok

commit to user

diasosiasikan pada waktu. Kata yang merujuk pada waktu dalam novel Blakanis meliputi jam, tahun, dan bagian dari hari seperti pagi, sore, dan malam. Berikut ini kutipan yang menunjukkan latar yang merujuk pada jam.

“Sebelum jam dua belas tengah malam nanti harus bersih, kalau tidak akan kami bongkar paksa. Kami tak menghendaki kekerasan.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 81).

Pukul tiga sore, terdengar pengeras suara mengingatkan bahwa acara adus Ai yang pertama akan dilakukan. Para peserta diminta mempersiapkan diri, di tempat yang telah ditentukan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 154).

Latar yang menggambarkan kata yang merujuk pada tahun terdapat dalam kutipan berikut ini.

Tahun lalu, pendapa itu belum ada, bahkan dalam rencana sekalipun (Arswendo Atmowiloto, 2008: 8).

Kini, delapan tahun kemudian, muncul kembali. Masih memesona, kulitnya masih membuat bertanya-tanya, dan mata berusaha menghitung pori-pori yang terlihat, dan terlihat biasa (Arswendo Atmowiloto, 2008: 38).

Berikut ini kutipan yang menunjukkan latar yang merujuk pada bagian hari, yaitu pagi hari.

Pada suatu pagi, Ema berkeringat ketika dibangunkan Ai. Ema mengatakan karena semalaman bekerja sampai larut, ia lupa berdoa (Arswendo Atmowiloto, 2008: 243).

“Mak, kita lanjutkan apa yang mengisi mimpi kita malam tadi. ”

Itu dikatakan Ki Blaka pada suatu pagi (Arswendo Atmowiloto, 2008: 136).

commit to user

hari, yaitu siang hari. Ke tempat itulah Ki Blaka datang, suatu siang, dan

kemudian menetap. Tak ada yang memedulikannya, karena siapa saja bisa menetap, bisa mendirikan bangunan kalau mau, bisa membuat batas wilayah sampai ke berbagai arah (Arswendo Atmowiloto, 2008: 10).

Aku merasa panggilan itu ada ketika suatu siang, ada seorang yang datang dengan mobil, dan tiba-tiba ada yang mendekati (Arswendo Atmowiloto, 2008: 34).

Berikut ini kutipan yang menunjukkan latar yang merujuk pada bagian hari, yaitu sore hari.

Linggar, pada sore harinya ikut adus Ai. Benar-benar telanjang, masuk ke sungai yang dangkal, dengan pengawal seluruhnya melindungi (Arswendo Atmowiloto, 2008: 66).

Sore itu juga rombongan kembali ke Salatiga. Tidak berhenti, tidak jadi melanjutkan acara yang disusun Di Jakarta (Arswendo Atmowiloto, 2008: 149).

Berikut ini kutipan yang menunjukkan latar yang merujuk pada bagian hari, yaitu malam hari.

Aku merasa malam itu akan terjadi sesuatu. Tapi ternyata tidak. Ki Blaka dilepaskan, disambut dengan sorak-sorai. Ki

Blaka berjalan kaki, tapi kemudian diantarkan, karena iringan berubah menjadi pawai besar (Arswendo Atmowiloto, 2008: 23).

Malamnya, itu saya bawa dalam doa dengan sepenuh hati. “Tuhan, inikah jawabanMu? Inikah yang perlu saya dampingi? (Arswendo Atmowiloto, 2008: 97).

Latar waktu selanjutnya berupa penggunaan kalimat yang diasosiasikan pada waktu tertentu. Penggunaan latar tersebut jarang dipakai dalam novel Blakanis. Berikut ini adalah kutipan yang

commit to user

diasosiasikan pada waktu tertentu. Pada pertemuan kedua puluh, menurut pengantar yang

diberikan Suster Emak, ada sesuatu yang berbeda (Arswendo Atmowiloto, 2008: 35).

Semua berjalan meriah, penuh hura-hura, semarak, menjadi bahan pergunjingan yang semakin marak. Keramaian terus bertambah. Sampai pertemuan ke -29, dengan muncuknya Jamil Akamid (Arswendo Atmowiloto, 2008: 52).

Dari kutipan di atas menunjukkan latar waktu yang terjadi pada saat itu adalah ketika hari pertemuan kedua puluh dan hari pertemuan ke-29 di pendapa Ki Blaka.

Latar yang menggambarkan suasana saat malam hari tampak dalam kutipan berikut ini. Suasana gelap, tak banyak penerangan. Kulihat ada

empat sosok, memandangiku. “Jalan...” Aku tersenyum, meskipun mereka tak bisa melihatku

(Arswendo Atmowiloto, 2008: 90).

Dari kutipan di atas menggambarkan waktu yang terjadi pada saat itu adalah suasana malam hari yang gelap. Latar yang menggambarkan suasana antara pagi hari dan siang hari terdapat dalam kutipan berikut. Dalam cahaya matahari yang menyilaukan, saya merasa

nanar melihat sosoknya: seorang lelaki, tua, memakai kain sarung, bersendal jepit merah, kausnya terlepas tapi tersampir di pundaknya, sedang menjawabi pertanyaan anak-anak yang mengelilingi (Arswendo Atmowiloto, 2008: 96).

commit to user

berjarak. Sebagian duduk, sebagian tetap berdiri, memakai payung, berkipas-kipas.

Suasana sangat hening. Matahari hanya terang, tanpa panas (Arswendo

Atmowiloto, 2008: 148).

Kutipan di atas menjelaskan latar waktu yang terjadi antara pagi hari dan siang hari. Karena terdapat asosiasi kata cahaya matahari yang menyilaukan. Sedangkan kutipan kedua menjelaskan latar waktu saat siang hari yang cukup panas, sepi dan tak banyak angin yang bertiup.

Latar yang menggambarkan suasana saat senja menjelang malam terdapat dalam kutipan berikut. Sampai kemudian, matahari merah tenggelam.

Ketika itulah, dari suasana temaram, warna hitam malam yang mulai pekat, terlihat bayangan-bayangan yang bergerak (Arswendo Atmowiloto, 2008: 279).

Dari kutipan di atas tampak latar yang di gambarkan adalah pada saat senja yang akan segera beranjak malam. Hal tersebut terlihat dari asosiasi kalimat matahari merah tenggelam. Sedangkan suasana temaram dan warna hitam malam yang mulai pekat menggambarkan suasana malam yang sepi.

c. Latar Sosial

Latar sosial berfungsi untuk memberikan informasi tentang berbagai situasi sosial dan budaya yang terdapat dalam cerita. Siatuasi sosial dan budaya tersebut berhubungan dengan kehidupan sosial

commit to user

masyarakat tersebut meliputi berbagai masalah hidup, berupa kebiasaan hidup dan lain-lain.

Latar sosial yang diceritakan dalam novel Blakanis adalah kehidupan masyarakat Indonesia. Latar sosial masyarakat Indonesia yang diceritakan oleh pengarang adalah tentang prinsip hidup jujur dan apa adanya. Kejujuran menjadi prinsip pokok. Prinsip hidup yang digunakan sebagai latar sosial adalah prinsip hidup jujur dana apa adanya yang dimiliki oleh orang Jawa, yaitu sikap blaka.

Selain prinsip hidup, terdapat adat atau kebiasaan yang digunakan oleh masyarakat Kampung Blakan yang bertolak dari budaya Jawa, yaitu selapanan . Istilah selapanan digunakan pemukim Blakan untuk menandai seorang yang tinggal di pemukiman Blakan selama 35 hari, dari malam Jumat Pon sampai malam Jumat Pon berikutnya. Setelah melewati proses itu, pengunjung baru dapat dianggap menjadi warga resmi Desa Blakan. Terdapat juga istilah sepasar yang digunakan sebagai ritual penanda orang yang hanya berkunjung selama 5 hari. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

Pertama, “ritual” selapanan, atau juga dikenal dengan cara Jamil Akamid. Yaitu tinggal di Desa Blakan selama 35 hari, dari malam Jumat Pon sampai malam Jumat Pon berikutnya. Merreka yang tinggal terus-menerus selama selapan hari, tanpa meninggalkan desa, dianggap sebagai warga Desa Blakan. Karena di desa itu tak ada kartu tanda penduduk Desa Blakan, ini menjadi penanda utama. Mereka yang tinggal selama 35 hari dianggap sebagai warga resmi. Yang lebih pendek adalah berdiam selama sepasar, atau 5 hari berturut-turut. Angka-angka jumlah hari ini muncul

commit to user

Atmowiloto, 2008: 64).

Terdapat pula konvensi di Kampung Blakan yang kemudian dipakai sebagai ritual yang dinamakan adus Ai. Istilah adus Ai adalah ritual atau upacara bagi pertama kali pengunjung yang datang dan kemudian ingin menetap selama 35 hari. Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut ini.

Upacara bagi yang baru pertama kali juga sama, yaitu yang disebut Adus ai, atau mandi seperti yang dilakukan Ai pertama kali. Melepas semua pakaian yang melekat, berendam di sungai, kemudian mengenakan selimut lorek bergaris (Arswendo Atmowiloto, 2008: 64).

Selain latar sosial budaya, terdapat latar sosial agama yang digunakan dalam novel ini. Hal tersebut terlihat dari dihadirkannya seorang karakter biarawati dalam novel ini. Berikut ini adalah kutipan yang menonjolkan latar sosial keagamaan.

Puji Tuhan. Segala puji syukur pada Bapa, pada Tuhan Yesus, pada Roh Kudus. Terima kasih, Ibu Maria. Terima kasih semuaaaaaaaaaa. Sungguh indah, sungguh luar biasa. Apa yang selama ini menjadi pergulatan, ketakutan, dan kecemasan dengan segala resiko, ternyata tak berarti (Arswendo Atmowiloto, 2008: 98).

Latar sosial dalam novel Blakanis ini lebih mengedepankan sikap blaka dalam segala aspek kehidupan dan sikap blaka dipakai sebagai prinsip utama dalam mengatasi berbagai masalah duniawai maupun masalah yang bersifat vertikal, atau kaitannya dengan Tuhan.

commit to user

dalam novel Blakanis. Latar ini dapat mempengaruhi masyarakat tersebut dalam bertindak dan mereaksi sesuatu yang mereka temui sehari-hari, baik yang datang dari dalam maupun dari luar masyarakat.

d. Latar Suasana (Atmosfer)

Atmosfer berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri dan sebagainya. Suasana tertentu yang tercipta itu tidak dideskripsikan secara langsung melainkan sesuatu yang tersamarkan. Namun pembaca umumnya mampu menangkap pesan suasana yang ingin diciptakan pengarang dengan kemampuan imajinasi dan kepekaan emosionalnya.

Latar juga memunculkan atmosfer yang melingkupi sang karakter. Latar suasana yang terdapat dalam novel Blakanis dapat dipaparkan sebagai berikut.

Unsur suasana keramaian terjadi ketika banyak orang mulai berdatangan ke pendapa Ki Blaka untuk mengikuti pertemuan yang di adakan di Kampung Blakan. Unsur suasana yang menunjukkan keramaian terdapat pada kutipan berikut.

Di pendapa sudah puluhan orang menunggu. Mereka kebanyakan pendatang dari berbagai kota, berkumpul sejak awal. Duduk lesehan, dengan beralaskan tikar, beberapa orang tampak susah menyesuaikan diri, beberapa lagi memilih bersandar ke dinding kayu atau tiang yang berjumlah empat berada di tengah-tengah (Arswendo

commit to user

Kutipan di atas menciptakan latar suasana keramaian yang terjadi di pendapa Kampung Blakan. Puluhan orang yang menunggu dan menempatkan pada posisinya masing-masing menunjukkan keramaian orang yang hadir dalam pendapa tersebut.

Kampung Blakan yang dulunya sepi berubah menjadi kampung yang ramai. Hal itu terjadi setelah kedatangan Ai. Suasana yang mulai sepi berubah menjadi ramai dan teratur. Suasana keteraturan tersebut tersebut tampak dalam kutipan berikut.

Kini daerah yang luasnya hampir dua puluh hektare itu seperti dibangunkan dari tidurnya. Udara masih panas, rata- rata 32 derajat Celcius, berdebu, mulai berubah. Bahkan sebagian sawah tadah hujan sekarang berubah menjadi sawah irigasi semiteknis. Tanah tegalan yang tak jelas juga mulai ditata batas-batas sementaranya (Arswendo Atmowiloto, 2008: 48).

Kutipan di atas menjelaskan suasana yang menimbulkan suasana keteraturan di Kampung Blakan yang sebelumnya udara panas dan berdebu.

Suasana sedih tergambar ketika menjelang penutupan Kampung Blakan. Saat itu Ki Blaka akan ditangkap dan dibawa oleh pihak keamanan. Sebelum ditangkap, Ki Blaka memeluk Ai, Emak, dan Sopi. Suasan sedih tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut.

Ki Blaka memeluk Ai, lama, kencang, mencium pipi kiri-kanan, juga dahi. Hal yang sama dilakukan kepada saya. Lamaaa sekali, tubuh Ki Blaka menempel sepenuhnya. Juga mencium pipi Sopi.

Kami tak bisa menahan air mata. Rasanya seperti akan ada perpisahan besar.

commit to user

tangan kami ─saya dan Ai, lama sekali. “Saya cengeng, dari dulu. “Tapi saya menangis karena bersyukur atas apa yang

kita jalani selama ini.” (Arswendo Atmowiloto, 2008: 140).

Tangis air mata, ciuman pipi, dan sebuah pelukan yang terjadi dalam kutipan di atas menjelaskan suasana sedih pata karakter menjelang perpisahan.

Suasana marah tergambar ketika Mareto marah ketika Ki Blaka menanggapi pengakuan Jamil Akamid dengan sederhana. Mareto juga marah dengan sikap Ki Blaka yang dianggapnya sebagai pengecut karena Ki Blaka tidak terlalu menanggapi serius pernyataan Jamil Akamid mengenai gerakan moral yang dasari lewat pengakuannya. Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut.

Akhirnya Jamil Akamid nekat datang, menuju tempat pertemuan. Secara terbuka mengatakan keinginan untuk sembuh ─seperti yang diketahui istrinya, dan berharap Ki Blaka akan mengatakan, “Kamu akan sembuh, kalau kamu blaka. Dengan blaka mengatakan apa adanya, beban pikiran dan perasaanmu akan terangkat.” Tapi ternyata ternyata Ki Blaka tidak mengatakan itu. Tidak mengisyaratkan sedikit pun membuka persoalan.

Sama sekali tidak. “Saya menatap matanya dengan marah, dengan geram.

Kalau saya memiliki tenaga, saya akan meloncat dan menerkamnya. Mencekik dan membantingnya.

“Saya memelototi, dan Ki Blaka malah seperti tertidur (Arswendo Atmowiloto, 2008: 58-59)

Suasana gelisah tergambar ketika terdengar kabar penutupan Kampung Blakan. Hal serupa juga terjadi di Klaten dan Jambi. Kegelisahan Ki Blaka digambarkan dalam kutipan berikut.

commit to user

bicaranya melompat-lompat.

“Tanah yang kita namai Kampung Persinggahan Blakan ini, bukankah seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik? Kenapa pemilik merasa lebih penting membiarkan begitu saja? Atau orang yang merasa memiliki terganggu dan terancam karena kita mendiami sementara?”

Ini adalah hari-hari Ki Blaka gelisah, yang ditandai sering pergi pipis ketika tengah berbicara, dan kembali lagi untuk meneruskan pembicaraannya, kemudian terputus lagi. Ki Blaka memanggil saya, Ai, juga Sopi, dan kami disalami satu per satu. Ketika itu sudah ada kabar bahwa Ki Blaka Lurik dari Klaten ditangkap, permukimannya diawasi ketat, karena ditemukan penggunaan obat terlarang. Juga di Jambi ada guru-guru yang dipindahkan (Arswendo Atmowiloto, 2008: 137).

Suasana tegang digambarkan ketika Jamil Akamid memberikan pengakuannya kepada peserta pertemuan. Jamil Akamid membeberkan kecurangan yang telah dilakukannya selama ia menjadi pejabat. Ketegangan itu dirasakan oleh Mareto, karena Mareto kawatir akan terjadi reaksi keras terhadap pengakuan Jamil Akamid. Mareto juga menduga bahwa diantara peserta terdapat wartawan yang menyamar. Suasana tegang tersebut digambarkan dalam kutipan berikut.

Saat itu aku merasa ada sesuatu yang akan menjadi ketegangan baru. Karena yang bertanya jenis orang-orang yang mencatat terus. Tak terlalu sulit mengenali mereka sebagai wartawan, yang sengaja datang. Bisa jadi mereka juga menyembunyikan perekam. Karena kemudian menjadi bagian berita, di bawah judul yang tak biasa: pengakuan mantan menteri di pertemuan Blakan. Ibarat bola salju yang digelindingkan, semua nama yang disebut, alur hubungan, termasuk juga tanggal-tanggal kejadian, dimuat dengan rinci. Sebagian malah mendapat penekanan, karena kata-kata Jamil bisa dikutip. Reaksi keras, kemudian sangat keras, bermunculan. Sebagian nama yang disebut siap menuntut balik, merasa dicemarkan namanya, merasa difitnah. Sebagian lagi

commit to user

mencari jalan yang damai dan bukan mengobarkan perang (Arswendo Atmowiloto, 2008: 54-55).

Suasana kecewa tergambar ketika banyak terjadi keributan antara pasangan suami-istri, karena saling bersikap jujur dan belum siap menerima konsekuensi dari kejujuran yang diungkapkan. Kemudian Bu Memun meninggalkan Kampung Blakan, karena salah satu alasannya yaitu tidak mau menjadi bagian dari keributan itu. Kepergian Bu Memun tersebut membuat Ki Blaka kecewa. Kutipan suasana kekecewaan tersebut tampak dalam kutipan berikut.

“Ki Blaka, saya tak bisa di sini lebih lama,” itulah yang akhirnya dikatakan, beberapa saat kemudian. “Saya tak mau menjadi penyebab hancurnya rumah tangga yang tadinya aman.”

Ki Blaka sangat menyayangkan mundurnya Bu Memun. Saya juga turut menyesalkan. Tapi tak ada yang bisa memaksa untuk tetap berdiam, untuk pergi. Desa ini, permukiman ini, kampung ini, dan semua penghuninya bisa berdiam dan pergi. Meskipun Bu Memun kemudian mengatakan bahwa ia sebenarnya diminta suaminya untuk kembali mengurus yayasan anak yatim-piatu, karena bisa tinggal di rumah. Saya makin sedih. Kami berjanji akan saling berkabar, tetap berhubungan. Namun ternyata tak terjadi. Sama-sama sibuk (Arswendo Atmowiloto, 2008: 107).

Suasana keributan tampak ketika menjelang ditutupnya Kampung Blakan dan terjadi pembongkaran Puskesmas Putih yang melibatkan alat- alat berat. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

Yang lebih repot ternyata membongkar tenda Puskesmas Putih. Terutama tenda satu. Beberapa petugas dikerahkan, beberapa alat berat yang sudah disiapkan ternyata tak bisa menjebol seketika. Kawat-kawat yang tertanam sedemikian kuatnya, sehingga truk yang disiapkan untuk menarik tak bergerak (Arswendo Atmowiloto, 2008: 83).

commit to user

lampu helikopter dan mobil polisi. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

Yang membuat repot adalah banyak sekali cahaya, sangat terang, sangat menyilaukan juga yang datang dari helikopter. Menambah suara bising, menambah angin, dan membuat hampir tak bisa melihat atau mendengar.

Selain itu di jalan-jalan, mobil polisi dengan lampu hidup- mati berputar-putar makin membingungkan, meskipun ada pengeras suara yang menunjukkan jalan, atau memberi perintah ini-itu (Arswendo Atmowiloto, 2008: 83- 84).

Kutipan di atas menjelaskan suasana keributan yang terjadi menjelang penutupan Kampung Blakan oleh petugas keamanan. Walaupun terdapat pengeras suara yang menunjukkan jalan atau memberi perintah, semua menjadi bingung karena keributan yang terjadi.