Pengaruh Pemberian Dosis Kompos Ternak Babi dan Interval Pemotongan Terhadap Kualitas Hijauan Ruzi (Brachiaria Ruziziensis)

(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Pembuatan Fermentasi Feses:

Dimasukkan stater EM4 (efective microorganism 4) sebanyak 1 liter dengan campuran gula 1 kg kedalam 10 liter air dan difermentasikan selama 5 jam

Siapkan semua limbah kotoran babi dalam keadaan segar

Hamparkan semua limbah kotoran babi dengan ketebalan penumpukan 40 cm dan sirami dengan dedak dan larutan fermentasi

Semua feses babi tersebut di balik-balikkan, ditutup dengan plastik dan tancapkan paralon sebagai lubang udara

Feses babi yang difermentasikan terhindar dari sinar matahari langsung dan air hujan dan tempat sebagai wadah fermentasi memiliki kemiringan

Setiap seminggu sekali dibalik dan diperhatikan, bila kering perlu ditambah air, caranya dengan memercikan air dari ember

Kompos akan panas dan semakin lama suhu panas akan turun, kemudian kompos mendingin. Pada hari ke-40, kompos sudahselesai, namun jangan dipergunakan terlebih dahulu. Tanda kompos sudah bias dipakai adalah bila


(2)

Lampiran 2. Skema Proses Pelaksanaan Penelitian

Prosedur Kerja:

Pembuatan fermentasi Feses

Persiapan lahan

Pemilihan bibit, penanaman dan sistem tanam

Pemupukan

Pemeliharaan, penyiraman, penyiangan dan penyisipan

Trimming


(3)

Lampiran 3. Skema Analisis Bahan Kering

Prosedur Kerja:

Cawan porselin di ovenkan 1050 C selama 1 jam.

Masukkan kedalam desikator/pendingin setelah 1 jam, setelah itu ditimbang cawan kering kosong dan catat.

Timbang sampel sebanyak 2,00/ gram, Setelah selesai ditimbang cawan dan sampel masukkan ke oven 1050 C selama 8 jam

Setelah selesai, didinginkan dalam desikator, lakukan penimbangan selama 3 kali yaitu selama 1 jam sekali

Rumus Perhitungan % BK yaitu:

KA = (BC+S)-(BC+S.Oven) x 100% B. sampel


(4)

Lampiran 4. Skema Analisis Protein Kasar

Prosedur Kerja:

DESTRUKSI:

DESTILASI

Ditimbang sampel 0,05 gram kemudian dimasukkan kedalam tabung

Ditambahkan 1 gram indikator selenium dan H2SO4pekat 2,4 ml dan 3 tetesperhidrol (H202).

Dilakukan destruksi dengan alat dekstruksi dengan ketentuan kipas angin dihidupkan, pemanas dihidupkan mulai dari pemanas yang terendah dan sedikit demi sedikit dibesarkan sampai skala 10. Setelah larutan rata menghitam, tabung reaksi diputar-putar hingga didapat larutan jernih dan destruksi dapat dihentikan. Pemanas dapat dimatikan, dan setelah asap hilang kipas angin boleh dimatikan.

Larutan diencerkan dengan aquadest sampai volume 50 ml dikocok hingga homogen.

Disiapkan Erlenmeyer 300 ml yang berisi 5 ml H3B03 3% 0,1 N sebanyak 5 ml ditambah aquadest 25 ml dan dua tetes indicator mix.

Larutan diencerkan dengan aquadest sampai volume 50 ml dikocok hingga homogen.


(5)

Pada tabung reaksi penampung diisi sampel 10 ml ditambah indicator PP 3 tetes NaOH 50% sampai terbentuk warna merah nila.

Dilakukan destilasi dengan menaikkan suhu sampai skala optimal dan dilabu Erlenmeyer sampai batas 150 ml.

Tabung reaksi penampung diturunkan dan ujung alat destilasi dicuci dengan aquadest.

Hasil destilasi yang berada pada labu Erlenmeyer dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai berwarna merah dan dicatat volume titrasinya. Penetapan

blanko 0,05.

Rumus Perhitungan % PK yaitu: Titrasi - blanko x 4.37812


(6)

Lampiran 5. Skema Analisis Serat Kasar

Prosedur Kerja:

Sampel dimasukkan kedalam beaker glass + 1 gram dan ditambahkan 150 ml H2SO4 1,25%. Kemudian dipasang alat pemanas serta pendingin

dialirkan. Didihkan selama 30 menit dihitung mulai mendidih.

Disaring melalui kertas saring linen dengan menggunakan penyaring Buchner atau gooch cruble dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan

dibilas dengan 100 ml air panas.

Hasil saringan beserta kertas saring linen dimasukkan kembali ke beaker glass, kemudian ditambahkan 150 ml NaOH 1,25 ml didihkan kembali 30

menit dihitung mulai mendidih.

Disaring kembali dengan kertas saring linen dengan menggunakan penyaring Buchner atau goocruible dengan bantuan pompa vakum.

Hasil saringan dibilas dengan 100 ml air panas.

Dibilas dengan ethanol 100 ml dan dilanjutkan dengan diethyl eter 15 ml.

Hasil saringan dipindahkan kecawan porselin, dimasukkan oven 1050 C selama 12-24 jam, setelah didinginkan selama 1 jam desikator, dilakukan

penimbangan 2x.


(7)

Dimasukkan kedalam desikator selama 1 jam, lakukan penimbangan sebanyak 3x.

Perhitungan % SK yaitu:

C + S.Oven – C+ S.Tanur x 100% Sampel


(8)

Lampiran 6. Skema Analisis Lemak Kasar

Prosedur kerja:

Timbang kertas saring dan sampel sebanyak 1 gram, kemudian dibungkus dengan menggunakan kertas saring.

Masukkan sampel kedalam alat ektraksi soxhlet, labu penampung diisi dengan menggunakan petroleum benzin (dapat juga diethyl

ether, hexan) sebanyak setengah garis labu takar.

Hidupkan alat, rebus hingga penyulingan 8x atau 14x pengulangan, sampai lemak tak nampak kembali atau sampai menjadi jernih.

Diambil sampel kembali, masukkan kedalam oven suhu 1050 C selama 12 jam, kemudian timbang sampai dalam keadaan panas.

Rumus untuk mencari % LK :

(KS+S) – (KS+S.Oven) x 100 (KS+S) - (KS)


(9)

(10)

(11)

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Agus. 1983. Hijauan Makanan Ternak. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Andoko, A. 2004. Budidaya Cabai Merah Secara Vertikultur Organik. Cetakan

Pertama. Penerbit Swadaya. Jakarta.

Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia. Jakarta. Anggorodi. R. 2005. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gadjah Mada University

Press. Jogjakarta.

Arifianto.D. dan SonKuswadi., 2008. Aplikasi Wastewater Sludge untuk Proses Pengomposan.

Ardianto. 1983. Biologi Pertanian. Penerbit Alumni Bandung

Bamualim, A. and R.B.Wirdahayati. 2003. Nutrition and Management

Strategiesto improve Bali cattle in eastern Indonesia. In K. Entwistle and D.R. Lindsay (Eds.). Strategies to improve Bali cattle in Eastern Indonesia. ACIAR Proc. No.110:17-22

Beever,D.E., N. Offer and M. Gill. 2002. The Feeding Value of Grass and

Grassproducts. In: A. Hopkins (ED) Grass: Its Production and Utilization. Published For British Grassland Soc. By Beckwell Sience. 141-195

Buckman, H.O. and Brady, M.C. 1982. The Nature and Properties of Soil. Bhratara Karya Aksara. Jakarta

Crawford, J.H., 2003. Pengomposan Limbah Padat Organik.

www.ipard.com/art_perkebun/Kompos-Limbah-Padat-Organik.pdf

Damanik, M. madjid, Bachtiar Effendi Hasibuan, Fauzi, Sariffudin, dan Hamidah Hanum. 2010. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press. Medan

Djuarnani, N., Kristian, dan Budi S. S. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Erwanto. 1984. Pengaruh Interval dan Intensitas Pemotongan Terhadap Produksi dan Kualitas Hijauan Pertanaman Campuran Antara Rumput Setaria dengan Tiga Jenis Kacang-Kacangan. Tesis. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.


(13)

Humphreys, L.R. 1994. Tropical Forages. Their Role in Sustainable Agriculture.

Longman Scientific & Technical

Hutasoit.R., Juniar Sirait dan Simon P Ginting. 2009. Petunjuk Teknis Budidaya Dan Pemanfaatan Bachiaria Ruziziensis (Rumput Ruzi) sebagai Hijauan Pakan Kambing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan.

Hare, M.D and Horne, P.M. 2004. Forage seeds for promoting animal production

in Asia. APSA Technical Report No. 41. The Asia and Pasific Seed

Asociation, Bangkok, Thailand.

Humphreys LR.1978.Tropical pasture and Fodder Crops.London: Longman Group Press.

Horne PM, WW Stur. 1999. Mengembangkan Teknologi Hijauan Makanan Ternak Bersama Petani Kecil. ACIAR. Monograf ACIAR no.65.

Indriani, Yovita Hety. 2000. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.

. 2006. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Isroi danN. Yuliarti. 2009. Kompos. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Karki, A .B . danK . Dixit . 1984 . Biogas Fieldbook . Sahayogi Press,

Khatmandu, Nepal.

Kristyowantri, R. 1992. Pengaruh Interval dan Tinggi Pemotongan Terhadap Produksi dan Beberapa Aspek Kualitas Rumput Raja. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kavanova, M. dan V. Glozer. 2004. The Use of Internal Nitrogen Stores in the

Rhizomatous Grass Calamagrotis Epigejos During Regrowth After Defoliation. Annuals of Botany 2005 95 (3): 457-463

Lawani, M. 1993. Panili, budidaya dan penanganan pasca panen. Kanisius. Yogyakarta. 112 hal

Lazcano, C., Gomez Brandon, M., Dominguez, J. 2008. Comparison of The

Effectiveness of Composting for The Biological Stabilization of Cattle Manure. Chemosphere 72.

Lingga, P. 1986. Petunjuk Penggunaan Pupuk. CV. Yasaguna, Jakarta Mahmudi, M. 1997. Penurunan Kadar Limbah Sintesis Asam Fosfat


(14)

Menggunakan Cara Ekstraksi Cair-Cair dengan Solven Campuran Isopropanol dan n-Heksan. Semarang: Universitas Diponegoro.

Mcllroy. 1997. Pengantar Budidaya Rumput Tropik. Pramadya Paramita. Jakarta Murbandono ,HS. L. 2002. Membuat Kompos.Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Jakarta: Agromedia Pustaka

. 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Jakarta: Agromedia Pustaka

Norris, R.F dan Ayres. 1991. Cutting Interval and Irrigation Timing in Alfalfa: Yellow Foxtail Invasion and Economic Analysis. Agron J 83: 552-

558. 1991. Onrizal. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana. IPB

Pinus Lingga. 1991. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta Pinus Lingga dan Marsono. 2008. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar

Swadaya. Jakarta

Puger, A.W. 2002. Pengaruh Intreval Pemotongan pada tahun ketiga Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Glicirida sepium yang ditanam dengan system penyangga. Majalah Ilmiah Peternakan. 5(2): 53- 57

Reksohadiprodjo, Soedomo. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE. Yogyakarta

Rinsema, W.T. 1986. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta

Rosmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.Yogyakarta.

Samekto. R. 2006. Pupuk Kandang. PT. Citra Aji Parama. Yogyakarta. Siregar, S. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya, Jakarta. Setyati, S. H. 1984. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia. Jakarta

Setyorini Diah, Rasti Saraswati, dan Ea Kosman Anwar. 1991. Kompos. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.


(15)

Gajah Mada, Yogjakarta.

Soelistyono, H.S. 1976. Ilmu Bahan Makanan Ternak. Diponegoro University. Semarang

Susetyo, 1980. Padang Penggembalaan. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

Susetyo, S.,I. Kismono dan B. Soewari.1969. Hijauan Makan Ternak. Direktorat Bina Sarjana Usaha Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan.

Departemen Pertanian. Jakarta

.1981.Hijauan MakananTernak.Direktorat Bina Sarjana Usaha Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan.

Departemen Pertanian. Jakarta

Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius.

Pemasyarakatan &Pengembangannya. Kanisius.Yogyakarta.

Suyitman. 2003. Agrostologi. Padang. Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Bandung

Syarief, E.S. 1986. Kesuburan Tanah dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung

Tillman,A. D, H, Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Utomo, A, S. 2007. Pembuatan Kompos Dengan Limbah Organik.Jakarta: CV

Sinar Cemerlang Abadi.

Van, D.T.T. Mui, dan I. Ledin. 2005. Tropical Foliages: effect of presentation

methodand species on intake by goats. Anim. Fed Sci. Technol. 118:1-17

Volesky, J.D dan B. E. Anderson. 2007. Defoliation Effects on Production and

Nutritive Value of Four Irrigated Cool-Season Perennial Grasses. Agron.

J. 99:494_500.

Whitehead, D.C. 1970. Nutrient Element in Grassland. Soil Plant Animal

Relatoinship.CAB International Publishing.Wallingford.367

Wolfe, T.K. dan M.S. Kipps. 1959. Production of Field Crops. 5 ed. Mc Graw


(16)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di lahan Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Galang Deli Serdang Sumatera Utara dan Laboratorium Bahan Pakan Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2015 sampai dengan Januari 2016.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan

Bahan baku utama yang akan digunakan adalah kotoran ternak babi. Bahan baku ini disediakan lebih kurang masing-masing karung (beratnya 30 kg/karung) sebanyak 100 kg, hijauan yang digunakan yaitu ruzi (Brachiaria

ruziziensis) berupa pols (sobekan tanaman) atau bagian batang dengan akar,

starter menggunakan EM4 (efective microorganism 4) sebanyak 1 liter, gula sebanyak 1 kg dan dedak 2 kg sebagai bahan makanan bakteri pada proses fermentasi feses babi dan zat kapur sebanyak 1 kg.

Alat

Peralatan yang akan digunakan meliputi karung/goni sebagai wadah dalam pengangkutan feses babi dan tempat pemanenan hijauan, sekop dan cangkul untuk membolak-balikkan feses dan membersihkan lahan, ember sebagai wadah penampungan air, terpal sebagai wadah dalam proses fermentasi, drigen tempat fermentasi, paralon sebagai lubang udara, timbangan untuk menimbang berat


(17)

mengukur tinggi tanaman, alat tulis untuk mencatat data penelitian, kalkulator dalam menghitung data, amplop dan koran sebagai tempat hijauan pada saat pemanenan selama penelitian. Timbangan digital dengan kapasitas 7 kg dengan kepekaan 0,01 g untuk menimbang kompos.

Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan petak terbagi (split splot design) dengan menggunakan dua faktor terbagi yaitu; faktor pertama yang dijadikan sebagai petak utama (main plot) adalah interval pemotongan.

A1 = Interval I (40 hari) A2 = Interval II (50 hari) A3 = Interval III (60 hari)

Faktor kedua yang dijadikan sebagai anak petak (sub plot) adalah dosis pupuk yang diberikan.

P0 = Tanpa pupuk (kontrol)

P1 = Pupuk kandang dosis (10 ton/ha/thn) P2= Pupuk kandang dosis (20 ton/ha/thn) P3 = Pupuk kandang dosis (30 ton/ha/thn)

Sedangkan ulangan yang dipakai berdasarkan rumus: t.c (n-1) ≥ 15

12 (n-1) ≥ 15 12n-12 ≥ 15 12n ≥ 27 n > 2.23 = 3


(18)

dimana setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Maka kombinasi setiap perlakuan seperti berikut:

Model linear yang digunakan adalah rancangan petak terbagi (split plot design) dengan model rancangan sebagai berikut:

Y

i j k

= μ + α

i

j

+ (αβ)

i j

+ δ

i k

+ ε

i j k

Keterangan :

Y i j k = nilai pengamatan pada taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor B, dan pada Kelompok ke-k

µ

= nilai tengah umum

αi = pengaruh taraf ke-i dari faktor A

βj = pengaruh taraf ke-j dari faktor B

(αβ)i j = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dengan taraf ke-j faktor B

δi k = pengaruh acak untuk petak utama

ε i j k = pengaruh acak untuk anak petak

Parameter Penelitian

Analisa kandungan nutrisi bahan kering, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar dilakukan dengan cara analis proksimat dari hasil pemanenan.

P0 P1 P2 P3 P1 P2 P3 P0 P2 P3 P0 P1

P3 P2 P1 P0 P2 P1 P3 P0 P0 P2 P1 P3


(19)

1. Bahan Kering (BK)

Persentase bahan kering dapat digunakan rumus sebagai berikut : %Kadar air = b-a

c-a

x 100%

%Bahan kering = 100 - Kadar air Ket: Oven 105 0 C

a = Berat cawan kosong (gram)

b = Berat cawan + sampel sebelum dioven (gram) c = berat cawan + sampel setelah dioven (gram)

Dalam analisis bahan makanan atau pakan, semua hasil analisa yang diperoleh secara langsung harus dikembalikan terhadap kadar bahan kering.

2. Protein Kasar (PK)

Persentase protein kasar dapat digunakan rumus sebagai berikut : % PK = Volume titrasi – Volume blanko

Sampel

x 4.37812

Keterangan :

Titrasi dengan HCl 0,01 N N = Nomalitas HCl

Volume blanko diperoleh dengan mendestruksi, mendestilasi dan mentitrasi bahan-bahan tanpa menggunakan sample.

3. Serat Kasar

%SK=(berat C+S setelahoven)–(berat C+S setelah tanur )-berat kertas saring

berat sampel

x100%

Keterangan :


(20)

C = Cawan

S = Sampel bahan

Metode pada serat kasar yaitu mencuci bersih alat-alat utama seperti labu erlenmeyer, beaker glass dan gelas ukur hingga bersih. Mengeringkan dalam oven pada suhu 105 - 1100 C selama 1 jam dan mendinginkannya dalam eksikator. Menimbang sampel seberat 1gram dan memasukkannya kedalam labu erlenmeyer. Menambahkan 50 ml H2SO4 0,3 N dan NaOH 1,5 N 25 ml memasak hingga mendidih dan menghitung selama 30 menit kedepan dalam lemari asam. Menyaring dengan menggunakan kertas saring yang telah terpasang dalam corong

buchner. Kertas saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven selama 1 jam pada

suhu 1050-1100 C dan mendinginkannya dalam eksikator kemudian menimbang beratnya. Penyaringan dilakukan dalam labu hisap, kemudian berturut-turut dicuci dengan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0,3 N, 50 ml air panas dan 25 ml aseton. Kertas saring dan isinya memasukkan dalam crussibel porselin lalu mengeringkan dalam oven pada suhu 105 - 1100 C selama 1 jam. Kemudian mendinginkan dalam eksikator selama 15 menit dan menimbang beratnya. Kertas saring dan isinya yang ada dalam crussibel porselin memijarkan lagi dalam tanur listrik pada suhu 4000 C selama 4 jam, bersama dengan abu kemudian mendinginkan dalam eksikator selama 15 menit dan menimbang beratnya. Menghitung kadar berat serat kasar dengan rumus:

4. Lemak Kasar


(21)

Kadar Lemak = P (B-A Berat sampel

) X 100 %

Keterangan :

P = Faktor pengenceran = 10/5 = 2 A = Berat cawan porselin (g) B = Berat akhir (g)

Pelaksanaan Penelitian

1. Pembuatan Fermentasi Feses

Pembuatan fermentasi kotoran babi menggunakan bahan stater EM4 sebanyak 1 liter, gula 1 kg, air 10 liter dan dedak 2 kg. Sedangkan alat yang digunakan adalah jerigen sebagai tempat fermentasi. Prosedur sebagai berikut:

Dimasukkan stater EM4 (efective microorganism 4) sebanyak 1 liter dengan campuran gula 1 kg kedalam 10 liter air dan difermentasikan selama 5 jam

Siapkan semua limbah kotoran babi dalam keadaan segar

Hamparkan semua limbah kotoran babi dengan ketebalan penumpukan 40 cm dan sirami dengan dedak dan larutan fermentasi

Semua kotoran babi tersebut di balik-balikkan, ditutup dengan plastik dan tancapkan paralon sebagai lubang udara

Kotoran babi yang difermentasikan terhindar dari sinar matahari langsung dan air hujan dan tempat sebagai wadah fermentasi memiliki kemiringan

Setiap seminggu sekali dibalik dan diperhatikan, bila kering perlu ditambah air, caranya dengan memercikan air dari ember

Kompos akan panas dan semakin lama panas akan turun, kemudian kompos mendingin. Pada hari ke-40, kompos sudah selesai, namun jangan dipergunakan terlebih dahulu. Tanda kompos sudah bisa dipakai adalah bila


(22)

Bahan kotoran ternak disiapkan dengan kelembaban sekitar 60%. Bila bahan terlalu basah atau kelembaban lebih dari 60% maka kotoran ternak didiamkan beberapa waktu hingga mencapai kelembaban yang diinginkan. Bila kotoran ternak terlalu kering, maka perlu disiram dengan air agar mencapai kelembaban 60%. Setelah kotoran ternak kelembabanmencapai 60%, selanjutnya ditambah starter, lalu dicampur hingga rata.

Bahan kotoran ternak dibolak-balikkan. Pada saat pembalikan ini, dilakukan penambahan air/ cucian air beras. Proses yang berlangsung sekitar 2-3 minggu ini perlu dijaga kelembabanya dan suhunya dengan cara pembalikan. Bahan yang sudah dicampurkan diaduk secara merata, setelah itu ditutup dengan terpal dan dibiarkan mengalami fermentasi hingga timbulnya mikroorgnisme yang hidup seperti cacing.

Bahan kompos akan mengalami penstabilan, bahan sudah berbentuk remah. Derajat keasaman pada awal proses pengomposan akan mengalami penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan mengubah bahan organik menjadi asam organik. Kondisi ini menandakan bahwa bahan kompos telah menjadi kompos (pupuk organik), sehingga siap digunakan.

Lingga (1986) menyatakan bahwa dalam pemberian pupuk kandang diperhatikan kematangannya. Pupuk kandang yang sudah matang dicirikan oleh bentuk, warna, dan baunya yang sudah berubah dari bentuk aslinya dan bila diremas sudah remah.


(23)

2. Persiapan lahan

Pada prinsipnya pengolahan tanah sama seperti persiapan untuk penanaman rumput unggul lainnya. Tanah dicangkul 1-2 kali tergantung keadaan tanah dengan kedalaman 20-30 cm, lalu diratakan (Soegiri et al., 1980).

Secara mekanis yaitu dengan cara menggunakan alat pembersih lahan, diawali tanah dibersihkan dari sisa tanaman yang tidak berguna (gulma). Kemudian dilakukan pembajakan lahan untuk tanah menjadi gembur, lalu lahan dibagi-bagi menjadi petak-petak kecil sebanyak 36 petak yang setiap satu petaknya terdiri dari 16 tanaman dengan jarak tanam berukuran 1,5 m x1,5 m dengan jarak antar petak sepanjang 1 mdijadikan sebagai saluran air.

Pemberian kapur dolomit (CaCo3) menjadikan tanah yang pH nya lebih rendah dari pH optimum yang dikehendaki dapat diatasi dengan cara pengapuran pada tanah, sehingga pH nya dapat ditingkatkan sesuai pH yang dikehendaki (Masganti, 2000).

3. Pemilihan bibit, penanaman dan sistem tanam

Pemilihan bibit adalah faktor yang sangat penting dan menentukan dalam budidaya hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis). Hijauan ini diperbanyak dan dikembangbiakan dengan pols. Penggunaan pols lebih baik karena disamping cepat tumbuh, juga cepat menyebar dan resiko kematian di lapangan lebih kecil .

Pada penanaman hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis) dengan pols dipilih tanaman yang sehat, mempunyai banyak akar dan calon anakan baru (bagian tepi). Selain itu bagian ujung vegetatifnya harus dipotong. Hal ini dimaksudkan agar tanaman baru tersebut tidak terlampau banyak penguapan atau menghindari pelayuan. Waktu tanam yang paling baik adalah pada musim hujan. Pada musim


(24)

kemarau penanaman masih dapat dilakukan selama penyiraman memungkinkan dilakukan.

Penanaman hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis) dilakukan dengan penanaman jarak tanam yang digunakan adalah 1,5x1,5m. Pengaturan jarak tanam dilakukan dengan menggunakan tali dan potongan bambu agar kelihatan lurus dan rapi sehingga mempermudah dalam penyiangan dan perawatan. Kebutuhan benih tiap petaknya sebanyak 2 pols dalam satu lobang.

4. Pemupukan

Pemupukan pertama dilakukan pada waktu pengolahan (perataan) tanah ataupun sebelum dilakukan penanaman untuk menyediakan sebagian atau seluruh kebutuhan hara tanaman atau disebut dengan istilah basalt application (pupuk dasar). Setelah lahan gembur dan bersih dari gulma, maka dilakukan pemupukan dengan pupuk kompos babi pada setiap petak kemudian didiamkan selama satu minggu. Pemupukan dilakukan selama 4 minggu sekali. Pemberian pupuk kandang ini dilakukan dengan cara sebar merata (broadcast), yaitu dengan menyebarkan pupuk di permukaan tanah secara merata dengan menggunakan tangan.

Pemberian level dosis yang berbeda disetiap perlakuan adalah untuk mengetahui apakah peningkatan penggunaan dosis kompos 10 ton, 20 ton dan 30 ton dapat memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan tanpa pemberian kompos. Dosis pupuk ialah takaran atau banyaknya hara dari suatu unsur pupuk dalam satuan kilogram persatuan luas lahan.


(25)

5. Pemeliharaan, penyiraman, penyiangan dan penyisipan

Faktor pemeliharaan tanaman akan menentukan terhadap hasil produktivitas tanaman. Pada awal penanaman perlu dilakukan pemeliharaan yang intensif, terutama penyiangan. Pemeliharaan meliputi 1) penyiraman dilakukan setiap hari pada sore atau sesuai kebutuhan, jika musim hujan tidak perlu untuk penyiraman, 2) penyiangan dilakukan terhadap gulma-gulma liar yang ada dilahan penelitian dan dilakukan secara manual dan 3) penyisipan untuk mengganti tanaman yang mati dengan pols baru dilakukan setelah penyiangan. Biasanya diperlukan penyiangan ulang pada saat tanaman berumur dua bulan atau tergantung pada tingkat pertumbuhan tanaman liar.

6. Trimming

Trimming dilakukan untuk menyeragamkan pertumbuhan dan meransang jumlah anakan yang lebih banyak dan pemotongan trimming dilakukan pada umur 40 hari setelah tanam. Tinggi pemotongan dilakukan adalah 15 cm dari atas permukaan tanah tanaman.

7. Pengambilan data pengamatan (Pemanenan)

Kandungan nutrisi rumput Brachiaria ruziziensis berupa bahan kering, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar dilakukan dengan menggunakan analisis proksimat setelah pemotongan 40 hari, 50 hari dan 60 hari. Data yang diperoleh di analisis dengan analisis variansi berdasarkan rancangan split splot design dengan empat perlakuan dan tiga ulangan. Apabila terdapat perbedaan yang nyata (P< 0,05) maka untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan’s (Steel dan Torrie, 1991).


(26)

Analisis Data

Bahan kering, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar dianalisis dengan ANOVA menurut rancangan split splot design. Perlakuan yang menunjukkan signifikansi pada uji F selanjutnya diuji lanjut dengan Uji Duncan.


(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Bahan Kering Brachiaria ruziziensis

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval defoliasi dan pemberian dosis pupuk terhadap produksi bahan kering Brachiaria ruziziensis dengan hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Produksi Bahan Kering Brachiaria ruziziensis (gr) Dosis pupuk Periode Defoliasi Rataan Interval Defoliasi A1 (40 hari)

Interval Defoliasi A2 (50 hari)

Interval Defoliasi A3

(60 hari) P0

(kontrol)

87.57 87.60 86.58 87.25+0.58b

P1 (10 ton)

86.72 87.62 87.56

87.3+ 0.50bb P2 (20

ton)

88.58 88.69 88.45 88.57+0.12a

P3 (30 ton)

88.10 88.74 88.94 88.59+0.43aa

Rataan 87.74+0.79a 88.16+0.63aa 87.88+1.03aa

Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap produksi bahan kering Brachiaria ruziziensis

superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi bahan kering Brachiaria ruziziensis

Analisis data statistika menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang sejumlah P3 (30 ton/ha/thn), menghasilkan produksi bahan kering Brachiaria

ruziziensisyang lebih tinggi daripada tanpa pemberian pupuk kandang. Rataan

produksi bahan kering yang dihasilkan dari pupuk kandang P1 dengan rataan 88,59 dan berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pupuk kandang P0 adalah dengan rataan 87,25. Hal ini disebabkan semakin banyaknya penambahan kompos dalam tanah akan mengaktifkan mikroorganisme yang berperan dalam


(28)

memperbaiki kandungan unsur hara tanah. Oleh (Buckman dan Brady, 1982) bahwa kecenderungan meningkatnya produksi bahan kering hijauan disebabkan karena pemberian pupuk kandang dapat memperbaiki sifat fisik tanah jika dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk kandang sehingga penguapan unsur hara akan berkurang dan hara tersedia akan lebih banyak. Dengan adanya pupuk kandang dalam tanah akan dapat meningkatkan kesuburan tanah, menahan air tanah, porositas tanah dan ketahanan terhadap erosi.

Pada penelitian ini, hasil pemupukan dengan pupuk kandang P3 (30 ton/ha/thn) menunjukan perbedaan yang berbeda nyata dibandingkan dengan

pemberian dosis pupuk kandang lainnya P1 (10 ton/ha/thn) dan P2 (20 ton/ha/thn). Semakin banyak pemberian kompos memberikan hasil produksi bahan kering tinggi yang dikarenakan karena kandungan zat hara dalam tanah belum maksimal. Hal ini sesuai dengan Ardianto (1983) mengemukakan bahwa, banyaknya bahan organik yang dimasukkan ke dalam tanah mempengaruhi populasi mikroorganisme makin tinggi. Dengan kehadiran mikroorganisme yang menguntungkan didalam tanah maka ekosistem didalam tanah akan lebih hidup yang berarti akan memberikan medium yang lebih baik bagi pertumbuhan tanaman dan oleh pernyataan (Lingga, 1986) bahwa kebutuhan pupuk kandang untuk tanah Indonesia pada umumnya 20 ton/ha. Untuk dosis pemberian pupuk kandang tergantung pada keadaan tanahnya, tetapi rata-rata untuk tanah Indonesia diberikan sebanyak 20 ton (20.000 kg) per hektar (Andoko, 2004).

Hasil penelitian menunjukkan rataan produksi bahan kering Brachiaria

ruziziensis pada perlakuan interval pemotongan 50 hari tidak memperlihatkan


(29)

menunjukkan bahwa rumput Brachiaria ruziziensis memiliki batasan pertumbuhan yang optimum untuk menghasilkan nutrisi yang maksimal. Interval pemotongan pada perlakuan tidak nyata mempengaruhi produksi kumulatif bahan kering hijauan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suyitman (2003), bahwa interval pemotongan yang dilakukan secara teratur, menghasilkan kandungan air tidak rendah. Nilai kandungan bahan kering dipengaruhi oleh interval pemotongan karena dapat mempengaruhi produksi rumput dan mempertahankan tanaman dalam kondisi muda untuk mendapatkan nilai kondisi kualitas yang tinggi, dengan mengatur interval pemotongan secara pendek dapat menyebabkan menurunnya produksi bahan kering hijauan.

Perbedaan hasil produksi berat kering antar perlakuan berbeda-beda. Hal ini terjadi dikarenakan adanya keragaman hijauan. Keragaman hijauan yang tumbuh disetiap plot dapat menghasilkan produksi segar juga berbeda-beda. Produksi bahan kering tertinggi terdapat pada interval defoliasi 50 hari dan dosis 30 ton/ha/tahun. Perbedaan bahan kering ini juga disebabkan oleh manajemen, iklim dan jenis spesies tanaman, karena semakin pendek waktu interval pemotongan, maka pemotongan produksi per Ha menurun bahkan terlihat karena timbulnya gangguan oleh tanaman pengganggu. Hal ini sesuai dengan Alberda (1967) dan Whitehead (1970) bahwa pengaturan defoliasi merupakan masalah kompleks karena respon terhadap intensitas defoliasi merupakan modifikasi berbagai faktor, seperti: iklim, hara, cahaya dan saat pemotongan. Sehingga dalam memperpanjang interval defoliasi dapat diperoleh produksi bahan kering hijauan yang tinggi dan pertumbuhan kembali tidak terganggu.


(30)

Produksi Protein Kasar Brachiaria ruziziensis

Produksi protein kasar Brachiaria ruziziensis dengan hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Produksi protein kasar Brachiaria ruziziensis (gr)

Dosis pupuk Periode

Defoliasi

Rataan Interval

Defoliasi A1 (40 hari)

Interval Defoliasi A2 (50 hari)

Interval Defoliasi A3

(60 hari)

P0 (kontrol) 8.89 7.77 7.46 8.04+0.75b

P1 (10 ton) 8.90 7.92 7.61 8.14+0.67bb

P2 (20 ton) 8.92 8.72 8.50 8.71+0.21a

P3 (30 ton) 8.95 8.79 8.63 8.79+0.16aa

Rataan 8.91+0.02aa 8.3+0.52ab 8.05+0.60b

Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi protein kasar Brachiaria ruziziensis

superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi protein kasar Brachiaria ruziziensis

Pada penelitian ini, dapat diketahui bahwa protein kasar pada hijauan

Brachiaria ruziziensis tertinggi terdapat pada perlakuan P3 dengan dosis pupuk

kandang 30 ton/ha dengan rataan 8.79 dan pemberian kompos berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan protein kasar rumput Brachiaria ruziziensis. Hal ini diduga karena sumber ketersediaan nitrogen dapat terpenuhi. Dengan perkataan lain kandungan protein meningkat dengan adanya kandungan nitrogen. Dan terlihat pada area plot yang diberikan kompos 30 ton/ha/tahun cenderung rumput tampak lebih hijau dan lebih muda, sehingga protein yang dihasilkan juga paling tinggi. Oleh Purwowidodo (1992) dikatakan bahwa kecenderungan meningkatnya kandungan protein kasar pada pemberian P3 (30 ton/ha) disebabkan pupuk


(31)

kandang dapat mempertahankan bahan organik tanah dan dapat meningkatkan aktivitas biologis tanah dan transportasi unsur hara serta air akan lebih baik, sehingga laju fotosintesa untuk menghasilkan cadangan makanan bagi pertumbuhan tanaman lebih terjamin. Hal ini juga sesuai dengan pernyaataan Minson (1990) menyatakan kandungan dan komposisi protein kasar dalam hijauan dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen dalam larutan tanah. Tingginya kandungan protein kasar pada pemberian pupuk kandang dikarenakan nitrogen yang tersedia dapat segera digunakan, kemudian dirombak menjadi amonium. Selanjutnya diasimilasi menjadi asam amino yang digabungkan menjadi protein dan asam nukleat.

Pada perlakuan interval pemotongan A1 (40 hari), A2 (50 hari) dan A3 (60 hari) memberikan pengaruh yang signifikan (P<0.05) dengan kandungan protein kasar tertinggi berturut-turut pada perlakuan interval defoliasi A1 (40 hari) adalah 8.91, kemudian diikuti dengan perlakuan interval defoliasi A2 (50 hari) adalah 8.3 dan perlakuan interval defoliasi A3 ( 60 hari) adalah 8.05 terhadap protein kasar Brachiaria ruziziensis. Hal ini dikarenakan kandungan protein

Brachiaria ruziziensis tergolong sedang, namun kandungan ini akan menurun bila

dipotong pada umur tua. Sesuai dengan pernyataan Aminudin (1990) dikatakan bahwa umur pemotongan tanaman umumnya dilakukan pada periode akhir masa vegetatif atau menjelang berbunga untuk menjamin pertumbuhan kembali (regrowth) yang optimal, sehat dan kandungan gizinya tinggi, karena memperpanjang interval defoliasi akan menurunkan kandungan protein kasar, meningkatkan kadar serat kasar sehingga juga menurunkan daya cerna hijauan (Rios, Julia dan Anguilu, 1974).


(32)

Dari hasil penelitian didapatkan pada perlakuan interval defoliasi berpengaruh signifikan terhadap kualitas protein. Hal ini disebabkan karena protein tanaman berhubungan erat dengan aktivitas jaringan, sehingga daun mengandung lebih banyak protein dibanding batang, air dan kadar air tanaman menurun dengan makin tuanya umur tanaman, terutama pada saat biji berbentuk dan tanaman menjadi masak, sehingga kadar protein berkurang, sama halnya yang dikemukakan oleh Setiyati (1991), bahwa bertambahnya umur tanaman menyebabkan sel tanaman bertambah besar, dinding sel menebal, dan terjadi perkembangan pembuluh kayu sehingga produksi bahan kering tanaman meningkat tapi kandungan gizinya menurun .

Produksi Serat Kasar Brachiaria ruziziensis

Tabel 8.Produksi serat kasar Brachiaria ruziziensis (gr) Dosis pupuk Periode Defoliasi Rataan Interval Defoliasi A1 (40 hari)

Interval Defoliasi A2 (50 hari)

Interval Defoliasi A3 (60 hari) P0

(kontrol)

34.15 35.55 35.63 35.11+0.83a

P1 (10 ton)

34.10 34.31 35.61

34.67+0.81b P2 (20

ton)

34.08 34.28 34.63 34.33+0.27cc

P3 (30 ton)

34.04 34.22 34.38 34.21+0.17c

Rataan 34.09+0.04a 34.59+0.64aa 35.06+0.65aa

Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap produksi serat kasar Brachiaria ruziziensis

superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap serat kasar Brachiaria ruziziensis.


(33)

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval defoliasi dan pemberian dosis pupuk terhadap produksi serat kasar Brachiaria ruziziensis dengan hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 8 diatas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interval pemotongan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata dengan rataan secara berturut adalah pemotongan 40 hari sebesar 34.09, sedangkan 50 hari sebesar 34.59+0.64 dan 60 hari35.06+0.65. Hal ini dikarenakan interval defoliasi terlalu dekat sehingga menyebabkan kandungan serat kasar pada pemotongan 40 hari, 50 hari dan 60 hari tidak jauh berbeda. Serta pada pemotongan 40, 50 dan 60 hari masih merupakan fase vegetative dimana pertumbuhan dicirikan dengan berbagai aktivitas pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dan interval pemotongan masih tergolong umur potong optimal. Hal ini sesuai dengan Hutasoit (2005) menyatakan bahwa kandungan nutrisi pada tanaman sangat dipengaruhi oleh umur saat dipanen. Pada tanaman sangat muda (umur 2-3 minggu) kandungan air relatif tinggi sehingga kandungan zat nutrisi yang lain menjadi relatif rendah. Sebaliknya pada tanaman yang terlalu tua (>10 minggu) kandungan serat meningkat dan kandungan nutrisi lain relatif rendah. Oleh karena itu, umur potong yang optimal (4-6 minggu) disarankan untuk menghasilkan kandungan nutrisi yang optimal. Oleh (Eny Fuskhah et al., 2009) dikatakan bahwa pertumbuhan tanaman dibedakan dua fase yaitu fase vegetatif dan fase reproduktif. Kualitas hijaun yang terbaik terletak pada akhir fase vegetatif atau menjelang fese reproduktif (fase generatif). Melewati fese vegetatif (fase generatif), kualitas nurtisi sudah menurun dan kadar serat kasar meningkat karena hal ini bertalian dengan waktu pemotongan. Pengaturan defoliasi merupakan masalah kompleks karena respon


(34)

terhadap intensitas defoliasi merupakan modifikasi berbagai faktor, seperti: iklim, hara, cahaya dan saat pemotongan (Alberda, 1967, Whitehead, 1970). Memperpanjang interval defoliasi akan menurunkan kandungan protein kasar, meningkatkan kadar serat kasar sehingga juga menurunkan daya cerna hijauan (Rios, Julia dan Anguilu, 1974).

Produksi Lemak Kasar Brachiaria ruziziensis

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval defoliasi dan pemberian dosis pupuk terhadap produksi lemak kasar Brachiaria ruziziensis dengan hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Produksi lemak kasar Brachiaria ruziziensis (gr)

Dosis pupuk Periode

Defoliasi

Rataan Interval

Defoliasi A1 (40 hari)

Interval Defoliasi A2 (50 hari)

Interval Defoliasi A3

(60 hari)

P0 (kontrol) 1.66 1.82 1.93 1.80+0.13aa

P1 (10 ton) 1.65 1.77 1.94 1.78+0.14aa

P2 (20 ton) 1.55 1.73 1.88 1.72+0.16aa

P3 (30 ton) 1.48 1.69 1.83 1.66+0.17a

Rataan 1.58+0.08a 1.75+0.05aa 1.89+0.05aa

Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidaknyata (P>0.05) terhadap produksi lemak kasar Brachiaria ruziziensis

superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi lemak kasar Brachiaria ruziziensis

Hasil penelitian diperoleh bahwa perlakuan pada masing-masing interval defoliasi perlakuan secara bertutut-turut A1 (40 hari), A2 (50 hari) dan A3 (60 hari) hari adalah 1.58, 1.75 dan 1.89 dan pengaruh pemberian dosis pupuk P1


(35)

pengaruh tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini dipengaruhi faktor tidak seimbangnya kandungan unsur hara N dalam pupuk kandang. Sejalan dengan pernyataan Lingga (1998) unsur hara N berperan dalam membentuk protein, lemak dan berbagai persenyawaan organik lainya.


(36)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor interval defoliasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap protein kasar. Dan faktor dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap bahan kering, protein kasar dan serat kasar. Sedangkan kedua faktor memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap lemak kasar. Hasil produksi protein kasar yang tertinggi diperoleh pada interval defoliasi 40 hari yaitu 8.91 dan pemberian dosis pupuk kompos ternak babi berpengaruh nyata terhadap produksi berat kering dan protein kasar. Hasil produksi bahan kering dan produksi protein kasar yang tertinggi diperoleh pada dosis pemupukan 30 ton/ha/thn.

Saran

Umur pemotongan hijauan Brachiaria ruziziensis sebagai pakan ternak yang disarankan adalah pada umur pemotongan muda karena memiliki nilai kandungan protein kasar yang tinggi. Hal ini dikarenakan pada umur 40 hari tanaman memiliki ketersediaan zat makanan yang optimal bagi ternak. Dan untuk menghasilkan kualitas yang tinggi disarankan dengan pemberian dosis pupuk ternak babi sebanyak 30 ton/ha/thn.


(37)

TINJAUAN PUSTAKA

Kotoran Babi

Menurut Lazcano et al., (2008) dikatakan bahwa kotoran ternak merupakan sumberdaya alam yang bernilai yang dapat digunakan sebagai pupuk, karena mengandung unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman.

Kotoran babi memiliki kandungan P yang cukup tinggi dikarenakan pakan hewan ternak tersebut sangat kompleks dan bervariasi yang terdiri dari sayur-sayuran, dedak, ampas tahu, limbah rumah tangga dan konsentrat sehingga kotoran yang dihasilkan juga banyak mengandung unsur hara. Di samping itu kotoran babi yang dipakai sebagai bahan pembuatan bokashi berasal dari ternak babi yang sudah tua sehingga kotorannya banyak mengandung unsur hara (Hartatik, 2010).

Ternak babi biasanya diberi pakan yang mengandung bahan yang mudah dicerna. Pupuk dari kotoran babi lebih banyak mengandung asam fosfor dan asam belerang dibandingkan dengan pupuk kotoran hewan ternak lainnya. Kandungan K dan Ca dari kotoran babi rendah. Pupuk kompos babi termasuk pupuk dingin, jadi perubahannya berlangsung perlahan-lahan dan sesuai dipakai pada tanah yang berstektur ringan. Karena didalam tanah tersebut perubahan bahan organik oleh bakteri atau jasad-jasad renik lainnya terjadi secara intensif

(Damanik et al., 2010).

Lingga (2008) menyatakan bahwa kandungan kadar hara kotoran beberapa jenis ternak digolongkan dalam pupuk panas dan pupuk dingin. Pupuk panas merupakan pupuk yang penguraiannya berjalan secara cepat sehingga terbentuk


(38)

panas. Sedangkan pupuk dingin merupakan pupuk yang penguraiannya berjalan sangat lambat sehingga tidak terbentuk panas. Jenis dan kandungan hara yang terdapat pada beberapa kotoran ternak padat dan cair dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kandungan unsur hara kotoran dari beberapa jenis ternak Nama Ternak Bentuk Kotoran Nitrogen (%) Fosfor (%) Kalium (%) Air (%) Keterangan

Kuda Padat 0,55 0,30 0,40 75 Pupuk panas

Cair 1,40 0,02 1,60 90

Kerbau Padat 0,60 0,30 0,34 85 Pupuk dingin

Cair 1,00 0,15 1,50 52

Sapi Padat 0,40 0,20 0,10 85 Pupuk dingin

Cair 1,00 0,50 1,50 92

Kambing Padat 0,60 0,30 0,17 60 Pupuk panas

Cair 1,50 0,13 1,80 85

Domba Padat 0,75 0,50 0,45 60 Pupuk panas

Cair 1,35 0,05 2,10 85

Babi Padat 0,95 0,35 0,40 80 Pupuk dingin

Cair 0,40 0,10 0,45 87

Ayam Padat dan Cair

1,00 0,80 0,40 55 Pupuk dingin

Kelinci Padat dan Cair

2,72 1,10 0,50 55,3 Pupuk dingin

Sumber: Lingga (2008)

Pupuk

Pupuk adalah hara tanaman yang umumnya secara alami ada dalam tanah, atmosfer dan dalam kotoran hewan. Pupuk memegang peranan penting dalam meningkatkan hasil tanaman, terutama pada tanah yang kandungan unsur haranya rendah. Pupuk organik mampu menggemburkan lapisan permukaan tanah (top soil), meningkatkan populasi jasad renik, mempertinggi daya serap dan daya simpan air yang oleh karenanya kesuburan tanah menjadi meningkat


(39)

Kualitas pupuk organik harus memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal pupuk organik. Persyaratan teknis minimal pupuk organik dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Persyaratan teknis minimal pupuk organik

No. Parameter Satuan Kandungan

Padat Cair

1 C-organik % >12 4,5

2 C/N ratio % 12-25 -

3 pH 4 – 8 4 – 8

4

P2O5 % <5 <5

5 K2O % <5 <5

Sumber : SNI Nomor 19 – 0428- 1989

Pupuk Kandang

Pupuk kandang adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran padat, kotoran cair dari hewan ternak yang dikandangkan yang dapat bercampur dengan alas kandang dan sisa makanan. Kualitas pupuk kandang sangat tergantung pada jenis ternak, kualitas pakan ternak dan cara penampungan pupuk kandang. Pupuk yang berasal dari kotoran ternak babi banyak mengandung mikroorganisme pengurai yang bermanfaat untuk meningkatkan jenis dan populasi mikroorganisme tanah. Ciri - ciri pupuk kandang yang baik dapat dilihat secara fisik atau kimiawi. Ciri fisiknya yakni berwarna cokelat kehitaman, cukup kering dan tidak menggumpal dan tidak berbau menyengat. Ciri kimianya adalah C/N rasio kecil (bahan pembentuknya sudah tidak terlihat) dan temperaturnya relatif stabil. C/N ratio yang tinggi terjadi pada pupuk kandang yang bersifat pupuk dingin dan menyebabkan pupuk kandang terurai lebih lama dan tidak menimbulkan panas, misalnya kotoran babi


(40)

Pupuk Kompos

Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artificial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab dan aerobik atau anaerobik (Crawford, 2003).

Kandungan zat hara dalam kompos sangat bervariasi tergantung dari bahan yang dikomposkan, cara pengomposan dan cara penyimpanannya. Kandungan zat hara dalam kompos dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan zat hara pada zat hara dalam kompos

Komponen Kadar (%)

Cairan 41

Bahan kering 59

Karbon (C) 8,2

Nitrogen (N) 0,09

Fosfor (P2O5) 0,36

Kalium (K2O) 0,81

C/N 23

Sumber : Lingga (1991)

Keterangan : C/N merupakan perbandingan karbon dengan nitrogen

Pembuatan Kompos

Rosmarkam (2002) menyatakanbahwa pada dasarnya pengomposan merupakan upaya mengaktifkan kegiatan mikroba agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik, mikroba tersebut diantaranya adalah bakteri, fungi, dan jasad renik lainnya. Selama proses pengomposan akan terjadi


(41)

penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30–40% dari volume/bobot awal bahan.

Prinsip pengomposan adalah menurunkan nilai nisbah C/N bahan organik menjadi sama dengan nisbah C/N tanah. Nisbah C/N adalah hasil perbandingan antara karbohidrat dan nitrogen yang terkandung di dalam suatu bahan. Nilai nisbah C/N tanah adalah 10-12. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman (Djuarnani et al., 2005).

Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang tinggi. Adapun pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 hingga 7,5 dan pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada bahan organik dan pH. Kompos yang sudah matang biasanya mendekati pH netral (Isroi, 2009).

Yusnaini et al., (1996) menyatakan bahwa selain sebagai sumber untuk memperoleh rasio C/N yang optimal untuk pengomposan, kotoran ternak dapat digunakan sebagai sumber mikroorganisme dekomposer dan penambah kandungan unsur hara.

EM4 (Effective Microorganism 4)

Proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung dalam waktu cukup lama, sekitar 2-3 bulan bahkan ada yang 6-12 bulan tergantung bahannya. Oleh karena itu para ahli melakukan berbagai macam upaya untuk mempercepat proses tertentu. Proses tersebut dapat dipercepat menjadi 2-3 minggu tergantung pada bahan dasarnya, antara lain dengan menambahkan bioaktivator seperti EM4 (EffectiveMicroorganism 4) (Indriani, 2010).


(42)

EM4 (Effective Microorganism 4) merupakan kultur campuran mikroorganisme yang menguntungkan dan bermanfaat bagi kesuburan tanah maupun pertumbuhan dan produksi tanaman, serta ramah lingkungan. Mikroorganisme yang ditambahkan akan membantu memperbaiki kondisi biologis tanah dan dapat membantu penyerapan unsur hara. EM4 (Effective

Microorganism 4) mengandung mikroorganisme fermentasi dan sintetik yang

terdiri dari bakteri asam laktat (Lactobacillus Sp), bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas Sp), Actinomycetes Sp, Streptomycetes Sp, R.bassillus/azotobachter dan ragi (yeast) atau yang sering digunakan dalam

pembutan tempe (Utomo, 2007).

C/N (carbon per nitrogen)

C/N (carbon per nitrogen) berfungsi untuk meningkatkan kesuburan pada tanah. Penambahan bahan organik dengan nisbah C/N (carbon per nitrogen) tinggi mengakibatkan tanah mengalami perubahan imbangan C/N (carbon per nitrogen) dengan cepat, karena mikroorganisme tanah menyerang sisa pertanaman. C/N (carbon per nitrogen) juga berfungsi untuk menyeimbangkan ketersediaan nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Apabila bahan organik yang diberikan ke tanah mempunyai nisbah C/N (carbon per nitrogen) tinggi, maka mikroorganisme tanah dan tanaman akan berkompetisi memanfaatkan nitrogen dan tanaman selalu kalah (Sutanto, 2002).

Bahan organik tidak dapat langsung digunakan atau dimanfaatkan oleh tanaman karena perbandingan C/N dalam bahan tersebut relatif tinggi atau tidak sama dengan C/N tanah. Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N ratio


(43)

bahan maka proses pengomposan akan semakin lama karena C/N harus diturunkan. Nilai C/N tanah sekitar 10-12. Apabila bahan organik mempunyai kandungan C/N mendekati atau sama dengan C/N tanah maka bahan tersebut dapat digunakan atau diserap tanaman (Indriani, 2006).

Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen dinyatakan dengan rasio karbon/nitrogen (C/N). Rasio C/N beberapa bahan yang umum digunakan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4.Rasio carbon dan nitrogen (C/N) dari beberapa bahan.

No. Bahan Ratio C/N

1 Kotoran babi 18

2 Kotoran ayam 8

3 Kotoran kambing 12

4 Kotoran bebek 8

5 Kotoran domba 19

6 Kotoran sapi/kerbau 24

7 Kotoran gajah 43

8 Jerami padi 70

9 Jerami gandum 90

Sumber: Karki dan Dixit (1984) Suhu

Menjaga kestabilan suhu (mempertahankan panas) pada suhu ideal (40-500C) amat penting dalam pembuatan kompos. Hal ini disebabkan tidak

adanya bahan material yang digunakan untuk menahan panas dan menghindari pelepasan panas. Suhu yang kurang akan menyebabkan bakteri pengurai tidak bisa berbiak atau bekerja secara wajar. Dengan demikian, pembuatan kompos akan


(44)

berlangsung lama. Sebaliknya, suhu yang terlalu tinggi bisa membunuh bakteri pengurai (Murbandono, 2000).

Kadar air, kecepatan aerasi, ukuran dan bentuk tumpukan, kondisi lingkungan sekitar dan kandungan nutrisi sangat mempengaruhi distribusi temperatur dalam tumpukan kompos. Kecenderungan temperatur akan lebih rendah jika kondisi kadar air berlebih karena panas yang dihasilkan akan digunakan untuk proses penguapan (Arifianto dan Kuswadi, 2008).

Keasaman (pH)

Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Kisaran pH yang baik sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena itu, dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk menaikkan pH (Indriani, 2000).

Derajat keasaman pada awal proses pengomposan akan mengalami penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan yang mengubah bahan organik menjadi asam organik. Pada proses selanjutnya, mikroorganisme dari jenis lain akan mengkonversikan asam organik yang telah terbentuk sehingga bahan memiliki derajat keasaman yang tinggi dan mendekati normal (Djuarnani et al,. 2005).

Kelembapan

Kelembapan merupakan unsur penting dalam metabolisma pada mikroba. Kelembapan yang baik berkisar antara 50 hingga 60%, terlalu basah (>60%) dapat mengakibatkan muncul bau yang tidak sedap dan aktivitas mikroba menurun, temperatur juga menurun dan jika terlalu kering (<40%) aktivitas mikroba juga


(45)

menurun. Kelebihan air akan mengakibatkan volume udara jadi berkurang, sebaliknya bila terlalu kering proses dekomposisi akan berhenti. Semakin basah timbunan tersebut, harus makin sering diaduk atau dibalik untuk menjaga dan mencegah pembiakan bakteri anaerobik. Pada kondisi anaerob, penguraian bahan akan menimbulkan bau busuk (Setyorini et al,. 1991).

Hijauan Ruzi (Brachiaria ruziziensis)

Hijauan makanan ternak merupakan makanan utama bagi ternak ruminansia yang dijadikan sebagai sumber gizi berupa protein, karbohidrat, mineral, dan vitamin yang dapat berupa rumput-rumputan, leguminosa, dan daun-daunan. Hijauan sangat diperlukan oleh ternak ruminansia, karena 74-90% makanan yang dikonsumsi berasal dari hijauan baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk kering (Susetyo, 1980).

Rumput Brachiaria sering disebut rumput bede atau untuk kultivar

ruziziensis disebut rumput ruzi Brachiaria ruziziensis. Hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis) berasal dari Afrika Tropik.

Klasifikasi Hijauan Ruzi (Brachiaria ruziziensis)

Sistematika hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis) adalah Kingdom:

Plantae, Phyllum: Angiospermae, Classis: Monocotyledonae, Ordo: Glumiflora,

Familia: Gramineae, Sub-familia: Panicoideae, Genus: Brachiaria dan Spesies:

Brachiaria ruziziensis (Reksohadiprodjo, 1994).

Deskripsi Hijauan Ruzi (Brachiaria ruziziensis)

Rumput ini merayap, perennial, dengan stolon panjang yang berakar pada tiap buku stolon yang bersinggungan dengan tanah sehingga membentuk tanaman


(46)

yang lebat dan rumput ini merupakan rumput yang baik untuk pertanaman padangan tunggal atau dicampur dengan legume (Reksohadiprodjo, 1994).

Hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis) merupakan rumput berdaun lebat dengan tinggi yang sedang, berstolon, daunnya berbulu pendek, produksi bijinya tinggi, kualitas biji dan daya tumbuhnya biasanya tinggi (Horne et al., 1999). Hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis) cocok untuk tanah yang subur dan berdrainase baik, pada daerah-daerah dengan curah hujan tinggi. Pada kondisi demikian hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis) menghasilkan pakan dengan kualitas lebih baik daripada Brachiaria lainnya.

Hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis) dikenal dengan sebutan rumput kongo atau rumput ruzi, dapat ditanam dengan biji, pols maupun stek. Rumput ruzi paling cocok untuk daerah dengan iklim basah (1000 mm/t) tanpa musim kemarau atau dengan musim kemarau yang pendek yaitu 3-4 bulan. Rumput ini juga dapat direkomendasikan untuk dataran tinggi (2000m dpl) dengan iklim yang sejuk. Ruzi tumbuh dengan baik pada tanah subur dengan pH netral sampai keasaman sedang, namun rumput ini masih mampu tumbuh dengan baik pada tanah dengan kesuburan yang sedang. Pada tanah yang tidak subur, berdrainase buruk dengan musim kemarau yang panjang rumput ruzi kurang sesuai. Namun, rumput ruzi dapat beradaptasi pada lingkungan dengan tingkat naungan yang sedang (Hutasoit et al., 2009).

Peranan Iklim Terhadap Pertumbuhan Dan Kandungan Nutrisi Tanaman Beberapa spesies rumput Brachiaria memiliki nilai keterbatasan dalam penggunaan nilai ekonomi. Penggunaan Brachiaria ruziziensis banyak ditemukan


(47)

di Asia Tenggara tetapi kurang beradaptasi pada musim kemarau panjang dan segera mati di daerah-daerah tersebut (Hare dan Horne, 2004).

Pengaruh Defoliasi Terhadap Produksi dan Kualitas

Defoliasi merupakan pengambilan bagian tanaman yang ada di atas permukaan tanah, baik oleh manusia atau renggutan hewan itu sendiri di waktu ternak digembalakan (Susetyo et al., 1969). Pengertian interval defoliasi adalah

selang waktu antara suatu saat defoliasi sampai saat defoliasi berikutnya (Kristyowantari, 1992). Defoliasi sangat mempengaruhi pertumbuhan berikutnya,

semakin sering dilakukan pemotongan dalam interval yang pendek atau dekat maka pertumbuhan kembali akan semakin lambat, ini disebabkan karena tanaman tidak ada kesempatan yang cukup untuk berasimilasi (Agus, 1983).

Volesky dan Anderson (2007) menyatakan bahwa intensitas pemotongan akan mempengaruhi produksi dari tanaman. Namun terhadap kualitas nutrisi tidak berpengaruh nyata walaupun terlihat adanya perbedaan pada setiap pemotongan dengan ketinggian yang berbeda. Norris dan Ayres (1991) menyatakan strategi pemotongan yang tepat dalam menentukan banyaknya tanaman yang tersisa setelah pemotongan akan mengoptimalkan produksi nutrisi dan kepadatan jumlah anakan. Oleh Setyati (1984), bahwa umur defoliasi menentukan hasil yang optimal serta berkualitas.

Umur pemotongan yang semakin lama akan meningkatkan produksi bahan segar, presentase bahan kering dan bahan kering daun tercerna, tetapi menurunkan presentase bahan kering batang tercerna dan bahan kering total tercerna (Erwanto, 1984). Produksi tanaman dinyatakan dengan bahan kering (Sitompul dan Guritno, 1995). Produksi maksimum hanya dapat dicapai bila


(48)

persaingan untuk mendapatkan unsur hara, air dan sinar matahari dapat ditekan dengan baik (Wolfe dan Kipps, 1959).

Interval pemotongan berpengaruh tehadap produksi hasil panen beberapa jenis hijauan. Begitu juga dengan produksi bahan segar dan bahan kering dipengaruhi oleh interval pemotongan (Puger, 2002). Adanya kencenderungan perubahan produksi segar dan kering seiring dengan lama interval pemotongan karena proporsi bahan kering yang dikandung oleh rumput yang berubah seiring dengan umur tanaman. Makin tua tanaman maka akan lebih sedikit kandungan airnya dan proporsi dinding selnya lebih tinggi dibandingkan dengan isi sel (Beever et al., 2000).

Adaptasi tanaman setelah pemotongan sangat bergantung terhadap respon morfologi dan fisiologi tanaman. Kemampuan tanaman menggunakan ketersediaan karbon dan nitrogen akan mengembalikan kemampuan tanaman untuk berfotosintesis dan memenuhi kebutuhan organ tanaman untuk bertahan hidup setelah pemotongan (Kavanova dan Gloser, 2004).

Kebutuhan Unsur Hara Bagi Tanaman

Setiap tanaman memerlukan paling sedikit 16 unsur hara untuk pertumbuhan normalnya yang diperoleh dari udara, air, tanah dan garam-garam mineral atau bahan organik. Unsur hara makro hanya ada 6 unsur yang dibutuhkan dalam porsi yang cukup banyak, yaitu N, P, K, S, Ca dan Mg. Namun dari 6 unsur ini hanya 3 unsur yang mutlak harus ada bagi tanaman yaitu unsur N, P, K (Lawani, 1993).


(49)

Pemotongan atau Defoliasi Tanaman

Pemotongan didefenisikan sebagai pemotongan bagian atas tanaman baik oleh pemanenan dengan peralatan maupun renggutan ternak (Humphrey, 1978). Interval adalah jarak waktu yang diperlukan pemotongan selama jangka waktu tertentu. Secara umum pemotongan akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, bahan kering dapat dicerna dan komposisi kimia (Horne et al., 1999).

Pemupukan

Dalam pemeliharaan hijauan perlu dilakukan pemupukan dengan tujuan mendapatkan kualitas dan kuantitas hijauan yang tinggi, karena pupuk diperlukan untuk menggantikan zat-zat hara yang telah terserap dan tidak dikembalikan lagi oleh tanaman ke dalam tanah. Kebutuhan pupuk sangat bervariasi tergantung dari keadaaan tanah, jenis pupuk, jenis tanaman dan faktor lain yang berpengaruh misalnya curah hujan dan dan pH tanah (Mcllroy, 1997).

Ardianto (1983) mengemukakan bahwa banyaknya bahan organik yang dimasukkan ke dalam tanah mempengaruhi populasi mikroorganisme makin tinggi. Dengan kehadiran mikroorganisme yang menguntungkan didalam tanah maka ekosistem didalam tanah akan lebih hidup yang berarti akan memberikan medium yang lebih baik bagi pertumbuhan tanaman.

Kualitas Nutrisi Hijauan Pakan

Kualitas nutrisi dapat dilihat dari komposisi kimia hijauan. Komposisi kimia dari bahan hijauan pakan terdiri dari bahan hijauan pakan terdiri dari bahan kering, protein kasar, lemak, serat kasar, ekstrak tanpa lemak dan abu (Crowder and Chheda, 1982). Untuk melihat komposisi kimia tersebut


(50)

dilakukannya analisis proksimat. Metode analisis proksimat merupakan metode yang menggambarkan komposisi zat makanan pada suatu bahan makanan.

Kadar Air

Banyaknya kadar air dalam suatu bahan pakan dapat diketahui bila bahan pakan tersebut dipanaskan pada suhu 105⁰ C. Bahan kering dihitung sebagai selisih antara 100% dengan persentase kadar air suatu bahan pakan yang dipanaskan hingga ukurannya tetap (Anggorodi, 2005).

Kadar air dalam bahan pakan terdapat dalam bentuk air bebas, air terikat lemah dan air terikat kuat. Besar kadar air ini bisa bisa dipengaruhi oleh proses pengeringaan dalam oven atau saat dikering udarakan (Tillman et al., 1998).

Bahan Kering

Bahan kering merupakan salah satu hasil dari pembagian fraksi yang berasal dari bahan pakan setelah dikurangi kadar air. Dalam analisa ini menggunakan alat yang berupa oven 1050 C, timbangan analitik, cawan porselin, eksikator, dan penjepit. Pada prinsipnya dalam analisa bahan kering ini adalah dengan menggunakan oven 1050C selama 4 jam dengan sampel 1-2 gram diharapkan kadar air dalam bahan pakan akan menguap sehingga yang tersisa hanyalah bahan kering dan cawan. Untuk mendapatkan hasil dari bahan kering dan oven dikurangi dengan berat cawan pertama kali ditimbang sebelum diberi sampel. Analisa bahan kering memiliki peran yang sangat penting karena tidak semua ternak mampu mengkonsumsi pakan dalam bentuk segar.


(51)

Protein Kasar

Unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan adalah nitrogen (Susetyo et al., 1969). Tanaman memerlukan nitrogen untuk pembentukan vegetatif seperti batang, daun dan akar. Bagian vegetatif tanaman ini berfungsi dalam proses fotosintesis (Mcllroy, 1976). Nitrogen dalam tanaman merupakan unsur penting dalam pembentukan protein, daun dan berbagai persenyawaan organik. Nitrogen mempunyai pengaruh positif dalam menaikkan potensi pembentukan daun, kadar protein pada hijauan pakan (Rinsema, 1986).

Menurut Siregar (1994) menyatakan bahwa senyawa-senyawa non protein nitrogen dapat diubah menjadi protein oleh mikrobia, sehingga kandungan protein pakan dapat meningkat dari kadar awalnya. Sintesis protein dalam rumen tergantung jenis makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Jika konsumsi N makanan rendah, maka N yang dihasilkan dalam rumen juga rendah. Jika nilai hayati protein dari makanan sangat tinggi maka ada kemungkinan protein tersebut didegradasi di dalam rumen menjadi protein berkualitas rendah.

Nitrogen adalah unsur hara utama dalam pembentukan protein makanan, oleh sebab itu dibutuhkan unsur hara N yang lebih banyak untuk meningkatkan kandungan protein kasar. Rendahnya kandungan N akan mengakibatkan turunnya kadar protein serta perbandingan protoplasma dengan dinding sel sehingga daun menjadi keras. Semakin tinggi produksi hijauan yang dihasilkan maka semakin tinggi produksi protein kasarnya (Sarief, 1986).

Serat Kasar

Fraksi serat kasar mengandung selulosa, lignin, dan hemiselulosa tergantung pada spesies dan fase pertumbuhan pada bahan tanaman


(52)

(Anggorodi, 1994). Selulosa adalah zat penyusun tanaman yang jumlahnya banyak, sebagai material struktur dinding sel semua tanaman (Tilman et al.,1996).

Peran pupuk kandang dalam menekan kandungan serat kasar sangat nyata. Dimana pupuk kandang mengandung N, P, dan K yang mempengaruhi serat kasar hijauan. Pengaruh N dalam meningkatkan perbandingan protoplasma terhadap bahan dinding sel yang tipis. Keadaan ini menyebabkan daun lebih banyak mengandung air dan kurang keras, sebaliknya kandungan nitrogen yang rendah dapat mengakibatkan tebalnya dinding sel daun dengan ukuran sel yang kecil, dengan demikian daun akan menjadi keras dan penuh dengan serat-serat (Setyamidjaya, 1986).

Semakin rendah kandungan serat kasar maka tanaman tersebut semakin berkualitas. Hijauan yang memiliki kandungan serat kasar yang tinggi, daya cernanya relatif rendah, yang berarti nilai nutrien bahan makanan tersebut juga rendah karena zat-zat makanan yang diselaputi oleh lignin tidak dapat dicerna oleh bakteri rumen maupun enzim-enzim (Bamualim, 1992).

Langkah pertama metode pengukuran kandungan serat kasar adalah menghilangkan semua bahan yang terlarut dalam asam dengan pendidihan dengan asam sulfat bahan yang larut dalam alkali dihilangkan dengan pendidihan dalam larutan sodium alkali. Residu yang tidak larut adalah serat kasar

(Soelistyono, 1976).

Lemak Kasar

Istilah lemak kasar karena dalam analisis ini yang diperoleh adalah suatu zat yang larut dalam proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik antara


(53)

lemak ini bukan lemak murni.Selain mengandung lemak sesungguhnya, ekstrak eter juga mengandung waks (lilin), asam organik, alkohol, dan pigmen, oleh karena itu fraksi eter untuk menentukan lemak tidak sepenuhnya benar (Anggorodi, 1994). Penetapan kandungan lemak dilakukan dengan larutan heksan sebagai pelarut. Fungsi dari n heksan adalah untuk mengekstraksi lemak atau untuk melarutkan lemak, sehingga merubah warna dari kuning menjadi jernih (Mahmudi, 1997).

Tabel 5. Kandungan zat nutrisi penting pada rumput ruzi (Brachiaria ruziziensis)

Zat nutrisi Kandungan (%)

Bahan kering 18-20

Air 80-82

Bahan organik 89-90

Abu/mineral 9-10

Protein kasar 8-14

Serat deterjen (NDF) 50-61

Serat deterjen (ADF) 35-40

Energi 4064 kkal/kg BK

Sumber: Hutasoit et al (2009)

Kandungan nutrisi pada tanaman sangat dipengaruhi oleh umur saat dipanen. Pada tanaman sangat muda (umur 2-3 minggu) kandungan air relatif tinggi sehingga kandungan zat nutrisi yang lain menjadi relatif rendah. Sebaliknya pada tanaman yang terlalu tua (>10 minggu) kandungan serat meningkat dan kandungan nutrisi lain relatif rendah. Oleh karena itu, umur potong yang optimal (4-6 minggu) disarankan untuk menghasilkan kandungan nutrisi yang optimal. Kandungan bahan kering dalam pakan sangat penting artinya karena bahan


(54)

tersebutlah yang akan dapat digunakan oleh ternak sebagai sumber nutrisi. Kandungan protein hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis) tergolong sedang, namun kandungan ini akan menurun bila dipotong pada umur tua (Hutasoit et al., 2009).

Sehubungan halnya dengan tingkat kandungan zat nutrisi, maka tingkat kecernaan tanaman pakan ternak seperti hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis) sangat dipengaruhi oleh umur tanaman saat dipanen. Tanaman muda memiliki tingkat kecernaan lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman tua. Penurunan tingkat kecernaan pada tanaman tua terutama disebabkan oleh peningkatan kandungan serat yang lebih sulit dicerna oleh ternak (Hutasoit et al., 2009).


(55)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kebutuhan akan hijauan makan ternak merupakan salah satu yang diperlukan dan besar manfaatnya bagi kehidupan dan kelangsungan populasi ternak. Salah satu kendala utama dalam peningkatan produktivitas peternakan di negara berkembang adalah kuantitas dan kualitas pakan yang berfluktuasi khususnya dalam musim kemarau (Van et al., 2005).

Susetyo (1976) menyatakan bahwa kualitas dan kuantitas hijauan sangat ditentukan oleh kesuburan tanah karena sel tanaman membutuhkan zat hara yang lengkap untuk pertumbuhannya. Di samping itu, ketersediaan pakan ternak juga dipengaruhi oleh musim, pada musim penghujan produksi berlimpah dan pada musim kemarau terjadi kekurangan hijauan.

Terjadinya tanah yang kritis disebabkan oleh hilangnya pelindung tanah, sehingga tanah tidak berdaya menahan air dengan deras sehingga tanah akan kehilangan banyak unsur yang berguna bagi kehidupan tanaman. Sehingga keterbatasan pakan hijauan dapat menjadi penyebab utama populasi ternak disuatu daerah menurun, karena kemampuan peternak dalam penyediaan pakan akan menentukan jumlah ternak yang dipelihara.

Permasalahan berikutnya yang dihadapi seperti penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan struktur tanah serta menyebabkan penurunan pH tanah, mengganggu keseimbangan organisme di dalam tanah dan mengganggu kualiatas air permukaan (Novizan, 2005).

Pembuangan limbah kotoran ternak babi secara sembarangan akan menimbulkan pencemaran baik didalam air dan bau di udara. Oleh karena itu


(56)

untuk mewujudkan lingkungan yang ramah dan lahan berproduksi, sehingga kotoran ternak babi dapat diolah menjadi pupuk organik yang mempunyai efek jangka panjang yang baik bagi tanah, yaitu dapat memperbaiki struktur kandungan organik tanah dan juga menghasilkan hijauan yang berkualitas, karena Pupuk kandang ini merupakan kotoran padat dari hewan yang tercampur dengan sisa-sisa pakan dan alas kandang. Nilai pupuk kandang tidak saja ditentukan oleh kandungan nitrogen, asam fosfat, dan kalium saja, tetapi karena mengandung hampir semua unsur hara makro yang dibutuhkan tanaman serta berperan dalam memelihara keseimbangan hara dalam tanah.

Adapun sifat fisik limbah babi dapat dianggap sebagai bahan padat (kurang dari 85% air) dan masih cukup mengandung nutrisi yang berpontesial untuk mendorong kehidupan jasad renik dalam melakukan proses penguraian dengan penambahan aktivaktor menggunakan EM4 (Effective Microorganisms 4). Pada dasarnya aktivator ini adalah mikroorganisme yang berada dalam cairan bahan penumbuh, apabila cairan yang berisi mikroorganisme dilarutkan air dan dicampurkan kedalam bahan yang akan dikomposkan maka dengan cepat mikroorganisme ini berkembang dan mempercepat proses pengomposan.

Nilai nutrisi hijauan kaitannya dengan tingkat kesuburan tanah dan umur pemotongan. Pemotongan sebagian maupun seluruh pucuk tanaman yang berada diatas permukaan tanah, secara umum dapat dinyatakan sebagai intensitas dan interval pemotongan (Humphreys, 1978). Pengaturan interval pemotongan sangat penting untuk menentukan produksi dan kualitas serta kemampuan tumbuh kembali (regrowth) tanaman tersebut, agar dapat menghasilkan produksi hijauan pakan yang berkualitas tinggi secara berkesinambungan.


(57)

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh pemberian kompos ternak babi dengan dosis dan pemotongan interval yang berbeda terhadap kualitas hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis).

Tujuan Penelitian

Mengetahui pemanfaatan dosis kompos ternak babi dan pengaruh interval pemotongan terhadap kualitas hijauan (bahan kering, protein kasar, serat kasar, dan lemak kasar) dari hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis).

Hipotesis Penelitian

Pemanfaatan dosis kompos babi dan pengaruh interval pemotongan dapat meningkatkan kualitas hijauan (bahan kering, protein kasar, serat kasar, dan lemak kasar) dari hijauan ruzi (Brachiaria ruziziensis).

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi mayarakat, petani, peternak dan pemerintah dalam mengatasi masalah pakan ternak dan memberikan nilai tambah bagi peternak/petani dari hasil pengolahan limbah kotoran babi. Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi sumber informasi baik kalangan akademis, peneliti, praktisi dan menjadi rekomendasi bagi petani peternak.


(58)

ABSTRAK

IDA RO ARTHA, 2016. ”Pengaruh Pemberian Dosis Kompos Ternak Babi dan Interval Pemotongan Terhadap Kualitas Hijauan Ruzi (Brachiaria Ruziziensis)”. Dibimbing oleh NURZAINAH GINTING dan HAMDAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan nutrisi hijauan

Brachiaria Ruziziensis melalui pemupukan kompos ternak babi yang

difermentasi. Penelitian dilaksanakan di Lahan Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih, Kecamatan Galang Lubuk Pakam Sumatera Utara, pada bulan September 2015 sampai dengan Januari 2016 menggunakan 36 buah plot tanaman

Brachiaria Ruziziensis. Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini adalah

rancangan split plot design (petak terbagi) dengan mainplot adalah interval defoliasi AI (interval defoliasi 40 hari), A2 (interval defoliasi 50 hari), A3 (interval defoliasi 60 hari) dan subplot adalah dosis pupuk perlakuan P0 (kontrol), P1 (10 ton/ha), P2 (20 ton/ha) dan P3 (30 ton/ha). Parameter yang diteliti adalah bahan kering, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap bahan kering, protein kasar dan serat kasar. Dan faktor interval defoliasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap protein kasar. Sedangkan kedua faktor memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap lemak kasar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan dosis terbaik adalah 30 ton/ha/tahun dengan interval pemotongan 40 hari.


(59)

ABSTRACT

IDA RO ARTHA, 2016. “The Effect of Dose Compost Livestock Pigs Compost

and Cutting Interval on the Quality of Ruzi Forage (Brachiaria ruziziensis)”. Under supervised by NURZAINAH GINTING and HAMDAN.

This study aims to determine the nutrient content of Brachiaria ruziziensis which fertilized by pig fermented compost. The research was conducted at the Goat Farm Research Station Sei Putih, Subdistrict Galang, Lubuk Pakam, North Sumatra, from September 2015 through January 2016 and was using 36 Brachiaria ruziziensis plot. The design used in this research was split plot design (plots divided) with mainplot is interval defoliation AI (interval defoliation 40 days), A2 (interval defoliation 50 days), A3 (interval defoliation 60 days) and the subplot was dosage of fertilizer P0 (control), P1 (10 tons/ha), P2 (20 ton/ha) and P3 (30 tons/ha). The parameters studied were dry matter, crude protein, crude fiber and crude lipid.

The results showed that dosage significantly (P<0.05) increased dry matter, crude protein and crude fiber and different the defoliation interval factor significantly (P<0.05) increased crude protein. While Both factors influence is not significantly different on coarse fat . The conclusion of this study the best dosage to fertilized ruzi forage (Brachiaria ruziziensis) is 30 tons/ha/year) and the defoliation interval factor is 40 days.


(60)

PENGARUH PEMBERIAN DOSIS KOMPOS TERNAK

BABI DAN INTERVAL PEMOTONGAN

TERHADAP KUALITAS HIJAUAN

RUZI (Brachiaria ruziziensis)

SKRIPSI Oleh: IDA RO ARTHA

110306035

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN


(61)

PENGARUH PEMBERIAN DOSIS KOMPOS TERNAK

BABI DAN INTERVAL PEMOTONGAN

TERHADAP KUALITAS HIJAUAN

RUZI (Brachiaria ruziziensis)

SKRIPSI Oleh: IDA RO ARTHA 110306035/PETERNAKAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(62)

Judul : Pengaruh Pemberian Dosis Kompos Ternak Babi dan Interval Pemotongan Terhadap Kualitas Hijauan Ruzi (Brachiaria

Ruziziensis)

Nama : Ida Ro Artha NIM : 110306035 Program Studi : Peternakan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurzainah Ginting, M. Sc Hamdan, S.Pt., M.Si Ketua Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M. Si Ketua Program Studi Peternakan


(63)

ABSTRAK

IDA RO ARTHA, 2016. ”Pengaruh Pemberian Dosis Kompos Ternak Babi dan Interval Pemotongan Terhadap Kualitas Hijauan Ruzi (Brachiaria Ruziziensis)”. Dibimbing oleh NURZAINAH GINTING dan HAMDAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan nutrisi hijauan

Brachiaria Ruziziensis melalui pemupukan kompos ternak babi yang

difermentasi. Penelitian dilaksanakan di Lahan Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih, Kecamatan Galang Lubuk Pakam Sumatera Utara, pada bulan September 2015 sampai dengan Januari 2016 menggunakan 36 buah plot tanaman

Brachiaria Ruziziensis. Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini adalah

rancangan split plot design (petak terbagi) dengan mainplot adalah interval defoliasi AI (interval defoliasi 40 hari), A2 (interval defoliasi 50 hari), A3 (interval defoliasi 60 hari) dan subplot adalah dosis pupuk perlakuan P0 (kontrol), P1 (10 ton/ha), P2 (20 ton/ha) dan P3 (30 ton/ha). Parameter yang diteliti adalah bahan kering, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap bahan kering, protein kasar dan serat kasar. Dan faktor interval defoliasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap protein kasar. Sedangkan kedua faktor memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap lemak kasar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan dosis terbaik adalah 30 ton/ha/tahun dengan interval pemotongan 40 hari.


(64)

ABSTRACT

IDA RO ARTHA, 2016. “The Effect of Dose Compost Livestock Pigs Compost

and Cutting Interval on the Quality of Ruzi Forage (Brachiaria ruziziensis)”. Under supervised by NURZAINAH GINTING and HAMDAN.

This study aims to determine the nutrient content of Brachiaria ruziziensis which fertilized by pig fermented compost. The research was conducted at the Goat Farm Research Station Sei Putih, Subdistrict Galang, Lubuk Pakam, North Sumatra, from September 2015 through January 2016 and was using 36 Brachiaria ruziziensis plot. The design used in this research was split plot design (plots divided) with mainplot is interval defoliation AI (interval defoliation 40 days), A2 (interval defoliation 50 days), A3 (interval defoliation 60 days) and the subplot was dosage of fertilizer P0 (control), P1 (10 tons/ha), P2 (20 ton/ha) and P3 (30 tons/ha). The parameters studied were dry matter, crude protein, crude fiber and crude lipid.

The results showed that dosage significantly (P<0.05) increased dry matter, crude protein and crude fiber and different the defoliation interval factor significantly (P<0.05) increased crude protein. While Both factors influence is not significantly different on coarse fat . The conclusion of this study the best dosage to fertilized ruzi forage (Brachiaria ruziziensis) is 30 tons/ha/year) and the defoliation interval factor is 40 days.


(65)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi, Jawa Barat pada tanggal 20 September 1993 dari Bapak Dikson R. Pasaribu dan Ibu Taromsen E. Simatupang. Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara.

Pada tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pangaribuan Tapanuli Utara dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SNMPTN.

Selama mengikuti perkuliahan, Penulis aktif sebagai anggota ikatan mahasiswa peternakan (IMAPET) dan sebagai anggota ikatan mahasiswa kristen peternakan (IMAKRIP). Selain itu Penulis juga mengikuti UKM-KMK UP Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penulis melaksanakan praktik kerja lapangan (PKL) di Koperasi Unit Desa Rahmad Tani (KUD RATA) Desa PIR ADB Dusun CIII Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2014. Melaksanakan penelitian pada bulan September 2015 sampai dengan Januari 2016 di lahan Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Galang Deli Serdang Sumatera Utara dan Laboratorium Bahan Pakan Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.


(1)

ABSTRACT

IDA RO ARTHA, 2016. “The Effect of Dose Compost Livestock Pigs Compost

and Cutting Interval on the Quality of Ruzi Forage (Brachiaria ruziziensis)”. Under supervised by NURZAINAH GINTING and HAMDAN.

This study aims to determine the nutrient content of Brachiaria ruziziensis which fertilized by pig fermented compost. The research was conducted at the Goat Farm Research Station Sei Putih, Subdistrict Galang, Lubuk Pakam, North Sumatra, from September 2015 through January 2016 and was using 36 Brachiaria ruziziensis plot. The design used in this research was split plot design (plots divided) with mainplot is interval defoliation AI (interval defoliation 40 days), A2 (interval defoliation 50 days), A3 (interval defoliation 60 days) and the subplot was dosage of fertilizer P0 (control), P1 (10 tons/ha), P2 (20 ton/ha) and P3 (30 tons/ha). The parameters studied were dry matter, crude protein, crude fiber and crude lipid.

The results showed that dosage significantly (P<0.05) increased dry matter, crude protein and crude fiber and different the defoliation interval factor significantly (P<0.05) increased crude protein. While Both factors influence is not significantly different on coarse fat . The conclusion of this study the best dosage to fertilized ruzi forage (Brachiaria ruziziensis) is 30 tons/ha/year) and the defoliation interval factor is 40 days.


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi, Jawa Barat pada tanggal 20 September 1993 dari Bapak Dikson R. Pasaribu dan Ibu Taromsen E. Simatupang. Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara.

Pada tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pangaribuan Tapanuli Utara dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SNMPTN.

Selama mengikuti perkuliahan, Penulis aktif sebagai anggota ikatan mahasiswa peternakan (IMAPET) dan sebagai anggota ikatan mahasiswa kristen peternakan (IMAKRIP). Selain itu Penulis juga mengikuti UKM-KMK UP Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penulis melaksanakan praktik kerja lapangan (PKL) di Koperasi Unit Desa Rahmad Tani (KUD RATA) Desa PIR ADB Dusun CIII Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2014. Melaksanakan penelitian pada bulan September 2015 sampai dengan Januari 2016 di lahan Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Galang Deli Serdang Sumatera Utara dan Laboratorium Bahan Pakan Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Pemberian Kompos Ternak Babi dan Interval Pemotongan Terhadap Kualitas Hijauan Ruzi (Brachiaria Ruziziensis)”.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua saya atas doa, didikan, dukungan serta pengorbanan baik itu moral maupu materil yang telah diberikan selama ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr.Ir.Nurzainah Ginting, M.Sc dan Hamdan, S.Pt., M.Si

selaku komisi pembimbing serta Ir.Tri Hesti Wahyuni, M.Sc dan Ir.Armyn Hakim Daulay, MBA selaku dosen penguji yang telah bersedia

memberikan masukan kepada penulis demi kebaikan skripsi ini. Serta kepada Bapak Dr.Ir.Ma’ruf Tafsin, M.Si sebagai Ketua Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh civitas akademik di Program Studi Peternakan serta rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya pembaca.


(4)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

KegunaanPenelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kotoran Babi ... 4

Pupuk ... 5

Kompos ... 6

PembuatanKompos ... 7

EM4 (Effective Microorganism) ... 8

Hijauan ... 9

Klasifikasi Hijauan Ruzi (Brachiaria ruziziensis) ... 9

Deskripsi Hijauan Ruzi (Brachiaria ruziziensis) ... 9

Peranan Iklim Terhadap Kandungan Nutrisi Tanaman ... 10

Pengaruh Defoliasi Terhadap Produksi dan Kualitas... 10

Kebutuhan Unsur Hara Bagi Tanaman ... 12

Pemotongan atau Defoliasi Tanaman... 12

C/N (Carbon per Nitrogen) ... 13

Suhu ... 14

Keasaman ... 15

Kelembapan... 15


(5)

Serat Kasar ... 17

Lemak Kasar ... 18

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian. ... 22

Bahan dan Alat Penelitian ... Bahan ... 22

Alat . ... 22

Metode Penelitian ... 23

Parameter Penelitian... 24

Bahan Kering ... 24

Protein Kasar ... 25

Serat Kasar ... 25

Lemak Kasar ... 26

Pelaksanaan Penelitian ... 26

Pembuatan Fermentasi Feses ... 26

Persiapan Lahan ... 28

Pemilihan Bibit dan Penanaman dan Sistem Tanam ... 29

Pemupukan ... 29

Pemeliharaan Penyiraman Penyiangan dan Penyisipan ... 30

Trimming ... 31

Pengambilan Data Pengamatan (Pemanenan) ... 31

Analisis Data ... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bahan Kering ... 32

Produksi Protein Kasar ... 35

Produksi Serat Kasar ... 37

Produksi Lemak Kasar ... 39

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 41

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... ….. 42


(6)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Kandungan unsur hara kotoran dari beberapa jenis ternak ... 5

2. Persyaratan teknis minimal pupuk organik ... 6

3. Kandungan zat hara dalam kompos ... 7

4. Rasio carbon dan nitrogen (C/N) dari beberapa bahan ... 10

5. Kandungan zat nutrisi penting Brachiaria ruziziensis ... 20

6. Produksi bahan kering Brachiaria ruziziensis ... 32

7. Produksi protein kasar Brachiaria ruziziensis ... 35

8. Produksi serat kasar Brachiaria ruziziensis ... 37