dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Pandangan
ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an.
2.3.Pandangan Interaksionis The Interactionist View.
Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung
menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara
berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat viable, kritis-diri self- critical
, dan kreatif. Stoner dan Freeman 1991 membagi pandangan tentang konflik menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional old view dan pandangan modern
current view.
3. Proses Lahirnya Konflik
Menurut Robbins 2007 konflik bukan merupakan sesuatu yang statis, tetapi dinamis dan mempunyai proses. Konflik tidak terjadi secara tiba-tiba, namun ada kondisi
yang mendukungnya. Bila terjadi tidak secara langsung besar, tetapi mulai dari kecil pada awalnya memuncak besarnya pada klimaks dan mereda pada akhirnya. Proses terdiri dari
hal-hal berikut: 1. Kondisi yang mendahului antecedent condition
Kondisi ini terdiri dari faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya konflik, terjadinya tidak seketika, tetapi potensi untuk munculnya konflik dalam organisasi
tetap ada yaitu bersifat latent oleh karena operasi organisasi itu sendiri. 2. Kemungkinan konflik yang dilihat perceived potential conflict
Universitas Sumatera Utara
konflik terjadi saat individu mempersepsikan bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Pada tahap ini satu atau kedua belah pihak melihat kemungkinan konflik di
antara mereka. Mereka mempunyai persepsi bahwa tujuannya mulai dihalangi oleh tindakan dari orang lain.
3. Konflik yang dirasa felt conflict Pada tahap ini, konflik kepentingan dan kebutuhan terjadi. Satu pihak atau kedua
belah pihak yang terlibat melihat keadaan yang tidak memuaskan, menghambat, menakutkan dan mengancam. Pada tahap ini individu terlibat secara emosional, dan
merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan
4. Perilaku yang tampak manifest behavior Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan
berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Persepsi dan perasaan menyebabkan orang untuk bereaksi
terhadap situasi tersebut. Begitu banyak bentuk reaksi yang mungkin muncul pada tahap ini; argumentasi, tindakan agresif, atau bahkan munculnya niat baik yang
menghasilkan penyelesaian masalah yang konstruktif.
5. Konflik yang ditekan atau dikelola suppressed or managed conflict Pada tahap ini konflik yang sudah terjadi dapat ditekan atau juga diselesaikan.
Konflik yang ditekan tampak seperti sudah selesai, meskipun masalah intinya tidak ditangani atau pada tahap ini bisa juga konflik dikelola dan diselesaikan.
Berdasarkan uraian di atas maka proses terjadinya konflik diawali dengan munculnya antecendent condition, kemudian saat individu mempersepsikan bahwa di
dalam kelompok terjadi konflik maka muncullah keadaan yang disebut dengan
Universitas Sumatera Utara
konflik yang dipersepsikan perceived potensial conflict. Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap
bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan felt conflict. Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan
berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku yang disebut dengan manifest behavior dan pada akhirnya
konflik itu akan ditekan atau diselesaikan yang disebut dengan suppressed or managed conflict
Pada penelitian ini fokus kajian adalah pada kondisi yang mendahului atau melatar belakangi konflik antecedent condition.
4. Kondisi yang melatarbelakangi terjadinya konflik