Pengukuran Faktor Koreksi Jarak pada Instrumen MOTIWALI.

(1)

1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pasang surut merupakan fenomena pergerakan naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari (Zakaria, 2009), serta adanya gaya gravitasi oleh bumi (Dronkers, 1964). Menurut Ongkosongo (1987), dalam dunia kelautan dan kehidupan manusia sehari-hari, pasang surut sangat penting dikaji untuk keperluan seperti bidang geologi, pembangunan konstruksi teknik sipil, lingkungan, bidang biologi dan pertanian, serta pengembangan energi pasut. Pengukuran pasang surut air laut umumnya menggunakan alat atau instrumen pengukur pasang surut yang didalamnya terdapat komponen elektronik (tide gauge) dan tide staff, berupa papan mistar dengan pembagian skala yang ditancapkan ke dasar perairan.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka ada alternatif lain yang lebih mudah yaitu dengan menggunakan gelombang akustik atau perambatan suara. Keunggulan pengukuran pasut menggunakan akustik yaitu dapat dilakukan pada kondisi udara terbuka (IOC, 1994; 2000; dan 2006). Dalam perambatan di udara, suara mengalami atenuasi yang besarnya tergantung pada konsentrasi partikel terlarut di udara, jarak antara sumber suara dan objek yang dapat mempengaruhi waktu kembali suara ke penerima, serta karakteristik objek. Menurut Lamancusa (2000), komponen-komponen yang biasanya mempengaruhi suara di atmosfer adalah komponen tipe dan geometri sumber suara, kondisi meteorologi seperti variasi suhu dan angin, penyerapan suara oleh atmosfer, kontur dan jenis permukaan, serta penghalang seperti bangunan dan tanaman.


(2)

Penelitian ini dikhususkan untuk menganalisis kinerja instrumen pasang surut berbasis gelombang akustik dan pengaruh dari suhu udara. Suara di udara dipengaruhi oleh suhu udara itu sendiri. Semakin tinggi suhu udara, maka akan menghasilkan kecepatan suara yang tinggi pula, walaupun tidak bersifat linier (Ingard, 1953; Branconi, 1740 in Bohn, 1988). Berdasarkan Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) (1994; 2000; dan 2006), kecepatan suara di udara secara signifikan bervariasi terhadap suhu dan kelembaban (sekitar 0,17%/ºC). Dengan diketahuinya pengaruh suhu udara terhadap perambatan suara di udara, maka untuk mendapatkan hasil pengukuran pasang surut yang akurat dengan menggunakan instrumen akustik diperlukan koreksi dari suhu udara di lingkungan pengambilan data.

Penelitian ini menggunakan instrumen pengukur pasang surut Mobile Tide and Water Level Instrument (MOTIWALI) yang dikembangkan oleh Bagian Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. MOTIWALI menggunakan transduser akustik 40 kHz sebagai sensor pengukur jarak antara transduser dan permukaan air serta sensor suhu sebagai pengoreksi. Instrumen MOTIWALI didesain sedemikian rupa sehingga dapat ditempatkan dengan mudah, serta ringan sehingga sangat cocok untuk pengukuran jangka pendek dan panjang.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menguji akurasi instrumen MOTIWALI, menganalisis pengaruh faktor koreksi suhu dalam kaitannya dengan penentuan


(3)

3

jarak untuk pengolahan data pasang surut dari instrumen MOTIWALI, dan menentukan tipe pasang surut di perairan Pulau Pramuka secara visual.


(4)

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Instrumen Pengukur Pasang Surut

Tide gauge merupakan alat atau instrumen yang digunakan untuk mengukur tinggi pasut. Instrumen pengukur pasang surut yang umum digunakan diantaranya adalah tide staff, floating tide gauge, dan pressure tide gauge (Djaja, 1987). a) Tide staff, merupakan alat pengukur pasang surut yang paling sederhana

berupa papan mistar memiliki ketebalan antara 1 sampai 2 inchi dengan lebar 4 sampai 6 inchi, dan dengan pembagian skala yang umumnya dalam sistem meter, sedangkan panjangnya harus lebih besar dari tunggang pasut (tidal range). Misalnya, pada perairan dengan tunggang pasut sebesar 2 m, maka ukuran papan skala ini harus lebih dari 2 m gauge (Djaja, 1987).

b) Floating tide gauge. Prinsip kerja alat ini berdasarkan gerakan naik turunnya permukaan laut yang dapat diketahui melalui pelampung yang dihubungkan dengan alat pencatat. Pengukuran tinggi muka air oleh alat ini dilakukan dengan mendeteksi pergerakan naik turun dari air. Perubahan tinggi pada permukaan air akan menyebabkan pelampung begerak vertikal (naik turun), pelampung dan penahan beban diikat dengan kabel dan dihubungkan dengan sebuah katrol yang terdapat pada enkoder, sehingga gerakan pelampung dapat memutar katrol. Perputaran yang terjadi pada katrol akan dikonversikan menjadi suatu sinyal digital dan ditransfer ke unit data logger melalui kabel transduser. Di dalam data logger unit sinyal listrik tersebut diproses sehingga menjadi nilai yang terukur gauge (Djaja, 1987).

c) Pressure tide gauge. Prinsip kerjanya sama dengan floating tide gauge, hanya saja gerakan naik turunnya permukaan laut dapat diketahui dari


(5)

5

perubahan tekanan yang terjadi di dalam laut. Seberapa besar tekanan yang diterima oleh sensor akan diubah dalam bentuk kedalaman yang telah dirancang sedemikian rupa, sehingga diperoleh tinggi muka air dari nilai ini dengan mempertimbangkan nilai densitas dan gravitasi. Gambar 1

merupakan contoh dari pressure tide gauges gauge (Djaja, 1987).

Gambar 1. Pressure tide gauge (IOC, 2006)

Selain ketiga alat ukur yang digunakan di atas, IOC (2006) membagi instrumen pengukur pasut menjadi empat bagian yaitu stilling well tide gauges, pressure gauges, acoustic tide gauges, dan radar gauges.

a) Stilling well tide gauges, merupakan pipa yang ditempatkan secara vertikal di dalam air, cukup panjang untuk menutupi segala kemungkinan tunggang pasut dibeberapa stasiun. Bagian bawah dari sumur tertutup kecuali untuk masukan, satu untuk masukan di bawah dan lainnya dengan pipa masukan yang terhubung ke bagian lebih rendah dari sumur. Cara kerja dari alat ini


(6)

sama dengan floating tide gauge. Contoh gambar dari alat ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Stilling well tide gauge (IOC, 2006)

b) Acoustic tide gauges. Alat atau intrumen pengukur pasang surut yang menggunakan gelombang suara untuk mendapatkan data pasang surut. Pengukurannya bergantung pada perubahan waktu perambatan dari sinyal akustik yang direfleksikan secara vertikal dari permukaan laut ke sensor penerima (receiver). Contoh untuk alat ukur acoustic tide gauges dapat dilihat pada Gambar 3.


(7)

7

Gambar 3. NGWLMS tide gauge (IOC, 2006)

c) Radar gauges. Alat ini dilengkapi dengan pemancar pulsa radar

(transmitter), penerima pulsa radar (receiver), serta jam berakurasi tinggi. Pada sistem ini, radar memancarkan pulsa-pulsa gelombang radio ke permukaan laut. Pulsa-pulsa tersebut dipantulkan oleh permukaan laut dan diterima kembali oleh radar. Sistem radar ini dapat mengukur ketinggian radar di atas permukaan laut dengan menggunakan waktu tempuh dari pulsa radar yang dikirimkan ke permukaan laut, dan dipantulkan kembali ke radar (IOC, 2002). Contoh dari radar gauges dan perbandingannya dengan bubbler gauge dapat dilihat pada Gambar 4.


(8)

Gambar 4. Uji coba OTT Kalesto (radar gauge) di Liverpool (IOC, 2006)

2.2. Instrumen MOTIWALI

Instrumen MOTIWALI (Mobile Tide and Water Level Instrument)

merupakan alat pengukur pasang surut atau level air yang dapat digunakan untuk pengukuran yang bersifat mobile atau bergerak maupun stasiun tetap dengan kemampuan tambahan seperti transmisi data menggunakan GSM atau frekuensi radio dan dilengkapi dengan sistem alarm. Instrumen MOTIWALI ini

menggunakan transduser akustik 40 kHz sebagai sensor pengukur jarak antara sensor dengan permukaan air dan sensor suhu sebagai pengoreksi data (Iqbal dan Jaya, 2011). Berdasarkan pembagian alat pengukur pasang surut menurut IOC (2006), MOTIWALI termasuk kedalam acoustical tide gauge. Bentuk dari instrumen MOTIWALI dapat dilihat pada Gambar 5 dan Lampiran 7.


(9)

9

(a)

(b)

(d) (c)

(e)

(f)

(e) (b)

(g)

(h)

(i) (j)

(k) (a)

Gambar 5. Keseluruhan tampak belakang (atas) dan kotak elektronik (bawah) (Iqbal dan Jaya, 2011)

Keterangan:

a = Kotak utama elektronik

b = Tiang penghubung transduser dan kotak elektronik c = Pipa ¼ inchi penghubung transduser dan tiang d = Kotak transduser

e = Antene GSM/Radio

f = Penyangga tiang transduser

g = Soket eksternal (1) power luar, (2) RS232, (3) device control h = Tempat peralatan elektronik

i = Pintu

j = Tempat accu internal k = Gagang pintu


(10)

2.2.1. Perangkat lunak MOTIWALI

Pembangkitan sinyal 40 KHz menggunakan Timer 1 yang dimiliki

mikrokontroler. Mikrokontroler akan melakukan setting register sehingga terjadi overflow pada setiap 1/40000 detik dan sinyal 16-bit tersebut kemudian dapat diakses pada pin OCR1A dan OCR1B pada mikrokontroler (Iqbal dan Jaya, 2011).

Untuk mengatur kerja MOTIWALI digunakan file CONFIG.INI. Ada beberapa hal yang harus diatur dalam file ini seperti pada Tabel 1. Terlihat 9 variabel yang dapat diatur oleh pengguna melalui file ini. Variabel tersebut dimaksudkan agar pengguna dapat menyesuaikan kebutuhannya. Khusus untuk alarm atau pengiriman data GSM, pengguna harus menambahkan modem GSM atau sejenisnya dengan menggunakan komunikasi RS232. Alarm dimaksudkan jika pengguna ingin mendapatkan peringatan jika air sudah memenuhi jarak tertentu yang telah ditentukan baik dengan menyalakan/mematikan peralatan lain atau mengirimkan SMS pemberitahuan ke nomor tertentu (Iqbal dan Jaya, 2011).

Tabel 1. Susunan File CONFIG.INI MOTIWALI

No. Variabel Tipe Data Keterangan

1 MOTIWALI String Pengenal file

2 Waktu_penyimpanan Integer Dalam Menit 3 Transmit (1 atau 0) Byte 1=transmit GSM

0=tidak transmit (default)

4 No_GSM String Nomor HP yang dituju

5 Waktu_transmit Integer Dalam menit 6 Alarm (1 atau 0) Byte 1=alarm

0=tidak alarm (default)

7 Tipe_alarm Byte 1=relay

0=GSM

8 Jarak_alarm Integer Jarak alarm berfungsi (cm)

9 Gsm_alarm_no String Nomor HP yang dituju Sumber : Iqbal dan Jaya (2011)


(11)

11

Cara kerja perangkat lunak MOTIWALI yaitu pada saat mulai dinyalakan mikrokontroler akan mengecek keberadaan MMC/SD Card dan sensor. Jika belum siap, mikrokontroler akan mengulang kembali pada tahap awal proses, jika siap dilanjutkan dengan membaca file CONFIG.INI yaitu mendapatkan nilai 8 variabel pada Tabel 1. Transmit sinyal pada transduser kemudian dilakukan hingga mendapat sinyal balik dan mengukur waktu pada saat mulai transmit hingga penerimaan tersebut, kemudian dilakukan dengan pembacaan sensor suhu. Data kemudian disimpan pada modul SD/MMC Card (Iqbal dan Jaya, 2011).

2.2.2. Perangkat elektronik MOTIWALI

Perangkat elektronik terdiri atas beberapa bagian utama yaitu catu daya yang diambil dari accu dengan opsi catudaya luar DC 12 Volt, mikrokontroller sebagai pusat pengendali dan pengolah data, modul transduser dengan frekuensi resonansi 40 KHz, tegangan input maksimum 20 Vrms dan sensitivitas minimal -67 dB sebagai pengukur jarak ke permukaan air, sensor suhu digital DS18B20, dan modul data logger sebagai penyimpan dan backup data menggunakan komunikasi SPI (Serial Programming Interface). Catudaya yang digunakan adalah accu 12 Volt 7 Ampere Hour (Iqbal dan Jaya, 2011).

2.2.3. Cara kerja sensor ultrasonik dan sensor suhu

Cara kerja sensor ultrasonik terdiri dari sensor pengirim yang dikendalikan dari mikrokontroler melalui keluaran I/O dengan memberikan gelombang persegi 40 KHz. Sebelumnya gelombang persegi tersebut dikonversi baik level tegangan maupun arus serapnya menggunakan IC level converter sehingga sesuai dengan spesifikasi transduser. Sinyal pantulan kemudian diterima oleh transduser


(12)

penerima dan selanjutnya dikonversi sinyal keluarannya melalui rangkaian pengkondisi sinyal sehingga keluaran sinyal tersebut dapat diolah oleh mikrokontroler (Iqbal dan Jaya, 2011).

Cara kerja sensor suhu cukup sederhana. Sensor keluaran DALLAS Instrument ini menggunakan komunikasi 1-wire sebagai protokol keluaran data. Resistor pull-up dimaksudkan untuk menyamakan arus serap yang dimiliki sensor dan pin mikrokontroler. Dari hasil uji coba resistor pull-up yang dapat digunakan yaitu antara 4.7 –10 KΩ. Semakin besar impedansi kabel yang digunakan maka semakin besar resistansi resistor pull-up yang dihasilkan (Iqbal dan Jaya, 2011). Pada Gambar 6 dapat dilihat proses dari cara kerja perangkat lunak MOTIWALI. Keseluruhan diagram alir dari MOTIWALI dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 6. Diagram alir perangkat lunak MOTIWALI (modifikasi dari Iqbal dan Jaya, 2011)


(13)

13

2.3. Metode Fitting

Wijayanto (1994) in Notodiputro et al. (1997) mengatakan bahwa fitting data dilakukan untuk mengindari bias dari suatu data, sehingga kesalahan dari perhitungan dapat diperkecil. Menurut Betzler (2003), ada beberapa alasan dan tujuan dilakukannya fitting yaitu untuk mendapatkan sekumpulan data yang khusus (menentukan maksimum data atau titik perubahan), membuat tampilan grafik menjadi lebih baik, mendeskripsikan data dengan prinsip fisik yang mudah, dan menetukan formula untuk hubungan antara data fisik yang berbeda.

Fitting data pada umumnya dilakukan dengan metode kuadrat terkecil (least squares fitting method). Metode ini dapat dilakukan dengan mudah bila bentuk dari kurvanya telah diketahui dan sederhana (Lasijo, 2001). Menurut Luknanto (1992), regresi kuadrat terkecil adalah suatu regresi dengan

pembatasnya adalah jumlah kuadrat jarak vertikal setiap titik dalam data terhadap kurva regresi menjadi minimum. Kurva dengan derajat terkecil dapat berupa garis lurus, polynomial, atau polynomial berderajat tinggi maupun kurva jenis lainnya.

2.4. Pasang Surut

Pasang surut air laut merupakan proses naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik menarik dari benda-benda angkasa, yang terutama sekali disebabkan oleh gaya tarik matahari dan gaya tarik bulan terhadap massa air di permukaan bumi (Zakaria, 2009).

Pasang surut terjadi karena adanya gaya penggerak. Gaya-gaya penggerak pasut adalah benda-benda atmosfer, tetapi dari semua benda angkasa hanya matahari dan bulan yang sangat berpengaruh melalui tiga gerakan utama. Ketiga gerakan itu adalah (Pariwono, 1987):


(14)

1. Revolusi bulan terhadap bumi, dimana orbitnya berbentuk elips dan memerlukan waktu 29,5 hari untuk menyelesaikan revolusinya;

2. Revolusi bumi terhadap matahari, dengan orbitnya berbentuk elips dan periode yang diperlukan untuk ini adalah 365,25 hari;

3. Perputaran bumi terhadap sumbunya sendiri dan waktu yang diperlukan adalah 24 jam (one solar day).

2.4.1. Interaksi pasang surut bulan dan matahari

Interaksi pasang surut bulan dan matahari dibagi menjadi dua, yaitu pasang surut purnama dan pasang surut perbani. Pasang surut purnama merupakan pasang surut dimana posisi bumi bulan dan matahari sejajar. Keadaan ini

menyebabkan terjadinya pasang naik lebih tinggi dan surut lebih rendah. Pasang surut ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang perbani

merupakan pasang surut yang terjadi pada saat bulan, bumi dan matahari membentuk sudut 90º dan 270 º. Bulan dikatakan dalam keadaan perempat

bagian ketika pasang surut perbani terjadi (Supangat dan Susanna, 2003). Gambar 7 merupakan gambar pasang purnama dan pasang perbani yang dibentuk oleh posisi bulan dan matahari terhadap bumi.


(15)

15

Gambar 7. a) spring tide (pasut purnama), b) neap tide (pasut perbani) (Hicks, 2006)

2.4.2. Tipe pasang surut

Pada umumnya pasang surut memiliki empat tipe, yaitu (Wyrtki, 1961): 1. Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide). Merupakan pasut yang hanya

terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, ini terdapat di Selat Karimata.

2. Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide). Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam satu hari, ini terdapat di Selat Malaka hingga Laut Andaman.

3. Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing Diurnal). Merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan


(16)

satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai Selatan Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat.

4. Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal). Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur.

2.4.3. Komponen harmonik pasang surut

Rotasi bumi, revolusi bumi terhadap matahari dan revolusi bulan terhadap bumi meyebabkan resultan gaya penggerak pasang surut yang rumit dapat

diuraikan sebagai hasil gabungan sejumlah komponen harmonik pasut (harmonic constituent). Komponen harmonik tersebut dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu tengah harian, harian dan periode panjang (Pariwono, 1987). Beberapa komponen harmonik yang penting dapat dilihat pada Lampiran 2.

Dari komponen harmonik yang didapat, tipe pasang surut di suatu perairan dapat diketahui dengan menggunakan persamaan yang biasa disebut dengan bilangan Formzhal (Pugh, 1987) dan klasifikasi dari tipe pasang surut berdasarkan bilangan Formzhal dapat dilihat pada Tabel 2.

=

1+ 1

2+ 2 ……….

(1)

Keterangan (Pariwono, 1987):

Hk1 = Luni-solar Diurnal Hm2 = Prinsip Lunar Semi-diurnal


(17)

17

Tabel 2. Tabel Tipe Pasang Surut Berdasarkan Bilangan Formzhal Bilangan Formnzhal Tipe Pasang Surut

0 sampai 0.25 0.25 sampai 1.50 1.50 sampai 3.00 lebih besar dari 3.00

semidiurnal

mixed, mainly semidiurnal mixed, mainly diurnal

diurnal Sumber: Pugh (1987)

2.5. Pengukuran Pasang Surut

Pengamatan naik turunnya muka laut atau pasang surut yang selama ini digunakan menggunakan dua alat, yaitu manual recording dan automatic

recording system. Manual recording merupakan alat ukur yang dibuat dari kayu atau bahan anti karat yang diberi skala ukur dengan panjang tidak lebih dari 10 meter dan dalam pengoperasiannya dibutuhkan operator untuk pembacaan skala ukurnya, sedangkan automatic recording system atau yang dikenal dengan pressure gauge atau tide gauge adalah alat ukur yang merekam secara otomatis dan datanya disimpan dalam media penyimpanan data digital (Cahyadi, 2007).

Menurut Djaja (1987), pencatatan pasang surut dapat dilakukan secara non registering, yaitu dengan pengamatan langsung untuk mengukur dan mencatat tinggi pasut dari papan ukur yang disebut tide staff, atau pengukuran secara self registering, yaitu pencatatan pasut secara otomatik dengan alat automatic gauge baik berbentuk grafik, punched tape, atau foto.

2.6. Metode Filtering

Filtering atau penapisan merupakan cara untuk memperhalus suatu data yang berfluktuasi sehingga dapat diketahui trend dari data tersebut. Filtering data dapat dilakukan dengan metode moving average (perata-rataan berjalan). Moving


(18)

average merupakan metode untuk merata-ratakan data yang dekat dengan data yang jauh tetapi masih berhubungan (Riley dan Lutgen, 1999). Secara umum moving average dapat ditulis dengan persamaan berdasarkan Gencay dan Stengos (1998) sebagai berikut,

=

1 =0−1 1 ……….. (2)

dimana n adalah periode waktu dan t adalah nilai-nilai yang akan dijumlahkan berdasarkan periode waktu. Menurut Callegaro (2010), secara singkat persamaan moving average dapat dijabarkan seperti persamaan di dibawah:


(19)

19

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan lapangan. Penelitian di laboratorium dilakukan pada 28-29 Februari 2012 yang bertempat di Workshop Akustik dan Isntrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan penelitian lapang dilakukan pada 9-11 Maret 2012 yang bertempat di perairan Pulau

Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI. Jakarta pada titik koordinat 106,61372º BT dan 5,74260º LS.

3.2. Data

3.2.1.Akuisisi data laboratorium

Data yang dikumpulkan pada pengukuran di laboratorium adalah data suhu udara manual dan data yang didapat dari instrumen MOTIWALI. Pengambilan data MOTIWALI di atur setiap 1 menit selama 1 hari. Pengukuran data suhu manual dilakukan setiap 1 jam sekali selama 1 hari. Data yang didapat dari

intrumen MOTIWALI berbentuk file dalam format *.txt yang didalamnya terdapat data waktu, jarak, dan suhu (Lampiran 5). Untuk data suhu manual didapat data waktu dan suhu udara. Pengambilan data suhu udara manual bertujuan untuk mengkoreksi suhu udara yang didapat dari instrumen MOTIWALI yang dilakukan dengan menggunakan termometer air raksa dengan skala 1 ºC. Selain data dari instrumen MOTIWALI dan data suhu manual, pada pengukuran ini diperoleh data acuan jarak sebesar 173 cm yang diukur menggunakan meteran dengan skala 1 mm untuk dibandingkan dengan data hasil pengolahan.


(20)

3.2.2.Akuisisi data lapang

Pada pengukuran di lapang didapatkan data dari instrumen MOTIWALI dan data pengukuran pasang surut manual menggunakan mistar pasut dengan skala setiap 1 cm dan dicatat pada datasheet (Lampiran 1). Instrumen MOTIWALI diatur untuk pengambilan data setiap 5 menit. Pengukuran pasang surut manual dilakukan setiap 15 menit.

3.3. Pengolahan Data

3.3.1.Pengolahan data laboratorium

Pengolahan data hasil pengukuran di laboratorium ditunjukkan pada

Gambar 8 di bawah ini. Proses pengumpulan data di laboratorium menggunakan tiga alat utama yaitu MOTIWALI, termometer dan meteran.

Gambar 8. Diagram alir pengolahan data MOTIWALI di Workshop Akustik dan Instrumentasi Kealautan, Departemen ITK, FPIK, IPB


(21)

21

Berdasarkan Gambar 8, MOTIWALI merekam data suhu udara dan jarak. Selanjutnya, data yang terkumpul ditapis (filter) menggunakan metode moving average filtering setiap lima deret data agar data yang dihasilkan menjadi lebih halus (smooth). Pemilihan perata-rataan setiap lima deret data didasari pada mean absolute percentage error (MAPE) yang paling kecil, dengan nilai sebesar

0,087313, dibandingkan dengan perata-rataan setiap tiga maupun sepuluh data, dengan nilai MAPE masing-maasing sebesar 0,088861 dan 0,087431.Kemudian, suhu udara yang dihasilkan oleh MOTIWALI dikoreksi dengan suhu udara manual hasil pegukuran menggunakan termometer. Dari hasil koreksi ini, menggunakan metode fitting linear least square, didapat persamaan suhu dalam bentuk Y = aX+b (Persamaan 1), dimana Y adalah suhu udara manual dan X adalah suhu udara MOTIWALI, serta a dan b adalah konstanta. Selanjutnya, suhu udara dari MOTIWALI dimasukkan kedalam persamaan tersebut sehingga

menghasilkan suhu yang sudah terkoreksi.

Untuk melihat pengaruh suhu terhadap kecepatan suara, sesuai dengan teori bahwa kecepatan suara akan meningkat dengan meningkatnya suhu (Maher, 2007), maka suhu udara terkoreksi dimasukkan ke dalam persamaan C = 331,5 + 0,6θ (Persamaan (2)), dimana C merupakan kecepatan suara dalam satuan m/s dan θ adalah suhu udara dalam satuan ºC, sehingga menghasilkan kecepatan suara terkoreksi. Sebagai catatan bahwa Persamaan (2) di gunakan untuk

mempermudah perhitungan (sengpielaudio.com, 2011). Dengan melihat Persamaan (2), dapat disimpulkan bahwa perubahan suhu sebesar 1 ºC akan menyebabkan penambahan kecepatan suara sebesar kurang lebih 0,6 m/s. Setelah mendapatkan kecepatan suara yang telah terkoreksi, maka diperlukan waktu


(22)

tempuh yang dibutuhkan suara untuk terdeteksi oleh sensor untuk mengetahui jarak terkoreksi.

Sebelumnya, harus diketahui dulu waktu tempuh dari refleksi gelombang suara dengan pembagian antara jarak yang didapat MOTIWALI dengan kecepatan suara konstan berdasarkan teori. Kecepatan suara berdasarkan teori yang

digunakan adalah kecepatan suara yang diukur oleh Laplace (1816) in

Weir (2001) sebesar 343 m/s. Kecepatan suara ini berada pada suhu 20ºC dan pada tekanan udara 1 atm (untuk kecepatan suara pada suhu yang berbeda dapat dilihat pada Lampiran 3). Jarak yang sudah terkoreksi dapat diperoleh dengan mengalikan kecepatan suara terkoreksi di udara Persamaan (2) dengan waktu yang didapat dari Persamaan (3). Persamaan (2) merupakan turunan dari hubungan antara densitas, tekanan dan kecepatan suara di udara (Lampiran 4). Untuk lebih jelas, persamaan-persamaan yang digunakan sebagai berikut:

= + ……….…. (1)

� = 331.5 + 0.6� ……….. (2)

= �

� � ……….. (3)

�=�× ……….. (4)

Keterangan:

Y = Suhu udara pengukuran termometer (ºC) X = Suhu udara pengukuran MOTIWALI (ºC) a = Konstanta (0,9985)

b = Konstanta (3,539)

C = Kecepatan suara terkoreksi (m/s) θ = Suhu udara terkoreksi (ºC)


(23)

23

3.3.2.Pengolahan data lapang

Pada pengolahan data hasil pengukuran lapang terdapat perbedaan untuk suhu pengukuran MOTIWALI. Suhu tersebut tidak dicocokkan (fitting) dengan suhu manual karena sudah ada persamaan untuk mengetahui suhu udara

sebenarnya yang didapat dari pengukuran di laboratorium. Proses pengolahan data hasil pengukuran lapang dapat di lihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram alir pengolahan data MOTIWALI di lapang

Data yang didapat dari pengukuran menggunakan MOTIWALI, baik jarak maupun suhu, ditapis (filter) menggunakan metode moving average filtering. Selanjutnya, pengolahan data lapang dilakukan seperti langkah pengolahan data laboratorium. Akan tetapi, untuk data lapang tidak perlu lagi pencocokan data


(24)

suhu karena pada pengolahan data laboratorium sebelumnya telah didapat Persamaan (1), sehingga suhu hasil pengukuran MOTIWALI menjadi suhu terkoreksi setelah dimasukkan kedalam Persamaan (1). Setelah itu, suhu terkoreksi digunakan untuk mencari kecepatan suara terkoreksi dengan

menggunakan Persamaan (2). Data jarak yang didapat MOTIWALI digunakan untuk mencari waktu tempuh perambatannya dengan pembagian jarak tersebut terhadap kecepatan suara berdasarkan teori (lihat Persamaan (3)). Dari proses ini dapat diketahui jarak terkoreksi dengan menggunakan Persamaan (4). Jarak terkoreksi bisa diolah lagi menjadi data kedalaman dengan menggunakan Persamaan (5) di bawah.

ℎ = − ... (5) Keterangan:

c = Jarak yang terukur oleh MOTIWALI (cm)

b = Jarak dari dasar perairan ke permukaan sensor MOTIWALI (cm) 3.4. Analisis data

Analisis data dibagi menjadi dua yaitu analisis data untuk koreksi suhu dan analisis data untuk menentukan faktor koreksi suhu.

3.4.1.Analisis data koreksi suhu

Analisis data dilakukan untuk mengoreksi suhu yang didapat MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya yang diukur menggunakan termometer (suhu manual) dengan cara analisis regresi linear menggunakan curve fitting tool yang ada pada software MATLAB. Hasil akhir dari analisis ini berupa persamaan regresi linear. Analisis ini dilakukan dengan memplotkan nilai kedua suhu


(25)

25

tersebut pada sumbu X dan sumbu Y dengan menggunakan MATLAB, dimana X adalah suhu MOTIWALI dan Y adalah suhu manual.

3.4.2.Analisis data faktor koreksi suhu

Analisis data untuk menentukan faktor koreksi suhu dilakukan dengan mencari nilai rata-rata dari selisih antara jarak acuan dan jarak koreksi suhu (Persamaan (6)).

� �= �( � − �) ... (6) Keterangan:

i = Data pertama k = Data ke-k n = Jumlah data

3.5. Metode Penempatan Alat

Penempatan alat dilakukan di tempat yang tidak terkena pengaruh gelombang secara langsung, yaitu di darmaga pelabuhan kapal. Mistar pasut ditempatkan dengan cara diikatkan ke badan darmaga secara tegak lurus. Untuk alat MOTIWALI ditempatkan di darat dengan sensor menjorok ke laut dan mengarah ke permukaan air laut (Gambar 10). Sensor transduser yang dimiliki MOTIWALI menghasilkan gelombang akustik yang berfungsi mengukur jarak dari sensor ke permukaan air laut.


(26)

(27)

27

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Koreksi Suhu

Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis tersebut dihasilkan persamaan yang menghubungkan kedua parameter yang dianalisis dengan persamaan Y = 0,9985X + 3,539 pada selang kepercayaan 95%, dimana X adalah suhu udara yang terukur oleh MOTIWALI dan Y adalah suhu manual. Gambar 11 merupakan grafik koreksi kedua suhu tersebut.

Gambar 11. Grafik koreksi suhu

Jumlah data yang digunakan dalam melakukan koreksi sebanyak 25 data, baik MOTIWALI maupun manual. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dari data suhu manual yang ada, sehingga suhu MOTIWALI disesuaikan dengan suhu manual. Oleh karena suhu manual dan MOTIWALI tidak memiliki waktu

pengukuran yang tepat sama, sehingga pemilihan data MOTIWALI dilakukan dengan melihat waktu pengukuran yang terdekat dari waktu pengambilan data


(28)

suhu manual. Setelah mengevaluasi data menggunakan persamaan yang diperoleh, untuk suhu MOTIWALI sebesar 21,6 ºC di udara yang sebenarnya suhu memiliki nilai sebesar 25,1 ºC. Suhu MOTIWALI sebesar 23,6 ºC suhu udara sebenarnya memiliki nilai 27,1 ºC. Sehingga dapat diketahui bahwa antara suhu MOTIWALI dan suhu udara sebenarnya memiliki perbedaan sebesar 4,5 ºC.

Selain menghasilkan persamaan regresi linear, pencocokan (fitting) data menggunakan metode analisis regresi linear juga menghasilkan beberapa parameter fitting, diantaranya adalah (r-square) (r2)dan root mean square error (rmse). Nilai r-square (r2) atau dalam Walpole (1993) disebut koefisien

determinasi contoh dari hubungan antara suhu MOTIWALI dan suhu manual sebesar 0,6107 yang berarti 61,07% dari nilai-nilai suhu manual (sumbu-y) dapat dijelaskan oleh hubungan linear dengan nilai-nilai suhu MOTIWALI (sumbu-x). Mengacu pada acuan nilai r2, data-data tersebut memiliki kecenderungan sebesar 0,3893 atau 38,93% tidak dapat dijelaskan berdasarkan hubungan linearnya. Dari nilai r2 dapat diketahui koefisien korelasi (dilambangkan dengan r) sebesar 0,7814. Nilai root mean square error (rmse), semakin mendekati nilai nol maka persamaan fitting yang digunakan akan semakin baik. Nilai rmse dari hubungan suhu MOTIWALI dan manual adalah 0,4264. Berdasarkan nilai rmse yang diperoleh dapat dikatakan bahwa persamaan yang didapat masih belum baik. Untuk memperbaiki persamaan dapat dilakukan dengan memperbanyak data pengukuran.

4.2. Jarak dan Suhu MOTIWALI

Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan faktor koreksi dengan


(29)

29

suhu (garis warna merah) dan jarak MOTIWALI (garis biru) serta jarak acuan (garis coklat).

Gambar 12. Grafik keluaran MOTIWALI

Berdasarkan Gambar 12, terlihat bahwa suhu dan jarak memiliki hubungan yang berkebalikan sesuai dengan teori Branconi (1740) in Bohn (1988), yang menyatakan peningkatan suhu di udara akan meningkatkan kecepatan suara di udara. Dengan demikian, pada jarak yang tetap (fix) akan ditempuh dalam waktu yang lebih singkat. Data jarak memiliki bentuk grafik yang sangat rapat karena waktu pengambilan data (sampling) yang singkat. Pada lingkaran warna hitam terdapat pencilan data yang diduga terjadi akibat kesalahan elektronik. Kesalahan ini terjadi bias disebabkan karena tegangan masukan yang tidak seimbang,

sehingga menyebabkan adanya delay berlebih pada saat penerimaan sinyal balik (echo) dari objek. Dugaan lain adalah terjadi efek Dopler yang menyebabkan nilai dari pantulan bertambah. Bertambahnya nilai pantulan ini karena ada lebih dari satu echo yang terdeteksi oleh sensor. Untuk mengurangi kesalahan data


(30)

akibat data pencilan ini, sebaiknya data tersebut dihilangkan atau di sortir terlebih dahulu. Keterangan statistik dari data yang diperoleh data dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI

Parameter MOTIWALI

Suhu (ºC) Jarak (cm)

Minimal 21,6 168,2

Maksimal 23,8 171,4

Mean 22,5 169,1

Median 22,3 169,2

Modus 22,3 169,2

Standar Deviasi 0,5 0,2

Range 2,2 3,2

Kisaran jarak selama pengukuran diperoleh nilai terbesar sebesar 171,4 cm dan terkecil sebesar 168,2 cm dan memiliki nilai rata-rata sebesar 169,1 cm, sedangkan suhu terbesar yaitu 23,8 ºC dan terkecil sebesar 21,6 ºC dengan rata-rata nilai suhu sebesar 22,5 ºC. Ketelitian data MOTIWALI untuk pengukuran jarak sebesar 169,1 ± 0,2 cm.

4.3. Jarak dan Suhu Hasil Koreksi

Sebelum data diproses menggunakan Persamaan (2) sampai Persamaan (4), data tersebut ditapis menggunakan metode moving average filtering dengan rentang data setiap lima data dan data suhu dikoreksi menggunakan persamaan yang didapat dari koreksi suhu (Persamaan (1)). Pemilihan perata-rataan setiap lima data didasari pada mean absolute percentage error (MAPE) yang paling kecil, dengan nilai sebesar 0,087313, dibandingkan dengan perata-rataan setiap tiga maupun sepuluh data, dengan nilai MAPE masing-maasing sebesar 0,088861 dan 0,087431. Jarak hasil koreksi ini sudah meminimalisir pengaruh suhu udara terhadap jarak. Setelah meminimalisir pengaruh suhu, diharapkan jarak yang


(31)

31

didapat mendekati jarak sebenarnya atau jarak acuannya. Data suhu ditunjukkan oleh garis warna merah, dan jarak ditunjukkan dengan garis biru, sedangkan jarak acuan ditunjukkan oleh warna coklat (Gambar 13).

Gambar 13. Grafik suhu dan jarak terkoreksi

Berdasarkan Gambar 13, jarak hasil koreksi suhu lebih halus dibandingkan dengan jarak sebelum dikoreksi akibat proses smoothing. Terlihat bahwa secara umum pola garis yang dibentuk oleh jarak berlawanan dengan pola suhunya, artinya jarak akan sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu. Adanya pola garis jarak yang mengikuti pola garis suhu diduga karena faktor yang mempengaruhi kecepatan suara tidak hanya suhu (Bohn, 1988).

Nilai jarak tertinggi sebesar 171,7 cm dan jarak terendah sebesar 170,6 cm (Tabel 4). Apabila mengacu pada jarak tetap yang diketahui, yaitu 173 cm, maka akurasi MOTIWALI mengalami peningkatan sebesar 46,1%. Ketelitian dari jarak terkoreksi adalah 171,2 ± 0,1 cm. Data suhu yang telah dikoreksi memiliki nilai tertinggi sebesar 27,3 ºC dan terendah sebesar 25,1 ºC dengan nilai rata-rata


(32)

sebesar 26,0 ºC. Ketelitian dari nilai suhu setelah dikoreksi adalah 26,0 ± 0,5 ºC (Tabel 4).

Tabel 4. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI Terkoreksi

Parameter MOTIWALI

Suhu (ºC) Jarak (cm)

Minimal 25,1 170,6

Maksimal 27,3 171,7

Mean 26,0 171,2

Median 25,8 171,2

Modus 25,8 171,1

Standar Deviasi 0,5 0,1

Range 2,2 1,1

4.4. Perbandingan Jarak

Pada Gambar 14, ditunjukkan perbandingan nilai jarak yang didapat dari keluaran MOTIWALI (garis warna biru) dengan jarak yang sudah terkoreksi dengan suhu udara (garis warna merah) dan jarak acuan (garis warna coklat).

Gambar 14 . Grafik perbandingan jarak

Dengan nilai jarak acuan atau jarak tetap sebesar 173 cm, nilai jarak yang dihasilkan dari hasil koreksi memiliki nilai yang semakin mendekati jarak acuan


(33)

33

tersebut yaitu sebesar 171,7 cm. Apabila dibandingkan dengan jarak keluaran sebelum dilakukan pengkoreksian terhadap suhu udara yang memiliki nilai jarak sebesar 171,4 cm, maka jarak terkoreksi menjadi lebih akurat. Grafik jarak hasil koreksi, memiliki pola yang lebih halus dibandingkan dengan grafik jarak keluaran MOTIWALI dengan pola fluktuatif. Data yang ditandai dengan lingkaran warna hitam (awal dan akhir susunan data), menunjukkan bahwa pada suhu di atas 26,0 ºC (Gambar 13) diduga menyebabkan salah yang besar terhadap jarak (Gambar 14).

Penentuan koefisien koreksi dibutuhkan untuk menambahkan nilai hasil pengukuran MOTIWALI agar mendekati nilai keadaan sebenarnya, digunakan Persamaan (6) dengan menentukan rata-rata dari selisih jarak tetap dikurangi dengan jarak koreksi. Keterangan statistik data jarak dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Deskriptif Statistik Data Perbandingan Jarak

Parameter Jarak (cm)

MOTIWALI Koreksi

Minimal 168,2 170,6

Maksimal 171,4 171,7

Mean 169,1 171,2

Median 169,2 171,2

Modus 169,2 171,1

Standar Deviasi 0,2 0,1

Range 3,2 1,1

Gambar 15 menunjukkan perbandingan grafik jarak tetap (garis coklat) dengan jarak terkoreksi (garis biru). Nilai jarak setelah dikoreksi memiliki standar deviasi sebesar 0,1 (Tabel 5). Apabila membandingkan ketelitian antara jarak keluaran MOTIWALI dan jarak koreksi didapat perbedaan yaitu jarak MOTIWALI memiliki rentang yang lebih besar, 3,2 cm, sedangkan jarak koreksi


(34)

sebesar 1,1 cm, sehingga ketelitiannya menjadi semakin tinggi setelah dikoreksi. Rata-rata dari selisih antara jarak tetap dikurangi dengan jarak terkoreksi suhu udara adalah sebesar 1,8 cm, sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata akurasi pengukuran adalah pada kisaran 1,8 cm.

Gambar 15. Grafik perbandingan jarak terkoreksi dan jarak tetap 4.5. Pengukuran Lapang Pasang Surut

Pengukuran lapang pasang surut dimaksudkan untuk menguji kinerja alat ketika digunakan pada pengukuran sebenarnya. Selain untuk menguji kinerja alat, pengukuran lapang pasang surut juga bertujuan untuk mengetahui secara visual pola pasang surut yang terbentuk selama pengukuran. Pengukuran pasang surut dengan menggunakan MOTIWALI dilakukan dengan metode yang sama dengan pengukuran di laboratorium. Namun demikian, pada pengukuran pasang surut di lapang dilakukan dengan jarak yang berubah-ubah mengikuti gerakan naik turunnya permukan air laut.


(35)

35

4.5.1.Jarak dan suhu koreksi di lapang

Gambar 16 merupakan grafik data keluaran MOTIWALI. Dari data tersebut dihubungkan data suhu MOTIWALI (garis merah) dan jarak MOTIWALI (garis biru).

Gambar 16. Grafik suhu dan jarak terkoreksi di lapang

Grafik jarak pada Gambar 16 adalah hasil pengukuran jarak dari permukaan sensor (transduser) ke permukaan muka air laut, sehingga pola dari grafiknya berkebalikan dengan pola gerakan naik turunnya muka air laut sebenarnya. Tanda panah dengan keterangan surut menggambarkan keadaan surut pada kondisi lapang sebenarnya, sedangkan tanda panah dengan keterangan pasang menggambarkan keadaan pasang pada keadaan yang sebenarnya.

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa jarak tertinggi dan terendah yang didapat dari hasil pengukuran berturut-turut adalah 108,5 cm dan 54,3 cm, dengan jarak rata-rata sebesar 84,6 cm. Untuk suhu tertinggi sebesar 30,5 ºC dan terendah sebesar 24,5 ºC, dengan suhu rata-rata sebesar 26,7 ºC.


(36)

Tabel 6. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI Terkoreksi di Lapang

Parameter MOTIWALI

Suhu (ºC) Jarak (cm)

Minimal 24,5 54,3

Maksimal 30,5 108,5

Mean 26,7 84,6

Median 26,5 87,2

Modus 25,6 80,1

Standar Deviasi 1,3 12,6

Range 6,0 54,2

4.5.2.Perbandingan jarak di lapang

Jarak MOTIWALI sebelum dan sesudah dikoreksi dibandingkan untuk melihat perbedaan pada peningkatan nilai jarak pada jarak setelah dikoreksi. Gambar 17 merupakan grafik perbandingan kedua nilai jarak, dimana jarak MOTIWALI ditunjukkan dengan garis warna merah dan jarak koreksi ditunjukkan denagn garis warna biru.


(37)

37

Berdasarkan Gambar 17, setelah jarak ditapis dan dikoreksi, jarak menjadi semakin halus dan mengalami peningkatan nilai sebesar 1,1 cm. Jarak yang didapat MOTIWALI memiliki nilai tertinggi sebesar 108,6 cm dan terendah sebesar 50,9 cm. Selang (range) data dari kedua jarak tersebut juga berbeda. Jarak MOTIWALI memiliki selang data sebesar 57,7 cm, sedangkan jarak koreksi memiliki selang data sebesar 54,2 cm. Dari selang data ini diketahui bahwa amplitudo jarak koreksi menjadi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan amplitudo jarak MOTIWALI (Tabel 7).

Tabel 7. Deskriptif Statistik Perbandingan Jarak di Lapang

Parameter Jarak (cm)

MOTIWALI Koreksi

Minimal 50,9 54,3

Maksimal 108,6 108,5

Mean 83,5 84,6

Median 86,0 87,2

Modus 58,7 80,1

Standar Deviasi 12,6 12,6

Range 57,7 54,2

4.5.3. Pasang surut

Pengukuran lapang pasang surut dilakukan di perairan Pulau Pramuka yang termasuk dalam wilayah Laut Jawa. Laut Jawa merupakan perairan dangkal dengan kedalaman meningkat dari 20 m hingga lebih dari 60 m (Koropitan dan Ikeda, 2008). Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan dua alat ukur, yaitu MOTIWALI (automatic recording) dan Mistar Pasut (manual recording).

Pengukuran manual dilakukan untuk dibandingkan dengan pengukuran menggunakan MOTIWALI. Grafik tinggi muka air (sea level) berdasarkan pengukuran manual (menggunakan mistar pasut) ditunjukkan dengan garis warna


(38)

merah, sedangkan pengukuran menggunakan MOTIWALI ditunjukkan dengan garis warna biru (Gambar 18).

Gambar 18. Grafik pengukuran pasang surut

Grafik pasang surut pada Gambar 18 dibagi berdasarkan hari yang diberi keterangan pada bagian atas gambar tersebut. Hari ke-1 memiliki nilai tertinggi sebesar untuk MOTIWALI dan Manual, masing-masing 11,2 cm dan 13,4 cm, sedangkan nilai minimumnya sebesar -24 cm dan -21,6 cm untuk MOTIWALI dan Manual. Hari ke-2 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada Hari ke-1 yaitu sebesar 30,2 cm untuk MOTIWALI dan 30,9 cm untuk Manual. Nilai terendah dari MOTIWALI dan Manual pada Hari ke-2 sebesar -15,7 cm dan -16,6 cm. Untuk lebih jelas, nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Penyebab terjadinya perbedaan nilai dari hasil kedua pengukuran tersebut adalah

kekurangakuratan pada saat pengukuran menggunakan mistar pasut diakibatkan karena terjadi paralaks mata. Selain itu, skala yang digunakan kurang teliti yaitu hanya sebesar 1 cm. Namun demikian, dengan perbedaan yang kecil ini, dapat dikatakan bahwa MOTIWALI sudah baik untuk mengukur pasang surut air laut.


(39)

39

Tabel 8. Deskriptif Statistik Pengukuran Pasang Surut Parameter

Sea Level (cm)

MOTIWALI Mistar Pasut

Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-1 Hari ke-2

Minimal -24,0 -15,7 -21,6 -16,6

Maksimal 11,2 30,2 13,4 30,9

Berdasarkan Gambar 18 dapat dilihat bahwa pengukuran pasang surut menggunakan MOTIWALI memiliki pola yang serupa dengan pengukuran pasang surut menggunakan mistar pasut. Pengukuran pasang surut menggunakan

MOTIWALI dan mistar pasut memiliki perbedaan yang terlihat dari grafik MOTIWALI lebih halus dibandingkan dengan pengukuran Manual. Perbedaan ini terjadi karena MOTIWALI memiliki sampling rate yang tinggi yaitu setiap 5 menit, sedangkan pengukuran Manual dilakukan setiap 15 menit. Jika melihat grafik pasang surut pada Hari ke-1, terlihat bahwa pasang tertinggi terjadi pada waktu malam hari mendekati waktu pergantian hari antara pukul 18:00:00 WIB sampai pukul 00:00:00 WIB. Selanjutnya diikuti dengan dua kali surut dan satu kali pasang yang tidak terlalu tinggi pada selang waktu antara pukul 06:00:00 WIB sampai pukul 18:00:00 WIB.

Hari ke-2 terjadi dua kali pasang dan satu kali surut, surut pertama terjadi antara pukul 12:00:00 WIB sampai pukul 18:00:00 WIB. Selang waktu antara pukul 18:00:00 WIB sampai pukul 06:00:00 WIB terjadi pasang yang lebih tinggi dibandingkan Hari ke-1 dengan puncak mendekati pukul 00:00:00 WIB. Surut kedua terjadi pada selang waktu antara pukul 06:00:00 WIB sampai pukul 12:00:00 WIB. Menurut Suyarso (1987), karakteristik pasang surut di perairan dangkal memiliki waktu dari surut ke pasang yang lebih kecil dibandingkan


(40)

dengan dari pasang ke surut. Hal ini dapat dilihat pada garis hitam (surut ke pasang) dan garis hijau putus-putus (pasang ke surut) pada Gambar 18.

Tabel 9 menggambarkan nilai Tidal Range (tunggang pasut) antara setiap pasang dan surut yang terjadi. Tidal Range adalah selisih antara pasang tertinggi dan surut terendah. Pasang 1-1 menjelaskan pasang pertama yang terjadi pada Hari ke-1, sedangkan Pasang 2-1 menjelaskan pasang pertama yang terjadi pada Hari ke-2. Begitu juga dengan surut, Surut 1-1 menjelaskan surut pertama yang terjadi pada Hari ke-1, Surut 2-1 adalah surut pertama pada Hari ke-2.

Tabel 9. Nilai Tunggang Pasut

Tidal Range Nilai (cm) Keterangan MOTIWALI Mistar Pasut (Manua l) Pasang 1-1 dengan Surut 1-1

23,1 25,0

Hari ke-1 Pasang 1-2

dengan Surut 1-1

13,8 15,0

Pasang 2-1 dengan Surut 2-1

45,9 47,5

Hari ke-2 Pasang 2-1

dengan Surut 2-2

41,6 42,5

Jika melihat pola pasang surut yang terjadi dalam satu hari secara visual, maka pola pasang surut yang terbentuk di perairan Pulau Pramuka masuk ke dalam tipe pasang surut campuran dominansi tunggal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pariwono (1987), perairan Laut Jawa didominasi oleh tipe pasang surut harian tunggal, khusus di perairan Kepulauan Seribu tipe pasang surutnya


(41)

41

adalah campuran cenderung tunggal. Menurut Wyrtki (1961), Pasang surut campuran condong harian tunggal merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu.

Pasang 1-1 ke Surut 1-1 memiliki tunggang pasut sebesar 23,1 cm dan 25 cm untuk MOTIWALI dan Manual, sedangkan dari Pasang 1-2 ke Surut 1-1 memiliki tunggang pasut sebesar 13,8 cm dan 15 cm. Hari ke-2 memiliki nilai tunggang pasut lebih besar dibandingkan dengan Hari ke-1. Hal ini disebabkan karena pada saat pengukuran terjadi gelombang yang cukup besar disekitar

perairan Pulau Pramuka, sehingga menyebabkan permukaan air laut menjadi lebih tinggi. Nilai tunggang pasut dari Pasang 2-1 ke surut 2-1 sebesar 45,9 cm dan 47,5 cm untuk MOTIWALI dan Manual, sedangkan dari Pasang 2-1 ke Surut 2-2 sebesar 41,6 cm dan 42,5 cm.

Wyrtki (1961) in Koropitan dan Ikeda (2008) mengatakan bahwa tipe pasang surut campuran cenderung tunggal (predominantly diurnal) berhubungan pada sifat dari perambatan pasang surut dari laut perbatasan. Pasut semi-diurnal yang memasuki Laut Jawa lemah karena efek dari pembelokan gelombang pasut yang menuju ke utara dari Samudera Hindia di Laut Flores. Selain itu, bagian terkecil dari gelombang yang dibelokkan merambat jauh sampa ke Selat Makasar dan bertemu dengan gelombang yang berasal dari Samudera Pasifik. Dilain sisi, gelombang pasut diurnal yang lebih kuat dari Samudera Pasifik mampu masuk sampai ke Laut Flores dan bertemu gelombang dari Samudera Hindia melewati Kepulauan Paparan Sunda dan Laut Timor.


(42)

42

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu:

1. Setelah dilakukan uji coba dengan mengoreksi suhu udara, MOTIWALI menghasilkan peningkatan akurasi sebesar 46,1% dengan rata-rata akurasi pengukuran adalah pada kisaran 1,8 cm.

2. Faktor koreksi suhu menyebabkan bertambahnya nilai jarak dari MOTIWALI. Pada jarak tetap sebesar 173 cm, MOTIWALI memiliki ketelitian sebesar 171,2±0,1 cm.

3. Pola pasang surut yang terbentuk di perairan Pulau Pramuka secara visual yaitu tipe pasang surut campuran dominansi tunggal.

5.2. Saran

Untuk pengembangan alat MOTIWALI sebaiknya dilakukan juga pengkoreksian terhadap faktor atmosfer yang lain, seperti kelembaban udara, tekanan dan faktor lain yang berhubungan. Untuk pengukuran di laboratorium akan lebih baik jika lamanya waktu pengambilan data diperpanjang, sehingga menghasilkan data yang lebih baik. Pengambilan data pasang surut di lapang sebaiknya dilakukan minimal 15 hari agar dapat mengetahui komponen pasang surut, sehingga dapat dilakukan analisis lebih lanjut. Pengukuran pasang surut sebaiknya dilakukan dengan cara tertutup atau menggunakan penutup seperti paralon, agar data yang didapat tidak dipengaruhi oleh gelombang lain selain pasang surut, Selain itu, konfigurasi penempatan alat memperhatikan titik ikat di Bench Mark terdekat.


(43)

PENGUKURAN FAKTOR KOREKSI JARAK PADA

INSTRUMEN MOTIWALI

ANUGRAH ADITYAYUDA

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(44)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

PENGUKURAN FAKTOR KOREKSI JARAK PADA

INSTRUMEN MOTIWALI

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan didalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.

Bogor, September 2012

ANUGRAH ADITYAYUDA C54070081


(45)

RINGKASAN

ANUGRAH ADITYAYUDA. Pengukuran Faktor Koreksi Jarak pada Instrumen MOTIWALI. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan AGUS SALEH ATMADIPOERA.

Instrumen Mobile Tide and Water Level Instrument (MOTIWALI) merupakan alat pengukur pasang surut atau level air yang dapat digunakan untuk pengukuran bersifat mobile (bergerak) maupun tetap. Kemampuan tambahan yang dimiliki MOTIWALI berupa transmisi data menggunakan GSM atau frekuensi radio dan dilengkapi dengan sistem alarm (Iqbal dan Jaya, 2011). Berdasarkan pembagian alat pengukur pasang surut menurut Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) (2006), MOTIWALI termasuk kedalam acoustical tide gauges. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji akurasi instrumen MOTIWALI, menganalisis pengaruh faktor koreksi suhu dalam kaitannya dengan penentuan jarak untuk pengolahan data pasang surut dari instrumen MOTIWALI, dan menentukan tipe pasang surut di perairan Pulau Pramuka secara visual.

Penelitian ini dilakukan di workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Deptartemen ITK, FPIK, IPB selama 1 hari dan di Perairan Pulau Pramuka, Kep. Seribu, DKI. Jakarta pada titik koordinat 106,61372º BT dan 5,74260º LS selama 3 hari. Pengukuran di laboratorium dilakukan dengan membandingkan jarak tetap (acuan) dengan jarak yang dihasilkan MOTIWALI. Data suhu yang didapatkan dari MOTIWALI dibandingkan dengan data suhu hasil pengukuran menggunakan termometer dengan metode Linear Least Square Fitting. Pengukuran pasang surut di lapang dilakukan dengan membandingkan pengukuran menggunakan MOTIWALI dan Mistar Pasut.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa untuk suhu MOTIWALI sebesar 21,6 ºC, di udara yang sebenarnya suhu memiliki nilai sebesar 25,1 ºC. Dengan demikian, suhu pengukuran MOTIWALI dan suhu sebenarnya memiliki perbedaan sebesar 4,5 ºC. Data jarak yang diperoleh oleh MOTIWALI memiliki nilai rataan sebesar 169,1 cm dan setelah dilakukan koreksi terhadap suhu udara data memiliki nilai rataan sebesar 171,2 cm pada pengukuran jarak tetap sebesar 173 cm. Dengan demikian, akurasi MOTIWALI meningkat sebesar 46,1%. MOTIWALI memiliki rata-rata akurasi pengukuran sebesar 1,8 cm. Hasil pengukuran lapang yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan antara pengukuran manual dan MOTIWALI dimana pengukuran MOTIWALI memiliki grafik yang lebih halus dibandingkan dengan pengukuran manual. Perbedaan ini terjadi karena MOTIWALI memiliki sampling rate yang tinggi yaitu setiap 5 menit, sedangkan manual dilakukan pengukuran setiap 15 menit. Berdasarkan hasil penelitian pasang surut menggunakan MOTIWALI didapat tipe pasang surut di perairan Pulau Pramuka secara visual yaitu pasang surut campuran dominansi tunggal dengan pasang tertinggi terjadi pada selang waktu antara pukul 18:00:00 WIB sampai 00:00:00 WIB atau waktu dari pasang ke surut lebih panjang dibandingkan waktu dari surut ke pasng.


(46)

© Hak cipta milik ANUGRAH ADITYAYUDA, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(47)

PENGUKURAN FAKTOR KOREKSI JARAK PADA

INSTRUMEN MOTIWALI

ANUGRAH ADITYAYUDA

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(48)

SKRIPSI

Judul Skripsi : PENGUKURAN FAKTOR KOREKSI JARAK PADA INSTRUMEN MOTIWALI

Nama Mahasiswa : Anugrah Adityayuda Nomor Pokok : C54070081

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Tanggal Lulus : 31 Agustus 2012

Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS NIP. 19660706 199212 1 002 Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc.

NIP. 19610410 198601 1 001

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003


(49)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan semesta alam Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul PENGUKURAN FAKTOR KOREKSI JARAK PADA INSTRUMEN MOTIWALI disusun sebagai salah satu syarat kelulusan pada program sarjana.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Kedua orang tua (Bapak Asep Djuanda Sunarya dan Ibu Komariah), serta

kakak dan adik tercinta Dimas Pratama Yuda dan Dendi Ahmad Patria Yuda yang telah memberikan semangat, motivasi dan kasih sayang.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. dan Dr.Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan

masukkan kepada penulis.

3. Ibu Dr. Ir. Yuli Naulita, M.Si. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis.

4. Muhammad Iqbal, S. Pi., M. Si. yang banyak membantu penulis dalam memahami penelitian yang dilaksanakan.

5. Klub MIT (Khasanah, Rizqi Rizaldi, Erik Munandar, Hollanda, dan Iman) atas diskusi mengenai MOTIWALI.

6. Keluarga besar ITK 44 (Arief, Dinno, Iqbal, dan Aldelanov) dan seluruh warga ITK yang telah memberikan pelajaran dan pengalaman hidup kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun akan bermanfaat bagi penulis dalam

perbaikan di kemudian hari.

Bogor, September 2012 Anugrah Adityayuda


(50)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... x DAFTAR GAMBAR ... xi DAFTAR LAMPIRAN ... xii 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan Penelitian ... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4 2.1. Instrumen Pengukur Pasang Surut ... 4 2.2. Instrumen MOTIWALI ... 8 2.2.1. Perangkat lunak MOTIWALI ... 10 2.2.2. Perangkat elektronik MOTIWALI ... 11 2.2.3. Cara kerja sensor ultrasonik dan sensor suhu ... 11 2.3. Metode Fitting ... 13 2.4. Pasang Surut ... 13 2.4.1. Interaksi pasang surut bulan dan matahari ... 14 2.4.2. Tipe pasang surut ... 15 2.4.3. Komponen harmonik pasang surut ... 16 2.5. Pengukuran Pasang Surut ... 17 2.6. Metode Filtering ... 17 3. METODE PENELITIAN ... 19 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 19 3.2. Data ... 19 3.2.1. Akuisisi data laboratorium ... 19 3.2.2. Akuisisi data lapang ... 20 3.3. Pengolahan Data ... 20 3.3.1. Pengolahan data laboratorium ... 20 3.3.2. Pengolahan data lapang ... 23 3.4. Analisis Data ... 24 3.4.1. Analisis data koreksi suhu ... 24 3.4.2. Analisis data faktor koreksi suhu ... 25 3.5. Metode Penempatan Alat ... 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27 4.1. Koreksi Suhu ... 27 4.2. Jarak dan Suhu MOTIWALI ... 28 4.3. Jarak dan Suhu Hasil Koreksi ... 30 4.4. Perbandingan Jarak ... 32 4.5. Pengukuran Lapang Pasang Surut ... 34


(51)

4.5.1. Jarak dan suhu koreksi di lapang ... 35 4.5.2. Perbandingan jarak di lapang ... 36 4.5.3. Pasang surut ... 37 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 42 5.1. Kesimpulan ... 42 5.2. Saran ... 42 DAFTAR PUSTAKA ... 43 LAMPIRAN ... 46


(52)

x

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Susunan File CONFIG.INI MOTIWALI ... 10 2. Tabel Tipe Pasang Surut Berdasarkan Bilangan Formzhal ... 17 3. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI ... 30 4. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI Terkoreksi ... 32 5. Deskriptif Statistik Data Perbandingan Jarak ... 33 6. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI Terkoreksi di Lapang . ... 36 7. Deskriptif Statistik Data Perbandingan Jarak di Lapang ... 37 8. Deskriptif Statistik Pengukuran Pasang Surut ... 39 9. Nilai Tunggang Pasut ... 40


(53)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Pressure tide gauge ... 5 2. Stilling well tide gauge ... 6 3. NGWLMS tide gauge ... 7 4. Uji coba OTT Kalesto (radar gauge) di Liverpool ... 8 5. Keseluruhan tampak belakang (atas) dan kotak elektronik (bawah) ... 9 6. Diagram alir perangkat lunak MOTIWALI ... 12 7. a) spring tide (pasut purnama), b) neap tide (pasut perbani) . ... 15 8. Diagram alir pengolahan data MOTIWALI di Workshop Akustik dan

Instrumentasi Kealautan, Departemen ITK, FPIK, IPB ... 20 9. Diagram alir pengolahan data MOTIWALI di lapang ... 23 10. Penempatan MOTIWALI dan mistar pasut di lapang ... 26 11. Grafik koreksi suhu ... 27 12. Grafik keluaran MOTIWALI ... 29 13. Grafik suhu dan jarak terkoreksi ... 31 14. Grafik perbandingan jarak ... 32 15. Grafik perbandingan jarak terkoreksi dan jarak tetap ... 34 16. Grafik suhu dan jarak terkoreksi di lapang ... 35 17. Grafik perbandingan jarak di lapang ... 36 18. Grafik pengukuran pasang surut ... 38


(54)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Data sheet pengukuran pasang surut ... 47 2. Tabel komponen harmonik pasut yang penting ... 48 3. Kecepatan suara berdasarkan suhu ... 49 4. Kecepatan suara di udara ... 50 5. Contoh RAW data yang didapat MOTIWALI ... 51 6. Diagram alir keseluruhan perangkat lunak MOTIWALI ... 52 7. MOTIWALI ... 53


(55)

1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pasang surut merupakan fenomena pergerakan naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari (Zakaria, 2009), serta adanya gaya gravitasi oleh bumi (Dronkers, 1964). Menurut Ongkosongo (1987), dalam dunia kelautan dan kehidupan manusia sehari-hari, pasang surut sangat penting dikaji untuk keperluan seperti bidang geologi, pembangunan konstruksi teknik sipil, lingkungan, bidang biologi dan pertanian, serta pengembangan energi pasut. Pengukuran pasang surut air laut umumnya menggunakan alat atau instrumen pengukur pasang surut yang didalamnya terdapat komponen elektronik (tide gauge) dan tide staff, berupa papan mistar dengan pembagian skala yang ditancapkan ke dasar perairan.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka ada alternatif lain yang lebih mudah yaitu dengan menggunakan gelombang akustik atau perambatan suara. Keunggulan pengukuran pasut menggunakan akustik yaitu dapat dilakukan pada kondisi udara terbuka (IOC, 1994; 2000; dan 2006). Dalam perambatan di udara, suara mengalami atenuasi yang besarnya tergantung pada konsentrasi partikel terlarut di udara, jarak antara sumber suara dan objek yang dapat mempengaruhi waktu kembali suara ke penerima, serta karakteristik objek. Menurut Lamancusa (2000), komponen-komponen yang biasanya mempengaruhi suara di atmosfer adalah komponen tipe dan geometri sumber suara, kondisi meteorologi seperti variasi suhu dan angin, penyerapan suara oleh atmosfer, kontur dan jenis permukaan, serta penghalang seperti bangunan dan tanaman.


(56)

Penelitian ini dikhususkan untuk menganalisis kinerja instrumen pasang surut berbasis gelombang akustik dan pengaruh dari suhu udara. Suara di udara dipengaruhi oleh suhu udara itu sendiri. Semakin tinggi suhu udara, maka akan menghasilkan kecepatan suara yang tinggi pula, walaupun tidak bersifat linier (Ingard, 1953; Branconi, 1740 in Bohn, 1988). Berdasarkan Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) (1994; 2000; dan 2006), kecepatan suara di udara secara signifikan bervariasi terhadap suhu dan kelembaban (sekitar 0,17%/ºC). Dengan diketahuinya pengaruh suhu udara terhadap perambatan suara di udara, maka untuk mendapatkan hasil pengukuran pasang surut yang akurat dengan menggunakan instrumen akustik diperlukan koreksi dari suhu udara di lingkungan pengambilan data.

Penelitian ini menggunakan instrumen pengukur pasang surut Mobile Tide and Water Level Instrument (MOTIWALI) yang dikembangkan oleh Bagian Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. MOTIWALI menggunakan transduser akustik 40 kHz sebagai sensor pengukur jarak antara transduser dan permukaan air serta sensor suhu sebagai pengoreksi. Instrumen MOTIWALI didesain sedemikian rupa sehingga dapat ditempatkan dengan mudah, serta ringan sehingga sangat cocok untuk pengukuran jangka pendek dan panjang.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menguji akurasi instrumen MOTIWALI, menganalisis pengaruh faktor koreksi suhu dalam kaitannya dengan penentuan


(57)

3

jarak untuk pengolahan data pasang surut dari instrumen MOTIWALI, dan menentukan tipe pasang surut di perairan Pulau Pramuka secara visual.


(58)

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Instrumen Pengukur Pasang Surut

Tide gauge merupakan alat atau instrumen yang digunakan untuk mengukur tinggi pasut. Instrumen pengukur pasang surut yang umum digunakan diantaranya adalah tide staff, floating tide gauge, dan pressure tide gauge (Djaja, 1987). a) Tide staff, merupakan alat pengukur pasang surut yang paling sederhana

berupa papan mistar memiliki ketebalan antara 1 sampai 2 inchi dengan lebar 4 sampai 6 inchi, dan dengan pembagian skala yang umumnya dalam sistem meter, sedangkan panjangnya harus lebih besar dari tunggang pasut (tidal range). Misalnya, pada perairan dengan tunggang pasut sebesar 2 m, maka ukuran papan skala ini harus lebih dari 2 m gauge (Djaja, 1987).

b) Floating tide gauge. Prinsip kerja alat ini berdasarkan gerakan naik turunnya permukaan laut yang dapat diketahui melalui pelampung yang dihubungkan dengan alat pencatat. Pengukuran tinggi muka air oleh alat ini dilakukan dengan mendeteksi pergerakan naik turun dari air. Perubahan tinggi pada permukaan air akan menyebabkan pelampung begerak vertikal (naik turun), pelampung dan penahan beban diikat dengan kabel dan dihubungkan dengan sebuah katrol yang terdapat pada enkoder, sehingga gerakan pelampung dapat memutar katrol. Perputaran yang terjadi pada katrol akan dikonversikan menjadi suatu sinyal digital dan ditransfer ke unit data logger melalui kabel transduser. Di dalam data logger unit sinyal listrik tersebut diproses sehingga menjadi nilai yang terukur gauge (Djaja, 1987).

c) Pressure tide gauge. Prinsip kerjanya sama dengan floating tide gauge, hanya saja gerakan naik turunnya permukaan laut dapat diketahui dari


(59)

5

perubahan tekanan yang terjadi di dalam laut. Seberapa besar tekanan yang diterima oleh sensor akan diubah dalam bentuk kedalaman yang telah dirancang sedemikian rupa, sehingga diperoleh tinggi muka air dari nilai ini dengan mempertimbangkan nilai densitas dan gravitasi. Gambar 1

merupakan contoh dari pressure tide gauges gauge (Djaja, 1987).

Gambar 1. Pressure tide gauge (IOC, 2006)

Selain ketiga alat ukur yang digunakan di atas, IOC (2006) membagi instrumen pengukur pasut menjadi empat bagian yaitu stilling well tide gauges, pressure gauges, acoustic tide gauges, dan radar gauges.

a) Stilling well tide gauges, merupakan pipa yang ditempatkan secara vertikal di dalam air, cukup panjang untuk menutupi segala kemungkinan tunggang pasut dibeberapa stasiun. Bagian bawah dari sumur tertutup kecuali untuk masukan, satu untuk masukan di bawah dan lainnya dengan pipa masukan yang terhubung ke bagian lebih rendah dari sumur. Cara kerja dari alat ini


(60)

sama dengan floating tide gauge. Contoh gambar dari alat ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Stilling well tide gauge (IOC, 2006)

b) Acoustic tide gauges. Alat atau intrumen pengukur pasang surut yang menggunakan gelombang suara untuk mendapatkan data pasang surut. Pengukurannya bergantung pada perubahan waktu perambatan dari sinyal akustik yang direfleksikan secara vertikal dari permukaan laut ke sensor penerima (receiver). Contoh untuk alat ukur acoustic tide gauges dapat dilihat pada Gambar 3.


(61)

7

Gambar 3. NGWLMS tide gauge (IOC, 2006)

c) Radar gauges. Alat ini dilengkapi dengan pemancar pulsa radar

(transmitter), penerima pulsa radar (receiver), serta jam berakurasi tinggi. Pada sistem ini, radar memancarkan pulsa-pulsa gelombang radio ke permukaan laut. Pulsa-pulsa tersebut dipantulkan oleh permukaan laut dan diterima kembali oleh radar. Sistem radar ini dapat mengukur ketinggian radar di atas permukaan laut dengan menggunakan waktu tempuh dari pulsa radar yang dikirimkan ke permukaan laut, dan dipantulkan kembali ke radar (IOC, 2002). Contoh dari radar gauges dan perbandingannya dengan bubbler gauge dapat dilihat pada Gambar 4.


(62)

Gambar 4. Uji coba OTT Kalesto (radar gauge) di Liverpool (IOC, 2006)

2.2. Instrumen MOTIWALI

Instrumen MOTIWALI (Mobile Tide and Water Level Instrument)

merupakan alat pengukur pasang surut atau level air yang dapat digunakan untuk pengukuran yang bersifat mobile atau bergerak maupun stasiun tetap dengan kemampuan tambahan seperti transmisi data menggunakan GSM atau frekuensi radio dan dilengkapi dengan sistem alarm. Instrumen MOTIWALI ini

menggunakan transduser akustik 40 kHz sebagai sensor pengukur jarak antara sensor dengan permukaan air dan sensor suhu sebagai pengoreksi data (Iqbal dan Jaya, 2011). Berdasarkan pembagian alat pengukur pasang surut menurut IOC (2006), MOTIWALI termasuk kedalam acoustical tide gauge. Bentuk dari instrumen MOTIWALI dapat dilihat pada Gambar 5 dan Lampiran 7.


(63)

9

(a)

(b)

(d) (c)

(e)

(f)

(e) (b)

(g)

(h)

(i) (j)

(k) (a)

Gambar 5. Keseluruhan tampak belakang (atas) dan kotak elektronik (bawah) (Iqbal dan Jaya, 2011)

Keterangan:

a = Kotak utama elektronik

b = Tiang penghubung transduser dan kotak elektronik c = Pipa ¼ inchi penghubung transduser dan tiang d = Kotak transduser

e = Antene GSM/Radio

f = Penyangga tiang transduser

g = Soket eksternal (1) power luar, (2) RS232, (3) device control h = Tempat peralatan elektronik

i = Pintu

j = Tempat accu internal k = Gagang pintu


(64)

2.2.1. Perangkat lunak MOTIWALI

Pembangkitan sinyal 40 KHz menggunakan Timer 1 yang dimiliki

mikrokontroler. Mikrokontroler akan melakukan setting register sehingga terjadi overflow pada setiap 1/40000 detik dan sinyal 16-bit tersebut kemudian dapat diakses pada pin OCR1A dan OCR1B pada mikrokontroler (Iqbal dan Jaya, 2011).

Untuk mengatur kerja MOTIWALI digunakan file CONFIG.INI. Ada beberapa hal yang harus diatur dalam file ini seperti pada Tabel 1. Terlihat 9 variabel yang dapat diatur oleh pengguna melalui file ini. Variabel tersebut dimaksudkan agar pengguna dapat menyesuaikan kebutuhannya. Khusus untuk alarm atau pengiriman data GSM, pengguna harus menambahkan modem GSM atau sejenisnya dengan menggunakan komunikasi RS232. Alarm dimaksudkan jika pengguna ingin mendapatkan peringatan jika air sudah memenuhi jarak tertentu yang telah ditentukan baik dengan menyalakan/mematikan peralatan lain atau mengirimkan SMS pemberitahuan ke nomor tertentu (Iqbal dan Jaya, 2011).

Tabel 1. Susunan File CONFIG.INI MOTIWALI

No. Variabel Tipe Data Keterangan

1 MOTIWALI String Pengenal file

2 Waktu_penyimpanan Integer Dalam Menit 3 Transmit (1 atau 0) Byte 1=transmit GSM

0=tidak transmit (default)

4 No_GSM String Nomor HP yang dituju

5 Waktu_transmit Integer Dalam menit 6 Alarm (1 atau 0) Byte 1=alarm

0=tidak alarm (default)

7 Tipe_alarm Byte 1=relay

0=GSM

8 Jarak_alarm Integer Jarak alarm berfungsi (cm)

9 Gsm_alarm_no String Nomor HP yang dituju Sumber : Iqbal dan Jaya (2011)


(65)

11

Cara kerja perangkat lunak MOTIWALI yaitu pada saat mulai dinyalakan mikrokontroler akan mengecek keberadaan MMC/SD Card dan sensor. Jika belum siap, mikrokontroler akan mengulang kembali pada tahap awal proses, jika siap dilanjutkan dengan membaca file CONFIG.INI yaitu mendapatkan nilai 8 variabel pada Tabel 1. Transmit sinyal pada transduser kemudian dilakukan hingga mendapat sinyal balik dan mengukur waktu pada saat mulai transmit hingga penerimaan tersebut, kemudian dilakukan dengan pembacaan sensor suhu. Data kemudian disimpan pada modul SD/MMC Card (Iqbal dan Jaya, 2011).

2.2.2. Perangkat elektronik MOTIWALI

Perangkat elektronik terdiri atas beberapa bagian utama yaitu catu daya yang diambil dari accu dengan opsi catudaya luar DC 12 Volt, mikrokontroller sebagai pusat pengendali dan pengolah data, modul transduser dengan frekuensi resonansi 40 KHz, tegangan input maksimum 20 Vrms dan sensitivitas minimal -67 dB sebagai pengukur jarak ke permukaan air, sensor suhu digital DS18B20, dan modul data logger sebagai penyimpan dan backup data menggunakan komunikasi SPI (Serial Programming Interface). Catudaya yang digunakan adalah accu 12 Volt 7 Ampere Hour (Iqbal dan Jaya, 2011).

2.2.3. Cara kerja sensor ultrasonik dan sensor suhu

Cara kerja sensor ultrasonik terdiri dari sensor pengirim yang dikendalikan dari mikrokontroler melalui keluaran I/O dengan memberikan gelombang persegi 40 KHz. Sebelumnya gelombang persegi tersebut dikonversi baik level tegangan maupun arus serapnya menggunakan IC level converter sehingga sesuai dengan spesifikasi transduser. Sinyal pantulan kemudian diterima oleh transduser


(66)

penerima dan selanjutnya dikonversi sinyal keluarannya melalui rangkaian pengkondisi sinyal sehingga keluaran sinyal tersebut dapat diolah oleh mikrokontroler (Iqbal dan Jaya, 2011).

Cara kerja sensor suhu cukup sederhana. Sensor keluaran DALLAS Instrument ini menggunakan komunikasi 1-wire sebagai protokol keluaran data. Resistor pull-up dimaksudkan untuk menyamakan arus serap yang dimiliki sensor dan pin mikrokontroler. Dari hasil uji coba resistor pull-up yang dapat digunakan yaitu antara 4.7 –10 KΩ. Semakin besar impedansi kabel yang digunakan maka semakin besar resistansi resistor pull-up yang dihasilkan (Iqbal dan Jaya, 2011). Pada Gambar 6 dapat dilihat proses dari cara kerja perangkat lunak MOTIWALI. Keseluruhan diagram alir dari MOTIWALI dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 6. Diagram alir perangkat lunak MOTIWALI (modifikasi dari Iqbal dan Jaya, 2011)


(67)

13

2.3. Metode Fitting

Wijayanto (1994) in Notodiputro et al. (1997) mengatakan bahwa fitting data dilakukan untuk mengindari bias dari suatu data, sehingga kesalahan dari perhitungan dapat diperkecil. Menurut Betzler (2003), ada beberapa alasan dan tujuan dilakukannya fitting yaitu untuk mendapatkan sekumpulan data yang khusus (menentukan maksimum data atau titik perubahan), membuat tampilan grafik menjadi lebih baik, mendeskripsikan data dengan prinsip fisik yang mudah, dan menetukan formula untuk hubungan antara data fisik yang berbeda.

Fitting data pada umumnya dilakukan dengan metode kuadrat terkecil (least squares fitting method). Metode ini dapat dilakukan dengan mudah bila bentuk dari kurvanya telah diketahui dan sederhana (Lasijo, 2001). Menurut Luknanto (1992), regresi kuadrat terkecil adalah suatu regresi dengan

pembatasnya adalah jumlah kuadrat jarak vertikal setiap titik dalam data terhadap kurva regresi menjadi minimum. Kurva dengan derajat terkecil dapat berupa garis lurus, polynomial, atau polynomial berderajat tinggi maupun kurva jenis lainnya.

2.4. Pasang Surut

Pasang surut air laut merupakan proses naik dan turunnya permukaan air laut secara periodik yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik menarik dari benda-benda angkasa, yang terutama sekali disebabkan oleh gaya tarik matahari dan gaya tarik bulan terhadap massa air di permukaan bumi (Zakaria, 2009).

Pasang surut terjadi karena adanya gaya penggerak. Gaya-gaya penggerak pasut adalah benda-benda atmosfer, tetapi dari semua benda angkasa hanya matahari dan bulan yang sangat berpengaruh melalui tiga gerakan utama. Ketiga gerakan itu adalah (Pariwono, 1987):


(68)

1. Revolusi bulan terhadap bumi, dimana orbitnya berbentuk elips dan memerlukan waktu 29,5 hari untuk menyelesaikan revolusinya;

2. Revolusi bumi terhadap matahari, dengan orbitnya berbentuk elips dan periode yang diperlukan untuk ini adalah 365,25 hari;

3. Perputaran bumi terhadap sumbunya sendiri dan waktu yang diperlukan adalah 24 jam (one solar day).

2.4.1. Interaksi pasang surut bulan dan matahari

Interaksi pasang surut bulan dan matahari dibagi menjadi dua, yaitu pasang surut purnama dan pasang surut perbani. Pasang surut purnama merupakan pasang surut dimana posisi bumi bulan dan matahari sejajar. Keadaan ini

menyebabkan terjadinya pasang naik lebih tinggi dan surut lebih rendah. Pasang surut ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang perbani

merupakan pasang surut yang terjadi pada saat bulan, bumi dan matahari membentuk sudut 90º dan 270 º. Bulan dikatakan dalam keadaan perempat

bagian ketika pasang surut perbani terjadi (Supangat dan Susanna, 2003). Gambar 7 merupakan gambar pasang purnama dan pasang perbani yang dibentuk oleh posisi bulan dan matahari terhadap bumi.


(69)

15

Gambar 7. a) spring tide (pasut purnama), b) neap tide (pasut perbani) (Hicks, 2006)

2.4.2. Tipe pasang surut

Pada umumnya pasang surut memiliki empat tipe, yaitu (Wyrtki, 1961): 1. Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide). Merupakan pasut yang hanya

terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, ini terdapat di Selat Karimata.

2. Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide). Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam satu hari, ini terdapat di Selat Malaka hingga Laut Andaman.

3. Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing Diurnal). Merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan


(70)

satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai Selatan Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat.

4. Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal). Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur.

2.4.3. Komponen harmonik pasang surut

Rotasi bumi, revolusi bumi terhadap matahari dan revolusi bulan terhadap bumi meyebabkan resultan gaya penggerak pasang surut yang rumit dapat

diuraikan sebagai hasil gabungan sejumlah komponen harmonik pasut (harmonic constituent). Komponen harmonik tersebut dapat dibagi menjadi tiga komponen, yaitu tengah harian, harian dan periode panjang (Pariwono, 1987). Beberapa komponen harmonik yang penting dapat dilihat pada Lampiran 2.

Dari komponen harmonik yang didapat, tipe pasang surut di suatu perairan dapat diketahui dengan menggunakan persamaan yang biasa disebut dengan bilangan Formzhal (Pugh, 1987) dan klasifikasi dari tipe pasang surut berdasarkan bilangan Formzhal dapat dilihat pada Tabel 2.

=

1+ 1

2+ 2 ……….

(1)

Keterangan (Pariwono, 1987):

Hk1 = Luni-solar Diurnal Hm2 = Prinsip Lunar Semi-diurnal


(71)

17

Tabel 2. Tabel Tipe Pasang Surut Berdasarkan Bilangan Formzhal Bilangan Formnzhal Tipe Pasang Surut

0 sampai 0.25 0.25 sampai 1.50 1.50 sampai 3.00 lebih besar dari 3.00

semidiurnal

mixed, mainly semidiurnal mixed, mainly diurnal

diurnal Sumber: Pugh (1987)

2.5. Pengukuran Pasang Surut

Pengamatan naik turunnya muka laut atau pasang surut yang selama ini digunakan menggunakan dua alat, yaitu manual recording dan automatic

recording system. Manual recording merupakan alat ukur yang dibuat dari kayu atau bahan anti karat yang diberi skala ukur dengan panjang tidak lebih dari 10 meter dan dalam pengoperasiannya dibutuhkan operator untuk pembacaan skala ukurnya, sedangkan automatic recording system atau yang dikenal dengan pressure gauge atau tide gauge adalah alat ukur yang merekam secara otomatis dan datanya disimpan dalam media penyimpanan data digital (Cahyadi, 2007).

Menurut Djaja (1987), pencatatan pasang surut dapat dilakukan secara non registering, yaitu dengan pengamatan langsung untuk mengukur dan mencatat tinggi pasut dari papan ukur yang disebut tide staff, atau pengukuran secara self registering, yaitu pencatatan pasut secara otomatik dengan alat automatic gauge baik berbentuk grafik, punched tape, atau foto.

2.6. Metode Filtering

Filtering atau penapisan merupakan cara untuk memperhalus suatu data yang berfluktuasi sehingga dapat diketahui trend dari data tersebut. Filtering data dapat dilakukan dengan metode moving average (perata-rataan berjalan). Moving


(72)

average merupakan metode untuk merata-ratakan data yang dekat dengan data yang jauh tetapi masih berhubungan (Riley dan Lutgen, 1999). Secara umum moving average dapat ditulis dengan persamaan berdasarkan Gencay dan Stengos (1998) sebagai berikut,

=

1 =0−1 1 ……….. (2)

dimana n adalah periode waktu dan t adalah nilai-nilai yang akan dijumlahkan berdasarkan periode waktu. Menurut Callegaro (2010), secara singkat persamaan moving average dapat dijabarkan seperti persamaan di dibawah:


(73)

19

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan lapangan. Penelitian di laboratorium dilakukan pada 28-29 Februari 2012 yang bertempat di Workshop Akustik dan Isntrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan penelitian lapang dilakukan pada 9-11 Maret 2012 yang bertempat di perairan Pulau

Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI. Jakarta pada titik koordinat 106,61372º BT dan 5,74260º LS.

3.2. Data

3.2.1.Akuisisi data laboratorium

Data yang dikumpulkan pada pengukuran di laboratorium adalah data suhu udara manual dan data yang didapat dari instrumen MOTIWALI. Pengambilan data MOTIWALI di atur setiap 1 menit selama 1 hari. Pengukuran data suhu manual dilakukan setiap 1 jam sekali selama 1 hari. Data yang didapat dari

intrumen MOTIWALI berbentuk file dalam format *.txt yang didalamnya terdapat data waktu, jarak, dan suhu (Lampiran 5). Untuk data suhu manual didapat data waktu dan suhu udara. Pengambilan data suhu udara manual bertujuan untuk mengkoreksi suhu udara yang didapat dari instrumen MOTIWALI yang dilakukan dengan menggunakan termometer air raksa dengan skala 1 ºC. Selain data dari instrumen MOTIWALI dan data suhu manual, pada pengukuran ini diperoleh data acuan jarak sebesar 173 cm yang diukur menggunakan meteran dengan skala 1 mm untuk dibandingkan dengan data hasil pengolahan.


(1)

Lampiran 3. Kecepatan suara di udara berdasarkan suhu


(2)

Lampiran 4. Kecepatan suara di udara

Berdasarkan Bohn (1988), persamaan umum untuk kecepatan suara adalah

� =

� � (1)

karena udara utamanya tersusun dari molekul diatomic, maka nilai γ dari udara adalah 1.4, sehingga

� = 1.4

� (2)

dan PV = RT dan definisi dari densitas (ρ) adalah massa per unit volume, jadi persamaan (2) dapat ditulis menjadi

� = 1.4 (3)

karena R dan M konstan, turunan pertama dari kecepatan suara menjadi

273 (4)

dimana T merupakan suhu dalam Kelvin dan Co setara dengan kecepatan suara acuan di bawah kondisiyang telah ditetapkan.

≔331.45 1 +

273 (5)

Untuk lebih mudah melakukan perhitungan, dapat digunakan Persamaan (6) (sengpielaudio.com, 2011).


(3)

Lampiran 5. Contoh RAW data yang didapat MOTIWALI

Keterangan:

09-03-12.TXT = tanggal, bulan, dan tahun pengambilan data, Baris ke-1 = Waktu perekaman data,

Baris ke-2 = Jarak (mm), Baris ke-3 = Suhu (ºC).

*catatan = Suhu terlebih dahulu dibagi 100. Jarak terlebih dahulu dibagi 10 (cm)


(4)

Lampiran 6. Diagram alir keseluruhan perangkat lunak MOTIWALI Mulai

Cek MMC, Sensor

Kondisi Baik

Baca Nilai RTC Jam, Tanggal Baca File Config

Space MMC Waktu perekaman memenuhi? Transmit Sinyal Waktu=0 Terima Sinyal Waktu=t For i=1:10 Baca Sesnor Suhu (c) Konversi

Jarak (t, c) Hitung

rata-rata Jarak

Jumlah Jarak i>10 Simpan Data

Alarm diset=1 dan Jarak < jarak_set_alarm GSM atau Relay Kirim SMS Nyalakan Relay

Waktu Pengiriman Data

Kirim data diset=1 ya tidak ya ya tidak ya tidak ya ya tidak Kirim SMS /

Modul RF

tidak tidak


(5)

Lampiran 7. MOTIWALI

MOTIWALI Tampak Depan Komponen Utama MOTIWALI

Sensor Transduser dan suhu pada MOTIWALI

Sensor Suhu Sensor Transduser


(6)

RINGKASAN

ANUGRAH ADITYAYUDA. Pengukuran Faktor Koreksi Jarak pada Instrumen MOTIWALI. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan AGUS SALEH ATMADIPOERA.

Instrumen Mobile Tide and Water Level Instrument (MOTIWALI) merupakan alat pengukur pasang surut atau level air yang dapat digunakan untuk pengukuran bersifat mobile (bergerak) maupun tetap. Kemampuan tambahan yang dimiliki MOTIWALI berupa transmisi data menggunakan GSM atau frekuensi radio dan dilengkapi dengan sistem alarm (Iqbal dan Jaya, 2011). Berdasarkan pembagian alat pengukur pasang surut menurut Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) (2006), MOTIWALI termasuk kedalam

acoustical tide gauges. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji akurasi instrumen MOTIWALI, menganalisis pengaruh faktor koreksi suhu dalam kaitannya dengan penentuan jarak untuk pengolahan data pasang surut dari instrumen MOTIWALI, dan menentukan tipe pasang surut di perairan Pulau Pramuka secara visual.

Penelitian ini dilakukan di workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Deptartemen ITK, FPIK, IPB selama 1 hari dan di Perairan Pulau Pramuka, Kep. Seribu, DKI. Jakarta pada titik koordinat 106,61372º BT dan 5,74260º LS selama 3 hari. Pengukuran di laboratorium dilakukan dengan membandingkan jarak tetap (acuan) dengan jarak yang dihasilkan MOTIWALI. Data suhu yang didapatkan dari MOTIWALI dibandingkan dengan data suhu hasil pengukuran menggunakan termometer dengan metode Linear Least Square Fitting. Pengukuran pasang surut di lapang dilakukan dengan membandingkan pengukuran menggunakan MOTIWALI dan Mistar Pasut.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa untuk suhu MOTIWALI sebesar 21,6 ºC, di udara yang sebenarnya suhu memiliki nilai sebesar 25,1 ºC. Dengan demikian, suhu pengukuran MOTIWALI dan suhu sebenarnya memiliki perbedaan sebesar 4,5 ºC. Data jarak yang diperoleh oleh MOTIWALI memiliki nilai rataan sebesar 169,1 cm dan setelah dilakukan koreksi terhadap suhu udara data memiliki nilai rataan sebesar 171,2 cm pada pengukuran jarak tetap sebesar 173 cm. Dengan demikian, akurasi MOTIWALI meningkat sebesar 46,1%. MOTIWALI memiliki rata-rata akurasi pengukuran sebesar 1,8 cm. Hasil pengukuran lapang yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan antara pengukuran manual dan MOTIWALI dimana pengukuran MOTIWALI memiliki grafik yang lebih halus dibandingkan dengan pengukuran manual. Perbedaan ini terjadi karena MOTIWALI memiliki sampling rate yang tinggi yaitu setiap 5 menit, sedangkan manual dilakukan pengukuran setiap 15 menit. Berdasarkan hasil penelitian pasang surut menggunakan MOTIWALI didapat tipe pasang surut di perairan Pulau Pramuka secara visual yaitu pasang surut campuran dominansi tunggal dengan pasang tertinggi terjadi pada selang waktu antara pukul 18:00:00 WIB sampai 00:00:00 WIB atau waktu dari pasang ke surut lebih panjang dibandingkan waktu dari surut ke pasng.