Tuberkulosis juga dapat menginfeksi otak itu sendiri, membentuk massa yang disebut tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat menyebabkan gejala seperti sakit kepala, kejang, atau
kelemahan otot. Keseriusan penyakit ini tersirat melalui fakta bahwa ia dapat menyebar ke seluruh tubuh, dan dalam kasus
seperti itu, mengarah pada kegagalan ginjal, hati dan bahkan jantung, yang merupakan alasan
untuk hasil yang fatal yang berhubungan dengan komplikasi ini Tahaoglu, 2001.
Pada TBC perikarditis, terjadi kebocoran cairan ke dalam ruang antara perikardium dan jantung. Efek ini membatasi kemampuan jantung untuk memompa dan menyebabkan urat leher
bengkak dan kesulitan bernafas. Di bagian dunia dimana TB adalah umum, perikarditis TB
adalah penyebab umum dari gagal jantung Tahaoglu, 2001.
Tuberkulosis usus terjadi terutama di negara-negara berkembang. Infeksi ini mungkin tidak menimbulkan gejala apapun tetapi dapat menyebabkan pembengkakan jaringan abnormal di
perut Tahaoglu, 2001.
2.2 Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-3 bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Obat
anti tuberkulosis OAT lini pertama merupakan jenis obat utama yang digunakan. OAT lini pertama antaranya ialah Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Streptomisin dan Etambutol.
Kemasan obat-obat tersebut merupakan obat tunggal,disajikan secara terpisah, masing-masing Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol atau bisa juga sebagai obat kombinasi dosis
tetap Fixed Dose Combination-FDC. Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet. Paduan Obat Anti Tuberkulosis OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan kontinuitas pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan Tahaoglu, 2003.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB yaitu dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek
samping, mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
Universitas Sumatera Utara
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep dan jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Tahaoglu, 2003.
2.2.1 Dosis obat
Tabel 2.3. Jenis dan dosis OAT
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB multidrug resistant tuberculosis.
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease IUALTD dan WHO menyarankan
untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat
tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti dilihat pada tabel di bawah Buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia.
Obat Dosis MgKg
BBHari Dosis yang dianjurkan
------------------------------------------ Harian Intermitten
mgkgBBhari mgKgBBkali Dosis
Maks mg
Dosismg berat badankg
------------------------ 40 40-60 60
R 8-12
10 10 600
300 450 600 H
4-6 5 10
300 150 300 450
Z 20-30
25 35 2000
750 1000 1500 E
15-20 15 30
2500 750 1000 1500
S 5-18
15 15 1000
Sesuai BB 750 1000
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
Fase intensif Fase lanjutan
2 bulan 4 bulan
BB Harian
Harian 3xminggu Harian 3x minggu
RHZE 15075400275
RHZ 15075400
RHZ 150150500
RH RH 15075 150150
30- 37
2 2
2 2 2
38- 54
3 3
3 3 3
55- 70
4 4
4 4 4
71 5
5 5
5 5
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5. Paduan obat anti tuberkulosis
Kasus Paduan obat yang
dianjurkan Keterangan
I TB paru,
BTA+, BTA-, lesi luas
2 RHZE 4 RH atau 2 RHZE 6 HE
II Kambuh
Gagal pengobatan
2 RHZE 4 R3H3 - RHZE 5 RHZE sesuai hasil
Uji resistensi atau 2RHZE1 RHZE 5 RHE
3-6 kanamisin,ofloksasin, sikloserin15- 18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau
2RHZES 1 RHZE 5 RHE Bila streptomisin
alergi dapat
diganti kanamisin
II TB paru putus
berobat Lama pengobatan sebelumnya, lama
berhenti minum obat dan keadaan klinis bakteriologi dan radiologi saat ini
2 RHZES 1 RHZE 5 R3H3E3
III TB paru BTA
negatif lesi
minimal
Kronik 2 RHZE 4 RH atau 6 RHE atau 2
RHZE4 R3H3
RHZES sesuai hasil uji resistensi minimal OAT yang sensitive+ obat
lini 2 pengobatan minimal 18 bulan
IV MDR TB
Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur hidup
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Evaluasi pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat. Dari segi evaluasi klinisnya pasien harus dievaluasi setiap 2
minggu pada bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasinya harus merangkumi respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit. Selain itu, harus juga diperiksa keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisis. Dari segi evaluasi bakteriologinya harus dalam masa 0 hingga 2 bulan dan 2 hingga 6 bulan9
bulan. Tujuannya ialah untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan mikroskopis harus dilaksanakan sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan yaitu setelah fase
intensif dan pada akhir pengobatan. Evaluasi radiologinya harus dilaksanakan dalam durasi 0 hingga 2 bulan dan 2 hingga 6 bulan9 bulan. Evaluasi foto toraks dilakukan sebelum
pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan dan pada akhir pengobatan. Evaluasi efek samping secara klinis pula merangkumi pemeriksaan fungsi hati. Pemeriksaan ini diperiksa dari awal,
sebelum dan sesudah bermulanya pengobatan OAT. Fungsi hati selalunya dinilai dengan melihat kadar SGOT dan SGPT. Pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT ini bertujuan untuk mengetahui
apakah terjadinya hepatotoksisitas akibat pengambilan OAT Buku Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Di Indonesia, 2006.
2.3 Hepatotoksisitas Obat anti-Tuberkulosis