Perbandingan Sifat Kimia dan Biologi Tanah Akibat Keterbukaan Lahan Pada Hutan Reboisasi Pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara

(1)

Characteristics Caused Land Openness of Pine Reforested Forest in Pollung Sub-district of Humbang Hasundutan District, North Sumatera. Supervised by BASUKI WASIS and YADI SETIADI.

Forest clearing activity has been caused land openness in some forest areas such as reforested forest. Land openness could cause the decreasing of fertility value of forest soil. The objective of this research was to comparing of soil’s chemical and biological characteristics in open area with pine forest in pine reforested forest in Pollung sub-district of Humbang Hasundutan district, North Sumatera. This research was using secondary data of soil’s chemical and biological characteristics analysis results from Team of Living Environmental Ministry 2010. Descriptively, this research has shown that land openness has caused lower comparison of all average value of soil’s chemical and biological parameters. Highest percentage of comparison difference in open area was total of C-organic content that amounted 59,90% and total of soil fungi that amounted 94,18% lower than pine forests. Degradation of soil’s chemical and biological values was caused by the decreasing of total organic content of soil and nutrient washing by rain water. Considering to negative impact that will be caused thus needed an effort of soil resiliency through land rehabilitation by whitewashing of acid soil and re-vegetation.

Keywords: soil degradation, pine forest, open area, soil’s chemical characteristic, soil’s biological characteristic


(2)

1.1Latar Belakang

Terhitung sejak tahun 2006, luas lahan terbuka di Indonesia mencapai 60,9 juta ha, sekitar 39,2 juta ha (64,4%) berada dalam kawasan hutan negara dan sisanya 21,7 ha (35,6%) berada di luar kawasan hutan (Darori 2006). Tingginya angka kerusakan hutan tersebut, mendesak pemerintah pusat hingga pemerintah daerah bahkan pelosok desa untuk lebih gemar menanam lahan terbuka atau kegiatan reboisasi. Dinas Pertambangan dan Kehutanan Humbahas (2007) menyebutkan Kabupaten Humbahas memiliki luas kawasan hutan 95.512,84 ha, dengan hutan hasil reboisasi seluas 21.712,84 ha dengan pinus sebagai komoditinya.

Tanaman pinus (Pinus merkusii) memiliki potensi hasil hutan yang baik di Sumatera Utara. Dampak kerusakan hutan mengurangi pasokan kayu dan hasil hutan lainnya. Peningkatan potensi hutan rakyat dan hutan reboisasi merupakan alternatif utama masalah tersebut. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perambahan hutan juga telah mengancam hutan hasil reboisasi. Kabupaten Humbang Hasundutan Propinsi Sumatera Utara memiliki hutan rakyat pinus dengan estimasi luas 30.000 ha, menyebar hampir disemua Humbahas dengan estimasi produksi sekitar 130.000 m3, baik dari hutan rakyat maupun hutan reboisasi (Sanudin dan Harianja 2008).

Kerusakan akibat pemanenan kayu secara illegal di hutan reboisasi pinus menyebabkan keterbukaan lahan. Keterbukaan lahan ini berakibat meningkatnya laju aliran permukaan, erosi tanah dan sedimentasi serta menurunnya tingkat kesuburan dan stabilitas lahan (Setiadi 2010). Manajemen lahan yang kurang baik berakibat lahan terbuka mengalami degradasi, terutama pada sifat kimia dan biologi tanah. Perubahan sifat tanah dapat mengakibatkan berkurangnya umur pemakaian lahan, peningkatan potensi kekurangan hara tanah, dan menurunnya mutu produksi tanaman pinus (P. merkusii). Oleh karena itu, perlu dilakukannya penelitian mengenai perbandingan sifat kimia dan biologi tanah akibat keterbukaan lahan pada hutan reboisasi pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Propinsi Sumatera Utara.


(3)

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini membandingkan sifat kimia dan biologi tanah di lahan terbuka dengan hutan pinus yang berada pada areal hutan reboisasi pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara.

1.3Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini menyajikan informasi perbandingan sifat tanah pada lahan terbuka di hutan reboisai pinus berupa data hasil analisis sifat tanah, faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hara tanah serta solusi yang harus dilakukan dalam mengembalikan kondisi ketersediaan hara yang optimal dalam tanah.


(4)

2.1 Sifat Kimia Tanah 2.1.1 Reaksi Tanah (pH)

Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah, makin tinggi nilai kadar ion H+ dalam tanah, makin masam tanah tersebut. Nilai pH berkisar dari 0−14 dengan pH 7 disebut netral sedang pH kurang dari 7 disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut alkalis. Tanah yang terlalu masam dapat dinaikkan pHnya dengan menambahkan kapur ke dalam tanah sedangkan tanah yang terlalu alkalis dapat diturunkan pHnya dengan penambahan belerang.

Dalam tanah pH sangat penting dan erat hubungannya dengan hal-hal berikut ini:

1. Menunjukkan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman, pada umumnya unsur hara mudah diserap tanaman. Pada pH sekitar netral, unsur hara mudah diserap akar tanaman karena pada pH tersebut mudah larut dalam air. Pada tanah masam unsur P diikat (difiksasi) oleh Al, sedangkan pada tanah alkalis unsur P diikat oleh Ca sehingga unsur tersebut tidak dapat diserap tanaman.

2. Menunjukkan kemungkinan adanya unsur beracun. Pada tanah masam, unsur mikro (Fe, Mn, Zn, Cu, Co) mudah terlarut sehingga ditemukan unsur mikro berlebih sedangkan pemakaiannya dalam jumlah kecil sehingga menjadi racun.

3. Mempengaruhi perkembangan mikroorganisme. Bakteri (bakteri pengikat nitrogen dari udara dan bakteri nitrifikasi) berkembang baik pada pH 5,5 atau lebih, sedang jamur dapat berkembang baik pada segala tingkat kemasaman tanah (Hardjowigeno 2003).

2.1.2 C-Organik

Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya pertanian. Hal ini


(5)

dikarenakan bahan organik dapat meningkatakan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik (Hanafiah 2005).

Musthofa (2007) menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk C-Organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari dua persen. Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi, maka sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan bahan organik sangat erat berkaitan dengan KTK yakni mampu meningkatkan KTK tanah. Tanpa pemberian bahan organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah yang dapat merusak agregat tanah dan menyebabkan pemadatan tanah (Foth 1994).

2.1.3 N-Total

Bahan organik merupakan sumber Nitrogen (N) yang utama di dalam tanah. Pada bahan organik halus jumlah N tinggi maka perbandingan C/N rendah, sedangkan bahan organik kasar jumlah N rendah sehingga C/N tinggi. Nitrogen berfungsi memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N, berwarna lebih hijau dan berperan dalam pembentukan protein. Nitrogen diambil tanaman dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Tambahan nitrogen pada tanah berasal dari hujan dan debu, penambatan secara tak simbiosis, penambatan secara simbiosis dan kotoran hewan dan manusia. Kehilangan nitrogen dari tanah disebabkan oleh penguapan, pencucian, denitrifikasi, pengikisan dan penyerapan oleh tanaman. Denitrifikasi terjadi karena drainase buruk, lokasi tergenang, dan tata udara dalam tanah buruk (Hardjowigeno 2003).

2.1.4 P-Bray

Fosfor dalam tanah tidak dapat segera tersedia, tergantung pada sifat dan ciri tanah serta pengelolaan tanah dikarenakan laju kelarutan fosfor sangat lambat (Soepardi 1983). Kemasaman tanah memberikan fosfor terlarut dalam tanah, kenaikan pH akan menaikkan kelarutan dari ferifosfat dan alumunium sulfat dan


(6)

menurunkan dari Ca fospat. Fosfor paling mudah diserap oleh tanaman pada pH sekitar 6−7 (Hardjowigeno 1989).

Fosfor bersumber dari bahan organik, pupuk buatan, dan mineral-mineral tanah, di dalam tanah terdapat dua jenis fosfor yaitu fosfor organik dan fosfor anorganik. Bentuk fosfor organik biasanya terdapat banyak di lapisan atas yang lebih kaya akan bahan organik, diduga mengandung kurang lebih 0,21% fosfor (Hakim et al. 1986). Menurut Foth (1994) jika kekurangan fosfor, pembelahan sel pada tanaman terhambat dan pertumbuhannya kerdil.

2.1.5 Kalium (K)

Unsur K dalam tanah berasal dari mineral primer tanah (feldspar, mika dan lain-lain) dan pupuk buatan ZK. Tanaman cenderung mengambil K dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan tetapi tidak menambah produksi. Unsur K berfungsi dalam pembentukkan pati, mengaktifkan enzim, pembukaan stomata (mengatur pernapasan dan penguapan), perkembangan akar. Unsur K mudah bergerak (mobile) di dalam tanaman sehingga gejala-gejala kekurangan K pada daun terlihat terutama pada daun tua, pinggiran daun berwarna coklat dan tanaman tidak tinggi (Hardjowigeno 2003).

2.1.6 Natrium (Na)

Natrium merupakan unsur penyusun lithosfer keenam setelah Ca yaitu 2,75%. Berperan penting dalam menentukan karakteristik tanah dan pertumbuhan tanaman terutama di daerah kering dan agak kering yang berdekatan dengan pantai. Tingginya kadar Na di laut menyebabkan suatu tanah alkali jika KTK atau muatan negatif koloid-koloid dijenuhi oleh ≥ 15% Na, mencerminkan unsur ini merupakan komponen dominan dari garam-garam larut yang ada. Sebagaimana unsur mikro, Na juga bersifat toksik bagi tanaman jika terdapat dalam tanah dalam jumlah yang sedikit berlebihan (Hanafiah 2005).

2.1.7 Kalsium (Ca)

Kalsium tergolong dalam unsur-unsur mineral essensial sekunder seperti magnesium dan belerang. Ca2+ dalam larutan dapat habis karena diserap tanaman, diambil jasad renik, terikat oeh kompleks adsorpsi tanah, mengendap kembali sebagai endapan-endapan sekunder dan tercuci (Leiwakabessy 1988). Soepardi


(7)

(1983) menyatakan bahwa mudah tidaknya kalsium dibebaskan tergantung dari mineral apa dan tingkat hancurannya. Mineral utama yang banyak mengandung kalsium tanah adalah kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2). Kadar kalsium tanah mineral rata-rata adalah 0,4% pada lapisan tanah atas, sedangkan pada tanah-tanah organik kadarnya lebih tinggi, yaitu dapat mencapai 2,8%. Tingginya kadar kalsium tanah disebabkan air yang mengalir banyak membawa kapur larut di dalamnya (Hakim et al. 1986).

2.1.8 Magnesium (Mg)

Magnesium merupakan unsur pembentuk klorofil. Seperti halnya dengan beberapa hara lainnya, kekurangan magnesium mengakibatkan perubahan warna yang khas pada daun. Terkadang pengguguran daun sebelum waktunya merupakan dampak dari kekurangan magnesium (Hanafiah 2005).

2.1.9 Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca2+, Mg2+, K+, NH4+, Na+ dan sebagainya. Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100 g) dinamakan kapasitas tukar kation (KTK). KTK tanah sangat erat dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergatung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri, yakni sebagai berikut: (1) reaksi tanah, (2) tekstur atau jumlah liat, (3) jenis mineral liat, (4) bahan organik dan (5) pengapuran serta pemupukan (Hardjowigeno 2003).

2.1.10 Kejenuhan Basa (KB)

Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Termasuk kation-kation basa adalah Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+, sedang yang termasuk kation-kation asam adalah H+ dan Al3+. Jumlah maksimum kation yang dapat dijerap tanah menunjukkan besarnya nilai kapasitas tukar kation tanah tersebut. Kejenuhan basa berhubungan erat dengan pH tanah, tanah dengan pH rendah umumnya memiliki kejenuhan basa rendah begitupun sebaliknya. Tanah- tanah dengan kejenuhan basa rendah, berarti kompleks jerapan


(8)

lebih banyak diisi oleh kation-kation asam yaitu Al3+ dan H+ . Apabila jumlah kation asam terlalu banyak terutama Al3+, dapat merupakan racun bagi tanaman. Keadaan seperti ini terdapat pada tanah-tanah masam (Hardjowigeno 2003). 2.2 Sifat Biologi Tanah

2.2.1 Total Mikroorganisme Tanah

Anas (1989) menyatakan bahwa jumlah total mikroorganisme yang terdapat di dalam tanah digunakan sebagai indeks kesuburan tanah (fertility indeks), tanpa mempertimbangkan hal-hal lain. Tanah yang subur mengandung sejumlah mikroorganisme, populasi yang tinggi ini menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup dengan temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, kondisi ekologi lain yang mendukung perkembangan mikroorganisme pada tanah tersebut.

Jumlah mikroorganisme sangat berguna dalam menentukan tempat organisme dalam hubungannya dengan sistem perakaran, sisa bahan organik dan kedalaman profil tanah. Data ini juga berguna dalam membandingkan keragaman iklim dan pengelolaan tanah terhadap aktivitas organisme dalam tanah (Anas 1989).

2.2.2 Jumlah Fungi Tanah

Fungi (jamur) dibedakan menjaid yang bersifat parasitik, saprofitik dan simbiotik. Fungi parasitik adalah yang menyebabkan penyakit tanaman seperti bercak akar kapas (cotton root rot). Fungi saprofitik mendapatkan makanan dari dekomposisi bahan organik. Fungi simbiotik hidup pada akar-akar tanaman dimana tanaman maupun fungi saling beruntung misal mikorhiza. Fungi simbiotik membantu akar tanaman meningkatkan penyerapan unsur hara dengan meningkatkan luas permukaan akar yang efektif menyerap unsur hara. Fungi penting dalam tanah terutama dalam penghancuran selulosa dan lignin di samping aktif juga dalam penghancuran bahan mudah hancur seperti gula, pati dan protein (Hardjowigeno 2003).

2.2.3 Jumlah Bakteri Pelarut Fosfat (P)

Bakteri pelarut P pada umumnya dalam tanah ditemukan di sekitar perakaran yang jumlahnya berkisar 103−106 sel/g tanah. Bakteri ini dapat menghasilkan enzim Fosfatase maupun asam-asam organik yang dapat melarutkan fosfat tanah


(9)

maupun sumber fosfat yang diberikan (Santosa et al. 1999 dalam Mardiana 2006). Fungsi bakteri tanah yaitu turut serta dalam semua perubahan bahan organik, memegang monopoli dalam reaksi enzimatik yaitu nitrifikasi dan pelarut fosfat.

Pada umumnya jumlah bakteri terbanyak dijumpai di lapisan atas. Jumlah yang biasa dijumpai dalam tanah berkisar antara 3−4 milyar tiap gram tanah kering dan berubah dengan musim (Soepardi 1983).

2.2.4 Total Respirasi Tanah

Respirasi mikroorganisme tanah mencerminkan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah. Penetapan respirasi tanah didasarkan pada : (1) Jumlah CO2 yang dihasilkan, (2) Jumlah O2 yang digunakan oleh mikroba tanah. Pengukuran respirasi ini berkorelasi baik dengan peubah kesuburan tanah yang berkaitan dengan aktivitas mikroba seperti kandungan bahan organik, transformasi N atau P, hasil antara, pH dan rata-rata jumlah mikroorganisme (Anas 1989). 2.3 Bioekologi Pinus merkusii Jungh

2.3.1 Taksonomi dan Tata Nama

Pinus merupakan famili Pinaceae, sinonimnya P. sumatrana Jungh; P. finlaysoniana Wallich; P. latteri Mason; P. merkiana Gordon. Nama lokal pinus yakni tusam (Indonesia); uyam (Aceh); son song bai (Thai); merkus pine (perdagangan); Mindoro pine (Philipina); tenasserim pine (Inggris)

2.3.2 Penyebaran dan Habitat

Penyebaran pinus di kawasan Asia Tenggara menyebar di Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia (Sumatera) dan Filipina (Pulau Luzon dan Mindoro). Tersebar 23ºLU−2ºLS. Satu-satunya pinus yang sebaran alaminya sampai di Selatan khatulistiwa. Di Jawa dan Sulawesi Selatan diperkirakan sebagai hasil penanaman. Tumbuh pada ketinggian 30−1.800 mdpl, pada berbagai tipe tanah dan iklim. Curah hujan tahunan rata-rata 3.800 mm di Filipina. Di tegakan alam Sumatera (Aceh,Tapanuli dan Kerinci) tidak satupun curah hujan kurang dari 50 mm, artinya tidak ada bulan kering. Suhu tahunan rata-rata 19−28ºC (Hidayat dan Hansen 2001).


(10)

2.3.3 Pembungaan dan Pembuahan

Strobili jantan dan betina dapat ditemukan sepanjang tahun. Puncak pembungaan di Indonesia Maret dan berakhir Juni. Penyerbukan oleh angin, perkembangan menjadi buah selama 11 15 bulan. Di Indonesia puncak pembuahan bulan Mei−Juli, bervariasi menurut pohon maupun antar tegakan. Pohon mulai menghasilkan benih setelah umur 10−15 tahun. Benih disebarkan angin (Hidayat dan Hansen 2001).

2.3.4 Kegunaan

Kayunya untuk berbagai keperluan, konstruksi ringan, mebel, pulp, korek api dan sumpit. Pinus juga sering disadap getahnya. Pohon tua dapat menghasilkan 30−60 kg getah, 20−40 kg resin murni dan 7−14 kg terpentin per tahun. Cocok untuk rehabilitasi lahan kritis, tahan kebakaran dan tanah tidak subur (Hidayat dan Hansen 2001).


(11)

3.1Waktu dan Lokasi Penelitian

Penyiapan dan analisis data sekunder hasil penelitian dari Tim Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dilakukan di Laboratorium Pengaruh Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2011.

3.2 Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil analisis sifat kimia dan biologi tanah yang merupakan hasil penelitian dari Tim Peneliti Kementerian Negara Lingkungan Hidup, pengambilan sampel dilakukan di hutan hasil reboisasi pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 sampai dengan 17 Agustus 2010, analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Fakultas pertanian IPB.

3.3 Metode Penelitian

Data sekunder hasil analisis sifat kimia tanah berupa data sifat kimia dan biologi tanah pada hutan pinus dan lahan terbuka yang diperoleh dari Tim Peneliti Kementerian Lingkungan Hidup dianalisis secara deskriptif dengan cara membandingkan nilai pada masing-masing parameter sifat kimia dan biologi tanah antara kedua lokasi, kemudian dihitung persentase selisih nilai parameter tersebut untuk mengetahui tingkat ketersediaan hara pada semua parameter sifat kimia dan biologi tanah di lahan terbuka akibat keterbukaan lahan di hutan reboisasi pinus tersebut (Sevila et al. 1993).

3.4 Analisis Data

Analisis data penelitian ini menggunakan analisis data secara deskriptif dengan cara membandingkan data sekunder hasil analisis sifat kimia dan biologi tanah di lahan terbuka dengan hutan pinus.


(12)

4.1 Luas dan Lokasi

Kabupaten Humbang Hasundutan adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Utara, tanggal 28 Juli 2003 sesuai dengan UU Nomor 9 tahun 2003, yang terletak di tengah Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Humbahas dengan luas wilayah 233,533 ha memiliki luas kawasan hutan 95.512,84 ha yang terdiri dari hutan lindung (HL) 29.100 ha, hutan produksi (HP) 41.600 ha, hutan produksi terbatas (HPT) 3.100 ha dan hutan reboisasi(inlijving) 21.712,84 ha. Hutan rakyat pinus menyebar hampir di semua Humbahas dengan estimasi luas 30.000 ha dan estimasi produksi sekitar 130.000 m3, baik dari hutan rakyat maupun hutan reboisasi (Dinas Pertambangan dan Kehutanan Humbahas 2007).

Kabupaten Humbahas terdiri dari 10 kecamatan, 1 kelurahan dan 117 desa. Memiliki jumlah penduduk 155.222 jiwa. Lokasi penelitian berada di Desa Pasingguran Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara. Lokasi tersebut merupakan daerah pesisir Danau Toba.

4.2 Keadaan Geografis dan Topografis

Letak geografis kabupaten Humbahas terletak diantara 2º1” 2º28’ Lintang Utara, 98º10” 98º58’ Bujur Timur, dengan batas kabupaten sebelah Utara adalah Kabupaten Samosir, sebelah Timur adalah Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah Selatan adalah Kabupaten Tapanuli Tengah dan sebelah Barat adalah Kabupaten Pakpak Barat. Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah dataran tinggi yang mempunyai ketinggian bervariasi antara 330−2.075 mdpl, dengan perincian: (1) Datar = 260,95 km2, (2) Landai = 459,60 km2, (3) Miring = 993,68 km2, (4) Terjal = 621,10 km2 (Sanudin dan Harianja 2008).


(13)

Gambar 1 Peta Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara (Sanudin dan Harianja 2008)

Lokasi penelitian


(14)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Sifat Kimia Tanah

Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu pH tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa. Sampel tanah diambil di hutan pinus dan lahan terbuka bekas tebangan 5 bulan, masing-masing pada kedalaman 0−20 cm dari permukaan tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada bentang lahan dan waktu yang sama oleh Tim Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada tahun 2010. Hasil analisis sifat kimia tanah di hutan pinus disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil analisis sifat kimia tanah di hutan pinus

No. Sifat Kimia Hutan Pinus

Plot 1 Plot 2 Plot 3 Rata-rata

1 pH 5,00 5,20 5,40 5,20

2 C-Org (%) 48,15 32,54 25,66 35,45

3 N Total (%) 0,47 0,42 0,43 0,44

4 P Bray (ppm) 23,80 17,80 27,40 23,00

5 Ca (me/100g) 3,06 3,63 5,81 4,17

6 Mg (me/100g) 6,73 6,92 3,46 5,70

7 K (me/100g) 0,36 0,49 0,10 0,32

8 Na (me/100g) 0,41 0,30 0,15 0,29

9 KTK (me/100g) 34,76 39,90 54,20 42,95

10 KB (%) 30,40 39,90 54,20 41,50

Hasil analisis sifat kimia tanah di atas, data tersebut memperlihatkan parameter sifat kimia tanah di hutan pinus Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara memiliki nilai yang bervariasi dari tiga plot pengamatan. Tabel 1 menunjukkan bahwa tanah di hutan pinus tergolong masam dengan pH rata-rata dari tiga plot pengamatan sebesar 5,20. Persentase nilai C-Org sebesar 35,45% dan N total sebesar 0,44%. Hutan pinus memiliki kandungan P sebesar 23,00 ppm dan jumlah kation basa di antaranya Ca 4,17 me/100g, Mg 5,70 me/100g, K 0,32 me/100g dan Na 0,32 me/100g. KTK dan kejenuhan basa memiliki kesamaan nilai antara plot 2 dan plot 3 masing-masing sebesar 39,90% dan 54,20%.


(15)

Tabel 2 Hasil analisis sifat kimia tanah di lahan terbuka

No. Sifat Kimia Lahan Terbuka

Plot 1 Plot 2 Plot 3 Rata-Rata

1 pH 4,80 4,50 3,90 4,40

2 C-Org (%) 18,62 20,84 3,19 14,22

3 N Total (%) 0,28 0,36 0,23 0,29

4 P Bray (ppm) 23,50 8,60 14,30 15,47

5 Ca (me/100g) 2,44 1,16 3,24 2,28

6 Mg (me/100g) 4,67 3,55 1,28 3,17

7 K (me/100g) 0,44 0,36 0,03 0,28

8 Na (me/100g) 0,37 0,29 0,12 0,26

9 KTK (me/100g) 28,60 34,70 44,90 36,07

10 KB (%) 28,60 34,70 44,90 36,07

Tabel 2 menginformasikan semua parameter kimia tanah di lahan terbuka lebih rendah dibandingkan di hutan pinus. Nilai pH rata-rata di lahan terbuka sebesar 4,40. Keterbukaan lahan menyebabkan hilangnya sejumlah bahan organik tanah, pada plot 3 menunjukkan nilai kandungan C-Org sebesar 3,19% lebih rendah dibandingkan dengan nilai C-Org di plot lain, sedangkan nilai C-Org rata-rata sebesar 14,22%. Nilai K di plot 3 juga memiliki nilai yang lebih rendah sebesar 0,03 me/100g. Terdapat kesamaan nilai KTK dan KB pada setiap plot. Secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa hilangnya penutupan lahan menyebabkan degradasi tanah meningkat di lahan terbuka. Perbandingan nilai sifat kimia tanah yang bervariasi pada setiap plot di lahan terbuka menunjukkan keterbukaan lahan sangat berpengaruh terhadap nilai tersebut.

Uraian di atas memberikan informasi bahwa secara deskriptif nilai rata-rata parameter sifat kimia tanah di lahan terbuka memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan di hutan pinus. Kegiatan perambahan hutan yang berlangsung sejak tahun 2010 pada umur tebangan 5 bulan menyebabkan sebagian besar suplai bahan organik berpindah dan hilang. Keterbukaan lahan akibat perambahan hutan juga menyebabkan kation basa atau unsur hara essensial seperti Ca dan Mg hilang tercuci oleh air hujan dan erosi tanah.


(16)

Tabel 3 Rekapitulasi perbandingan nilai rata-rata sifat kimia tanah di hutan pinus dan lahan terbuka

No. Sifat Kimia Hutan Pinus

(X)

Lahan Terbuka (Y)

Selisih Perbandingan

(Y-X)

Persentase perbandingan

(%)

1 pH 5,20 4,40 -0,80 15,38

2 C-Org (%) 35,45 14,22 -21,23 59,90

3 N Total (%) 0,44 0,29 -0,15 34,09

4 P Bray (ppm) 23,00 15,47 -7,53 32,75

5 Ca (me/100g) 4,17 2,28 -1,89 45,28

6 Mg (me/100g) 5,70 3,17 -2,53 44,39

7 K (me/100g) 0,32 0,28 -0,04 12,63

8 Na (me/100g) 0,29 0,26 -0,03 9,30

9 KTK (me/100g) 42,95 36,07 -6,88 16,02

10 KB (%) 41,50 36,07 -5,43 13,09

Keterangan: (-) lebih rendah

Hasil selisih antara setiap nilai parameter sifat kimia menunjukkan nilai perbandingan yang bervariasi seperti yang disajikan pada Tabel 3. Besarnya nilai perbandingan setiap parameter sifat kimia tanah membuktikan bahwa kegiatan perambahan hutan yang berlangsung sejak tahun 2010 pada umur tebangan 5 bulan memberikan dampak persentase perbandingan paling tinggi adalah kandungan C-organik sebesar 59,90%, kemudian Ca 45,28% dan Mg 44,39% dari jumlah rata-rata nilai kimia tanah di hutan pinus. Persentase perbandingan terendah adalah jumlah Na sebesar 9,30%, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.


(17)

5.1.2 Sifat Biologi Tanah

Parameter sifat biologi yang dianalisis di antaranya sebagai berikut: total mikroorganisme tanah, jumlah fungi tanah, jumlah bakteri pelarut P dan total respirasi tanah. Hasil analisis sifat biologi tanah dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil analisis sifat biologi tanah di hutan pinus

No. Sifat Biologi tanah Hutan Pinus

Plot 1 Plot 2 Plot 3 Rata-rata 1 Total Mikroorganisme tanah

(x 106 spk/g) 25,00 23,50 17,50 22,00

2 Jumlah Fungi Tanah

(x 104 spk/g) 9,50 4,00 3,50 5,67

3 Jumlah Bakteri Pelarut P

(x 103 spk/g) 7,00 33,00 1,00 13,67

4 Total Respirasi Tanah (mgC-CO2/kg tanah/hari)

12,90 16,80 10,20 13,30

Data hasil analisis sifat biologi tanah seperti yang ditampilkan pada Tabel 8, memberikan informasi bahwa dari empat parameter sifat biologi tanah tersebut nilai total mikroorganisme tanah rata-rata sangat dominan sebesar 22,00 x 106 spk/g, kemudian jumlah bakteri pelarut P sangat besar di plot 2 sebesar 33,00 x 103 spk/g dibandingkan dengan plot 3 hanya 1,00 x 103 spk/g. Kondisi hutan yang masih baik menunjukkan aktivitas mikroorganisme di dalamnya cukup tinggi.

Keterbukaan lahan menyebabkan hilangnya sumber energi dan kondisi ekologi pada ekosistem tanah terganggu. Secara langsung berdampak pada jumlah dan aktivitas organisme tanah (Tabel 5).

Tabel 5 Hasil analisis sifat biologi tanah di lahan terbuka

No. Sifat Biologi tanah Lahan Terbuka

Plot 1 Plot 2 Plot 3 Rata-Rata 1 Total Mikroorganisme tanah

(x 106 spk/g) 10,00 9,50 2,50 7,33

2 Jumlah Fungi Tanah

(x 104 spk/g) 0,00 0,00 1,00 0,33

3 Jumlah Bakteri Pelarut P

(x 103 spk/g) 6,00 2,00 1,00 3,00

4 Total Respirasi Tanah (mgC-CO2/kg tanah/hari)

11,70 12,90 7,50 10,70

Lahan terbuka memiliki nilai selisih yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan pinus. Bahkan pada plot 1 dan 2 tidak ditemukan fungi tanah. Pada plot 3


(18)

memiliki kandungan biologi tanah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan plot pengamatan lainnya. Aktivitas mikroorganisme memburuk ditandai dengan rendahnya nilai total respirasi tanah dibandingkan dengan di hutan pinus. Tabel 5 menunjukkan parameter yang sangat signifikan perbandingannya adalah jumlah fungi tanah.

Perbandingan nilai biologi tanah antara hutan pinus dengan lahan terbuka secara deskriptif dapat menggambarkan status biologi tanah pada hutan reboisasi pinus yang terdegradasi tersebut. Kondisi yang telah disajikan di atas menjelaskan semua parameter-parameter biologi tanah mengalami perbandingan yang lebih rendah pada lahan terbuka. Untuk melihat perbandingan selisih pada masing-masing parameter biologi tanah tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil rekapitulasi perbandingan nilai rata-rata sifat biologi tanah di hutan pinus dan lahan terbuka

No. sifat biologi tanah Hutan

Pinus (X) Lahan Terbuka (Y) Selisih perbandingan (Y-X) Persentase perbandingan (%) 1 Total Mikroorganisme tanah

(x 106 spk/g) 22,00 7,33 -14,67 66,68

2 Jumlah Fungi Tanah

(x 104 spk/g) 5,67 0,33 -5,34 94,18

3 Jumlah Bakteri Pelarut P

(x 103 spk/g) 13,67 3,00 -10,67 78,05

4 Total Respirasi Tanah

(mgC-CO2/kg tanah/hari) 13,30 10,70 -2,60 19,55

Keterangan: (-) lebih rendah

Jika melihat dari hasil rekapitulasi data di atas, dapat disebutkan bahwa keempat parameter memiliki selisih yang sangat tinggi >50% pada kedua lokasi kecuali total respirasi tanah sebesar 19,55%. Kegiatan perambahan hutan pada umur tebangan 5 bulan mengakibatkan 94,18% jumlah fungi tanah hilang dari tanah. Sedangkan total mikroorganisme tanah sebesar 66,68% dan bakteri pelarut P sebesar 78,05%. Persentase perbandingan parameter biologi tersebut dapat diilustrasikan pada Gambar 3.


(19)

Gambar 3 Persentase selisih nilai biologi tanah di lahan terbuka

Gambar 3 menginformasikan persentase selisih jumlah fungi tanah di lahan terbuka sangat tinggi dibandingkan dengan parameter lainnya. Sebagian besar aktivitas mikroba tanah sangat dipengaruhi oleh sifat kimiawi tanah. Keterbukaan lahan juga berakibat menurunnya kondisi ekologi pada ekosistem tanah sehingga keseimbangan yang mendukung kehidupan perkembangbiakan biota tanah terganggu.  

5.2Pembahasan

Kegiatan perambahan hutan di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara yang sedang berlangsung hingga saat ini, menyebabkan sebagian kawasan hutan reboisasi pinus mengalami keterbukaan lahan kembali. Hal tersebut dapat mengancam hilangnya fungsi lindung hutan, apalagi kawasan ini berada di sekitar Danau Toba. Saat ini kondisi lahan terbuka pada umur tebangan 5 bulan tidak menyisakan vegetasi yang dominan hanya berupa ilalang dan bekas areal pemanenan hutan.

Keterbukaan lahan mengakibatkan meningkatnya laju aliran permukaan, erosi tanah dan sedimentasi serta menurunnya tingkat kesuburan dan stabilitas lahan (Setiadi 2010). Dampak yang paling signifikan yaitu terjadi degradasi tanah ditandai dengan memburuknya kualitas sifat tanah (fisik, kimia dan biologi)


(20)

sehingga tidak mampu menghasilkan produk. Kondisi iklim Indonesia dengan curah hujan dan suhu yang tinggi khususnya Indonesia bagian barat, menyebabkan tanah-tanah sangat rentan terdegradasi menjadi lahan kritis. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara menyebutkan angka curah hujan tahunan di Kabupaten Humbang Hasundutan sebesar 3.322 mm di tahun 2010 bersumber dari stasiun klimatologi Sampali Medan. Degradasi yang paling penting di iklim tropis basah adalah erosi tanah, degradasi sifat kimia tanah berupa penurunan kandungan bahan organik tanah dan pencucian unsur hara (Firmansyah 2003).

Tingkat kecepatan bahaya erosi dan pencucian hara juga dipengaruhi oleh kondisi topografi di lokasi tersebut. Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki kontur yang relatif miring.

5.2.1 Perbandingan sifat kimia tanah

Setelah menganalisis data parameter sifat kimia tanah pada hasil penelitian di atas dijelaskan bahwa pada keseluruhan parameter kimia tanah mengalami selisih penurunan nilai rata-rata kimia tanah di lahan terbuka terhadap hutan pinus. Dampak terjadinya degradasi kimia tanah akibat keterbukaan lahan adalah penurunan kandungan bahan organik tanah dan pencucian unsur hara. Reaksi tanah di lahan terbuka menjadi lebih masam ditandai dengan pH 4,40. Perbandingan yang lebih rendah ini disebabkan oleh keterbukaan lahan yang menyebabkan terjadinya pencucian kation basa saat hujan.

Foth (1994) menjelaskan akibat meningkatnya perpindahan air melalui tanah maka kation basa seperti Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+ akan hilang dari tanah kemudian H+ mulai menjenuhi kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa pun menurun. Selama pencucian terus menerus pH tanah akan menurun berdasarkan reduksi dari pH bahan organik. Pada kondisi masam, alumunium akan tertarik ke luar struktur liat dan menduduki muatan-muatan negatif yang kosong. Aluminium dapat ditukar (Aldd) ini diadsorpsi sangat kuat oleh koloid dan ketika terjadi hidrolisis Al, hal ini menjadi sumber utama ion-ion H+. Faktor-faktor lain yang kadangkala mempengaruhi pH tanah terutama di daerah industri gas, antara lain adalah sulfur jika bereaksi dengan air akan menghasilkan asam sulfur dan asam nitrit yang secara alamiah merupakan komponen dari air hujan (Hanafiah 2005).


(21)

Dampak terjadinya degradasi kimia tanah akibat keterbukaan lahan adalah penurunan kandungan bahan organik tanah dan pencucian unsur hara. Kandungan C-Organik merupakan penyusun utama bahan organik tanah. Fakta yang menarik bahwa jumlah bahan organik total sama pada setiap ekosistem tetapi sebagian besar bahan-bahan organik didalam hutan terdapat di dalam hutan terdapat pada pohon-pohon yang tegak yaitu jaringan organik tanaman baik berupa daun, batang/cabang, ranting, buah maupun akar, sementara itu lebih dari 90% bahan organik terdapat di dalam tanah (Foth 1994). Hal tersebut membuktikan bahwa tingginya kandungan C-Organik dihutan pinus sebesar 35,45% berasal dari vegetasi pinus dan biologi tanah didalamnya. Perambahan hutan menjadi faktor penyebab tingginya selisih perbandingan sebesar 21,23% jumlah kandungan C-Organik menjadi 14,22% atau 59,90% lebih rendah dibandingkan hutan pinus. Foth (1994) menyebutkan jika terjadi penebangan hutan maka bersamaan dengan itu terjadi pemindahan setengah dari bahan organik tanah. Menurunnya jumlah bahan organik tanah disebabkan oleh hilangnya penutupan lahan sehingga pemasok utama bahan organik tanah pun hilang. Keberadaan bahan organik tanah ini sangat penting dalam penentuan kesuburan suatu tanah.

Pada bahan organik tersimpan unsur-unsur hara seperti N total, hara essensial, mineral tanah dan sebagainya. Secara biologis merupakan sumber energi dan karbon bagi organisme hidup dan mikrobia heterotrofik. Berkurangnya jumlah kandungan N Total seiring dengan berkurangnya bahan organik tanah. Hardjowigeno (2003) menjelaskan nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik tanah dan pengikatan mikroorganisme N di udara. Rendahnya nilai kandungan N total sangat dipengaruhi oleh pH masam dan jenis bahan organik. Nilai pH yang semakin masam di lahan terbuka menyebabkan proses dekomposisi bahan organik sangat lambat juga bahan organik yang berasal dari pinus sulit dihancurkan sehingga fiksasi N dalam tanah terhambat. Nitrogen dalam tanah dikenal dengan istilah humus dan dapat berbentuk protein, senyawa amino, ammonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Hilangnya N dari tanah juga disebabkan penggunaan untuk metabolisme tanaman dan mikrobia selain itu juga N dalam bentuk nitrat sangat mudah tercuci oleh air hujan (Hanafiah 2005). Angka curah hujan yang tinggi dan tanpa penutupan lahan menyebabkan aliran permukaan


(22)

meningkat bersama hilangnya kandungan N Total. Oleh karena itu di lahan terbuka kandungan N hanya sebesar 0.29 % atau 34,09 % lebih rendah dari hutan pinus.

P-tersedia dalam tanah relatif lebih cepat menjadi tidak tersedia akibat segera terikat oleh kation tanah (terutama Al dan Fe pada kondisi masam atau dengan Ca dan Mg pada kondisi netral) selain itu yang menjadi faktor ketidak tersediaan P dalam tanah akibat menurunnya pH tanah di lahan terbuka menjadi masam atau dibawah 5,6. P optimum tersedia pada pH berkisar 6,0−7,0 (Foth 1994). Fosfor dalam tanah tidak dapat segera tersedia, hal ini tergantung pada sifat dan ciri tanah serta pengelolaan tanah, hal tersebut dikarenakan laju kelarutan fosfor sangat lambat (Soepardi 1983). Penurunan jumlah kandungan unsur P sebesar 7,53 ppm (32,75%) juga merupakan dampak dari hilangnya bahan organik tanah. Fosfor bersumber dari bahan organik, pupuk buatan, dan mineral-mineral tanah, di dalam tanah terdapat dua jenis fosfor yaitu fosfor organik dan fosfor anorganik. Bentuk fosfor organik biasanya terdapat banyak di lapisan atas yang lebih kaya akan bahan organik diduga mengandung kurang lebih 0,21% fosfor (Hakim et al. 1986).

Pembahasan sebelumnya menyebutkan bahwa reaksi tanah pada kedua lokasi baik hutan pinus maupun lahan terbuka pH tanah tergolong masam. Peningkatan kemasaman tanah ini diperlihatkan dengan lebih rendahnya pH tanah di lahan terbuka berdampak pada hilangnya kation-kation basa seperti Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+. Kandungan kalsium (Ca) dihutan pinus 4,17 me/100g sedangkan di lahan terbuka 2,28 me/100g atau 45,28% lebih rendah. Kalsium tergolong dalam unsur-unsur mineral essensial sekunder seperti magnesium dan belerang. Ca2+ dalam larutan dapat habis karena diserap tanaman, diambil jasad renik, terikat oleh kompleks adsorpsi tanah, mengendap kembali sebagai endapan-endapan sekunder dan tercuci (Leiwakabessy 1988). Kalsium dan magnesium memiliki kesamaan yaitu bervalensi dua dan merupakan kation penyusun kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2) yang terkait dengan upaya pengapuran tanah masam (Hanafiah 2005). Menurut Foth (1994) kation dengan valensi lebih besar diabsorbsi lebih kuat atau lebih efisien daripada kation dengan valensi yang lebih rendah yaitu


(23)

Ca>Mg>K>Na. Ketersediaan Ca dan Mg terkait dengan kapasitas tukar kation dan persen kejenuhan kation basa.

Magnesium sangat berperan dalam pembentukan klorofil dan aktivator pada beberapa sistem enzim. Berdasarkan hasil analisis parameter kimia tanah kandungan magnesium di hutan pinus relatif tinggi 5,70 me/100g dan 3,17 me/100g di lahan terbuka. Persentase penurunan Ca dan Mg tergolong tinggi berturut-turut sebesar 45,28% dan 44,39%. Kation basa lainnya yaitu kalium dan natrium, unsur K merupakan unsur hara makro kedua setelah N yang paling banyak diserap oleh tanaman. Ketersediaan K dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tipe koloid tanah, temperatur, kondisi basah-kering pH tanah dan tingkat pelapukan (Hanafiah 2005). Ion-Ion K dengan valensi satu tidak terikat secara kuat dibandingkan Ca dan Mg yang bervalensi dua.

Pembukaan hutan dengan curah hujan yang cukup tinggi menyebabkan K terlarut jika tidak dimanfaatkan oleh tanaman atau mikrobia akan mudah hilang melalui aliran air tanah atau pencucian air hujan. Pengambilan K oleh tanaman cenderung mengambil K dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan tetapi tidak menambah produksi. Perbandingan kandungan K dalam tanah antara hutan pinus dan lahan terbuka relatif stabil dengan perbandingan selisih 12,63% sebesar 0,04 me/100g.

Jumlah kandungan natrium memiliki persentase selisih terkecil 9,30% sebesar 0,03 me/100g dibandingkan parameter kimia lainnya. Ketersediaan unsur natrium ini relatif stabil terhadap keterbukaan lahan, menunjukkan bahwa unsur natrium termasuk sebagai hara non essensial sangat sedikit kebutuhannya untuk tanaman. Walaupun kebutuhannya kecil tetapi harus tetap tersedia dalam tanah, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.

Uraian di atas menjelaskan kation atau unsur-unsur hara tersebut terlarut dalam air tanah atau di jerap oleh koloid-koloid tanah. Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100 g) dinamakan kapasitas tukar kation (KTK) (Hardjowigeno 2003). Persentase selisih perubahan KTK tanah 16,02% atau sebesar 6,88 me/100g lebih rendah dibandingkan di hutan pinus. Besarnya nilai pH, kandungan C-Organik dan kation basa (Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+) sangat erat kaitannya dengan KTK tanah. KTK


(24)

tanah di hutan pinus sebesar 42,95 me/100g sedangkan di lahan terbuka sebesar 36,07 me/100g. Sebagian besar tanah, bahan organik merupakan komponen dengan kapasitas tukar kation paling besar. Perubahan pH tanah juga menentukkan besarnya nilai KTK tanah. KTK merupakan sifat kimia tanah yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah yakni sebanding dalam kemampuan menjerap dan menyediakan unsur hara tanaman (Hardjowigeno 2003).

Nilai KTK efektif sering disebut sebagai kejenuhan basa (% KB). Besarnya jumlah kation basa di atas, kation-kation basa umumnya merupakan unsur hara essensial bagi tanaman dan sangat mudah tercuci oleh air hujan. Penyebab menurunnya nilai perbandingan kejenuhan basa pada lahan terbuka adalah disebabkan oleh faktor pencucian hara akibat air hujan dan pembukaan lahan. Tanah-tanah dengan KB rendah berarti kompleks jerapan lebih banyak diisi oleh kation asam yaitu Al3+ dan H+ . ditandai dengan pH tanah menjadi lebih masam seperti pada penelitian ini. Persentase selisih perubahan KB tanah sebesar 13,09%.

Perambahan hutan menyebabkan sebagian besar suplai bahan organik berpindah dan menurun. Keterbukaan lahan akibat perambahan yang tidak terkendali menyebabkan kation basa atau unsur hara essensial seperti Ca dan Mg hilang tercuci oleh air hujan dan erosi tanah.

Pada umumnya kimia tanah merupakan bagian yang relatif kecil dibandingkan dengan jumlah unsur total yang ada di dalam tanah, namun kimia tanah tersedia bagi tanaman dan penting untuk pertumbuhan tanaman. Perubahan baik meningkat atau menurunnya nilai kimia tanah sangat perlu diperhatikan. Hal yang perlu diperhatikan terutama kemampuan resiliensi tanah yaitu kemampuan sistem tanah untuk kembali pada kondisi semula. Upaya resiliensi erat kaitannya dengan kegiatan rehabilitasi dan evaluasi kesesuaian dan kemampuan lahan untuk mencapai kesuburan lahan.

5.2.2 Perbandingan sifat biologi tanah

Perbandingan sifat biologi tanah di hutan pinus dan lahan terbuka menghasilkan kecenderungan yang sama dengan parameter sifat kimia tanah. Interaksi saling membutuhkan dan ketergantungan menyebabkan ketersediaan


(25)

parameter biologi tanah seperti total mikroorganisme tanah, jumlah fungi tanah, jumlah bakteri pelarut P dan total respirasi tanah mengalami selisih yang sangat besar pada lahan terbuka. Pembukaan lahan menyebabkan hilangnya bahan organik tanah, menurunnya pH dan KTK tanah maka ketersedian hara atau makanan pun berkurang dan juga merusak susunan ekologi pada ekosistem tanah.

Hasil analisis sifat biologi tanah, jumlah mikroorganisme tanah memiliki selisih 14,67 x 106 spk/g atau 66,68% lebih rendah dari hutan pinus. Pada lahan terbuka, total mikroorganisme tanah adalah sebesar 7,33 x 106 spk/g. Tanah yang subur mengandung sejumlah mikroorganisme, populasi yang tinggi ini menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup dengan temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, kondisi ekologi lain yang mendukung perkembangan mikroorganisme pada tanah tersebut. Mikrobia ini sangat berperan dalam mensuplai bahan organik tanah terutama dalam membantu dekomposisi senyawa organik tanah.

Hal serupa juga dialami pada jumlah fungi dan bakteri pelarut P, perubahan kondisi keterbukaan lahan menyebabkan ketidaksesuaian ekologi bagi fungi dan bakteri. Jumlah fungi tanah berubah sangat signifikan bahkan tidak diketemukan pada beberapa lokasi atau plot penelitian di lahan terbuka. Jumlah fungi tanah di lahan terbuka hanya sebesar 0,33 x104 spk/g. Persentase selisih perbandingan jumlah fungi tanah tertinggi dibandingkan parameter biologi lainnya sebesar 94,18% dari jumlah rata-rata di hutan pinus. Fungi simbiotik hidup pada akar-akar tanaman di mana tanaman maupun fungi saling beruntung. Fungi penting dalam tanah terutama dalam penghancuran selulosa dan lignin di samping aktif juga dalam penghancuran bahan yang mudah hancur seperti gula, pati dan protein. Jenis fungi tanah yang penting dalam tanah yaitu salah satunya mikoriza (Hardjowigeno 2003).

Sedangkan bakteri pelarut P pada umumnya dalam tanah ditemukan di sekitar perakaran yang jumlahnya berkisar 103−106 sel/g tanah. Hasil penelitian ini besarnya jumlah bakteri pelarut P di lahan terbuka berjumlah 3,00 x103 spk/g, lebih rendah 78,05% dari hutan pinus. Bakteri ini dapat menghasilkan enzim phosphatase maupun asam-asam organik yang dapat melarutkan fosfat tanah maupun sumber fosfat yang diberikan (Santosa et al. 1999 dalam Mardiana 2006).


(26)

Selain berubahnya ekologi tanah baik suhu, iklim dan penutupan lahan, pH tanah juga sangat mempengaruhi perkembangbiakan bakteri. Hardjowigeno (2003) menyebutkan bakteri mampu berkembang dengan baik pada pH 5,5 atau lebih, sedangkan di lahan terbuka sebesar pH 4,4.

Bentuk perubahan pada parameter biologi tanah lainya adalah total respirasi tanah. Pada hutan pinus total respirasi tanah sebesar 13,30 mgC-CO2/kg tanah/hari namun pada lahan terbuka memiliki selisih 2,60 mgC-CO2/kg (19,55%) lebih rendah dibandingkan hutan pinus yakni sebesar 10,70 mgC-CO2/kg. Menurut Anas (1989) respirasi tanah mencerminkan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah. Penetapan respirasi tanah didasarkan pada: (1) Jumlah CO2 yang dihasilkan, (2) Jumlah O2 yang digunakan oleh mikroba tanah. Pengukuran respirasi ini berkorelasi baik dengan peubah kesuburan tanah yang berkaitan dengan aktivitas mikroba seperti kandungan bahan organik, transformasi N atau P, pH dan rata-rata jumlah mikroorganisme (Anas 1989).

 


(27)

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan penelitian ini menunjukkan semua parameter sifat kimia dan biologi tanah pada hutan reboisasi pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara memiliki perbandingan yang relatif lebih rendah di lahan terbuka dibandingkan dengan di hutan pinus. Keterbukaan lahan menyebabkan penurunan bahan organik tanah dan pencucian hara oleh air hujan. Hal ini mengakibatkan sebagian besar kation basa yang merupakan unsur hara essensial bagi tanaman, larut dan hilang akibat tercuci. Kejenuhan basa rendah maka pH tanah lebih masam di lahan terbuka. Nilai pH erat kaitannya dengan KTK dan kesuburan tanah, pH masam memiliki kemampuan menyediakan hara tanah kurang baik.

6.2 Saran

Rehabilitasi lahan sangat perlu dilakukan di lahan terbuka untuk mengurangi pencucian hara akibat keterbukaan lahan dan upaya peningkatan kandungan hara dengan pemberian bahan organik tanah (kompos).


(28)

HASUNDUTAN SUMATERA UTARA

MOHAMAD EKO PURWANTO

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(29)

Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.

Darori. 2006. Potret program gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (gagasan, capaian dan kebutuhan reorientasi program). Di dalam: Seminar Nasional Arah Pembentukan Unit Manajemen, Kelembagaan Kawasan Kelola dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan; Yogyakarta, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada 29−30 Agustus 2006.

Dinas Pertambangan dan Kehutanan Kabupaten Humbahas. 2007. Data Pembangunan Kehutanan Kabupaten Humbahas Sampai Akhir Tahun 2006. Dolok Sanggul: Dinas Pertambangan dan Kehutanan Kabupaten Humbahas. Foth HD. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Erlangga.

Hakim N, Yusuf N, Lubis AM, Sutopo GN, Amin MD, Go BH, Bailley HH. 1986. Dasar- dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung Press. Hanafiah KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Hardjowigeno S. 1989. Ilmu Tanah. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa.

Hardjowigeno S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: Akademika Pressindo.

Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.

Hidayat J, Hansen CP. 2001. Informasi Singkat Benih Pinus merkusii Jungh. Bandung: Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

Leiwakabessy FM. 1988. Kesuburan Tanah. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Musthofa A. 2007. Perubahan sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada hutan alam yang diubah menjadi lahan pertanian di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Sanudin, Harianja A. 2008. Penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat (kasus di

Kabupaten Humbang Hasundutan dan Samosir). Di dalam: Makalah Hasil- Hasil Penelitian. Medan, 3 Desember 2008.

Setiadi Y. 2010. Teknik Merestorasi Lahan Pasca Tambang. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.


(30)

Sevilla CG, Ochave JA, Punsalan TG, Regala BP, Uriarte GG. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.


(31)

HASUNDUTAN SUMATERA UTARA

MOHAMAD EKO PURWANTO

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(32)

HASUNDUTAN SUMATERA UTARA

MOHAMAD EKO PURWANTO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(33)

Characteristics Caused Land Openness of Pine Reforested Forest in Pollung Sub-district of Humbang Hasundutan District, North Sumatera. Supervised by BASUKI WASIS and YADI SETIADI.

Forest clearing activity has been caused land openness in some forest areas such as reforested forest. Land openness could cause the decreasing of fertility value of forest soil. The objective of this research was to comparing of soil’s chemical and biological characteristics in open area with pine forest in pine reforested forest in Pollung sub-district of Humbang Hasundutan district, North Sumatera. This research was using secondary data of soil’s chemical and biological characteristics analysis results from Team of Living Environmental Ministry 2010. Descriptively, this research has shown that land openness has caused lower comparison of all average value of soil’s chemical and biological parameters. Highest percentage of comparison difference in open area was total of C-organic content that amounted 59,90% and total of soil fungi that amounted 94,18% lower than pine forests. Degradation of soil’s chemical and biological values was caused by the decreasing of total organic content of soil and nutrient washing by rain water. Considering to negative impact that will be caused thus needed an effort of soil resiliency through land rehabilitation by whitewashing of acid soil and re-vegetation.

Keywords: soil degradation, pine forest, open area, soil’s chemical characteristic, soil’s biological characteristic


(34)

Akibat Keterbukaan Lahan pada Hutan Reboisasi Pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara. Dibimbing oleh BASUKI WASIS dan YADI SETIADI.

Aktivitas perambahan hutan mengakibatkan keterbukaan lahan di beberapa areal hutan seperti hutan hasil reboisasi. Keterbukaan lahan dapat menurunkan nilai kesuburan tanah hutan sehingga lahan mudah terdegradasi terutama pada sifat kimia dan biologi tanah. Tujuan penelitian ini membandingkan sifat kimia dan biologi tanah di lahan terbuka dengan hutan pinus yang berada pada areal hutan reboisasi pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara.

Bahan penelitian ini menggunakan data sekunder hasil analisis sifat kimia dan biologi tanah dari Tim Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2010 di hutan pinus reboisasi dan lahan terbuka bekas tebangan umur 5 bulan, masing-masing pada kedalaman 0−20 cm dari permukaan tanah. Menurut data stasiun klimatologi Sampali Medan menyebutkan angka curah hujan tahunan di Kabupaten Humbang Hasundutan sebesar 3.322 mm di tahun 2010. Berdasarkan hasil analisis secara deskriptif, menunjukkan bahwa keterbukaan lahan mengakibatkan perbandingan pada semua nilai rata-rata parameter kimia dan biologi tanah lebih rendah dari hutan pinus. Persentase selisih perbandingan di lahan terbuka tertinggi pada jumlah kandungan C-Organik sebesar 59,90% dari nilai rata-rata di hutan pinus sedangkan untuk parameter biologi tertinggi pada jumlah fungi tanah yang mengalami selisih perbandingan sebesar 94,18% lebih rendah dari hutan pinus.

Degradasi nilai sifat kimia dan biologi tanah disebabkan oleh penurunan jumlah bahan organik tanah dan pencucian hara oleh air hujan, sehingga kondisi ekologi dan aktivitas organisme pada ekosistem tanah juga terganggu. Menyadari dampak negatif yang akan ditimbulkan, maka perlu upaya resiliensi tanah dengan rehabilitasi lahan melalui pemupukan kompos dan penutupan lahan kembali. Kata kunci : degradasi tanah, hutan pinus, lahan terbuka, sifat kimia tanah, sifat


(35)

dan Biologi Tanah Akibat Keterbukaan Lahan pada Hutan Reboisasi Pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Dr. Ir. Basuki Wasis MS dan Dr. Ir. Yadi Setiadi M.Sc dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

Mohamad Eko Purwanto


(36)

Akibat Keterbukaan Lahan Pada Hutan Reboisasi Pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara

Nama : Mohamad Eko Purwanto

NIM : E44070009

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Basuki Wasis MS Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc NIP. 19651002 199103 1 003 NIP. 19551205 198003 1 004

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB,

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto MS NIP. 19601024 198403 1 009


(37)

dan kasih sayang-Nya, serta kemudahan yang diberikan sehingga penulis telah dapat menyelesaikan skripsi berjudul Perbandingan Sifat Kimia dan Biologi Tanah Akibat Keterbukaan Lahan pada Hutan Reboisasi Pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Tujuan pembuatan skripsi ini adalah membandingkan sifat kimia dan biologi tanah di lahan terbuka dengan hutan pinus yang berada pada areal hutan reboisasi pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam upaya rehabilitasi lahan dan menjaga kelestarian fungi lindung hutan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik pada saat penyusunan proposal, pelaksanaan kegiatan penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Dengan menyadari ketidaksempurnaan diri sebagai manusia, penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Maret 2012


(38)

sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan RB Siswanto dan Rokhayatun. Jenjang pendidikan formal pertama ditempuh di Sekolah Dasar Negeri Karet 01 Pagi Jakarta pada tahun 1995–2001. Pada tahun 2001–2004 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 58 Jakarta. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 79 Jakarta pada tahun 2004–2007. Selama pendidikan di SMU penulis memperoleh beasiswa prestasi dari Sampoerna Foundation tahun 2004–2007. Pada tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan menjadi mahasiswa Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam: 1) Forum for Scientific Study IPB tahun 2007–2009 sebagai staf Human Resources Development (HRD), 2) Wahana Masyarakat Tani Indonesia Cabang Bogor tahun 2008, 3) Direktur FORCES Company tahun 2008–2009, 4) Direktur Beastudi Etos Bogor Company tahun 2008–2009, 5) staf HRD Himpro Silvikultutr Tree Grower Community (TGC) tahun 2008–2009, 6) Ketua Beastudi Etos Bogor Community 2009–2010, 7) Panitia Bina Corps Rimbawan (BCR) Fakultas Kehutanan tahun 2009, 8) Belantara Departemen Silvikultur tahun 2009.

Penulis memiliki pengalaman sebagai asisten praktikum mata kuliah Pengaruh Hutan pada tahun 2010 dan 2011. Pada tahun 2011 juga berkesempatan untuk menjadi Asisten Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Pangandaran. Selama jenjang di perguruan tinggi penulis memperoleh beasiswa prestasi dari Beastudi Etos Dompet Dhuafa Republika tahun 2007–2010 dan Karya Salemba Empat tahun 2010–2012. Pada tahun 2009 Penulis mendapat prestasi sebagai Mahasiswa Berprestasi Kedua Fakultas Kehutanan dan tahun 2010 sebagai Mahasiswa Berprestasi Departemen Silvikultur Fahutan IPB. Program Kreativitas Makasiswa yang didanai oleh DIKTI tahun 2010. Sebagai Staf Pengajar SD,SMP dan SMP di bimbingan belajar Kharisma Prestasi tahun 2010–2012.

Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Pangandaran dan Gunung sawal pada tahun 2009 dan Praktek Pengolahan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi pada tahun 2010. Magang di


(39)

tambang PT International Nickel Indonesia (INCO) Tbk, Sorowako Sulawesi Selatan pada tahun 2011.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian skripsi dengan judul Perbandingan Sifat Kimia dan Biologi Tanah Akibat keterbukaan Lahan pada Hutan Reboisasi Pinus Terdegradasi di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara di bawah bimbingan Dr. Ir. Basuki Wasis MS dan Dr. Ir Yadi Setiadi M.Sc pada tahun 2011–2012.


(40)

kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini:

1. Dr. Ir. Basuki Wasis MS dan Dr. Ir. Yadi Setiadi M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan, motivasi dan bimbingan selama pelaksanaan skripsi ini.

2. Kedua orangtua penulis, RB Siswanto dan Rokhayatun atas segala kasih sayang yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan doa, moril dan materil.

3. Sampoerna Foundation, Beastudi Etos Dompet Dhuafa Republika dan Karya Salemba Empat, yang telah mendukung dalam memberikan beasiswa, motivasi dan pelatihan-pelatihan selama pendidikan di Perguruan Tinggi. 4. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana MS selaku dosen pembimbing akademik selama

pendidikan di IPB.

5. Dr. Ir. Cahyo Wibowo M.ScF selaku dosen pembimbing Praktek Kerja Profesi di PT INCO Tbk. atas motivasi dan bimbingan dalam melakukan praktek.

6. Linda Purnama Sari, adik yang selalu membantu dan memotivasi baik materil maupun moril serta keluarga besar di kampung halaman.

7. Atik Wuryani atas perhatian, motivasi, dukungan dan waktu yang diberikan untuk mendampingi penulis.

8. Keluarga besar Etos Bogor, Mas Setyo Budi, Fauzi, Nasrul, Kautsar, Nini, Siti Khadijah, Desi, Indah dan Iis, pejuang-pejuang keluarga yang selalu memberi dukungan dan kerjasama untuk meraih mimpi di perguruan tinggi. 9. Alm. Mba Puteri dan Ibu Kokom, yang selau memotivasi dan mendukung

secara moril dan spiritual serta Pak Dedi, Pak Wardana, Bu Aliyah, Pak Waluyo. Pak Ismail, Pak Saeful dan staf KPAP lainnya Departemen Silvikultur yang memberi motivasi dan dukungan.

10. Mba Nana, Mba Fai dan seluruh keluarga besar PAU telah membantu, mendukung, memotivasi dan berbagi pengalaman.

11. Keluarga besar lab. Pengaruh Hutan yang senantiasa membantu dan memberi motivasi (Ibu Atikah, Pak Dadan, Mba Desty, Mba Ghina dan lainnya)


(41)

pengalaman.

13. Bang Ipon, Yuda, Rahmat, Eri dan temen-teman silvikultur 44 atas segala dukungan, kebersamaan, dan semua hal yang bisa membuat selalu bersemangat.

14. Teman-teman kelompok PPEH, PPH dan PKP yang telah banyak membantu selama pelaksanaan praktek

15. Keluarga besar Silvikultur, Fahutan 44 dan keluarga besar Fahutan atas kerjasama dan kekeluargaannya selama ini.

16. Pak Saeful, Mas Badlan, Azhar, Ardiyansah penghuni pondok Mandala Umi, Teteh yang telah mendukung dan membantu serta motivasinya selama ini, 17. Para staf pengajar bimbel Kharisma Prestasi atas dukungan dan kerjasamanya. 18. Semua orang yang telah berinteraksi, membagi ilmu dan memberikan

pengalaman dan kenangan baik.

19. Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga segala bantuan dan dukungannya dicatat sebagai pahala dari Allah SWT. Mohon maaf apabila banyak kesalahan yang telah diperbuat penulis. Amin.

Bogor, Maret 2012


(42)

xii   

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xiv DAFTAR GAMBAR ... xv DAFTAR LAMPIRAN ... xvi BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 2 1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sifat Kimia Tanah ... 3 2.1.1 Reaksi tanah (pH) ... 3 2.1.2 C-Organik ... 3 2.1.3 N-Total ... 4 2.1.4 P Bray ... 4 2.1.5 Kalium (K) ... 5 2.1.6 Natrium (Na) ... 5 2.1.7 Kalsium (Ca) ... 5 2.1.8 Magnesium (Mg) ... 6 2.1.9 Kapasitas Tukar Kation (KTK) ... 6 2.1.10 Kejenuhan Basa (KB) ... 6 2.2 Sifat Biologi Tanah ... 7 2.2.1 Total Mikroorganisme Tanah ... 7 2.2.2 Jumlah Fungi Tanah ... 7 2.2.3 Jumlah Bakteri Pelarut P ... 7 2.2.4 Total Respirasi Tanah ... 8 2.3 Bioekologi Pinus merkusii Jungh ... 8 2.3.1 Taksonomi dan Tata Nama ... 8 2.3.2 Penyebaran dan Habitat... 8 2.3.3 Pembungaan dan Pembuahan ... 9 2.3.4 Kegunaan ... 9

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 10 3.2 Bahan Penelitian ... 10 3.3 Metode Penelitian ... 10 3.5 Analisis Data ... 10

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Luas dan Lokasi ... 11 4.1 Keadaan Geografis dan Topografis... 11


(43)

xiii   

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil ... 13 5.1.1 Sifat Kimia Tanah ... 13 5.1.3 Sifat Biologi Tanah ... 16 5.2 Pembahasan ... 18 5.2.1 Perbandingan sifat kimia tanah ... 19 5.2.2 Perbandingan sifat biologi tanah ... 23

BAB V1 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Kesimpulan ... 26 6.2 Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27 LAMPIRAN ... 29


(44)

xiv   

DAFTAR TABEL

 

Halaman 1 Hasil analisis sifat kimia tanah di hutan pinus ... 13 2 Hasil analisis sifat kimia tanah di lahan terbuka ... 14 3 Rekapitulasi perbandingan nilai rata-rata sifat kimia tanah di hutan

pinus dan lahan terbuka ... 15 4 Hasil analisis sifat biologi tanah di hutan pinus ... 16 5 Hasil analisis sifat biologi tanah di lahan terbuka... 16 6 Hasil rekapitulasi perbandingan nilai rata-rata sifat biologi tanah di


(45)

xv   

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Peta Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera

Utara (Sanudin daan Harianja 2008) ... 12 2 Persentase selisih perbandingan sifat kimia tanah di lahan terbuka ... 15 3 Persentase selisih nilai biologi tanah di lahan terbuka ... 18  

                                     


(46)

xvi   

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil analisis sifat kimia tanah ... 30 2 Hasil analisis sifat biologi tanah ... 31 3 Rata-rata kelembapan relatif udara, curah hujan, penyinaran matahari

kecepatan angin dan penguapan menurut stasiun tahun 2010 (Stasiun Klimatologi Sampali Medan/ Samapali Climatology Station, Medan)

kimia tanah di hutan pinus dan lahan terbuka ... 32  


(47)

1.1Latar Belakang

Terhitung sejak tahun 2006, luas lahan terbuka di Indonesia mencapai 60,9 juta ha, sekitar 39,2 juta ha (64,4%) berada dalam kawasan hutan negara dan sisanya 21,7 ha (35,6%) berada di luar kawasan hutan (Darori 2006). Tingginya angka kerusakan hutan tersebut, mendesak pemerintah pusat hingga pemerintah daerah bahkan pelosok desa untuk lebih gemar menanam lahan terbuka atau kegiatan reboisasi. Dinas Pertambangan dan Kehutanan Humbahas (2007) menyebutkan Kabupaten Humbahas memiliki luas kawasan hutan 95.512,84 ha, dengan hutan hasil reboisasi seluas 21.712,84 ha dengan pinus sebagai komoditinya.

Tanaman pinus (Pinus merkusii) memiliki potensi hasil hutan yang baik di Sumatera Utara. Dampak kerusakan hutan mengurangi pasokan kayu dan hasil hutan lainnya. Peningkatan potensi hutan rakyat dan hutan reboisasi merupakan alternatif utama masalah tersebut. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perambahan hutan juga telah mengancam hutan hasil reboisasi. Kabupaten Humbang Hasundutan Propinsi Sumatera Utara memiliki hutan rakyat pinus dengan estimasi luas 30.000 ha, menyebar hampir disemua Humbahas dengan estimasi produksi sekitar 130.000 m3, baik dari hutan rakyat maupun hutan reboisasi (Sanudin dan Harianja 2008).

Kerusakan akibat pemanenan kayu secara illegal di hutan reboisasi pinus menyebabkan keterbukaan lahan. Keterbukaan lahan ini berakibat meningkatnya laju aliran permukaan, erosi tanah dan sedimentasi serta menurunnya tingkat kesuburan dan stabilitas lahan (Setiadi 2010). Manajemen lahan yang kurang baik berakibat lahan terbuka mengalami degradasi, terutama pada sifat kimia dan biologi tanah. Perubahan sifat tanah dapat mengakibatkan berkurangnya umur pemakaian lahan, peningkatan potensi kekurangan hara tanah, dan menurunnya mutu produksi tanaman pinus (P. merkusii). Oleh karena itu, perlu dilakukannya penelitian mengenai perbandingan sifat kimia dan biologi tanah akibat keterbukaan lahan pada hutan reboisasi pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Propinsi Sumatera Utara.


(48)

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini membandingkan sifat kimia dan biologi tanah di lahan terbuka dengan hutan pinus yang berada pada areal hutan reboisasi pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara.

1.3Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini menyajikan informasi perbandingan sifat tanah pada lahan terbuka di hutan reboisai pinus berupa data hasil analisis sifat tanah, faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hara tanah serta solusi yang harus dilakukan dalam mengembalikan kondisi ketersediaan hara yang optimal dalam tanah.


(49)

2.1 Sifat Kimia Tanah 2.1.1 Reaksi Tanah (pH)

Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah, makin tinggi nilai kadar ion H+ dalam tanah, makin masam tanah tersebut. Nilai pH berkisar dari 0−14 dengan pH 7 disebut netral sedang pH kurang dari 7 disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut alkalis. Tanah yang terlalu masam dapat dinaikkan pHnya dengan menambahkan kapur ke dalam tanah sedangkan tanah yang terlalu alkalis dapat diturunkan pHnya dengan penambahan belerang.

Dalam tanah pH sangat penting dan erat hubungannya dengan hal-hal berikut ini:

1. Menunjukkan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman, pada umumnya unsur hara mudah diserap tanaman. Pada pH sekitar netral, unsur hara mudah diserap akar tanaman karena pada pH tersebut mudah larut dalam air. Pada tanah masam unsur P diikat (difiksasi) oleh Al, sedangkan pada tanah alkalis unsur P diikat oleh Ca sehingga unsur tersebut tidak dapat diserap tanaman.

2. Menunjukkan kemungkinan adanya unsur beracun. Pada tanah masam, unsur mikro (Fe, Mn, Zn, Cu, Co) mudah terlarut sehingga ditemukan unsur mikro berlebih sedangkan pemakaiannya dalam jumlah kecil sehingga menjadi racun.

3. Mempengaruhi perkembangan mikroorganisme. Bakteri (bakteri pengikat nitrogen dari udara dan bakteri nitrifikasi) berkembang baik pada pH 5,5 atau lebih, sedang jamur dapat berkembang baik pada segala tingkat kemasaman tanah (Hardjowigeno 2003).

2.1.2 C-Organik

Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya pertanian. Hal ini


(50)

dikarenakan bahan organik dapat meningkatakan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik (Hanafiah 2005).

Musthofa (2007) menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk C-Organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang dari dua persen. Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi, maka sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap tahun. Kandungan bahan organik sangat erat berkaitan dengan KTK yakni mampu meningkatkan KTK tanah. Tanpa pemberian bahan organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah yang dapat merusak agregat tanah dan menyebabkan pemadatan tanah (Foth 1994).

2.1.3 N-Total

Bahan organik merupakan sumber Nitrogen (N) yang utama di dalam tanah. Pada bahan organik halus jumlah N tinggi maka perbandingan C/N rendah, sedangkan bahan organik kasar jumlah N rendah sehingga C/N tinggi. Nitrogen berfungsi memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N, berwarna lebih hijau dan berperan dalam pembentukan protein. Nitrogen diambil tanaman dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Tambahan nitrogen pada tanah berasal dari hujan dan debu, penambatan secara tak simbiosis, penambatan secara simbiosis dan kotoran hewan dan manusia. Kehilangan nitrogen dari tanah disebabkan oleh penguapan, pencucian, denitrifikasi, pengikisan dan penyerapan oleh tanaman. Denitrifikasi terjadi karena drainase buruk, lokasi tergenang, dan tata udara dalam tanah buruk (Hardjowigeno 2003).

2.1.4 P-Bray

Fosfor dalam tanah tidak dapat segera tersedia, tergantung pada sifat dan ciri tanah serta pengelolaan tanah dikarenakan laju kelarutan fosfor sangat lambat (Soepardi 1983). Kemasaman tanah memberikan fosfor terlarut dalam tanah, kenaikan pH akan menaikkan kelarutan dari ferifosfat dan alumunium sulfat dan


(51)

menurunkan dari Ca fospat. Fosfor paling mudah diserap oleh tanaman pada pH sekitar 6−7 (Hardjowigeno 1989).

Fosfor bersumber dari bahan organik, pupuk buatan, dan mineral-mineral tanah, di dalam tanah terdapat dua jenis fosfor yaitu fosfor organik dan fosfor anorganik. Bentuk fosfor organik biasanya terdapat banyak di lapisan atas yang lebih kaya akan bahan organik, diduga mengandung kurang lebih 0,21% fosfor (Hakim et al. 1986). Menurut Foth (1994) jika kekurangan fosfor, pembelahan sel pada tanaman terhambat dan pertumbuhannya kerdil.

2.1.5 Kalium (K)

Unsur K dalam tanah berasal dari mineral primer tanah (feldspar, mika dan lain-lain) dan pupuk buatan ZK. Tanaman cenderung mengambil K dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan tetapi tidak menambah produksi. Unsur K berfungsi dalam pembentukkan pati, mengaktifkan enzim, pembukaan stomata (mengatur pernapasan dan penguapan), perkembangan akar. Unsur K mudah bergerak (mobile) di dalam tanaman sehingga gejala-gejala kekurangan K pada daun terlihat terutama pada daun tua, pinggiran daun berwarna coklat dan tanaman tidak tinggi (Hardjowigeno 2003).

2.1.6 Natrium (Na)

Natrium merupakan unsur penyusun lithosfer keenam setelah Ca yaitu 2,75%. Berperan penting dalam menentukan karakteristik tanah dan pertumbuhan tanaman terutama di daerah kering dan agak kering yang berdekatan dengan pantai. Tingginya kadar Na di laut menyebabkan suatu tanah alkali jika KTK atau muatan negatif koloid-koloid dijenuhi oleh ≥ 15% Na, mencerminkan unsur ini merupakan komponen dominan dari garam-garam larut yang ada. Sebagaimana unsur mikro, Na juga bersifat toksik bagi tanaman jika terdapat dalam tanah dalam jumlah yang sedikit berlebihan (Hanafiah 2005).

2.1.7 Kalsium (Ca)

Kalsium tergolong dalam unsur-unsur mineral essensial sekunder seperti magnesium dan belerang. Ca2+ dalam larutan dapat habis karena diserap tanaman, diambil jasad renik, terikat oeh kompleks adsorpsi tanah, mengendap kembali sebagai endapan-endapan sekunder dan tercuci (Leiwakabessy 1988). Soepardi


(52)

(1983) menyatakan bahwa mudah tidaknya kalsium dibebaskan tergantung dari mineral apa dan tingkat hancurannya. Mineral utama yang banyak mengandung kalsium tanah adalah kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2). Kadar kalsium tanah mineral rata-rata adalah 0,4% pada lapisan tanah atas, sedangkan pada tanah-tanah organik kadarnya lebih tinggi, yaitu dapat mencapai 2,8%. Tingginya kadar kalsium tanah disebabkan air yang mengalir banyak membawa kapur larut di dalamnya (Hakim et al. 1986).

2.1.8 Magnesium (Mg)

Magnesium merupakan unsur pembentuk klorofil. Seperti halnya dengan beberapa hara lainnya, kekurangan magnesium mengakibatkan perubahan warna yang khas pada daun. Terkadang pengguguran daun sebelum waktunya merupakan dampak dari kekurangan magnesium (Hanafiah 2005).

2.1.9 Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca2+, Mg2+, K+, NH4+, Na+ dan sebagainya. Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100 g) dinamakan kapasitas tukar kation (KTK). KTK tanah sangat erat dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergatung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri, yakni sebagai berikut: (1) reaksi tanah, (2) tekstur atau jumlah liat, (3) jenis mineral liat, (4) bahan organik dan (5) pengapuran serta pemupukan (Hardjowigeno 2003).

2.1.10 Kejenuhan Basa (KB)

Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Termasuk kation-kation basa adalah Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+, sedang yang termasuk kation-kation asam adalah H+ dan Al3+. Jumlah maksimum kation yang dapat dijerap tanah menunjukkan besarnya nilai kapasitas tukar kation tanah tersebut. Kejenuhan basa berhubungan erat dengan pH tanah, tanah dengan pH rendah umumnya memiliki kejenuhan basa rendah begitupun sebaliknya. Tanah- tanah dengan kejenuhan basa rendah, berarti kompleks jerapan


(53)

lebih banyak diisi oleh kation-kation asam yaitu Al3+ dan H+ . Apabila jumlah kation asam terlalu banyak terutama Al3+, dapat merupakan racun bagi tanaman. Keadaan seperti ini terdapat pada tanah-tanah masam (Hardjowigeno 2003). 2.2 Sifat Biologi Tanah

2.2.1 Total Mikroorganisme Tanah

Anas (1989) menyatakan bahwa jumlah total mikroorganisme yang terdapat di dalam tanah digunakan sebagai indeks kesuburan tanah (fertility indeks), tanpa mempertimbangkan hal-hal lain. Tanah yang subur mengandung sejumlah mikroorganisme, populasi yang tinggi ini menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup dengan temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, kondisi ekologi lain yang mendukung perkembangan mikroorganisme pada tanah tersebut.

Jumlah mikroorganisme sangat berguna dalam menentukan tempat organisme dalam hubungannya dengan sistem perakaran, sisa bahan organik dan kedalaman profil tanah. Data ini juga berguna dalam membandingkan keragaman iklim dan pengelolaan tanah terhadap aktivitas organisme dalam tanah (Anas 1989).

2.2.2 Jumlah Fungi Tanah

Fungi (jamur) dibedakan menjaid yang bersifat parasitik, saprofitik dan simbiotik. Fungi parasitik adalah yang menyebabkan penyakit tanaman seperti bercak akar kapas (cotton root rot). Fungi saprofitik mendapatkan makanan dari dekomposisi bahan organik. Fungi simbiotik hidup pada akar-akar tanaman dimana tanaman maupun fungi saling beruntung misal mikorhiza. Fungi simbiotik membantu akar tanaman meningkatkan penyerapan unsur hara dengan meningkatkan luas permukaan akar yang efektif menyerap unsur hara. Fungi penting dalam tanah terutama dalam penghancuran selulosa dan lignin di samping aktif juga dalam penghancuran bahan mudah hancur seperti gula, pati dan protein (Hardjowigeno 2003).

2.2.3 Jumlah Bakteri Pelarut Fosfat (P)

Bakteri pelarut P pada umumnya dalam tanah ditemukan di sekitar perakaran yang jumlahnya berkisar 103−106 sel/g tanah. Bakteri ini dapat menghasilkan enzim Fosfatase maupun asam-asam organik yang dapat melarutkan fosfat tanah


(54)

maupun sumber fosfat yang diberikan (Santosa et al. 1999 dalam Mardiana 2006). Fungsi bakteri tanah yaitu turut serta dalam semua perubahan bahan organik, memegang monopoli dalam reaksi enzimatik yaitu nitrifikasi dan pelarut fosfat.

Pada umumnya jumlah bakteri terbanyak dijumpai di lapisan atas. Jumlah yang biasa dijumpai dalam tanah berkisar antara 3−4 milyar tiap gram tanah kering dan berubah dengan musim (Soepardi 1983).

2.2.4 Total Respirasi Tanah

Respirasi mikroorganisme tanah mencerminkan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah. Penetapan respirasi tanah didasarkan pada : (1) Jumlah CO2 yang dihasilkan, (2) Jumlah O2 yang digunakan oleh mikroba tanah. Pengukuran respirasi ini berkorelasi baik dengan peubah kesuburan tanah yang berkaitan dengan aktivitas mikroba seperti kandungan bahan organik, transformasi N atau P, hasil antara, pH dan rata-rata jumlah mikroorganisme (Anas 1989). 2.3 Bioekologi Pinus merkusii Jungh

2.3.1 Taksonomi dan Tata Nama

Pinus merupakan famili Pinaceae, sinonimnya P. sumatrana Jungh; P. finlaysoniana Wallich; P. latteri Mason; P. merkiana Gordon. Nama lokal pinus yakni tusam (Indonesia); uyam (Aceh); son song bai (Thai); merkus pine (perdagangan); Mindoro pine (Philipina); tenasserim pine (Inggris)

2.3.2 Penyebaran dan Habitat

Penyebaran pinus di kawasan Asia Tenggara menyebar di Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia (Sumatera) dan Filipina (Pulau Luzon dan Mindoro). Tersebar 23ºLU−2ºLS. Satu-satunya pinus yang sebaran alaminya sampai di Selatan khatulistiwa. Di Jawa dan Sulawesi Selatan diperkirakan sebagai hasil penanaman. Tumbuh pada ketinggian 30−1.800 mdpl, pada berbagai tipe tanah dan iklim. Curah hujan tahunan rata-rata 3.800 mm di Filipina. Di tegakan alam Sumatera (Aceh,Tapanuli dan Kerinci) tidak satupun curah hujan kurang dari 50 mm, artinya tidak ada bulan kering. Suhu tahunan rata-rata 19−28ºC (Hidayat dan Hansen 2001).


(55)

2.3.3 Pembungaan dan Pembuahan

Strobili jantan dan betina dapat ditemukan sepanjang tahun. Puncak pembungaan di Indonesia Maret dan berakhir Juni. Penyerbukan oleh angin, perkembangan menjadi buah selama 11 15 bulan. Di Indonesia puncak pembuahan bulan Mei−Juli, bervariasi menurut pohon maupun antar tegakan. Pohon mulai menghasilkan benih setelah umur 10−15 tahun. Benih disebarkan angin (Hidayat dan Hansen 2001).

2.3.4 Kegunaan

Kayunya untuk berbagai keperluan, konstruksi ringan, mebel, pulp, korek api dan sumpit. Pinus juga sering disadap getahnya. Pohon tua dapat menghasilkan 30−60 kg getah, 20−40 kg resin murni dan 7−14 kg terpentin per tahun. Cocok untuk rehabilitasi lahan kritis, tahan kebakaran dan tanah tidak subur (Hidayat dan Hansen 2001).


(56)

3.1Waktu dan Lokasi Penelitian

Penyiapan dan analisis data sekunder hasil penelitian dari Tim Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dilakukan di Laboratorium Pengaruh Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2011.

3.2 Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil analisis sifat kimia dan biologi tanah yang merupakan hasil penelitian dari Tim Peneliti Kementerian Negara Lingkungan Hidup, pengambilan sampel dilakukan di hutan hasil reboisasi pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 15 sampai dengan 17 Agustus 2010, analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Fakultas pertanian IPB.

3.3 Metode Penelitian

Data sekunder hasil analisis sifat kimia tanah berupa data sifat kimia dan biologi tanah pada hutan pinus dan lahan terbuka yang diperoleh dari Tim Peneliti Kementerian Lingkungan Hidup dianalisis secara deskriptif dengan cara membandingkan nilai pada masing-masing parameter sifat kimia dan biologi tanah antara kedua lokasi, kemudian dihitung persentase selisih nilai parameter tersebut untuk mengetahui tingkat ketersediaan hara pada semua parameter sifat kimia dan biologi tanah di lahan terbuka akibat keterbukaan lahan di hutan reboisasi pinus tersebut (Sevila et al. 1993).

3.4 Analisis Data

Analisis data penelitian ini menggunakan analisis data secara deskriptif dengan cara membandingkan data sekunder hasil analisis sifat kimia dan biologi tanah di lahan terbuka dengan hutan pinus.


(57)

4.1 Luas dan Lokasi

Kabupaten Humbang Hasundutan adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Utara, tanggal 28 Juli 2003 sesuai dengan UU Nomor 9 tahun 2003, yang terletak di tengah Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Humbahas dengan luas wilayah 233,533 ha memiliki luas kawasan hutan 95.512,84 ha yang terdiri dari hutan lindung (HL) 29.100 ha, hutan produksi (HP) 41.600 ha, hutan produksi terbatas (HPT) 3.100 ha dan hutan reboisasi(inlijving) 21.712,84 ha. Hutan rakyat pinus menyebar hampir di semua Humbahas dengan estimasi luas 30.000 ha dan estimasi produksi sekitar 130.000 m3, baik dari hutan rakyat maupun hutan reboisasi (Dinas Pertambangan dan Kehutanan Humbahas 2007).

Kabupaten Humbahas terdiri dari 10 kecamatan, 1 kelurahan dan 117 desa. Memiliki jumlah penduduk 155.222 jiwa. Lokasi penelitian berada di Desa Pasingguran Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara. Lokasi tersebut merupakan daerah pesisir Danau Toba.

4.2 Keadaan Geografis dan Topografis

Letak geografis kabupaten Humbahas terletak diantara 2º1” 2º28’ Lintang Utara, 98º10” 98º58’ Bujur Timur, dengan batas kabupaten sebelah Utara adalah Kabupaten Samosir, sebelah Timur adalah Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah Selatan adalah Kabupaten Tapanuli Tengah dan sebelah Barat adalah Kabupaten Pakpak Barat. Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah dataran tinggi yang mempunyai ketinggian bervariasi antara 330−2.075 mdpl, dengan perincian: (1) Datar = 260,95 km2, (2) Landai = 459,60 km2, (3) Miring = 993,68 km2, (4) Terjal = 621,10 km2 (Sanudin dan Harianja 2008).


(58)

Gambar 1 Peta Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara (Sanudin dan Harianja 2008)

Lokasi penelitian


(1)

32  

Lampiran 3 Rata-rata kelembaban relatif udara, curah hujan,penyinaran matahari, kecepatan angin dan penguapan menurut stasiun tahun 2010(Stasiun Klimatologi Sampali Medan/Sampali Climatology Station, Medan)

Stasiun/Station

Kelembaban Udara/Air

Humidity

(%)

Curah Hujan Rainfall

(mm)

Penyinaran Matahari Sunshine

(%)

Kecepatan Angin/

Wind Velocity

(m/sec)

Penguapan/

Evaporation

(mm/hari)

1. Sampali 83 16 050 52 1,81 3,8

2. Polonia 79 1 946 46 2,80 4,6

3. Belawan 81 1 681 58 1,70 4,1

4. Tanjung Morawa - - - - -

5. Kuta Gadung - - - - -

6. Marihat RS 85 2 663 56 0,02 3,2

7. Pinang Sori 84 3 322 58 3,20 4,7

8. Gurgur Balige - - - - -

9. Gabe Hutaraja 85 952 49 0,70 2,4

10. Binaka Gn.Sitoli 91 2 708 49 2,90 3,4

11. Sidamanik 79 1 490 61 1,18 NR

12. Sitinjo - - - - -

13. Gunung Pamela - - - - -

14. Aek Torop - - - - -

15. Tongkoh - - - - -

Keterangan/Note : -) Data Tidak Tersedia/Data Not Available

 


(2)

(3)

Lampiran 1 Hasil analisis sifat kimia tanah (analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB)

Kedalaman tanah 0–20 cm, No lapangan 1,3 dan 4 adalah hutan pinus, No lapangan 2,5 dan 6 adalah lahan terbuka

   

           

No. No.

Lapangan

pH 1 : 1 C-Org N

Total P Bray

Kation Basa (N NH4Oac pH 7)

me/100 g KB

Kation Asam me/100 g

0,5 N HCl (ppm)

Tekstur (%)

H2O KCl % % Ppm Ca Mg K Na KTK % Al H Fe Cu Zn Mn Pasir Debu Liat

1.H Swanto 1 5,0 4,2 48,15 0,47 23,8 3,06 6,73 0,36 0,41 34,76 30,4 Tr 0,74 - - - -

2. Swanto 2 4,8 4,0 18,62 0,28 23,5 2,44 4,67 0,44 0,37 28,6 28,6 0,16 0,64 - - - - - - -

3.H Swanto 3 5,2 4,2 32,54 0,42 17,8 3,63 6,92 0,49 0,30 39,9 39,9 0,88 0,43 - - - -

4.H Swanto 4 5,4 4,6 25,66 0,43 27,4 5,81 3,46 0,10 0,15 54,2 54,2 1,76 0,26 - - - - 38,1 41,8 20,1

5. Swanto 5 4,5 4,4 20,84 0,36 8,6 1,16 3,55 0,36 0,29 34,7 34,7 1,12 0,34 - - - - - - -

6. Swanto 6 3,9 4,0 3,19 0,23 14,3 3,24 1,28 0,03 0,12 44,9 44,9 2,28 0,23 - - - - 46,9 37,8 15,3


(4)

32  

Lampiran 2 Hasil analisis sifat biologi tanah (analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu tanah Fakultas Pertanian IPB

No. No. Lapangan

Total Mikroorganisme

Tanah

Jumlah Fungi Tanah

Jumlah Bakteri Pelarut P

Total Respirasi

Tanah Keterangan

x 106 spk/g x 104 spk/g x 103 spk/g mgC-CO2/kg tanah/hari

1. Swanto 1 25,00 9,50 7,00 12,90 Hutan

2. Swanto 2 10,00 0 6,00 11,70 Lahan terbuka

3. Swanto 3 23,50 4,00 33,00 16,80 Hutan

4. Swanto 4 9,50 0 2,00 12,90 Lahan terbuka

5. Swanto 5 2,50 1,00 1,00 7,50 Lahan terbuka

6. Swanto 6 17,50 3,50 1,00 10,20 Hutan


(5)

32  

Lampiran 3 Rata-rata kelembaban relatif udara, curah hujan,penyinaran matahari, kecepatan angin dan penguapan menurut stasiun tahun 2010(Stasiun Klimatologi Sampali Medan/Sampali Climatology Station, Medan)

Stasiun/Station

Kelembaban Udara/Air

Humidity

(%)

Curah Hujan Rainfall

(mm)

Penyinaran Matahari Sunshine

(%)

Kecepatan Angin/

Wind Velocity

(m/sec)

Penguapan/

Evaporation

(mm/hari)

1. Sampali 83 16 050 52 1,81 3,8

2. Polonia 79 1 946 46 2,80 4,6

3. Belawan 81 1 681 58 1,70 4,1

4. Tanjung Morawa - - - - -

5. Kuta Gadung - - - - -

6. Marihat RS 85 2 663 56 0,02 3,2

7. Pinang Sori 84 3 322 58 3,20 4,7

8. Gurgur Balige - - - - -

9. Gabe Hutaraja 85 952 49 0,70 2,4

10. Binaka Gn.Sitoli 91 2 708 49 2,90 3,4

11. Sidamanik 79 1 490 61 1,18 NR

12. Sitinjo - - - - -

13. Gunung Pamela - - - - -

14. Aek Torop - - - - -

15. Tongkoh - - - - -

Keterangan/Note : -) Data Tidak Tersedia/Data Not Available

 


(6)

RINGKASAN

MOHAMAD EKO PURWANTO. Perbandingan Sifat Kimia dan Biologi Tanah Akibat Keterbukaan Lahan pada Hutan Reboisasi Pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara. Dibimbing oleh BASUKI WASIS dan YADI SETIADI.

Aktivitas perambahan hutan mengakibatkan keterbukaan lahan di beberapa areal hutan seperti hutan hasil reboisasi. Keterbukaan lahan dapat menurunkan nilai kesuburan tanah hutan sehingga lahan mudah terdegradasi terutama pada sifat kimia dan biologi tanah. Tujuan penelitian ini membandingkan sifat kimia dan biologi tanah di lahan terbuka dengan hutan pinus yang berada pada areal hutan reboisasi pinus di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara.

Bahan penelitian ini menggunakan data sekunder hasil analisis sifat kimia dan biologi tanah dari Tim Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2010 di hutan pinus reboisasi dan lahan terbuka bekas tebangan umur 5 bulan, masing-masing pada

kedalaman 0−20 cm dari permukaan tanah. Menurut data stasiun klimatologi

Sampali Medan menyebutkan angka curah hujan tahunan di Kabupaten Humbang Hasundutan sebesar 3.322 mm di tahun 2010. Berdasarkan hasil analisis secara deskriptif, menunjukkan bahwa keterbukaan lahan mengakibatkan perbandingan pada semua nilai rata-rata parameter kimia dan biologi tanah lebih rendah dari hutan pinus. Persentase selisih perbandingan di lahan terbuka tertinggi pada jumlah kandungan C-Organik sebesar 59,90% dari nilai rata-rata di hutan pinus sedangkan untuk parameter biologi tertinggi pada jumlah fungi tanah yang mengalami selisih perbandingan sebesar 94,18% lebih rendah dari hutan pinus.

Degradasi nilai sifat kimia dan biologi tanah disebabkan oleh penurunan jumlah bahan organik tanah dan pencucian hara oleh air hujan, sehingga kondisi ekologi dan aktivitas organisme pada ekosistem tanah juga terganggu. Menyadari dampak negatif yang akan ditimbulkan, maka perlu upaya resiliensi tanah dengan rehabilitasi lahan melalui pemupukan kompos dan penutupan lahan kembali. Kata kunci : degradasi tanah, hutan pinus, lahan terbuka, sifat kimia tanah, sifat