KONSTRUKSI YURIDIS BHMN SEBAGAI BADAN PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK
BAB IV KONSTRUKSI YURIDIS BHMN SEBAGAI BADAN PENYELENGGARA PELAYANAN PUBLIK
A. BHMN sebagai Badan Hukum
1. Pengertian dan Karekteristik BHMN
Istilah Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau state owned legal entity, adalah suatu terminologi hukum yang pertama kali digunakan oleh dunia pendidikan, khususnya dalam penyelengaraan pendidikan tinggi. BHMN
merupakan special legal entity. Terminologi BHMN sebenarnya adalah penggabungan dari dua kata “Badan Hukum” dan “Milik Negara”. “Badan
hukum” dimaksud pada hakekatnya adalah badan hukum (Rech persoon/ legal entity ) yang telah lama dikenal ilmu pengetahuan dan pergaulan hukum. Mengacu pada Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum, bahwa status hukum perguruan tinggi yang di rujuk dalam pasal ini adalah badan hukum yang mandiri dan berhak melakukan semua perbuatan hukum sebagaimana layaknya suatu badan hukum pada umumnya. Sementara itu, kata “milik Negara” menunjukkan bahwa kekayaan awal/ modal dasar kekayaan BHMN adalah berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan awal/ modal dasar BHMN yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan ini pada dasarnya sama dengan kekayaan awal/ modal dasar pada
pendirian BHMN. 121 Dilihat dari eksistensi BHMN yang telah ada saat ini, badan hukum ini sengaja dibentuk oleh negara/ pemerintah sebagai badan
untuk menyelenggarakan kekuatan pelayanan publik, yang dikelola secara korporatif, namun bersifat nir laba.
Di dalam kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia, meskipun lembaga BHMN telah cukup lama dikenal dalam berbagai peraturan perundangan sebagai badan penyelenggara beberapa bidang pelayanan publik, namun demikian belum ditemukannya pendapat ahli atau ketentuan dalam
121 Pasal 4 Butir (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi: Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan.
peraturan perundangan memberikan pengertian/ batasan tentang yang tegas dan komperehensif tentang apa yang dimaksud dengan BHMN. Untuk itu, berdasarkan uraian tentang gambaran BHMN tersebut di atas, yakini: a) suatu badan hukum, b) sebagai badan yang dibentuk untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik, c) kekayaan awal/ modal dasar BHMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, dan d) bersifat nir laba, maka dapat disusun suatu kosepsi tentang apa itu BHMN, yakni sebagai berikut: “Badan Hukum Milik Negara (BHMN) a dalah “badan hukum penyelenggara pelayanan publik yang bersifat nirlaba yang seluruh kekayaannya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.
Selanjutnya, untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dan tegas tentang apa itu badan BHMN dapat Penulis uraikan tentang karakteristik
BHMN 122 , yakni sebagai berikut:
a. Badan hukum 123 . Secara kelembagaan pada dasarnya BHMN adalah suatu badan hukum, yakni badan hukum pada umumnya (recht persoon/ legal entity) sebagaimana yang telah lama dikenal dalam pergaulan dan lalu lintas hubungan hukum. sebagaimana telah disinggung pada bab terdahulu, bahwa menurut Chidir Ali pengertian badan hukum sebagai subjek hukum mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) Perkumpulan orang atau organisasi;
2) Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan- hubungan hukum (rechtsbetrekking);
3) Mempunyai harta kekayaan tersendiri;
4) Mempunyai pengurus;
5) Mempunyai hak dan kewajiban;
6) Dapat digugat atau menggugat di depan Pengadilan.
122 Karakterisitik BHMN ini sekaligus juga membedakan BHMN dengan badan-badan hukum lain, terutama dengan badan-badan hukum yang juga didirikan/ dibentuk untuk meyelenggarakan
kegiatan pelayanan publik. 123 Beberapa ahli, memberikan pengertian badan hukum sebagai beikut:
a. Maijers: “Badan Hukum adalah: meliputi sesuatuyang menjadi pendukung hak dan kewajiban.
BHMN sebagai suatu badan/ organisasi telah memenuhi unsur-unsur badan hukum tersebut. 124
b. Penyelenggara pelayanan publik. Sebagiamana telah disinggung sebelumnya, bahwa telah lama terjadi pergeseran paradigma penyelenggaraan pelayanan publik, dari paradigma rule goverment menjadi good governance. Dalam perspektif good governance , pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik tidaklah semata-mata didasarkan kepada (goverment) atau negara (state) saja akan tetapi harus melibatkan seluruh komponen, baik dalam intern birokrasi maupun dari luar birokrasi publik (masyarakat). Kinerja pemerintah dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance ) tersebut dapat dinilaidari kemampuan melaksanakan penyelengaraan pelayanan publik secara efisien, efektif dan bertanggungjawab. Menurut Agus Dwiyanto dkk, Pelayanan publik paling tidak menghadapi tiga masalah penting, yaitu diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan dan rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Pemerintah belum dapat menyelengarakan pelayanan publik dengan baik. Hal ini ditandai dengan rendahnya
aksesibilitas berbagai jenis pelayanan publik. 125
b. Utrecht: “Badan Hukum (rechtspersoon), yaitu: badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan, bahwa badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau yang lebih tepat yang bukan manusia.
c. R. Subketi: “Badan Hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yangdapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusiae, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
d. R. Rochmat Soemitro: “Badan Hukum (rechtspersoon) ialah: suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi.
e. Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusila: “Pribadi Hukum ialah suatu badan yang memiliki harta kekayaan terlepas dari anggota-anggotanya, dianggap sebagai subjek hukum, mempunyai tanggung jawab dan memiliki hak-hak serta kewajiban- kewajiban seperti yang dimiliki oleh seseorang.
f. Wirjono Prodjodikuro: “Badan Hukum yaitu badan yang disamping manusia perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.
Faktor lain yang menjadi penyebab buruknya kinerja pelayanan publik adalah kompleksnya struktur birokrasi pelayanan publik. Selama ini suatu birokrasi pelayanan publik sering tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk secara mandiri menyelesaikan proses pelayanan publik di
lembaganya 126 . Pola pikir birokrat sebagai penguasa telah menyebabkan sulitnya melakukan perubahan kualitas pelayanan publik. Pelayanan publik
yang otonomis dan non-birokratis merupakan salah satu jawaban atas masalah kelemahan pelayan publik oleh pemerintah yang birokratis tersebut, antara lain dengan mentransformasi atau membentuk badan-badan pelayanan publik yang lebih otonom. Sejalan dengan semangat doktrin Manajemen Publik Baru (New Public Management) dan pengagenan/ agensifikasi (agencification) telah mengilhami banyak negara di dunia untuk membentuk unit organisasi pemerintah yang secara struktural maupun fungsi berpisah dari kementrian induk. 127
Sebagaimana banyak juga dilakukan oleh negara-negara lain, selain penyelenggaraaan pelayanan publik langsung oleh lembaga-lembaga negara pemerintah telah melakukan transformasi dan pembentukan badan-badan pelayanan publik yang lebih otonom, baik dengan melanjutkan atau pembentukan badan-badan usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sampai pada pembentukan badan penyelenggara pelayanan umum Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Jadi jelas disini bahwa BHMN dibentuk semata-mata hanya untuk sebagai penyelenggara pelayan publik. Tujuan penyeleggaraan pelayanan publik (public service) yang diemban oleh BHMN ini bahkan menjadi tujuan utama dan semata-mata untuk itu yang dan tidak disertai dengan tujuan lainnya. Lain halnya dengan BUMN yang dibentuk tidak semata-mata
125 Agus Dwiyanto dkk, Kinerja Tata Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Yogyakarta : PSKK UGM, 2007), hlm. 17.
126 Ibid 127 Mediya Lukman, Badan Layanan Umum dari Birokrasi Menuju Korporasi, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2013), hlm. 89.
untuk menyelenggarkan pelayanan publik (public service) tetapi bersamaan dengan itu juga dimaksudkan untuk mencari keuntungan (profit motive). 128
c. Kekayaan awal/ modal dasar berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Menurut teori korporasi Corporate Realism, 129 ciri khas utama badan hukum adalah mempunyai kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah dari kekakyaan pendirinya. Selanjutnya menurut Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, pengertian tentang pribadi hukum ialah suatu badan yang
memiliki harta kekayaan. 130 Kekayaan badan hukum sebelum berkembang lebih jauh atau mungkin berkurang, mulanya berasal dari kekayaan awal/
modal dasar (equity) yang berasal dari kekayaan orang atau pihak yang mendirikan badan hukum tersebut.
Khusus badan hukum BHMN dimana satu-satu pendirinya adalah negara/ pemerintah, maka kekayaan awal atau modal dasar BHMN adalah berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Di sini BHMN sebagai suatu subjek hukum - badan hukum yang mandiri seluruh kekayaan awal BHMN yang meskipun semula berasal dari kekayaan negara, kekayaan BHMN tersebut adalah kekayaan BHMN sendiri dan bukan lagi merupakan kekayaan negara. Kekayaan BHMN ini akan terus melekat pada BHMN sampai pada saatnya BHMN dibubarkan dan dilakukan likuidasi, dan bila ternyata terdapat sisa harta kekayaan maka sisa harta kekayaan tersebut dikembalikan kepada negara.
d. Besifat nirlaba. Yang dimaksud dengan nir laba disini tidak diartikan bahwa BHMN dalam pengeloaannya dalam rangka memberikan pelayanan publik tidak
128 Lihat: bunyi Pasal 2 butir (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan hukum Miliik Negara, sebagai berikut: Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah:
a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; b. Mengejar keuntungan; c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang bermutu
tinggi dan memadai baagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; e. Turut aktif memberikan bimbingan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
129 Daniel Zimmer, LEGAL PERSONALITY dalam Ella Gepken – Jager (Eds) “VOC 1602- 2002, 400 Years of Company Law ” (Nijmegen : Kluwer Legal Publishing, 2005), hlm. 267-269.
130 Chidir Ali, Badan Hukum, (Banduung Alumni, 1999: ), hlm. 20 130 Chidir Ali, Badan Hukum, (Banduung Alumni, 1999: ), hlm. 20
Yang dimaksud dengan bersifat nir laba tersebut adalah ditujukan kepada negara yang mendirikan BHMN tersebut, dimana terhadap margin/ keuntungan hasil pengelolaan BHMN tidak disetorkan kepada negara. Hasil dari kuntungan/ profit pengelolaan BHMN tersebut oleh BHMN yang bersangkutan dipergunakan kembali untuk peningkatan dan perluasan
pelayanan publik BHMN tersebut. 131 Mengenai karakter nir-laba BHMN ini, hal yang sama juga dikatakan dalam Penjelasan Pasal 60 butir (2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tentang sifat nir laba PTN BHMN, yang berbunyi sebagai berikut: Ya ng dimaksud dengan “prinsip nir-laba” adalah prinsip kegiatan yang tujuannya tidak mencari laba sehingga sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/ atau mutu layanan pendidikan.
2. Organ BHMN
Menurut Teori Organ sebagimana yang dikemukakan oleh Otto von Gierke (1841-1921), 132 badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan
yang benar-benar dalam pergaulan hukum. Badan hukum merupakan suatu badan yang membentuk kehendak dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan. Menurut teori organ badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Fungsi badan hukum dipersamakan dengan
131 Mengenai sifat nir laba ini sama halnya dengan badan hukum Yayasandalam Pasal 3 Butir 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yakni Yayasan tidak boleh
membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2001 tentang Yayasan.
132 Chidir Ali, Badan Hukum, (Jakarta: Penerbit Alumni, 1999), hlm. 31.
fungsinya manusia. Tiap-tiap perkumpulan/ perhimpunan orang adalah badan hukum. Kualitas subjek hukum pada manusia juga tidak dapat ditangkap dengan panca indera, dan bertindaknya tidak dengan kesatuan wujud orang, tetapi organ dari orang itu yang bertindak. Begitu pula badan hukum sebagai wujud kesatuan tidak bertindak sendiri melainkan organnya.
BHMN sebagai suatu badan hukum yang mempunyai kewenangan bertindak dalam lalu lintas hukum, seperinya halnya badan hiukum pada umumnya tidak sebagai suatu artificial tidak dapat bertindak sendiri, melainkan
diwakli oleh “kaki tangannya” yang dalam hal ini organ BHMN sendiri yang terdiri dari subjek hukum manusia (natuurlijk poersoon). Seperti halnya yang
tubuh manusia, organ atau organ-organ BHMN ini merupakan bagian dan satu satu kesatuan dari tubuh BHMN itu sendiri. BHMN sebagai suatu badan hukum sebagaimana badan hukum pada umunya harus memiliki organ atau organ-organ untuk mendukung baik secara langsung atau tidak langsung bagi BHMN untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum, atau lebih luas lagi untuk menjalani keberadaannya sebagai subjek hukum pendukung hak dan kewajiban. Apa saja organ BHMN, dapat mengikuti model organ-organ bdan hukum yang telah ada, antara lain yakni seperti organ badan hukum Perseroan Terbatas, organ badan hukum Yayasan, dan organ badan hukum Koperasi.
Pada badan hukum Persroan Terbatas, organnya terdiri dari: 1) Dirkesi, 2) Dewan Komisaris, dan 3) Rapat Umum Pemegang Saham RUPS). 133 Pada badan hukum Koperasi, organnya terdiri dari: 1) Pengrus, 2) Dewan Pengawas,
dan 3) Rapat Anggota. 134 Pada badan hukum Yayasan, organnya terdiri dari: 1) Pengurus, 2) Pengawas, dan 3) Rapat Pembina. 135 Masing-masing organ badan-
badan hukum tersebut mempunyai fungsi masing-masing, yakni:
a. Fungsi Direksi atau Pengurus, yakni sebagai eksekutif/ pelaksana langsung untuk dan atas nama BHMN bertindak/ melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan;
133 Lihat pasal 1 butir (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
134 Lihat Pasal 31 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian.
135 Lihat pasal 32 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan 135 Lihat pasal 32 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
c. Fungsi RUPS atau Rapat Anggota atau Rapat Pembina, yakni sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi 136 , dimana organ ini terdiri dari orang yang
merupakan perwakilan/ represetasi dari pendiri/ pemodal badan hukum. Sebagai wujud representasi pendiri/ pemodal badan hukum yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu badan hukum, organ ini punya kewenangan mengangkat dan memberhentikan organ-organ badan hukum lainnya.
Dengan mengikuti model khususnya fungsi-fungsi organ dari ketiga badan hukum tersebut di atas, maka melalui dapat disusun suatu konsep tentang organ BHMN, sebagai berikut:
a. Organ Pengurus, dengan melaksanakan fungsi eksekutif/ pelaksana yang melakukan pengurusan BHMN sehari-hari, melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama BHMN, dan mewakili BHMN di dalam dan di luar pengadilan. Mengenai sebutan/ istilah organ Pengurus BHMN ini dapat disesuaikan dengan bidang kegiatan masing-masing BHMN, antara lain dengan istilah/ sebutan “Pengurus”, “direktur”, “rektor”,
b. Organ Pengawas/ Penasehat, dengan melaksanakan fungsi pengawasan terhadap organ pengurus dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
c. Organ pemegang kekuasaan tertinggi pada BHMN. Sebutan/ istilah organ ini BHMN ini dapat disesuaikan dengan bidang kegiatan masing-masing BHMN, antara lain dengan istilah/ sebutan “Wali Amanat”, “Pembina/ Dewan Pembina”.
136 Istilah “pemegang kekuasaan tertinggi” ini sementara Penulis pinjam dari istilah sebagaimana yang pernah digunakan didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas sebagaimana yang telah dicabut oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maupun dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, semata-mata untuk mempertegas perbedaan fungsi organ badan hukum ini dari organ-organ lainnya. Oleh Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tersebut dikatakan: Rapat Umum pemegang saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. Selanjutnya Pasal 1 butir 13 tersebut dikatakan: Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris
3. Status Badan Hukum BHMN
Sebagimana telah disinggung sebelumnya, bahwa dalam ilmu hukum terdapat beberapa kriteria yang digunakan untuk dapat memberikan perbedaan pokok antara kedua jenis badan hukum tersebut, yakni:
a. Berdasarkan kriteria bagaimana cara pendirian Badan Hukum: Seperti yang digariskan oleh pasal 1653 KUHPerdata yaitu ada tiga macam yakni 1) Badan Hukum yang “diadakan” oleh kekuasaan umum (pemerintah/
negara),
2) Badan Hukum yang “diakui” oleh kekuasaan umum, dan 3) Badan Hukum yang “diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu” yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.
Bentuk yang ketiga ini disebut juga Badan Hukum dengan konstruksi keperdataan.
b. Berdasarkan kriteria kekuasaan badan hukum: Dahulu untuk membedakan kedua jenis badan hukum di atas dicari kriteria keduanya yaitu pada badan hukum perdata ialah Badan Hukum yang didirikan oleh perseorangan, sedangkan pada badan hukum Publik ialah badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum.
Sekarang karena perkembangan ilmu hukum, kriteria tersebut telah berubah. Seperti di Jerman, kalangan sarjananya berpendapat bahwa perbedaan kedua jenis Badan Hukum di atas terutama dicari dalam apakah Badan Hukum tersebut mempunyai kekuasaan sebagai penguasa? dan Badan Hukum itu dianggap mempunyai kekuasaan sebagai penguasa, yaitu jika Badan Hukum tersebut dapat mengambil keputusan-keputusan dan membuat peraturan- peraturan yang mengikat orang lain yang tidak tergabung dalam Badan Hukum tersebut. Jadi kriteria di sini dicari pada wewenang Badan Hukum, seperti di provinsi Jawa Barat mempunyai wewenang membuat keputusan, ketetapan dan peraturan yang mengikat orang-orang yang menjadi penduduk Jawa Barat, maka Provinsi Jawa Barat adalah Badan Hukum Publik.
Dari kedua kriteria di atas, menurut Soenawar Soekawati 137 Badan Hukum yang didirikan dengan konstruksi hukum publik tersebut, belum tentu
merupakan Badan Hukum Publik dan belum tentu mempunyai wewenang
137 Soenawar Soekowati, dalam Chidir Ali, SH., Op.Cit, hlm. 61.
publik. Jadi, cara pendirian Badan Hukum itu kiranya tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk menetapkan apakah Badan Hukum itu merupakan Badan Hukum Publik ataukah Badan Hukum Keperdataan.
Kriteria manakah yang dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah tersebut, Soenawar Soekowati yang untuk ini lebih lanjut mengatakan bahwa dalam stelsel hukum Indonesia menentukan suatu Badan Hukum tersebut adalah suatu Badan Hukum Publik dapat dipergunakan kriteria, yaitu:
a. Dilihat dari cara pendiriannya/ terjadinya, artinya Badan Hukum itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh penguasa (negara) dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
b. Lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan tugasnya Badan Hukum itu pada umumnya dengan publik/ umum melakukan perbuatan- perbuatan hukum perdata, artinya bertindak dengan kedudukan yang sama dengan publik/ umum atau tidak. Jika tidak, maka Badan Hukum Publik;
c. Mengenai wewenangnya, yaitu apakah Badan Hukum yang didirikan oleh penguasa (negara) itu diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat umum. Jika ada wewenang publik, maka ia adalah Badan Hukum Publik. Demikianlah, jika ketiga akumulasi kriteria itu terdapat pada suatu badan atau Badan Hukum, maka ia dapat disebut Badan Hukum Publik.
Terhadap kriteria Badan Hukum Publik sebagaimana yang dikemukakan oleh Soenawar Soekowati tersebut, Penulis sependapat dengan kriteria pertama
138 dan kriteria ketiga, tetapi tidak dengan kriteria yang kedua. Menurut Penulis Perbedaan kedudukan dalam perbuatan hukum atau hubungan hukum antara
Badan Hukum Publik dengan Badan Hukum Perdata hanya terletak dalam hubungan-hubungan hukum yang berada dalam lapangan Hukum Publik yang bersifat sub-ordinatif (tidak sejajar) yakni sebagaimana halnya hubungan hukum
138 Sesuai dengan kriteria Badan Hukum yang pertama sebagaimana yang dikemukakan oleh Soenawar Soekowati di atas, pembentukan Badan Hukum Publik harus dilakukan dengan konstruksi
Hukum Publik yakni oleh negara/ pemerintah dibentuk/ didirikan dengan undang-undang atau peraturan perundangan lainnya. Namun demikian tidak semua badan hukum yang dibentuk/ didirikan oleh negara/ pemerintah dengan peraturan perundang-undangan adalah Badan Hukum Publik. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meskipun dibentuk/ didirkan oleh negara/ pemerintah dengan Peraturan Pemerintah bukan merupakan Badan Hukum Publik, tetapi merupakan Badan Hukum Privat.
antara negara/ penguasa dengan warganegara dalam Hukum Administrasi Negara/ Hukum Tata Usaha Negara. Dalam melakukan perbuatan hukum atau hubungan hukum keperdataan seperti membuat perjanjian kedudukan Badan Hukum Publik dan Badan Hukum Privat bersifat horizontal (sejajar).
Dari eksistensi BHMN yang ada sebagaimana yang telah Penulis uraikan pada Bab III terdahulu (baik yang secara eksplisit, implisit, maupun berkarakter lebih mendekati BHMN), di dalam perundangan tentang masing-masing BHMN tersebut dengan tegas/ eksplisit dinyatakan bahwa masing-masing BHMN tersebut adalah badan hukum, dan dari semua BHMN yang ada tersebut hanya satu BHMN yakni Badan Penyeneggara Jaminan Sosial (BPJS) yang secara tegas menyatakan jenis badn hukumnya adalah Badan Hukum Publik.
Bila diperhatikan dari aspek fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing BHMN tersebut tidak menunjukkan adanya kewenangan publik (kewenangan sebagai penguasa/ pemegang otoritas/ pemerintah dalam lapangan hukum publik) dari BHMN tersebut. Meskipun fungsi BHMN sebagai badan penyelenggara “pelayanan publik”, hal ini tidak serta merta manjadikan BHMN
sebagai Badan Hukum Publik. Mengenai satatus badan hukum BPJS ini apakah benar sebagai Badan Hukum Publik atau adalah Badan Hukum Privat, hal ini perlu Penulis uraikan lebih lanjut.
Oleh Pasal 7 butir (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS dengan tegas dikatakan: “BPJS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 adalah Badan hukum publik berdasarkan undang- undang ini”. Lebih lanjut bila kita perhatikan Wewenang BPJS berikut ini,
yakni:
a. Menagih pembayaran iuran;
b. Menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;
c. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional; c. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;
e. Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
f. Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;
g. Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. Melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program jaminan social. adanya wewenang pada huruf “c” (Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional ) dan huruf “f” (Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya) tersebut di atas menunjukkan kesan adanya kewenangan publik pada badan hukum BPJS. Akan tetapi bila kita perhatikan lebih lanjut dari wewenang BPJS tersebut khususnya wewenang pada huruf “g” (Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan) justru sebaliknya menunjukkan tidak adanya kewenangan publik pada badan hukum BPJS. Karena dengan ketentuan ini menunjukkan bahwa hususnya terhadap pelanggaran yang dilakukan pemberi kerja BPJS tidak dapat melakukan tindakan sepihak sebagaimana layaknya penguasa atau pemegang otoritas, kecuali hanya dapat melaporkan kepada instansai/ pihak yang berwenang, hal mana pada pokoknya sama dengan kewenangan khususnya pada Badan Penyelenggara Program Jamsostek badan hukum privat PT. JAMSOSTEK (Persero) yang ditansformasi menjasi BPJS Ketenagakerjaan dahulu. Oleh karena itu ketentuan perundangan BPJS yang menyatakan jenis badan hukum BPJS adalah Badan Hukum Perdata adalah tidak tepat, karena h. Melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program jaminan social. adanya wewenang pada huruf “c” (Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional ) dan huruf “f” (Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya) tersebut di atas menunjukkan kesan adanya kewenangan publik pada badan hukum BPJS. Akan tetapi bila kita perhatikan lebih lanjut dari wewenang BPJS tersebut khususnya wewenang pada huruf “g” (Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan) justru sebaliknya menunjukkan tidak adanya kewenangan publik pada badan hukum BPJS. Karena dengan ketentuan ini menunjukkan bahwa hususnya terhadap pelanggaran yang dilakukan pemberi kerja BPJS tidak dapat melakukan tindakan sepihak sebagaimana layaknya penguasa atau pemegang otoritas, kecuali hanya dapat melaporkan kepada instansai/ pihak yang berwenang, hal mana pada pokoknya sama dengan kewenangan khususnya pada Badan Penyelenggara Program Jamsostek badan hukum privat PT. JAMSOSTEK (Persero) yang ditansformasi menjasi BPJS Ketenagakerjaan dahulu. Oleh karena itu ketentuan perundangan BPJS yang menyatakan jenis badan hukum BPJS adalah Badan Hukum Perdata adalah tidak tepat, karena
Selanjutnya dengan meminjam lembaga badan hukum BPJS sebagai bahan kajian yang juga dapat mewakili kondisi BHMN lainnya serta sebagai gambaran konstruksi yuridis badan hukum BHMN ke depan, dapat Penulis uraikan mengapa jenis hukum BHMN tersebut adalah lebih tepat sebagai Badan Hukum Privat.
Meskipun oleh ketentuan perundangan yang bersangkutan dengan tegas dikatakan jenis badan hukum BJS adalah badan Hukum Publik, bila ditelaah lebih jauh kegiatan pelayanan publik atas penyelenggaraan Jaminan Sosial tersebut kurang tepat bila dilakukan dengan suatu badan hukum publik sebagaimana halnya yang ditetapkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tersebut.
Kekurang-tepatan badan hukum publik sebagai penyelenggara jaminan sosial tersebut menurut Penulis adalah sebagai berikut:
a. Kegiatan pokok BPJS dalam menyelenggarakan program jaminan sosial pada dasarnya berada dalam lapangan hukum keperdataan, bukan berada dalam lapangan Hukum Administrasi Negara atau hukum publik lainnya. Program Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja 1) Jaminan Kecelakaan Kerja,
2) Jaminan Kematian, dan 3) Jaminan Kesehatan penyelenggaraannya dilakukan dengan skim asuransi, yakni suatu perjanjian (perjanjian asuransi/
pertanggungan) 139 yang merupakan hubungan hukum keperdataan. Begitu juga Program Jaminan Hari Tua yang penyelenggaraannya dilakukan
dengan skim tabungan (saving) pada pokoknya merupakan hubungan hukum keperdataan perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana dimaksud
ketentuan pasal 1754 KUHPerdata. 140 Dalam melakukan hubungan- hubungan hukum keperdataan yang bersifat horizontal dalam rangka
139 Pasal 246 KUHD: “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung menginkatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima suatu premi,
untuk memberikan penggatian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”. 140
Pasal 1754 KUHPerdata: “Pinjam-meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaia, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama
dari macam dan keadaan yang sama pula”.
penyelenggaraan Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja yang dibutuhkan hanyalah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) selaku subjek hukum, tidak dibutuhkan adanya kewenangan publik sebagaimana dalam hubungan yang bersifat vertikal seperti dalam Hukum Administrasi Negara.
b. Penguasa/ otoritas sebagai pemilik kewenangan publik lebih tepat berperan sebagai penyusun kebijakan (policy maker) dan melakukan pengawasan atau penegakan hukum daripada terlibat langsung sebagai pelaku dalam hubungan-hubungan hukum (keperdataan) dalam masyarakat. Keterlibatan langsung penguasa/ otoritas sebagai pemilik kewenangan publik dalam hubungan-hubungan hukum keperdataan dapat menimbulkan ketidak-adilan (un-fair ) karena tidak adanya keseimbangan kedudukan (“pemain sekaligus menjadi wasit”) yang didalam hubungan hukum keperdataan membutuhkan kesetaraan pihak-pihak (equality before the law). Dalam penyelenggaraan jaminan sosial pengawasan dan penegakan hukum semestinya dilakukan oleh institusi atau badan otoritas di luar BPJS sebagaimana yang dilakukan dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja oleh PT. JAMSOSTEK (Persero) selama ini.
c. Penyelenggaraan Pelayanan Publik (public service) 141 tidak harus badan hukum publik. Meskipun penyelenggaraan jaminan sosial merupakan salah
satu bentuk pelayanan publik tidak harus diselenggarakan oleh badan hukum publik. Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, penyelenggara pelayanan publik dapat dilakukan oleh institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
d. Kedudukan BPJS sebagai badan hukum publik yang kegiatan pokoknya (core business) menyelenggarakan jaminan soial bagi pekerja yang pada dasarnya merupakan hubungan-hubungan hukum keperdataan dalam
141 Pasal 1 butir (1) : “Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”.
melakukan tindakan-tindakannya kepada peserta dapat menimbulkan kerancuan apakah tindakan hukum BPJS tersebut merupakan perbuatan hukum perdata atau merupakan tindakan pengambilan keputusan (beshiking) dalam lapangan Hukum Administrasi Negara. Kerancuan ini dapat terus berlangsung hingga pada upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan hukum BPJS, apakah akan mengajukan upaya hukum gugatan perdata atau mengajukan upaya hukum gugatan tata usaha negara.
e. Badan Hukum Perdata dapat mewujudkan prinsip-prinsip peyelenggaraan jaminan sosial. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasioal mengamanatkan, BPJS dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional tersebut berdasarkan prinsip:
7) Kepesertaan bersifat wajib;
8) Dana amanat; dan
9) Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan Peserta. Dari ke-sembilan prinsip penyelenggraan jaminan sosial nasional tersebut di atas, tidak satupun yang mengharuskan BPJS adalah suatu badan hukum publik, atau tidak satupun yang menjadi halangan BPJS berbadan hukum perdata. Ke-sembilan prinsip penyelenggaraan jaminan sosial nasional tersebut dapat dilakukan tanpa harus adanya kewenangan publik BPJS.
4. Status Keuangan BHMN
Mengenai status keuangan BHMN apakah berstatus keuangan publik atau berstatus keuangan privat, hal ini penting untuk jaminan kepastian pengelolaan Mengenai status keuangan BHMN apakah berstatus keuangan publik atau berstatus keuangan privat, hal ini penting untuk jaminan kepastian pengelolaan
Sebagimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa menurut Teori Transformasi Keuangan Negara ini dikemukakan oleh Arifin P. Soeria
Atmadja. 142 Menurut Teori Transformasi Hukum Status Uang Publik Menjadi Uang Privat, pemidahan pemisahan kekayaan negara yang berasal dari APBN
kedalam modal BUMN 143 adalah suatu proses transformasi perubahan status kekayaan negara yang semula berada dalam lingkup Keuangan Negara yang berada dalam ranah hukum publik berubah menjadi kekayaan suatu badan hukum privat yang berada dalam ranah hukum perdata, sehingga kekayaan negara yang telah dipisahkan sebagai modal BUMN tersebut tidak lagi termasuk dalam lingkup Keuangan Negara karena dengan proses transformasi tersebut telah terjadi perubahan status terhadap “kekayaan negara” (yang telah
dipisahkan) tersebut yang semula masuk dalam lingkup Keuangan Negara berubah menjadi kekayaan suatu badan hukum BUMN.
Dengan adanya transformasi tersebut kekayaan negara telah berubah (dikonversi) menjadi kekayaan awal/ modal dasar (termasuk hasil pengembangannya) pada BHMN, dan penyertaan modal (forto-folio) itulah yang merupakan “milik” negara/ pemerintah, jadi dalam hal ini kepemilikan negara/ pemerintah hanya terbatas pada penyertaan modal (forto-folio) pada BHMN itu saja dan tidak termasuk pada kekayaan BHMN tersebut yang meskipun seluruh kekayaan awal/ modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan BHMN tersebut adalah kekayaan BHMN itu sendiri sebagai suatu legal entity yang mandiri.
142 Arifin P. Soeria Atmadja, Hukum Keuangan Negara, bahan kuliah S-3 Program Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Trisakti, Juli 2013, hlm. 11-12.
143 Meskipun jenis badan hukum yang dijadikan objek kajian dalam teori ini adalah BUMN, Teori Transformasi Keuangan Negara juga dapat diterapkan terhadap badan hukum BHMN antara kedua
badan hukum privat/ pedata yang dibentuk/ didirikan oleh negara ini kekayaan awal/ modalnya sama - sama berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Berdasarkan Teori Transformasi Keuangan Negara tersebut serta dengan memperhatikan salah satu karakterisitik BHMN sebagimana yang telah Penulis uraikan di atas yakni bahwa kekayaan awal/ modal dasar BHMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, maka keuangan BHMN adalah bestatus Keuangan Privat.
5. Status Kepegawaian/ Ketenagakerjaan BHMN
Mengenai status kepegawaian/ ketenagakerjaan pegawai/ pekerja BHMN apakah Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini penting untuk memasitikan terhadap pegawai/ pekerja apakah tunduk pada peraturan perundangan bagi PNS sebagaimana halnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, ataukah tunduk pada peraturan perundangan di bidang perburuhan/ ketenagakerajan sebagaimana halnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebagaimana Penulis uraikan pada bab terdahulu, dan dengan mengacu kepada pengertian Hukum Ketenagkerjaan/ Perburuhan sebagimana yang diberikan oleh Iman Soepomo, “Hukum perburuhan adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah”. Lebih lanjut olehnya dikatakan bahwa dari pengertian Hukum Ketenagakerjaan/ Perburuhan tersebut dapat diketahui bahwa titik tolak dari perhatian dari Hukum Ketenagakerjaan adalah berkenaan dengan adanya orang bekerja dalam suatu “hubungan kerja”.
Dimaksud dengan Hubungan Kerja (arbeids verhouding, employment relation) adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Soepomo 144 , yaitu: "Suatu hubungan hukum antara seorang buruh dengan seorang majikan, terjadi setelah diadakannya perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan denga menerima upah, dan dimana
144 Iman Soepomo, Op.Cit.,1994, hlm 1.
majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.”
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan oleh Pasal 1 butir (15) dikatakan: “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan Perjanjian Kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dari pengertian hubungan kerja tersebut dapat Penulis uraikan lebih lanjut unsur- unsur dari hubungan kerja sebagai berikut: 1) suatu hubungan hukum (recht betrecking/ legal relation ), 2) pihak-pihak hubungan kerja terdiri pekerja/ buruh (employee) dan pihak pemberi kerja/ majikan (employeer) atau yang di dalam perundangan ketenagakerjaan yang sering juga disebut pihak pengusaha/ perusahaan, 3) sebagai suatu hubungan hukum atau suatu perikatan (verbintenissen) hubungan hukum hubungan kerja ini lahir dari suatu peranjian (overeenkomst/ aggreement) yaitu perjanjian kerja (work aggreement), dan 4) dalam suatu hubungan kerja harus mengandung unsur akumulatif adanya pekerjaan, upah, dan perintah.
Dapat diuraikan lebih lanjut, tentang 3 unsur penting dari suatu hubungan kerja yaitu: 1) adanya pekerjaan, dalam hal ini adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pekerja, 2) adanya upah, dalam hal ini adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pengusaha, dan 3) keadaan dimana pekerja dalam melakukan pekerjaannya berada di bawah perintah atau petunjuk pengusaha.
Berkenaan dengan unsur yang ketiga (butir 3) di atas, Barron 145 mengatakan: “Where the worker is not working under the control or direction of the other
party, the worker is usually an independent contractor and the relationship is not one of employer/ employee.”
Ketiga sekaligus unsur tersebut merupakan ciri atau pembeda antara hubungan kerja sebagaimana yang dimaksud dalam Hukum Ketenagakerjaan dengan hubungan-hubungan hukum lainnya, seperti hubungan hukum antara pengacara dengan klien, atau juga hubungan hukum dalam perjanjian
145 Margaret L. Barron, Fundamentals of Business Law, (Australia: Mc. Geaw Hill Book Company Australia, 1993), hlm.494.
pemborongan pekerjaan yang kesemuanya sama-sama diatur dalam Bab VII A Buku III KUHPerdata.
Hubungan Kerja (arbeids verhouding, employment relation) bukanlah suatu hubungan hukum (recht betrecking, legal relation) yang dapat terjadi dengan sendirinya karena adanya suatu keadaan hukum tertentu, ataupun karena
adanya suatu penetapan hukum. Hubungan kerja semata-mata 146 hanya terjadi sebagai akibat hukum dari adanya suatu perbuatan hukum (recht
handeling,legal action ) berupa perjanjian kerja (arbeids overeenkomst, work/ employment agreement ). Atau dengan kata lain, Perjanjian Kerja (arbeids ovreenkomst/ work agreement ) merupakan satu-satunya sumber hubungan kerja. Menurut Pasal 1 butir (14) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja adalah “Perjanjian antara pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat
kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. Selanjutnya dilihat dari jenisnya, perjanjian kerja dapat dibagi dua, 147
yakni a) Perjanjian kerja waktu tak tertentu, dan b) perjanjian kerja waktu tertentu atau kesepakatan kerja waktu tertentu (KKWT). Perjanjian kerja waktu
tak tertentu adalah “Perjanjian kerja yang jangka waktu berlakunya tidak terbatas pada kurun waktu dan berlangsung secara terus menerus (un-limited time ) sampai adanya alasan tertentu untuk mengakhirinya.” Selanjutnya, yang dimaksud dengan perjanjian kerja waktu tak tertentu atau KKWT adalah
“Perjanjian kerja yang jangka waktu berlakunya ditentukan/ ditetapkan dalam perjanjian tersebut, baik dengan batas waktu atau atas dasar pekerjaan
146 Lihat: Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet. 6, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1983), 53., tentang pengertian hubungan kerja, dan Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia , Cet.1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 35. Lihat Juga: Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, yang ditunda pelaksanaannya sampai dengan 1 Oktober 2002.
147 Selain dua jenis perajanjian kerja tersebut, terakhir ini mulai dikenal paradigma baru mengenai batas waktu hubungan kerja yang ditimbulkan oleh perjanjian kerja. Paradigma baru tersebut
adalah Perjanjian Kerja dengan Batas (Usia) Maksimum, yaitu “Perjanjian kerja yang di dalamnya ditentukan/ ditetapkan dimana hubungan kerja berlaku dan berakhir sampai batas usia tertentu (usia pensiun).” Jenis perjanjian kerja ini memang belum diatur, tetapi oleh peraturan ketenagakerjaan (Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 150 Tahun 2000) diakui keberadaannya.
tertentu.” 148 Sebagai suatu jenis perjanjian konsensuil, pada dasarnya Perjanjia Kerja dapat dibuat secara lisan, hanya saja untuki jenis Perjanjian Kerja
Tertentu peraturan perundangan ketenagakerjaan menharuskan dibuat secara tertulis, bahkan ada yang harus dibuat dengan akta otentik.
Sebagaimana telah disinggung di atas, hubungan kerja adalah hukum antara pihak-pihak subjek hukum. Secara teoritis untuk mengetahui ruang lingkup atas siapa pihak-pihak atau subjek hukum ketenagakerjaan dapat diketahui dari Teori Gebiedsleer yang dikemukakan oleh J.H.A. Logemann dan ajaran lingkungan kuasa kaedah yang diberikan oleh Hans Kelsen sebagai “frame” untuk melihat ruang lingkup ketenagakerjaan.
Menurut Logemann 149 , “Lingkup laku berlakunya suatu hukum adalah suatu keadaan/ bidang dimana kaedah itu b erlaku.” Menurut teori gebiedsleer ada 4 (empat) ruang lingkup berlakunya hukum, yaitu:
a. Lingkup Laku Pribadi (Personengebied), yakni mempunyai kaitan erat dengan siapa (pribadi kodrati) atau apa (peran pribadi hukum) yang oleh suatu kaedah hukum dibatasi.
b. Lingkup Laku menurut Waktu (Tijdsgebied), yakni menunjukkan waktu kapan suatu peristiwa tertentu diatur oleh suatu kaedah hukum.
c. Lingkup Laku menurut Wilayah (Ruimtegebied), yakni berkaitan dengan batas-batas wilayah berlakunya suatu kaedah hukum.
d. Lingkup Laku menurut Hal Ihwal/ Substansi (zaaksgebied), yakni berkaitan dengan hal-hal apa saja yang menjadi obyek pengaturan dari suatu kaedah hukum.
Hans Kelsen 150 mengenai ruang lingkup hukum ini mengajarkan ajaran Lingkungan Kuasa Kaedah yang meliputi empat macam lingkungan, yaitu:
a. Terhadap siapa berlakunya (personal sphere, personen gebied);
b. Waktu berlakunya, mulai dan berakhir (temporal sphere, sphere of time, tijdgebied );
148 Elita Rahmi, Ramlan, dan Arsyad, “Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Wanita pada Perusahaan- perusahaan Plywood di Propinsi Jambi.” Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas
Jambi, Jambi, 1997), 12. 149 dalam Wiyono, “Asas-asas Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1995:
2), hlm. 4-5. 150 Ibid.
c. Daerah berlakunya (territorial sphere, sphere of space, ruimtegebied, grondgebied ); dan
d. Soal-soal apa yang diaturnya (material sphere, zekengebied). Selanjutnya menurut “frame” Teori Gebiedsleer maupun ajaran
Lingkungan Kuasa Kaedah di atas, ruang lingkup pribadi Hukum Ketenagakerjaan/ Perburuhan yang berkenaan dengan keadaan orang bekerja dalam suatu hubungan kerja adalah: 1) pekerja/ buruh, 2) pengusaha, dan 3) pemerintah. Ketiga subjek Hukum Ketenagakerjaan/ Perburuhan ini , merupakan subjek hukum dalam arti luas yakni subjek dalam Hubungan Industrial yakni suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa. Subjek dalam arti sempit adalah menyangkut pihak –pihak langsung yang mempunyai hubungan hukum dalam suatu hubungan kerja yakni pihak pekerja/ buruh dan pihak pengusaha.
Pihak pekerja/ buruh adalah sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni “Pekerja/ Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Selanjutnya yang
dimaksud dengan pihak pengusaha disni pada dasarnya adalah pihak pemberi kerja/ employeer yang dalam prakteknya dapat disebut pihak pengusaha atau perusahaan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut:
a. Pemberi kerja adalah orang, perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.
b. Pengusaha adalah: 1) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri, 2) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya, 3) orang perseorangan, persektuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di wilayah Indonesia.
c. Perusahaan adalah: 1) setiap bentuk badan usaha yanag berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, c. Perusahaan adalah: 1) setiap bentuk badan usaha yanag berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum,
Dari pengertian pemberi kerja, pengusaha, dan perusahaan tersebut di atas menunjukkan bahwa salah satu pihak dalam suatu hubungan kerja yakni pihak yang mempekerjakan pada dasarnya adalah pihak-pihak yang menjalankan suatu kegiatan usaha yakni suatu korporasi dalan arti luas baik itu kegiatan usaha yang bermotif mencari keuntungan/ laba maupun kegiatan usaha yang tidak bermotif mencari keuntungan/ nirlaba.
Dari uraian tersebut di atas, BHMN yang pada dasarnya adalah suatu korporasi/ perusahaan yang dalam menjalankan kegiatan usaha pelayanan publiknya “mempekerjakan” orang-orang (perkerja/ buruh) yang didasarkan
pada Perjanjian Kerja dan bukan dengan cara pengengkatan melalui suatu putusan/ beshicking (“SK Pengangkatan”), dan model sistem hubunagn kerja yang telah dijalankan oleh BHMN selama ini patut untuk terus diterapkan pada sistem kepegaawaian/ ketenagakerjaan BHMN, maka status kepegawaian/ ketenagakerjaan BHMN adalah tunduk kepada Hukum Ketenagakerjaan/ Perburuhan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta peraturan perundangan ketenagakerjaan lainnya. 151
6. Perbandingan BHMN dengan Badan Hukum Pelayananan Publik Lainnya (BUMN dan Yayasan)
Untuk lebih dapat melihat bagaimana konstruksi yuridis badan hukum BHMN, dapat dilakukan dengan metode perbandingan, yakni yang dalam hal ini adalah dengan meilhat bagaimana perbandingan BHMN dengan badan-badan
151 Dalam ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 menyebutkan 1) Dosen di Perguruan Tinggi merupakan pegawai Perguruan Tinggi, yang pengangkatan
dan pemberhentian, kedudukan, hak, serta kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tenaga dosen di Perguruan Tinggi. 2) Tenaga administrasi, pustakawan, dan teknisi di Perguruan Tinggi merupakan pegawai Perguruan Tinggi, yang pengangkatan dan pemberhentian, kedudukan, hak, serta kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan mengenai ketenaga-kerjaan perundang-undangan mengenai ketenaga-kerjaan
Untuk lebih memudahkan memahami perbandingan (persamaan dan perbedaan) antar badan hukum tersebut, dapat Penulis kemukakan dalam bentuk tabel berikut ini.
Tabel I Perbandingan BHMN dengan BUMN
pelayanan publik Tujuan
pelayanan publik
Pelayanan publik-nir Pelayanan publik- laba
mencari keuntungan Jenis Badan Hukum
Badan Hukum Privat Badan Hukum Privat Kekayaan Awal/ Modal Berasal dari
Berasal dari
kekayaan negara
kekayaan negara
yang dipisahkan
yang dipisahkan
Organ Badan Hukum Pengurus, Pengawas, Direksi, Komosaris/ dan Pemegang
Pengawas, RUPS/ Kekuasaan Tertinggi Keputusan Menteri (“Wali Amanat”, dll) BUMN
Kepegawaian/ Tunduk pada Hukum Tunduk pada Hukum Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan/
Ketenagakerjaan/
Perburuhan Status Keuangan
Perburuhan
Keuangan Privat Manajemen
Keuangan Privat
Manajemen Pengeglolaan
Manajemen
Korporatif Pengembangan
kekayaan Keuntungan Hasil
kekayaan
Keuntungan hasil
Keuntungan hasil
Usaha
usaha tidak disetor
usah disetor kepada kepada negara selaku negara selaku pendiri, tetapi untuk pendiri/ pemodal pengembangan/ peningkatan pelayanan publiknya
Sisa Kekayaan Hasil Dikembalikan kepada Dikembalikan kepada Likuidasi
negara sebagai
negara sebagai
pendiri/ pemodal
pendiri/ pemodal
Sumber: Hasil analisis Penulis, 2015
Tabel II Perbandingan BHMN dengan Yayasan
pelayanan publik Tujuan
pelayanan publik
Pelayanan publik-nir Pelayanan publik- laba
mencari keuntungan Jenis Badan Hukum
Badan Hukum Privat Badan Hukum Privat Kekayaan Awal/ Modal Berasal dari kekayaan Berasal dari
negara yang
partisipasi
dipisahkan
masyarakat untuk ikut serta penyelenggaraan pelayanan publik
Organ Badan Hukum Pengurus, Pengawas, Pengurus, Pengawas, dan Pemegang
dan Pembina
Kekuasaan Tertinggi (“Wali Amanat”, dll)
Kepegawaian/ Tunduk pada Hukum Tunduk pada Hukum Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan/
Ketenagakerjaan/
Perburuhan Status Keuangan
Perburuhan
Keuangan Privat Manajemen
Keuangan Privat
Manajemen Pengeglolaan
Manajemen
Korporatif Pengembangan
Korporatif
Dapat
Dapat
Kekayaan
mengembangkan
mengembangkan
kekayaan
kekayaan
Keuntungan Hasil
Keuntungan hasil Usaha
Keuntungan hasil
usaha tidak disetor
usaha tidk disetor kepada pendiri, tetapi kepada pendiri, tetapi untuk
peningkatan pelayanan publiknya pelayanan publiknya Sisa Kekayaan Hasil
peningkatan
Dikembalikan kepada Tidak dikembalikan Likuidasi
negara atau pendiri/ kepada pendiri/ pemodal
pemodal, tetapi diserahkan kepada yayasan sejenis
Sumber: Hasil analisis Penulis, 2015
B. Pengelolaan BHMN
Serbagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa BHMN sebagai suatu badan hukum (Badan Hukum Privat) pada dasarnya adalah suatu korporasi. 152 Oleh
karena itu terhadap badan hukum BHMN agar dapat dalam menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik yang efisien dan efektif serta akuntabel, BHMN harus dikelola dengan prinsip pengelolaan korporasi pada umumnya, di antaranya yakni dengan menerapkan: 1) Prinsip-psrinsip dalam Good Corporate Governance (GCG), dan 2) Doktrin-doktrin Moderen dalam Corporate Law.
1. Prinsip-prinsip dalam Good Corporate Governance (GCG) Untuk dapat mengoptimalkan peranan BHMN agar mampu mempertahankan dan meningkatkan keberadaannya dalam penyelenggaraan pelayanan publik, BHMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme, antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pembenahan dan pengwasan BHMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik/ sehat (good corporate governance ).
Dengan meminjam pengertian Good Corporate Governance sebagaimana oleh Keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Penanaman Modal dan
152 Menurut Bryan A. Garner dalam Law‟s Black Dictionary, Eighth Edition , (United Stated of
America: West Publishing Co, 1990), hlm. 913, Legal Entity, A body, other than a natural person, that can function legally, sue or be sued, and make decisions through agents. A typical example is corporation. Cf. artificial person under person.
Pembinaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pengertian Good Corporate Governance adalah prinsip korporasi yang sehat, yang perlu diterapkan dalam pengelolaan perusahaan, yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan
perusahaan. 153 Seperti halnya dalam pengelolaan BUMN, sehubungan dengan alasan semacam itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2003 dirancang untuk menciptakan sistem pengelolaan dan pengawasan berdasarkan prinsip-prinsip good corporate governance yang meliputi a) transparancy , b) authonomy, c) accountability, d) responsibility, dan e) fairness.
Menurut Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-117/M-MBU 2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada BUMN, yang dimaksud dengan prinsip-prinsip good corporate governance dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Transparancy (transparansi) adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil dan relevan mengenai perusahaan.
b. Authonomy (otonomi) adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/ tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
c. Accountability (akuntabilitas) adalah kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggung jawaban organ, sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
d. Responsibiliy (responsibilitas) adalah kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
e. Fairness (kewajaran) adalah keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stock holder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
153 Pasal 2, Keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara, Nomor: Kep-23/M-PM.BUMN/2000, tentang Pengembangan Praktik Good
Corporate Governance dalam Perusahaan Perseroan.
Prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam Good Corporate Governance tersebut di atas sangat penting dan relevan untuk diterapkan dalam pengelolaan BHMN.
2. Doktrin-doktrin Moderen dalam Corporate Law Doktrin-doktrin Moderen Corporate Law dismaksud di sini adalah doktrin-doktrin sebagaimana yang dihimpun oleh Munir Fuadi dalam bukunya “Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Esksistensinya dalam Hukum Indonesia”, 154 yang dalam penerapan ini dipilih/ disesuaikan
relevansinya dengan karakteristik badan hukum BHMN, antara lain yakni: a) Doktrin Piercing Corporate Veil, b) Doktrin Fiduciary Duty, c) Doktrin Ultra Vires , d) Doktrin Business Judgment Rule, e) Doktrin Self Dealing, dan f) Doktrin Corporate Oportunity. Mengenai penerapan Doktrin-doktrin Moderen dalam Corporate Law terhadap badan hukum BHMN ini dapat Penulis uraikan lebih lanjut.
a. Doktrin Piercing Corporate Veil Secara harfiah Piercing Corporate Veil diartikan membuka/ menerobos tirai korporasi. Yaitu menerobos “tirai besi” batas pertanggung
jawaban suatu badan hukum kepada pihak yang hanya sebatas pada kekayaan badan hukum itu sendiri, dan tidak dapat sampai meminta tanggung jawab “pemiliknya”. Dokrtin ini dimaksudkan untuk menembus
imunitas/ kekebalan pemilik suatu badan hukum yang dengan dihawatirkan dapat beritikad tidak baik secara melawan hukum menggunakan badan hukum untuk kepentingannya keuntungannya. Dengan doktrin ini terhadap pemilik suatu BHMN apabila ternyata secara melawan hukum menggunakan badan hukum untuk kepentingan keuntungannya yang merugikan pihak ketiga, maka pihak ketiga yang dirugikan itu bilamana kekayaan badan hukum tersebut dalam keadaan in-solven, maka pemilik yang secara melawan hukum memanfaatkan badan hukum tersebut terhadap harta kekayaannya ikut bertanggung terhadap pihak ketiga yang durugikan.
b. Doktrin Fiduciary Duty
154 Munir Fuadi, “Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 1-228
Berdasarkan teori ini, hubungan hukum organ BHMN dengan badan hukum BHMN didasarkan pada hubungan kepercayaan, seperti halnya hubunganh hukum antara pemberi dan penerima kuasa, dokter dan pasien, dan lain-lain. Organ BHMN meskipun secara teknis dan sepintas bekerja sebagimana layaknya seorang pekerja/ buruh sebagimana dimaksud dalam Hukum Ketenagakerjaan/ Perburuhan, akan hubungan hukum antara organ BHMN dengan badan hukum BHMN bukanlah suatu hubungan kerja (arebids verhouding/ employment relation). Hubungan hukum organ BHMN dalam melakukan tugas/ pekerjaannya terhadap badan hukum BHMN meskipun sama-sama termasuk kelompok hubungan hukum untuk melakukan pekerjaan, akan tetapi dalam hubunagn hukumnya tersebut tidak terdapat unsur “perintah” sebagaimana yang merupakan unsur penting yang harus ada dalam suatu hubungan kerja. Hubungan hukum antara organ BHMN dengan badan hukum BHMN didasarkan pada hubungan “kerpecayaan/ fiduciary” dalam menjalankan pekerjaannya didasarkan pada keahlian/ profesionalisme organ BHMN.
c. Doktrin Ultra Vires Doktrin ini dimaksudkan untuk memberikan batasan tanggung jawab organ badan hukum terutama organ pengurus dalam menjalankan kepengurusannya, apakah menjadi beban tanggung jawab badan hukum atau beban tanggung jawab pribadinya. Doktrin ini sekaligus membatasi kewenangan bertindak organ badan hukum terutama Organ Pengurus yang betindak melampaui batas kewenangannya. Doktrin ini penting diterapkan terhadap badan hukum, karena organ BHMN dengan dasar hubungan hukum fiduciary duty mempunyai keluasaan yang besar untuk melakukuan berbagai perbuatan hukum dalam rangka melakukan tugas kepengurusan rangka mencapai tujuan badan hukum, yang mu ngkin saja “kebablasan” melakukan perbuatan-perbuatan diluar di luar untuk mencapai tujuan badan hukum. Dengan doktrin ini, terhadap organ badan hukum yang melakukan perbuatan yang melampaui kewenangannya itu.
Berdasarkan doktrin Ultra Vires ini, terhadap perbuatan hukum organ BHMN yang masih dalam rangka menjalankan maksud tujuan BHMN Berdasarkan doktrin Ultra Vires ini, terhadap perbuatan hukum organ BHMN yang masih dalam rangka menjalankan maksud tujuan BHMN
d. Doktrin Business Judgment Rule Sejalan serta dapat mempertegas doktrin Ultra Vires di atas, doktrin Business Judgment Rule memberikan batas tanggung jawab organ badan hukum terutama organ pengurus, bahwa seorang pengurus BHMN tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara pribadi atas tindakannya yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai organ pengurus yang dia yakini sebagai tindakan terbaik untuk kepentingan BHMN dan dilakukannya secara jujur, beritikad baik, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, sungguhpun tindakan tersebut ternyata keliru dan merugikan BHMN. Dengan demikian, bahkan pengadilan ataupun organ Pemegang Keuasaan Tertinggi BHMN tidak boleh melakukan second guess terhadap
keputusan bisnis (business judgement) dari direktur. 155 Perkembangan mengenai business judgement rule belakangan ini menunjukkan bahwa
hakim pengadilan dapat memeriksa perkara yang terkait dengan business judgement rule ini, tidak hanya melihat semata-mata pada keberadaan conflict of interest , namun lebih ke arah ”conceptof neutrality” yang melahirkan fairness. Yang dimaksud dengan konsep netralitas ini adalah bahwa suatu perbuatan hukum yang di dalamnya terdapat unsur benturan kepentingan antara kepentingan salah satu atau lebih anggota Pengurus dengan kepentingan BHMN masih dapat dilaksanakan, selama dan sepanjang transaksi tersebut adalah transaksi yang wajar dan telah disetujui
155 Munir Fuady, Hukum Perusahaan,op.cit., hlm. 7.
oleh seluruh atau sebagian besar anggota Pengurus yang tidak memiliki benturan kepentingan. 156
e. Doktrin Self Dealing Sebagai konsekuensi yuridis suatu badan hukum adalah subjek hukum yang mandiri, badan hukum melalui organ Pengurusnya berwenang melakukuan berbagai perbuatan hukum dengan berbagi pihak subjek hukum lainnya sebagimana layaknya subjek hukum manusia. Untuk menapai tujuannya tidak tertutup kemungkinan suatu badan hukum melakukan perbauatn hukum dengan pribadi Pengurusnya.
Berdasarkan doktrin Self Dealing ini, bila ternyata untuk kepentingan tujuannya BHMN dengan diwakili oleh organ Pengurusnya melakukan perbuatan hukum seperti perjanjian dengan pribadi orang yang sama dengan Pengurus BHMN itu sendiri, perbuatan hukum yang secara fisik dilakukan oleh dua pihak “orang” yang sama, hal ini dibenarkan sepanjang “orang”
tersebut bertindak dalam kapaasitas kepentingan yang berbeda. Dengan doktrin ini tidak dilihat pentingnya fisik “orang” yang sama dalam
melakukan perbuatan hukum tersebut, akan tetapi yang dilihat adalah untuk kepentingan siapa atau dalam kapasitas apa “orang” teresebut melakukan Perbuatahn hukum, yakni dimana dalam waktu yang bersamaam “orang”
tersebut bertindak untuk dan atas nama pribadinya sebagai subjek hukum (subjek hukum orang) di satu pihak dan sebagai orang selaku Pengurus bertindak untuk kepentingan dan atas nama badan hukum BHMN.
f. Doktrin Corporate Oportunity. Corporate Opportunity merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa seorang pengurus, pengawas, atau pegawai/ karyawan badan hukum lainnya ataupun, tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya merupakan perbuatan yang semestinya dilakukan oleh badan hukum dalam menjalankan kegiatan ussaha badan hukum itu. Dengan demikian, manakala tindakan tersebut merupakan kesempatan (opportunity)
156 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan pemilik PT, Forum Sahabat, Jakarta, 2008, hlm. 60.
bagi badan hukum dalam menjalankan kegiatan usahanya, Pengurus tidak boleh mengambil kesempatan tersebut untuk kepentingan pribadinya. 157
Prinsip Corporate Opportunity sebenarnya juga konsekuensi dari pemberlakuan prinsip fiduciary duty. 158 Transaksi kesempatan badan hukum
(Corporate Opportunity) mengajarkan bahwa akibat dari adanya fiduciary duty dari Pengurus, maka Pengurus haruslah terlebih dahulu mengutamakan kepentingan badan hukum daripada kepentingan pribadi.
Dengan demikian, berdasarkan doktrin ini jika BHMN mempunyai kesempatan (opportunity) untuk melakukan suatu transaksi yang sama dengan pihak ketiga sementara pihak Pengurus juga ingin melakukan transaksi yang sama dengan pihak ketiga, maka pihak Pengurus harus mengutamakan
dahulu dengan mempersilahkan BHMN untuk melakukan transaksi tersebut, dan Pengurus harus mengalah untuk itu. Dengan kepentingan BHMN (sehingga harus lebih diutamakan) oleh Pengurus dimaksudkan adalah setiap hak (right), kekayaan (property), kepentingan (interest), dan pengharapan (expectancy) yang dimiliki oleh BHMN atau yang menurut prinsip keadilan seharusnya
kepentingan BHMN
terlebih
kepunyaan BHMN. 159
C. BHMN sebagai Penyelenggara Pelayanan Publik
Berkaitan dengan tujuan utama pembentukan suatu BHMN yakni untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan publik, maka berkenaan dengan itu hal penting yang harus diketahui adalah tentang jenis, sifat, atau model pelayanan publik apa saja yang dapat atau harus diselenggarakan oleh BHMN, dan sekaligus bagaimana model hubungan hukum dalam model hukum dalam penyelenggaraan program pelayanan publik yang diselenggarakan oleh BHMN.
Mengenai ruang lingkup pelayanan publik oleh BHMN ini, mengingat adanya karakteristik tertentu dari badan hukum BHMN baik di lihat dari status badan hukumnya sebagai badan hukum privat tidak bermotif nirlaba tetapi dikelola
157 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Coporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 224.
158 Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 5.
159 Ibid., hlm. 63.
dengan manajemen korporasi maka kita tidak dapat menentukan jenis-jenis atau macam pelayanan publik apa yang dapat atau harus diselenggarakan oleh BHMN.
Untuk itu dapat diuraikan tentang bagaimana ruang lingkup pelayanan publik yang dapat diselenggarakan oleh BHMN sebagai berikut:
1. Dilihat dari aspek status badan hukum BHMN sebagai badan hukum privat pelayanan publik BHMN tidak mungkin dapat bergerak di bidang yang didukung oleh kewenangan publik seperti perizinan atau konsesi dan lain-lain yang berada dalam lapangan hukum publik. Bidang kegiatan pelayanan publik yang dapat diselenggarakan oleh BHMN hanya berkenaan dengan pelayanan publik yang didasarkan pada hubungan hukum keperdataan.
2. Dilihat dari aspek sistem pengelolaan BHMN yang bersifat korporatif, dalam menyelenggarakan kegiatan publiknya BHMN harus dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip korporasi agar memperoleh margin dari hasil pengeloalaannya. Untuk itu bidang pelayanan publik yang dapat diselenggarakan oleh pelayanan publik adalah pelayanan publik yang dapat langsung dinikmati oleh masyarakat yang untuk itu dilakukan pembayaran kepada BHMN. Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, sifat nirlaba BHMN tidak dimaksudkan bahwa didalam penyelenggaraan pelayanan publiknya itu BHMN tidak menerima manfaat ekonomi berupa pembayaran. Adanya pembayaran kompensasi atas pelayanan publik yang diberikan oleh BHMN akan dikelola secara manajemen korporatif sehingga diharapkan atau memungkinkan dari hasil pengelolaannya tersebt BHMN memperoleh margin/ keuntungan. Hanya saja hasil pengelolaan keuntungan BHMN tersebut tidak disetorkan kepada negara akan tetapi akan dipergunakan bagi peningkatan atau pengembangan pelayanan publik BHMN yang bersangkutan. Sekalipun BHMN dan Yayasan sama-sama menyelenggarakan pelayanan publik, BHMN bukanlah lembaga sosial seperti yayasan yang dapat memberikan pelayanan publik tanpa memperoleh kompensasi. Sumber penghasilan utama BHMN tetap berasal dari kompensasi pelayanan publik yang diberikannya. Bagi yayasan sunber penghasilannya justru semestinya tidak berasal dari kompensasi pelayanan publik yang diberikannya akan tetapi berasal dari partisipasi dari pihak lain.