ANALISIS NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY

ANALISIS NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY SKRIPSI

Oleh: TUTUT DWI HANDAYANI K1206041 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

ANALISIS NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY

Oleh: TUTUT DWI HANDAYANI K1206041

Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

ii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, Mei 2010

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Budi Setiawan, M. Pd. Sri Hastuti, S. S., M. Pd. NIP 19610524 198901 1001

NIP 19690628 200312 2001

iii

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Tim Penguji Skripsi Nama Terang

tanda tangan Ketua

: Dra. Raheni Suhita, M. Hum. _________ Sekretaris

: Dra. Suharyanti, M. Hum. __________ Anggota I

: Dr. Budi Setiawan, M. Pd. _________ Anggota II

: Sri Hastuti, S. S., M. Pd. __________

Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP 19600727 198702 1001

iv

ABSTRAK

Tutut Dwi Handayani. ANALISIS NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK

PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

KARYA ABIDAH EL KHALIEQY, Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mei. 2010.

Tujuan penelitian adalah: (1) mengetahui dan mendeskripsikan proses kreatif yang dimiliki oleh Abidah Al Khalieqy dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban ; (2) mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai kultur pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban; (3) mengetahui relevansi nilai-nilai kultur pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban jika digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA; dan (4) mengetahui penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra karena penelitian berfokus pada resepsi pembaca terhadap karya sastra. Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan Kecamatan Kragan Kabupaten Rembang. Narasumber berasal dari pengurus dan santri yang sedang belajar di sana. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik analisis dokumen dan teknik libat cakap (wawancara) dengan narasumber dengan menggunakan handphone sebagai alatnya. Teknik cuplikan yang digunakan adalah metode purposive sampling . Pemilihan sampel diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data yang paling erat berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Proses kreatif penciptaan novel Perempuan Berkalung Sorban adalah adanya keinginan dari penulis untuk mensosialisasikan hak-hak reproduksi yang harus diketahui oleh perempuan. Penulisan novel ini dilakukan dengan kerjasama dengan Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF). (2) Pondok pesantren yang dijadikan latar dalam novel ini adalah pondok pesantren tradisional (salafi) yang masih kental dengan ajaran kitab kuning. Pengambilan setting pondok pesantren salaf dilakukan Abidah untuk menjelaskan hegemoni kekuasaan para kyai dan kitab kuning yang sangat mempengaruhi jalannya kultur dalam wilayah pondok pesantren. Nilai- nilai yang kental terdapat dalam novel tersebut adalah kesamaan hak antara laki- laki dan perempuan. (3) Novel Perempuan Berkalung Sorban dapat digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA karena isu dan kearifan lokal yang dimilikinya. (4) Novel ini menuai penilaian yang berbeda-beda dari kalangan pembaca. Namun, layaknya sebuah karya sastra yang bernilai adalah karya sastra yang mampu memberikan suatu hiburan sekaligus pendidikan (dulce et utile ) kehadiran novel Perempuan Berkalung Sorban juga diakui pembaca mampu memberikan satu hal yang baru. Abidah El Khalieqy berani membuka hal- hal yang sudah lama ditutup-tutupi dari kalangan pondok pesantren agar masyarakat mengetahuinya.

Kata kunci: proses kreatif, kultur, pondok pesantren, resepsi sastra.

MOTTO

Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak dia takkan menjadi apa-apa. (Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia)

Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tetapi tidak berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai. (Kata Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia)

vi

PERSEMBAHAN

Kusuntingkan skripsi ini untuk:

1. Ibu-Bapak terkasih di rumah; anugerah terbesar yang dihadiahkan Allah SWT untukku.

2. Mak Ni; perempuan bermahkota mutiara. Simbahku tersayang yang telah membuatku merasa menjadi cucu tersayangnya.

3. Mbak Vivin, Mas Faruq, dan Dek Dian tercinta; semangat yang selalu menyala dan membuatku menjadi Adek dan Mbak yang merasa dicinta.

4. Pemuda, pemilik senyum sederhana.

5. Mardiyah, Yusuf, dan Kris; sahabat-sahabat kecilku, sahabat kehidupanku.

6. Kawan-kawanku di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Motivasi.

7. Bastind ’06; Terimakasih telah menjadi teman dan memberi kenangan yang indah selama di Solo.

8. Almamater; Kampus yang menempaku menjadi manusia seutuhnya. Yang telah memberiku gelar mahasiswa dan aku bangga karenanya.

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kenikmatan hidup dan kemudahan kepada hamba-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan izin penulisan skripsi;

2. Drs. Suparno, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni yang telah memberikan persetujuan skripsi;

3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan izin penulisan skripsi;

4. Dr. Budi Setiawan, M. Pd., selaku pembimbing I dan Sri Hastuti, S. S., M. Pd., selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar;

5. Drs. H. Purwadi, Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa di Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS;

6. Bapak dan Ibu dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membantu penulis selama menimba ilmu di FKIP UNS;

7. Abidah El Khalieqy, Penulis Novel Perempuan Berkalung Sorban yang berkenan untuk menjadi narasumber genetik atas novel tersebut;

8. Pengurus dan santri pondok pesantren Alquran, Narukan, Kragan, Rembang yang bersedia membantu penulis sebagai narasumber penelitian skripsi ini;

9. Ibu, Bapak, Mak Ni, Mbak Vivin, Dek Dian, Mas Faruq dan saudara di rumah yang senantiasa membuatku tersenyum dengan ikhlas. Kalian adalah semangat yang selalu menyala;

xi

10. Heri Budiyawan Suryanto, pemilik senyum sederhana. Angin gunung telah menunggumu!!! Seperti puncak-puncak gunung yang telah kau taklukkan, wujudkan mimpi-mimpimu!!!

11. Rose, Irna, Dewi, Andi, Vandi, Lia, Ida, Mira, Dias, Yanti, Dwi, Doni, Rika, Gancar, Dini, dan teman-teman Bastind 2006 yang menjadi satu kenangan terindah dalam perjalanan hidup;

12. Mbak Nisa, Mbak Septi, Mas Nuno, Rika, Listyawati, Dhika, Listya Putri, Tisna, Zulaihah, Kikis, Fitri, Hanif, Anjar, Jatmiko, Endah, Leoni, Duwi, Mufti, Djoko, dan kawan-kawan lainnya di LPM Motivasi yang membuatku kuat dan membantuku menemukan hakikat diriku.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun penulis harapkan untuk perbaikan. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi para pembaca.

Surakarta, Mei 2010

Penulis

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survai kantor Urusan Agama)......................................................38 Tabel 2. Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978 (Laporan Departemen Agama RI)..........................................................................39 Tabel 3. Jadwal penelitian.....................................................................................74

xiii

DAFTAR GAMBAR

Bagan 1. Kriteria Umum Pemilihan Isi Kurikulum...............................................43 Bagan 2. Kerangka Berpikir...................................................................................72 Bagan 3. Analisis Interaktif (Miles & Huberman).................................................79

xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya. Kebudayaan tidak akan ada tanpa manusia, sebaliknya manusia tanpa kebudayaan tidak akan bisa bertahan dalam mengarungi kehidupan.

Berdiskusi perihal kebudayaan barangkali dapat dianggap sebagai suatu perjalanan mental yang dalam. Tukar menukar pikiran yang hangat seringkali terjadi untuk mencari definisi atau makna yang tepat untuk menjelaskan hakikat kebudayaan. Diskusi dan pembicaraan yang bersentuhan langsung dengan dimensi yang berhubungan dengan aspek kehidupan akan membuat diskusi tersbut menjadi lebih dalam.

Dalam perkembangan selanjutnya, dapat disepakati bahwa pembangunan manusia dan masyarakat mengandung permasalahan kebudayaan. Kalau pembangunan manusia dan masyarakat itu dapat diibaratkan sebagai transformasi, maka proses transformasi tersebut tidak mungkin dapat lepas dari transformasi kebudayaan. Dengan kata lain, pembangunan manusia dan masyarakat tidak mungkin terjadi tanpa transformasi kebudayaan. Karena itulah kebudayaan perlu dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan sesuatu yang terus berkembang.

Permasalahan kebudayaan dalam sebuah masyarakat berkembang seperti halnya Indonesia relatif jauh lebih rumit daripada yang ditemui di masyarakat- masyarakat maju. Contoh sederhana saja adalah tradisi Jawa yang masih kental dengan hal-hal yang berbau klenik yang membuat segala sesuatunya semakin rumit. Persepsi-persepsi tersebut akhirnya bersifat jamak atau multi yang dipengaruhi oleh warna kebudayaan suku bangsa, nilai agama yang dianut, kebudayaan asing atau bahkan persepsi yang dipengaruhi oleh ideologi bersama, yakni Pancasila dan UUD 1945.

Adanya persepsi kebudayaan yang multi inilah yang menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat kita masih berada dalam taraf transformasi kebudayaan. Dalam sebuah masyarakat atau bangsa yang sudah maju, masalah transformasi kebudayaan boleh dikatakan berhasil mereka selesaikan sehingga mereka bisa memiliki sebuah kebudayaan yang mantap dan mampu berkembang secara dinamis (Alfian, 1985: 21).

Sedangkan di sisi lain, karya sastra sebagai salah satu produk sebuah kebudayaan dapat dikatakan sebagai cerminan dari masyarakat tempat karya sastra itu lahir. Sebuah penelitian yang membicarakan tentang maju tidaknya atau tinggi rendahnya sebuah kebudayaan tidak hanya ditilik dari karya-karya atau tulisan ilmiah yang dihasilkannya. Tetapi, penilaian tentang hal tersebut dapat juga dilakukan dengan melihat karya-karya sastra yang dihasilkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Hal tersebut karena bahasa adalah satu unsur yag tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan suatu masyarakat. Bahasa adalah cermin dari sebuah kultur masyarakat. Begitu sering diistilahkan.

Karena itulah, tidak perlu harus terjun masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui kebudayaan suatu masyarakat. Penelitian dapat dilakukan dengan cara menggali karya-karya fiksi, seperti buku-buku sastra atau novel. Suatu hal yang dapat dimengerti bahwa karya sastra fiksi merupakan suatu produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politis, etika, religi, filosofis. Seorang pengarang mempunyai banyak kemungkinan untuk dapat mempengaruhi suatu kebudayaan masyarakat tertentu dibalik karya sastra yang diciptakannya. Kemungkinan tersebut misalnya pengarang mengubah pola pikir masyarakat. Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial yang mungkin atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

Anggapan lain menyatakan bahwa karya sastra adalah sesuatu yang indah yang berasal dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Karya sastra dapat mencerminkan masyarakat tempat karya tersebut dilahirkan. Karya sastra yang baik mampu menjadi refleksi atau gambaran keadaan masyarakat di masa itu atau paling tidak sanggup memberikan sumbangan untuk masyarakat penikmatnya, Anggapan lain menyatakan bahwa karya sastra adalah sesuatu yang indah yang berasal dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Karya sastra dapat mencerminkan masyarakat tempat karya tersebut dilahirkan. Karya sastra yang baik mampu menjadi refleksi atau gambaran keadaan masyarakat di masa itu atau paling tidak sanggup memberikan sumbangan untuk masyarakat penikmatnya,

Hal inilah yang membuat perkembangan sastra tidak bisa dipisahkan dengan pola kehidupan dan pola pikir masyarakatnya. Cara masyarakat untuk hidup dan bertingkah laku dalam kehidupan sosial mereka bisa sangat mempengaruhi seorang penulis dalam merefleksikan pemikirannya tentang suatu masalah yang kemudian bisa diwujudkan dalam suatu kreasi yang kemudian layak disebut sebagai suatu karya sastra. Dan hal yang serupa juga terjadi pada perkembangan sastra di Indonesia.

Perkembangan sastra di Indonesia terjadi secara berkelanjutan dan mulai menggeliat sejak masa Balai Pustaka, sejak saat itulah mulai hadir sastrawan- sastrawan kita seperti STA, Armin Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Mochtar Lubis, N.H. Dini dan menuju ke penulis-penulis masa kini seperti Cak Nun, Joko Pinurbo, sampai Habiburrachaman, Dee, dan Ayu Utami, misalnya.

Dalam perkembangannya, nama Abidah Al Khalieqy merupakan satu nama yang turut serta dalam menghiasi jejak sastra di tanah air. Lewat karya- karya yang dihadirkannya, Abidah biasa melukis kisah wanita dengan aneka perlawanannya terhadap budaya patriarki yang menurutnya masih terasa kental di negeri ini. Karya perdana yang dibukukan pada 2001 mengambil judul Perempuan Berkalung Sorban diakui membuat para pembaca mampu mengetahui sisi lain dari sebuah kehidupan dalam pesantren. Sebuah fakta yang kerap kali disembunyikan di hadapan publik diungkap secara mendetail oleh Abidah dalam novel tersebut. Karya tersebut membuat ia terpilih sebagai juara kedua dalam acara sayembara yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kala itu.

Abidah El Khalieqy menggunakan latar kebudayaan pondok pesantren dalam beberapa karyanya. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam pondok pesantren digunakaan Abidah untuk menggambarkan latar karya yang diciptanya. Kebiasaan yang terjadi dalam sebuah pondok pesantren dapat digunakan sebagai Abidah El Khalieqy menggunakan latar kebudayaan pondok pesantren dalam beberapa karyanya. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam pondok pesantren digunakaan Abidah untuk menggambarkan latar karya yang diciptanya. Kebiasaan yang terjadi dalam sebuah pondok pesantren dapat digunakan sebagai

Layaknya sebuah komunitas masyarakat yang tidak dapat lari dari perubahan. Komunitas pondok pesantren pun mengalami hal yang demikian. Jika dahulu pondok pesantren dikesankan sebagai komunitas yang kolot dan ketinggalan zaman, perubahan sosial yang berlangsung saat ini perlahan memupuskan citra-citra negatif semacam itu. Hampir semua pesantren kini telah bergabung ke dalam komunitas global dan menjadi bagian dari komunitas dunia. Yang berbeda mungkin cuma takarannya saja. Yakni seberapa banyak pesantren mengadopsi dan memodifikasi berbagai kecenderungan global dalam komunitasnya (Mayra Walsh, 2002).

Sebagai sebuah lembaga keilmuan, pesantren memiliki kekhasan tersendiri yang unik dan tak dimiliki oleh lembaga keilmuan yang lain. Misalnya saja, ilmu- ilmu keagamaan tradisional di pondk pesantren pada khususnya dipelajari dengan media kitab-kitab karya ulama klasik yang di antaranya ditulis dalam bentuk puisi. Di lingkungan komunitas intelektual yang lain, bisa dikatakan bahwa tak ada model transmisi keilmuan dengan media puisi seperti di pesantren.

Tak hanya dalam transmisi keilmuan, tradisi sastra dalam bentuk puisi juga hadir secara cukup intens dalam kehidupan sehari-hari para santri. Kehidupan sehari-hari di pesantren banyak menampilkan puji-pujian dan zikir keagamaan yang berbentuk puisi. Biasanya dibacakan menjelang atau di sekitar waktu shalat. Secara khusus, syair berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw. memiliki bentuk ekspresi yang begitu kaya dalam Islam dan banyak diapresiasi dan hidup dalam keseharian dunia pesantren. Bahkan, beberapa puisi tersebut dianggap memiliki kekuatan magis sehingga tak jarang juga dibacakan sebagai doa untuk keperluan tertentu.

Di luar itu, kehidupan dalam pondok pesantren merupakan kehidupan yang cenderung tertata dengan aneka ragam aturan di dalamnya. Pondok pesantren yang dapat juga diidentifikasikan sebagai tempat menuntut ilmu sekaligus tempat istirahat - bahkan makan - mengatur segala tata cara yang dilakoni orang-orang yang hidup di dalamnya. Cara mereka makan, mandi, mengaji, bersih-bersih, atau hal-hal kecil yang lain tidak lepas dari aturan yang disorot oleh pengurus pondok pesantren. Aturan yang terkadang terlalu kolot dan kuno - bagi beberapa pondok pesantren - membuat beberapa penulis memilih keadaan tersebut sebagai salah satu sumber ide kreatif mereka untuk membuat sebuah karya sastra yang layak dinikmati pembaca.

Sebagaimana diketahui bahwa karya sastra merupakan sebuah totalitas yang dibangun oleh berbagai unsur pembangunnya. Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams, dalam Nurgiantoro 2002: 36). Strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah bentuk (Junus, dalam Endaraswara 2003: 49). Menurut Hawkes dalam Nurgiyantoro (2002: 37) strukturalisme pada dasarnya dipandang sebagai cara berpikir tentang dunia kesastraan yang lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda.

Dengan demikian, kodrat setiap unsur dalam bagian sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung di dalamnya. Karena itulah, secara umum analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra, seperti halnya unsur eksternal berupa pengetahuan dan pendidikan pengarang.

Dalam hal ini, Abidah Al Khalieqy menangkap peluang itu. Peluang untuk membuat sebuah karya sastra yang layak dinikmati oleh pembaca. Dalam karya- karya yang dibuatnya, Abidah sering menggunakan latar kehidupan pondok pesantren sebagai setting novel yang dibuatnya. Latar belakang kehidupannya yang juga berasal dari kalangan pondok pesantren jugalah yang diyakini sebagai Dalam hal ini, Abidah Al Khalieqy menangkap peluang itu. Peluang untuk membuat sebuah karya sastra yang layak dinikmati oleh pembaca. Dalam karya- karya yang dibuatnya, Abidah sering menggunakan latar kehidupan pondok pesantren sebagai setting novel yang dibuatnya. Latar belakang kehidupannya yang juga berasal dari kalangan pondok pesantren jugalah yang diyakini sebagai

Beberapa karyanya merupakan karya yang mendapatkan predikat Best Seller . Kemampuan menulisnya sudah mendapat pengakuan di antara penulis sastra, terutama penulis wanita. Dalam karya-karya yang dihasilkannya, Abidah sering mengangkat isu gender dengan latar kehidupan pondok pesantren atau pendidikan Islam yang lain. Ini jugalah yang menimbulkan kontroversi pada setiap hasil karya yang terbit atas namanya. Aneka ragam penilaian atas karya yang dihasilkannya muncul ke permukaan setelah tulisannya sampai kepada para penikmat sastra.

Penilaian atas karya yang diterbitkannya memang tidak lagi menjadi wewenang Abidah Al Khalieqy selaku penulis karena sebagaimana sudah diketahui bahwa penilaian sastra tidak dapat dipaksakan. Penilaian atas sebuah karya sastra dapat dipengaruhi oleh latar belakang (dapat dalam bentuk sosial atau pendidikan) penikmat sastra. Resepsi tentang sastra cenderung bersifat relatif sehingga tidak ada aturan yang baku dan larangan bagi pembaca atau penikmat sastra untuk menyatakan sebuah karya sastra itu layak atau tidak untuk dinikmati publik.

Pada beberapa karya Abidah Al Khalieqy yang mampu menjuarai beberapa sayembara sastra pun tidak lepas dari kontroversi semacam ini. Di luar kontroversi tersebut, karya-karya sastra Abidah dinilai telah berhasil membuka tabir tradisi dunia pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Sekaligus juga menawarkan paradigma baru yang lebih substansial untuk menempatkan idealitas perempuan dalam pandangan Islam. Ahmadun Yosi Herfanda bahkan menempatkan Abidah sebagai salah satu novelis terbaik di Indonesia dan novel- novelnya dapat dinilai sebagai puncak sastra Islami - bukan fiksi pop Islami (Aning Ayu, 2009).

Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah novel yang berbingkai feminisme. Persfektif feminisme lebih mengarahkan pandangannya pada karya- karya sastra yang ditulis perempuan sekaligus menampilkan tokoh perempuan dengan berbagai masalahnya. Perspektif dimaksud tidak semata-mata memandang Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah novel yang berbingkai feminisme. Persfektif feminisme lebih mengarahkan pandangannya pada karya- karya sastra yang ditulis perempuan sekaligus menampilkan tokoh perempuan dengan berbagai masalahnya. Perspektif dimaksud tidak semata-mata memandang

Selain itu, novel Perempuan Berkalung Sorban ditulis dengan menggunakan sudat pandang aku-pengarang sebagai tokoh protagonis yang bernama Annisa. Dengan sendirinya, struktur narasi yang digunakan merupakan bagian dari pemikiran tokoh tersebut. Melalui tokoh Annisa, Perempuan Berkalung Sorban berupaya melakukan perlawanan terhadap tradisi keluarga, ustadz dan kitab-kitab yang diajarkan dalam sebuah pesantren yang diasuh oleh ayahnya sendiri. Karena itu, tidak salah jika novel Perempuan Berkalung Sorban telah dijadikan sarana bagi pengarangnya untuk mencapai tujuan tertentu yang terkait dengan perjuangan kaum feminis, baik tujuan yang bersifat ideologis maupun pragmatis.

Melalui latar sosial dan pemikiran tokoh di dalamnya, novel ini juga telah berhasil mengungkap fakta dominasi, subordinasi, dan marginalisasi yang dialami perempuan dalam ranah keagamaan. Sehingga, asumsi masyarakat terhadap posisi dikotomis perempuan yang semata-mata didasarkan pada mitos, kepercayaan dan tafsir kitab suci, senantiasa dikritik dan diluruskan kembali.

Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki kandungan ekspresi dan konsistensi fiksional untuk mengutuhkan kepribadian, kecerdasan, dan keyakinan tokoh perempuan di dalamnya. Pengutuhan itu bukan saja terbaca dari latar sosial tokohnya, Annisa, tetapi juga emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh antagonis yang bersifat patriarkis. Penggambaran posisi dan sikap tokoh perempuan tersebut juga mencerminkan adanya upaya untuk menanggapai dan mencari solusi terhadap masalah gender yang ditimbulkan oleh ketidakadilan sosial dan budaya di sekitar tokoh itu berada.

Abidah El Khalieqy menggambarkan Annisa sebagai seorang santri yang ideal, berpikiran moderat, cerdas dan kerap kali mendebat para ustadznya terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Dengan kecerdasannya pula, Annisa berani menolak terhadap segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari nilai agama. Pada akhirnya, setelah Annisa keluar dari Abidah El Khalieqy menggambarkan Annisa sebagai seorang santri yang ideal, berpikiran moderat, cerdas dan kerap kali mendebat para ustadznya terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Dengan kecerdasannya pula, Annisa berani menolak terhadap segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari nilai agama. Pada akhirnya, setelah Annisa keluar dari

Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki kecenderungan pokok untuk menempatkan perempuan sebagai subjek budaya. Kecenderungan tersebut dapat dilihat melalui berbagai peristiwa yang sengaja ditampilkan oleh pengarangnya, guna mengungkap dan mengangkat eksistensi kaum perempuan untuk menemukan pengetahuan tentang hak atas tubuhnya. Memahami bagaimana cara menolak, menghindar, memberontak dan melawan terhadap dominasi kekuasaan patriarki yang dalam novel tersebut diwakili oleh dominasi kaum pria di lingkungan pondok pesantren.

Setting yang dipilih inilah yang kemudian menghadirkan penilaian yang melahirkan bermacam-macam kontroversi karena pembaca atau penikmat novel tersebut disuguhi fenomena dan gambaran yang cukup berbeda dengan yag selama ini diketahui oleh masyarakat awam. Novel tersebut menggambarkan budaya pondok pesantr en yang menempatkan wanita dalam posisi “yang menjadi objek”. Satu hal yang bertentangan dengan Islam karena dalam ajarannya, Islam

menempatkan wanita dalam posisi yang mulia. Sejajar dengan kaum pria. Beberapa kontroversi yang sempat hadir adalah kecaman yang hadir dari para kyai atas hadirnya novel tersebut. Para Kyai di Jawa Timur menolak penggambaran pondok pesantren seperti yang terdapat dalam novel. Kontroversi semakin menajam ketika novel tersebut kemudian difilmkan ke dalam layar lebar. Kecaman tersebut mengakibatkan film Perempuan Berkalung Sorban tidak bertahan lama di bioskop. Pada minggu pertamanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta semua pemilik bioskop untuk menurunkan film tersebut dari penanyangannya.

Inilah yang kemudian melatarbelakangi peneliti untuk mengkaji karya- karya Abidah Al Khalieqy khususnya novel Perempuan Berkalung Surban yang menuai cukup banyak kontroversi dalam penerbitannya. Penelitian ini berjudul Analisis Nilai-nilai Kultural Pondok Pesantren dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah Al-Khaleqy.

B. Pembatasan Masalah

Penelitian ini akan dibatasi pada kajian novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah Al Khalieqy. Kajian akan dibatasi pada proses kreatif penulis dalam penciptaan novel tersebut, penggambaran kultur atau budaya pesantren oleh penulis dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, relevansi novel Perempuan Berkalung Sorban sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA, dan penilaian pembaca terhadap novel tersebut.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses kreatif Abidah Al Khalieqy dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban ?

2. Bagaimanakah nilai-nilai kultural pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban ?

3. Bagaimana relevansi nilai-nilai kearifan lokal dalam novel Perempuan Berkalung Sorban jika digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA?

4. Bagaimana penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui dan mendeskripsikan proses kreatif yang dimiliki oleh Abidah Al Khalieqy dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban.

2. Mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai kultural pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban.

3. Mengetahui relevansi nilai-nilai kearifan lokal dalam novel Perempuan Berkalung Sorban jika digunakan sebagai media alternatif pembelajaran sastra di SMA.

4. Mengetahui penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban .

E. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Manfaaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis

a. Bagi peserta didik Penelitian ini diharapkan akan membuat peserta didik semakin sadar dan tertarik dengan pelajaran sastra yang ada di kelas. Sekaligus memotivasi siswa untuk menunangkan ide kreatif mereka dalam karya sastra.

b. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kajian dan referensi untuk meningkatkan pemahaman peserta didik tentang pembelajaran sastra di kelas.

c. Bagi kepala sekolah Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan bagi kepala sekolah untuk membina guru sastra agar lebih kreatif dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membuat kepala sekolah memperhatikan dan menambah sarana dan prasarana serta media ajar dalam pembelajaran sastra.

d. Bagi pemegang kebijakan Penelitian ini diharapkan akan mampu menjadi salah satu pertimbangan bagi para pemegang kebijakan dalam merumuskan kurikulum. Terutama dalam kurikulum yang berhubungan dengan pengajaran sastra. Ini perlu dilakukan agar pembelajaran sastra di sekolah menjadi satu hal yang bisa mendapatkan porsi yang seimbang.

2. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan akan mampu menjadi salah satu referensi yang dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra dalam segi analisis kultural sebuah produk sastra. Sekaligus dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam hal 2. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan akan mampu menjadi salah satu referensi yang dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra dalam segi analisis kultural sebuah produk sastra. Sekaligus dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam hal

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Hakikat Proses Kreatif

Penulis dan sastrawan Amerika Serikat, Ernest Hemingway (dalam Naning, 2006: 1) menyatakan bahwa menulis adalah petualangan (writing is adventure ). Pendapat ini didukung oleh para sastrawan Amerika Latin, Pablo Neruda dan Gabriel Gracia Marquesz dan sastrawati Afrika Selatan Nadine Gordimer serta Milan Kundera, sastrawan Cheko. Petualangan yang dimaksud bukan merupakan pengalaman raga melainkan paduan dari kekayaan batin dan intelektual (materi dasar atau bahan tulisan), imajinasi (kreativitas dan pengembangan) serta kosa kata (penguasaan bahasa). Paduan ini kemudian dirangkai menjadi suatu tulisan melalui suatu proses yang disebut proses kreatif.

Dala m Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata „kreatif‟ diartikan: (1) memiliki daya cipta; (2) memiliki kemampuan untuk menciptakan. Jadi, proses kreatif adalah proses mencipta sesuatu dan konteks dalam tulisan ini adalah mencipta tulisan atau menulis, baik itu tulisan yang bersifat fiksi maupun non- fiksi. Seseorang yang menulis fiksi disebut pengarang dan mereka yang menulis non-fiksi disebut penulis. Seorang penulis bisa menjadi pengarang, tetapi pada umumnya sedikit pengarang yang menjadi penulis. Hambatan tersebut biasanya terdapat pada kedalaman referensi yang harus dimiliki oleh seorang penulis karena tulisan yang dibuat harus memiliki kadar ilmiah dan bersifat objektif.

Proses menulis memerlukan sebuah proses kreatif. Proses ini dimulai dengan adanya ide yang berupa kekayaan batin dan intelektual sebagai bahan tulisan. Sumber utama munculnya ide adalah bacaan, pergaulan, perjalanan (traveling), kontemplasi, monolog, konflik dengan diri sendiri (internal) maupun dengan di luar diri kita (external), pemberontakan (rasa tidak puas), dorongan mengabdi (berbagi ilmu), kegembiraan, mencapai prestasi, tuntutan profesi dan sebagainya. Semuanya itu bisa dijadikan gerbang untuk mendorong memasuki proses kreatif menulis (Naning, 2006: 2).

Ide yang muncul berupa kakayaan intelektual atau bahkan yang berbentuk seperti ilham bukan hasil ajaran atau karena mempelajari. Sitor Situmorang (dalam Eneste, 1984: 19) menyatakan:

Tidak semua ilham jadi karya; ia bisa menumpuk untuk kemudian tanpa diduga dan tanpa bisa direncanakan terlebih dahulu muncul di kemudian hari, kadang-kadang setelah lewat bertahun-tahun; atau lenyap sama sekali; atau menjadi bagian dari ide/ilham sastra yang lebih luas cakupannya.

Si penyair tak bisa menentukan “saat”-nya, pun tidak memilih bentuk untuk kemudian diisi dengan ide sastra (kecuali pada sajak pesanan – jenis yang di luar pembicaraan). Di antara ilham atau gelombang ilham bisa terbentang masa-antara dan masa menunggu yang pendek atau lama.

Wallace dalam bukunya The Art of Thought menyatakan bahwa proses kreatif meliputi 4 tahap, yakni:

1. Tahap Persiapan, memperisapkan diri untuk memecahkan masalah dengan mengumpulkan data/ informasi, mempelajari pola berpikir dari orang lain, bertanya kepada orang lain.

2. Tahap Inkubasi, pada tahap ini pengumpulan informasi dihentikan, individu melepaskan diri untuk sementara masalah tersebut. Ia tidak memikirkan masalah tersebut secara sadar, tetapi “mengeramkannya‟

dalam alam pra sadar.

3. Tahap Iluminasi, tahap ini merupakan tahap timbulnya “insight” atau “Aha Erlebnis”, saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru.

4. Tahap Verifikasi, tahap ini merupakan tahap pengujian ide atau kreasi baru tersebut terhadap realitas. Disini diperlukan pemikiran kritis dan konvergen. Proses divergensi (pemikiran kreatif) harus diikuti proses konvergensi (pemikiran kritis).

Proses kreatif bersifat individual. Proses kreatif ini terkadang membuat penulis atau pengarang menjadi pribadi yang lepas dari dunia di luarnya. Pramudya Ananta Toer (dalam Eneste, 1984: 54) menjelaskan:

Proses kreatif adalah semata-mata bersifat individual, yang bisa terjadi hanya setelah terbentuk mistikum sebagai condition sine quo non. Mistikum, kebebasan pribadi yang sangat padat (condensed), yang melepaskan pribadi dari dunia di luarnya, yang membikin pribadi tidak terjamah oleh kekuasaan waktu, suatu kondisi di mana yang ada hanya sang pribadi dalam hubungan antara kawula dengan Gusti dengan bukti kegustiannya, tertampillah sang kreator dengan Kreator melalui pernyataan-pernyataannya. Dan maaf saja, karena ini pengalaman yang sangat individual sifatnya, maka tak membutuhkan pembenaran orang lain. Dan setelah permintaan maaf, yang juga merupakan bagian tak terpisahkan atas keterangan yang sangat pribadi, Proses kreatif adalah semata-mata bersifat individual, yang bisa terjadi hanya setelah terbentuk mistikum sebagai condition sine quo non. Mistikum, kebebasan pribadi yang sangat padat (condensed), yang melepaskan pribadi dari dunia di luarnya, yang membikin pribadi tidak terjamah oleh kekuasaan waktu, suatu kondisi di mana yang ada hanya sang pribadi dalam hubungan antara kawula dengan Gusti dengan bukti kegustiannya, tertampillah sang kreator dengan Kreator melalui pernyataan-pernyataannya. Dan maaf saja, karena ini pengalaman yang sangat individual sifatnya, maka tak membutuhkan pembenaran orang lain. Dan setelah permintaan maaf, yang juga merupakan bagian tak terpisahkan atas keterangan yang sangat pribadi,

2. Kebudayaan

a. Hakikat Kebudayaan

Kebudayaan sering kali dipahami dengan pengertian yang tidak tepat. Beberapa ahli ilmu sosial telah berusaha merumuskan berbagai definisi tentang kebudayaan dalam rangka memberikan pengertian yang benar tentang apa yang dimaksud dengan kebudayaan tersebut. Akan tetapi ternyata definisi-definisi tersebut tetap saja kurang memuaskan. Terdapat dua aliran pemikiran yang berusaha memberikan kerangka bagi pemahaman tentang pengertian kebudayaan ini, yaitu aliran ideasional dan aliran behaviorisme/materialisme.

Kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya. Kebudayaan tidak akan ada tanpa manusia, sebaliknya manusia tanpa kebudayaan tidak akan bisa bertahan dalam mengarungi kehidupan.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Secara etimologi kebudayaan atau culture berasal dari kata sanskerta yaitu “ buddhayah” yaitu bentuk jamak dari “buddhi” yang berarti budi atau akal (Koentjaraningrat, 2003: 73). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Namun, ada sarjana lain yang menyatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi-daya karena itu ia membedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa itu sendiri. Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat, 2003: 72).

Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,

Pengertian tersebut merupakan sebagian kecil dari defenisi kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Adapun yang mengumpulkan defenisi kebudayaan dari berbagai ahli tersebut adalah A. L Kroeber dan C. Kluckhohn yang berhasil mengumpulkan 160 defenisi kebudayaan menurut para ahli.

Kebudayaan bersifat dinamis, selalu berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Terjadi penyempurnaan yang dilakukan untuk menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Semakin bertambahnya tantangan hidup manusia dari waktu ke waktu maka kebutuhan untuk mengatasi tantangan tersebut akan terus berkembang. Misalnya dalam kehidupan manusia terjadi proses perubahan dari waktu zaman batu - zaman perunggu dan besi - zaman modern. Berkembangnya kebudayaan tidak terlepas dari berkembangnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan kebudayaan.

Kebudayaan disusun atas beberapa komponen yaitu komponen yang bersifat kognitif, normatif, dan material. Dalam memandang kebudayaan, orang sering kali terjebak dalam sifat chauvinisme yaitu membanggakan kebudayaannya sendiri dan menganggap rendah kebudayaan lain. Seharusnya dalam memahami kebudayaan kita berpegangan pada sifat-sifat kebudayaan yang variatif, relatif, universal, dan counterculture.

Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub- kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik, dan gender.

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

1) Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.

2) Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.

3) Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.

4) Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

b. Unsur-unsur Kebudayaan

Setiap bangsa di dunia memiliki kebudayaan masing-masing yang brbeda dengan kebudayaan bangsa lainnya. Namun, segala bentuk kebudayaan tersebut terdapat beberapa unsur kebudayaan yang selalu dimiliki oleh masing-masing kebudayaan tersebut, yang selanjutnya dikenal dengan istilah “Tujuh unsur kebudayaan universal” (C. Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 2003: 81). Adapun ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah :

1) Bahasa Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat 1) Bahasa Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat

Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

2) Sistem Pengetahuan Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan- percobaan yang bersifat empiris (trial and error). Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:

(a) pengetahuan tentang alam (b) pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya (c) pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah

laku sesama manusia (d) pengetahuan tentang ruang dan waktu

3) Sistem religi Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.

Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare , yang berarti “menambatkan”), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut: “... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati”.

Agama biasanya m emiliki suatu prinsip, seperti “10 Firman” dalam agama Kristen atau “5 rukun Islam” dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga mempengaruhi kesenian. (a) Agama Samawi

Agama Samawi atau agama Abrahamik meliputi Islam, Kristen (Protestan dan Katolik) dan Yahudi. (1) Agama Yahudi Yahudi adalah salah satu agama yang - jika tidak disebut sebagai yang pertama - tercatat sebagai agama monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi adalah bagian utama dari agama Ibrahim lainnya, seperti Kristen dan Islam.

(2) Agama Kristen Kristen adalah salah satu agama penting yang berhasil mengubah wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan Erasmus.

(3) Agama Islam Islam adalah agama tertua di dunia, agama ini merupakan sumber dari beberapa agama yang pada prosesnya berubah menjadi beberapa agama. Agama Islam merupakan agama monotheime/atau monotheistik pertama (3) Agama Islam Islam adalah agama tertua di dunia, agama ini merupakan sumber dari beberapa agama yang pada prosesnya berubah menjadi beberapa agama. Agama Islam merupakan agama monotheime/atau monotheistik pertama

Agama Islam telah berhasil merubah cara pandang orang-orang eropa terhadap kebudayaan, seperti ilmu-ilmu fisika, matematika, biologi, kimia

dan lain-lain oleh para fislsuf barat yang kemudian hal itu diubah dan diakui oleh orang-orang eropa bahwa hal itu merupakan hasil karya orang

eropa asli, Terutama oleh kalangan para filsafat. Sementara itu, nilai dan norma agama Islam banyak mempengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan juga sebagian wilayah Asia Tenggara.

Pada masyarakat Jawa, biasanya mereka membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Golongan kedua ini sebenarnya adalah orang-orang yang percaya kepada ajaran agama Islam, akan tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama Islam.

Misalnya tidak salat, tidak pernah puasa, tidak bercita-cita untuk melakukan ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar di dalam masyarakat orang Jawa itu, ada golongan santri dan ada golongan agama kejawen. Di berbagai daerah di Jawa baik yang bersifa kota maupun pedesaan orang santri menjadi mayoritas, sedangkan di lain daerah orang bergama kejawen-lah yang dominan (Koentaraningrat, 1999: 344).

(b) Filosofi dan Agama dari Timur Filosopi dan Agama seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan China dan menyebar disepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi.

Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea dan China selatan sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand. Agama Hindu dari India mengajarkan pentingnya elemen non-materi sementara sebuah pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia.