KONSTRUKSI YURIDIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BHMN DI INDONESIA PADA MASA YANG AKAN DATANG

BAB V KONSTRUKSI YURIDIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BHMN DI INDONESIA PADA MASA YANG AKAN DATANG

A. Dasar Petimbangan Perlunya Pengaturan dan Bentuk Perundangan BHMN

Tujuan dari pembangunan adalah dalam rangka menjalankan pembangunan nasional yang mencakup segala bidang kehidupan baik itu bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan tentunya tidak ketinggalan pembangunan di bidang hukum yang harus dilakukan secara berkesinambungan. Hukum harus dibangun dan dijadikan panglima, selain itu juga agar hukum dapat menjadi sarana pembangunan dan sekaligus sebagai sarana pembaharuan masyarakat (Law as a Tool of Social Engineering). Law as a Tool of Social Engineering adalah hukum sebagai sarana perubahan sosial dalam masyarakat yang pertama kali dipopulerkan oleh Roscoe Pound, kemudian dikembangkan di Indonesia oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang disebut hukum sebagai alat

pembaharuan masyarakat atau sarana pembaharuan masyarakat. 160 Dalam kehidupan dimasyarakat hukum sering diartikan dari berbagai sudut

pandang, bisa sebagai kaedah atau peraturan yang harus ditaati, dan apabila tidak ditaati akan kena sanksi. Setiap ahli hukum tentunya mempunyai pandangan yang berbeda mengenai arti hukum, demikian juga pandangan tentang hukum oleh Roscoe Pound dikatakan sebagai berikut “Law must be stable and yet it cannot stand still. Hence all thinking about law has

struggled to reconcile: the conflicting demands of the need of stability and of the need of change”. 161

Memperhatikan pandangan hukum yang dikemukakan Roscoe Pound, menurut Mochtar Kusumaatmadja 162 hukum adalah merupakan suatu alat untuk

memelihara ketertiban dalam masyarakat. Dilihat dari fungsinya maka pada

160 Moctar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Makalah tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Lembaga Penelitian

Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung: Penerbit Binacipta, 1976, hlm. 9.

161 Roscoe Pond, Interpretation of Legal History, 1923 dalam : Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, “Renungan tentang Filsafat Hukum”, (Jakarta: CV Rajawali), hlm. 34. 162

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 13.

dasarnya hukum itu bersifat konservatif atau dengan kata lain hukum itu bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai termasuk dalam membantu proses perubahan yang diinginkan oleh masyarakat itu. Lebih lanjut Mochtar Kusumaatmadjamenyatakan bahwa jika diartikan dalam arti yang luas, hukum tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-

kaidah itu dalam kenyataan. 163 Mochtar Kusumaatmadja telah membangun dan memperkuat teori hukumnya dengan teori-teori mengenai hukum bukan sekedar

norma melainkan juga institusi (dari teori kebudayaan Northrop), sebagai proses (dari policy-oriented-nya Laswell dan Mc. Dougal), dan pekanya perhatian Mochtar terhadap arti kepekaan hukum terhadap kondisi dan gejala-gejala kemasyarakatan, dan pandangan Mochtar tentang fungsi hukum sebagai sarana pembangunan merupakan sumbangan penting dari Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound yang berasal

dari aliran hukum pragmatis. 164 Mengenai peran dan fungsi hukum sebagai "Lawas a Tool of Social

" seperti dikemukakan Roscoe Pound, Engineering 165 pandangan ini didasarkan pada waktu itu di Amerika Serikat (AS) peranan hukum dalam bentuk keputusan- keputusan Mahkamah Agung AS dalam mewujudkan persamaan hak bagi warga yang berkulit hitam merupakan contoh yang sangat mengesankan dari peranan progresif yang dapat dimainkan oleh hukum dalam masyarakat. Selama perubahan yang dikehendaki dalam masyarakat hendak dilakukan dengan cara yang tertib, selama itu masih ada tempat bagi peranan hukum, teori Pound itu ditujukan terutama pada peranan pembaharuan daripada keputusan-keputusan pengadilan,

khususnya keputusan Supreme Court sebagai mahkamah tertinggi. 166 Sebagaimana telah dijelaskan diatas, fungsi hukum sebagai "Law as a Tool

of Social E ngineering” kemudian dikembangkan Mochtar Kusumaatmadja menjadi “Hukum sebagai sarana Pembaharuan”. Pandangan demikian didasarkan dengan

163 Ibid , hlm. 30. 164 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung:Penerbit mandar

Maju, Bandung, 2003), hlm. 183. 165 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni,

2002), hlm. 14. 166 Ibid , hlm. 83.

asumsi bahwa sebenarnya fungsi perundang-undangan lebih dominan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia pada. Beliau mengatakan bahwa aplikasi mechanistis yang digambarkan dengan kata “tool” perlu dihindari mengingat kepekaan masyarakat yang belum dapat menerima penerapan legisme dalam sejarah hukum Indonesia, serta adanya fakta bahwa Indonesia telah menjalankan asas hukum sebagai alat pembaharuan jauh sebelum konsepsi tersebut dirumuskan secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan hukum. 167

Adapun pokok- pokok pikiran yang terkandung dalam konsepsi “hukum s ebagai sarana pembaharuan masyarakat” yaitu sebagai berikut:

1. Hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu;

2. Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan;

3. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban.

4. Hukum diperlukan bagi proses perubahan termasuk proses perubahan yang cepat yang biasanya diharapkan oleh masyarakat yang sedang membangun, apabila perubahan itu hendak dilakukan dengan teratur dan tertib. Artinya, dalam mengadakan perubahan "per se" hukum tidak diperlukan. Perubahan bisa juga dilakukan dengan paksa atau cepat.

5. Di Indonesia, undang-undang merupakan cara pengaturan hukum yang utama, pembaharuan masyarakat dengan jalan hukum berarti pembaharuan hukum terutama melalui perundang-undangan.

Berdasarkan pentingnya peran/ fungsi hukum sebagaimana yang diuraikan tersebut di atas, terhadap fenomena badan hukum BHMN yang hingga saat ini telah menunjukkan eksistensinya sebagai badan penyelenggara pelayanan publik

167 Ibid , hlm. 83-84.

namun belum ada perundangan khusus yang mengatur tentang BHMN tersebut maka perlu segera dibuat suatu undang-undang tentang badan hukum tersebut.

Lebih jauh, dapat Penulis uraikan dasar pertimbangan perlu adanya pengaturan/ perundangan tentang badan hukum BHMN tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu, dalam rangka untuk menyelenggarakan pelayanan publik tertentu pemerintah telah membentuk beberapa BHMN untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik

tertentu. 168 Meskipun demikian keberadaan BHMN tersebut tidak didukung dengan adanya undang-undang khusus tentang badan hukum BHMN. 169

2. Berbeda dengan subjek hukum manusia yang lahir secara alami; Menurut Chidir Ali keberadaan badan hukum sebagai subjek hukum harus memperoleh

kewenanangan dari hukum positif. 170 Hal yang senada dikatakan oleh L.J. van Apeldoorn bahwa segala sesuatu yang mempunyai kewenangan hukum, adalah

purusadalam arti yuridis. Kewenangan hukum ialah, kecakapan untuk menjadi pendukung (subjek) hukum. Persoonlijkheid atau kewenangan hukum, adalah sifat yang diberikan oleh hukum objektif dan hanya boleh dimiliki mereka, untuk siapa ia diberikan oleh hukum. Berdasarkan uraian ini seharusnya sebelum pemerintah mendirikan/ membentuk BHMN tersebut telah ada undang- undang yang mengatur dan melahirkan suatu jenis badan hukum BHMN ini. Oleh karena itu saat ini sudah sangat mendesak segera dikeluarkannya perundangan tentang badan hukum BHMN. Keberadaan undang-undang tentang BHMN ini penting artinya untuk memberikan kepastian hukum tentang jati diri badan hukun BHMN tersebut antara lain yang berkenaan dengan apa BHMN itu

168 BHMN yang dimaksud adalah: 1) BHMN PTN menyelenggarakan pendidikan tinggi, BHMN BP MIGAS, menyelenggarakan pelayanan dalam pengelolaan kegiatan hulu MIGAS, 3) BHMN

BPJS, menyelenggarakan program jaminan sosial, 4) BHMN LPS, yang menyelenggarakan pelayanan penjaminan simpanan, dan 5) BHMN LPP, yanag menyelenggarakan pelayanan penyiaran publik.

169 Bandingkan dengan badan hukum tentang Perseroan Terbatas yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, badan

hukum koperasi yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, dan badan hukum Yayasan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004.

170 Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 16.

sendiri, apa jenis badan hukum BHMN, bagaimana status keuangan BHMN bagaimana status kepegawaian tenaga kerja BHMN, dan lain-lain.

Menyadari akan pentingnya peraturan perundangan BHMN tersebut selanjutnya adalah dengan jenis bentuk peraturan perundangan apa BHMN diatur. Menurut teori norma hukum berjenjang dari Hans Kelsen ini yang dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Hans Nawiasky dalam bukunya

“Allgemeine Rechtslehre”, dalam buku tersebut Hans Nawiasky mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen, maka suatu norma hukum dari negara

manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan bersandar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan bersandar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai

pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. 171 Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan,: jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/ peraturarn pemerintah pengganti undang-undang;

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi;

7. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota Dari urutan hierarki jenis peraturan perundangan tersebut di atas jenis peraturan perundangan tersebut dianggap paling tepat yang mengatur tentang badan hukum BHMN adalah jenis peraturan perundangan undang-undang. Menurut Penulis ada beberapa alasan penting badan hukum BHMN tersebut harus diatur dengan undang-undang, yakni:

1. Sebagaimana yang telah diungkapkan diatas yang lahir secara alami, keberadaan suatu badan hukum/ jenis badan hukum harus dilahirkan oleh hukum positif yakni satu undang-undang. Pentingnya jenis hierarki peraturan perundangan

171 Maria Farida Indarti, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hlm. 44.

dalam bentuk undang-undang ini untuk melindungi kedudukan badan hukum BHMN agar tidak dapat dikesampingkan dengan norma hukum perundangan yang lebih tinggi atau untuk dapat menerapkan asas “lex superirori” dan “derogat lex imperiori” guna menjamin keberadaan dan keleluasaannya dalam

menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik.

2. Sebagaimana telah disinggung pada bab terdahulu dari teori norma hukum berjenjang dari Hans Kelsen tersebut, oleh Hans Nawiasky dikemukakan bahwa suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang- jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan bersandar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan bersandar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang

disebut Norma Dasar. 172 Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berjenjang dan

berlapis-lapis, norma hukum suatu negara juga berkelompok-kelompok, yaitu: Kelompok 1 : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara), Kelompok 2 : Staatsgrundgeset (Aturan Dasar/ Pokok Negara), Kelompok 3 : Formallgesetz (Undang-undang Formal), Kelompok 4 :Verordnung & Autonomie Satzung (peraturan pelaksanaan dan

peraturan otononom). Kelompok ketiga, kelompok Undang-undang Formal (Formallgesetz) yang terletak di bawah Aturan Dasar atau Aturan Pokok Negara, dimana norma hukum dalam suatu undang-undang sudah lebih konkrit dan terinci serta sudah dapat langsung berlaku di masyarakat. Oleh karena itu sehubungan dengan persoalan tersebut ketentuan-ketentuan mengenai badan hukum milik negara yang merupakan persoalan konkrit yang harus langsung dilakukan pada masyarakat jenis hierarki peraturan perundangan yang mengatur secara khusus tentang BHMN haruslah dengan bentuk undang-undang (Undang-Undang Formil).

172 Maria Farida Indarti, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hlm. 44.

B. Substansi Pokok yang Diatur Dalam Undang-Undang BHMN

1. BHMN sebagai Badan Hukum

Mengenai substansi apa yang harus dimuat dalam Undang-undang BHMN khususnya berkenaan dengan kelembagaan badan hukum BHMN dapat menerapkan model substansi undang-undang tentang badan-badan hukum yang ada seperti undang-undang tentang badan hukum Perseroan Terbatas, badan hukum Yayasan, badan hukum Koperasi, yang pada pokoknya memuat hal-hal sebagai berikut:

a. Pengertian-pengertian, terutama mengenai pengertian tentang definisi apa itu Badan Hukum BHMN.

b. Maksud dan tujuan yang pada pokoknya dimaksudkan untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik, dan sekaligus memuat tentang jenis, sifat, atau model pelayanan publik apa saja yang harus atau dapat diselenggarakan oleh BHMN.

c. Penegasan tentang status badan hukum BHMN adalah badan hukum privat.

d. Penegasan tentang BHMN yang bersifat nirlaba.

e. Pendirian BHMN, yang dalam hal ini mengatur tentang persyaratan dan cara pendirian BHMN. Dengan mengacu kepada perundangan tentang badan- badan hukum yang seperti Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang tentang Yayasan. Dan Undang-Undang tentang Koperasi, di dalam ketentuan tehtang pendirian BHMN tidak ada dua suabsyansi penting yang harus diatur adalah, yakni tentang: 1) Syarat pendirian BHMN, dan 2) Cara Pendirian.

1. Syarat Pendirian: Syarat-syarat pendirian ini adalah meliputi syarat-syarat materil apa saja yang harsu dipernuhi pemerintah yang akan mendirikan suatu BHMN. Syarat-syarat perndirian ini penting bagi suatu BHMN kareha akan menjadi identitas BHMN yang akan didirkan. Syarat-syarat poendirian dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:

a) Nama dan kedudukan BHMN. BHMN sebagiman layanknya subjeki hukum manusia harus mempunyai identitas nama, yakni nana yang berbeda atau membedakannya dengan BHMN atau mungkin badan a) Nama dan kedudukan BHMN. BHMN sebagiman layanknya subjeki hukum manusia harus mempunyai identitas nama, yakni nana yang berbeda atau membedakannya dengan BHMN atau mungkin badan

b) Tujuan BHMN yakni kegaiatn pelayanan poublik apa yang akan diselenggarakan oleh BHMN. Hal ini penting setidaknya untuk menghindari jangan sampai terjadinya tumpang tindih (over lap) bidang penyelenggaraan publik yang diselenggarakan oleh badan- badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah.

c) Jangka waktu pendirian. Ini penting untuk mengetahui kurun waktu berapa lama BHMN tersebut diadakan.

d) Besarnya kekayaan awal. Hal ini penting selain untuk menentukan berapa besarnya anggaran yang harus disiapkan oleh pemerintah untuk mendirikan BHMN tersebut, serta sekaligus sebagai wujud performance BHMN tersebut. Kekayaan awal BHMN yang harus disetor oleh negara ini seyogyanya harus disetor penuh pada saat pendirian BHMN.

e) Organ BHMN yang dalam hal ini adalah siapa-siapa yang untuk pertama kali dibentuk yang menjadi organ-organ BHMN.

2. Cara Pendirian BHMN Yang dimaksud cara pendirian BHMN di sini lebih ditujukan dengan instrumen/ dokumen hukum apa badan hukum BHMN didirikan. Berbeda dengan badan hukum Perseroan Terbatas yang bukan berstatus BHMN atau badan hukum yayasan cara pendirian badan hukum tersebut pada dasarnya adalah dengan dokumen akta notaris. Lain halnya deengan cara pendirian BHMN yang kekayaan awalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, maka sesuai dengan mekanisme yang berlaku di bidang pengeloalaan keuangan negara, dimana untuk memisahkan kekayaan negara harus melalui dokumen hukum peraturan pemerintah. Sehubungan dengan itu sebagaimana halnya juga pendirian BUMN, cara pendirian BHMN tertentu adalah dengan suatu Peraturan Pemerintah.

Peraturan pemerintah tentang pendirian BHMN ini sekaligus memuat Anggaran Dasar BHMN yang bersangkutan.

f. Modal/ Kekayaan awal BHMN, yakni seluruhnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

g. Kewenangan tentang mengelola dan/ atau mengembangkan kekayaan BHMN, serta peruntukan hasil pengeloalaan BHMN.

h. Organ BHMN yang dalam hal ini setidaknya ada 3 macam fungsi organ yakni, 1) organ pengurus, 2) organ pengawas, 3) organ pemegang kekuasaan tertinggi BHMN. Didalam ketentuan ini sekaligus diatur bagaimana pengangkatan dan pemberhentian, tugas/ fungsi serta wewenang organ- organ BHMN tersebut.

i. Hubungan hukum BHMN baik dengan pihak-pihak lainnya maupun dengan pihak pemerintah.

j. Restrukturisasi/ reorganisasi BHMN seperti tindakan penggabungan, peleburan, pemisahan dan lain-lain. k. Pembubaran dan tidak dilikuidasi BHMN. Dengan ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan badan hukum BHMN seperti tersebut di atas akan memberikan kepastian hukum atas keberadaan badan hukum BHMN dalam lalu lintas pergaulan hukum

2. BHMN sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik

Berkaitan dengan tuuan utama pembentukan suatu BHMN yakni untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik, maka berkenaan dengan itu di dalam undang-undang BHMN setidaknya perlu diatur tentang jenis, sifat, atau model pelayanan publik apa saja yang dapat atau harus diselenggarakan oleh BHMN, dan sekaligus bagaimana model hubungan hukum dalam model hukum dalam penyelenggaraan program pelayanan publik yang diselenggarakan oleh BHMN.

Mengenai ruang lingkup pelayanan publik oleh BHMN ini, mengingat adanya karakteristik tertentu dari badan hukum BHMN baik di lihat dari status badan hukumnya sebagai badan hukum privat tidak bermotif nirlaba tetapi dikelola dengan manajemen korporasi maka kita tidak dapat menentukan jenis- Mengenai ruang lingkup pelayanan publik oleh BHMN ini, mengingat adanya karakteristik tertentu dari badan hukum BHMN baik di lihat dari status badan hukumnya sebagai badan hukum privat tidak bermotif nirlaba tetapi dikelola dengan manajemen korporasi maka kita tidak dapat menentukan jenis-

Untuk itu dapat diuraikan tentang bagaimana ruang lingkup pelayanan publik yang dapat diselenggarakan oleh BHMN sebagai berikut:

a) Dilihat dari aspek status badan hukum BHMN sebagai badan hukum privat pelayanan publik BHMN tidak mungkin dapat bergerak di bidang yang didukung oleh kewenangan publik seperti perizinan atau konsesi dan lain- lain yang berada dalam lapangan hukum publik. Bidang kegiatan pelayanan publik yang dapat diselenggarakan oleh BHMN hanya berkenaan dengan pelayanan publik yang didasarkan pada hubungan hukum keperdataan.

b) Dilihat dari aspek sistem pengelolaan BHMN yang bersifat korporatif, dalam menyelenggarakan kegiatan publiknya BHMN harus dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip korporasi agar memperoleh margin dari hasil pengeloalaannya. Untuk itu bidang pelayanan publik yang dapat diselenggarakan oleh pelayanan publik adalah pelayanan publik yang dapat langsung dinikmati oleh masyarakat yang untuk itu dilakukan pembayaran kepada BHMN. Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, sifat nirlaba BHMN tidak dimaksudkan bahwa didalam penyelenggaraan pelayanan publiknya itu BHMN tidak menerima manfaat ekonomi berupa pembayaran. Adanya pembayaran kompensasi atas pelayanan publik yang diberikan oleh BHMN akan dikelola secara manajemen korporatif sehingga diharapkan atau memungkinkan dari hasil pengelolaannya tersebt BHMN memperoleh margin/ keuntungan. Hanya saja hasil pengelolaan keuntungan BHMN tersebut tidak disetorkan kepada negara akan tetapi akan dipergunakan bagi peningkatan atau pengembangan pelayanan publik BHMN yang bersangkutan.

Yayasan sama-sama menyelenggarakan pelayanan publik, BHMN bukanlah lembaga sosial seperti yayasan yang dapat memberikan pelayanan publik tanpa memperoleh kompensasi. Sumber penghasilan utama BHMN tetap berasal dari kompensasi pelayanan publik yang diberikannya. Bagi yayasan sunber penghasilannya justru semestinya tidak berasal dari kompensasi pelayanan publik yang diberikannya akan tetapi berasal dari partisipasi dari pihak lain.

Sekalipun

BHMN

dan