Perpindahan Penduduk (Migrasi) dalam Kerangka Hak Asasi Manusia dan Permasalahan Deportasi

A. Perpindahan Penduduk (Migrasi) dalam Kerangka Hak Asasi Manusia dan Permasalahan Deportasi

Berdasarkan ketentuan yang memuat tentang Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya tentang hak kebebasan pribadi, disebutkan bahwa setiap Warga Negara Indonesia (WNI) berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Hak ini merupakan salah satu hak atas kebebasan pribadi yang diatur dalam Pasal 12 Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Ketentuan dalam Pasal 27 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merumuskan:

1. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia;

2. Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Kebebasan bergerak (secara fisik) dapat dibatasi menurut keadaan-keadaan

tertentu. Seorang tersangka dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun misalnya dapat ditahan untuk suatu jangka waktu tertentu. Seseorang dapat juga dikenakan wajib lapor kepada kepolisian sehubungan dengan posisinya terhadap suatu kasus pidana sehingga orang dimaksud tidak mudah untuk berpindah. Selain itu, hak untuk berdiam dan meninggalkan Indonesia ini tergolong hak yang derogable, hak yang dapat dikesampingkan untuk suatu jangka waktu tertentu dan dilakukan atas dasar perundang- undangan yang adil. Oleh karena itu pencegahan orang ke luar negeri dan penangkalan orang untuk masuk ke Indonesia jika dilakukan tanpa dasar hukum yang adil adalah pelanggaran hak asasi manusia. Ketentuan yang berkaitan dengan implementasi hak ini sebagian dimuat dalam peraturan perundang-undangan keimigrasian.

Kondisi masyarakat Indonesia yang mendorong terjadinya pergerakan dari dan ke wilayah Indonesia biasanya disebut dengan proses migrasi, dimana trend motivasi Kondisi masyarakat Indonesia yang mendorong terjadinya pergerakan dari dan ke wilayah Indonesia biasanya disebut dengan proses migrasi, dimana trend motivasi

yang melakukannya disebut dengan migran. 41 Migrasi dapat dilakukan baik secara legal maupun ilegal dan motifnya pun dapat berbeda-beda. Pada masa lalu migrasi dilakukan

karena perang atau pertikaian etnis sehingga harus mengungsi hingga meninggalkan negaranya. Namun akhir-akhir ini yang paling besar untuk melakukan migrasi bermotifkan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup atau motif ekonomi. Hal tersebut diperkuat oleh negara asal kaum migran tersebut yang umumnya negara-negara dunia ketiga. Mereka melakukan migrasi karena negara asalnya bukan lagi negara yang dapat memberikan kehidupan yang layak bagi masa depannya. Dikuatkan oleh berita-berita keberhasilan dan kesuksesan dari beberapa kaum migran di negara-negara baru yang sampai ke sanak famili di negaranya. Akibatnya keinginan untuk melakukan migrasi menjadi daya penarik yang kuat.

Hampir bisa dipastikan bahwa para migran yang tertangkap selalu mengklaim bahwa dirinya adalah pengungsi. Pertanyaannya, apakah kecenderungan seperti disebutkan di atas sudah bisa dipastikan bahwa mereka benar-benar pengungsi. Untuk sampai mendapatkan status pengungsi harus dilakukan skrining terlebih dahulu dan memerlukan waktu. Namun untuk kasus-kasus migrasi yang bermotifkan ekonomi bisa dipastikan akan gagal untuk mendapatkan status sebagai pengungsi. Karena jika demikian halnya maka negara transit atau negara tempatan dapat melakukan deportasi. Sebaiknya jangan mudah juga mengklaim bahwa terhadap mereka sampah, karena jika bisa dibuktikan bahwa dari sebagian mereka adalah pengungsi, maka terdapat perlindungan (proteksi) secara internasional, dan setiap negara dituntut untuk menghormatinya. Untuk menjawab hal itu harus dilakukan serangkaian proses oleh institusi yang berwenang secara internasional, dalam hal ini UNHCR dengan tetap berkordinasi dengan negara transit dan negara tempatan.

Seseorang yang bermigrasi dari satu negara ke negara lain mendapat sebutan yang paling umum dengan istilah alien (orang asing). Orang asing diartikan sebagai seseorang yang belum dinaturalisasi dan tinggal di suatu negara yang dirinya itu bukan penduduk warga negara itu. Namun demikian hendaklah dipahami bahwa tidak semua orang asing (foreigner) yang berada di suatu negara termasuk dalam pengertian alien.

dikut ip dari ht t p:/ / w w w .yphindonesia.org/ index.php/ publikasi/ art ikel / 54-bat am -dan-im igran-gelap .

40 Wagim an,

Bat am

dan

Im igran

Gelap,

41 Ibid.

Berdasarkan hukum internasional yang termasuk ke dalam alien meliputi empat kategori yaitu pencari suaka (asylum seekers), orang terlantar (displaced person), orang tanpa kewarganegaraan (stateless), dan pengungsi (refugee). Pengungsi adalah orang yang mencari tempat yang aman ketika di negaranya ada bahaya yang mengancam. Pengungsi selalu berada di luar negara kebangsaannya. Hal itu terjadi karena suatu alasan rasa takut dan terjadinya tekanan atau penyiksaan. Alasannya dapat berupa perbedaan etnis, agama atau karena keikutsertaannya pada suatu kelompok sosial tertentu. Dapat juga karena pendapat politiknya sehingga harus berada di luar negaranya karena tidak lagi mendapat perlindungan dari negara asalnya. Negara tidak dapat memulangkan seorang pengungsi dengan alasan apapun, terkait dengan posisi mereka yang terancam jiwanya atau kebebasannya dengan alasan-alasan yang disebutkan di atas. Status yang dikeluarkan oleh UNHCR diterima oleh Majelis Umum PBB tahun 1950. Pada resolusi tersebut terdapat seruan agar semua negara anggota PBB memberikan kerjasamanya pada UNHCR dalam melaksanakan perlindungan internasional kepada pengungsi dan mencari solusi yang permanen.

Indonesia sebagai negara bukan peserta konvensi tentang pengungsi sesungguhnya tidak terikat pada kewajiban-kewajiban terkait dengan perlindungan yang diberikan oleh hukum internasional, sebagaimana yang diamanatkan konvensi pengungsi. Namun dengan pertimbangan kemanusiaan, Indonesia sebagai anggota PBB secara moral terpanggil untuk memenuhi dan mematuhi resolusi dalam memberikan perlindungan internasional kepada pengungsi. Kilas balik sejarah Indonesia, pada saat penjajahan penetapan izin pada orang asing yang masuk Indonesia secara ilegal dapat menjadi legal dengan cara membayar sejumlah denda. Pasca kemerdekaan izin masuk bagi orang asing didasarkan pada kepentingan nasional yang sifatnya selektif. Kriteria penerimaan dipertimbangkan dengan dasar terhadap mereka tidak akan menjadi beban ekonomi. Orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia tunduk pada hukum Indonesia. Indonesia memiliki kekuasaan untuk menolak memberi izin masuknya orang asing. Alasan penolakan salah satunya disebabkan karena tidak memiliki surat perjalanan yang sah. Namun demikian terdapat pengecualian jika para migran itu statusnya sebagai pengungsi. Polisi dan petugas imigrasi harus memberi perlakuan terhadap mereka dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip umum atau hak pengungsi.

Hukum positif keimigrasian Indonesia tidak memuat ketentuan yang berlaku secara khusus (lex specialis) bagi pencari suaka dan pengungsi. Dengan demikian setiap orang asing, yang masuk ke Indonesia tanpa memenuhi persyaratan akan dianggap

sebagai orang asing yang memasuki wilayah Indonesia secara tidak sah. Petugas imigrasi dapat mengeluarkan perintah deportasi kepada orang asing yang tiba di tempat pemeriksaan imigrasi. Alat angkut berkewajiban untuk membawa kembali setiap orang asing sebagai penumpang yang dibawanya. Adapun penentuan apakah seseorang/sekelompok orang itu pengungsi atau bukan dilakukan oleh perwakilan UNHCR yang berada di Indonesia, dan untuk hal yang demikian dinamakan ”pengungsi mandat” karena penetapannya ditentukan oleh UNHCR. Kedua, ”pengungsi konvensi” yang prosedur penetapan statusnya untuk menentukan pengungsi atau bukan diserahkan kepada negara yang sudah menjadi peserta konvensi, namun tetap bekerjasama dengan UNHCR setempat. Sampai saat ini Indonesia bukan negara peserta Konvensi Pengungsi. Biasanya untuk negara peserta Konvensi Pengungsi dibentuk suatu panitia khusus yang terdiri dari instansi-instansi yang ada hubungannya dengan masalah pengungsi. Namun hingga saat ini Indonesia belum melakukan aksesi terhadap instrumen hukum internasional Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi.

Setidaknya terdapat enam istilah yang sering digunakan media untuk menyebut mereka (pengungsi), yaitu imigran gelap (ilegal immigrant), pencari suaka (asylum seekers ), pengungsi (refugee), manusia perahu (boat people), serta pengungsi sejati dan pendatang biasa. Dua istilah terakhir merupakan standar penyebutan/istilah yang digunakan selama ini oleh Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa Bangsa (UNHCR). Adapun Organisasi Internasional yang mengurusi Migrasi Internasional (IOM) menggunakan istilah-istilah seperti migran (migrant), pengungsi (refugee), dan orang-orang yang terlantar (displaced persons). Untuk kaum migran lembaga IOM mengkategorikannya dengan tiga sebutan yaitu migran ekonomi (economic migrants), vurnerable people, dan vurnerable groups. Istilah terakhir yang masih berkaitan dengan migrasi yaitu trafficking in person yang mengandung arti pergerakan manusia yang meninggalkan negara asalnya karena adanya penipuan melalui iming-iming pekerjaan. Korban trafficking sering mengalami penderitaan yang luar biasa dan tak jarang hidupnya berakhir tragis (bunuh diri). Sementara para sindikat penipunya sering meraup keuntungan yang besar dari usaha ini.

Istilah-istilah di atas penting mengingat dalam hukum setiap istilah yang digunakan akan membawa pada implikasi dan akibat hukum tertentu, baik menurut hukum positif Indonesia maupun hukum internasional. Pengungsi menurut ketentuan hukum internasional ialah setiap orang atau sekelompok orang yang ”berada di luar

negara kebangsaannya dengan alasan rasa takut akan terjadinya tekanan atau penyiksaan (Pasal 6B Statuta UNHCR)”. Pasal 1A Ayat (2): Konvensi tentang Pengungsi tahun 1951 memberi batasan, yaitu ”siapa saja yang merasa takut akan mendapat tekanan atau penganiayaan yang disebabkan karena alasan etnis, agama atau karena keikutsertaannya pada suatu kelompok sosial tertentu atau karena pendapat politiknya sehingga harus berada di luar negaranya karena tidak lagi mendapat perlindungan dari negaranya”. Dengan demikian jika unsur-unsur pada pasal tersebut tidak terpenuhi, khususnya adanya ancaman dan bahaya yang mengancam terhadap jiwanya sehingga harus pergi meninggalkan negaranya maka sulit untuk mendapatkan status pengungsinya. Hukum Indonesia mengatur apabila ada warga asing yang memasuki wilayah Indonesia tanpa izin terhadap mereka akan dipulangkan (dideportasi) ke negara asalnya. Dasar pemulangan merupakan ketentuan hukum positif terkait keimigrasian Indonesia. Harap diingat pengungsi tidak dikategorikan sebagai migran ilegal berdasarkan hukum internasional. Memang pada saat masuk mereka tidak dilengkapi dengan dokumen resmi dari negara asalnya. Ketidaklengkapan dokumen bagi kaum migran tersebut tidak dapat menjadi alasan bagi pemulangan/pengusiran terhadap mereka. Hal tersebut merujuk pada salah satu prinsip dalam hukum pengungsi, yaitu larangan dilakukannya pengusiran. Pengusiran hanya mungkin dilakukan apabila ada pertimbangan berdasarkan alasan-alasan keamanan nasional atau ketertiban umum atas keberadaan mereka tersebut. Kalaupun hal demikian dilakukan pada pelaksanaannya tetap akan sesuai dengan proses hukum yang semestinya. Atas alasan-alasan keamanan nasional yang bersifat memaksa tetap pada pengungsi tersebut diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri serta dapat menyampaikan bukti untuk membersihkan dirinya.

Dari sejumlah isu-isu keamanan kontemporer yang berkembang pada masa pasca Perang Dingin, masalah tenaga kerja ilegal dinilai telah menjadi salah satu isu utama. 42 Salah satu contoh kasus adalah kasus tenaga kerja ilegal asal Indonesia di

Malaysia. Isu ini telah diangkat oleh Pemerintah Malaysia sebagai ancaman terhadap keamanan internal Malaysia. Sebagai dampak dari tersekuritisasinya suatu isu maka pemerintah setempat akan mengeluarkan sejumlah kebijakan publik yang mempengaruhi penyelesaian masalah serta pemberlakuan mekanisme penyelesaian yang berada di luar mekanisme penyelesaian formal. Kondisi ini mendorong munculnya

42 Senia Febrica, Kebijakan Penanganan Tenaga Kerja Ilegal Indonesia di M alaysia, ht t p:/ / gp- ansor.org/ 1479-04122006.ht m l .

sebuah pertanyaan yang akan menjadi permasalahan dalam penelitian ini, “Bagaimanakah kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan baik oleh Pemerintah Malaysia dan Indonesia dalam penanganan masalah tenaga kerja ilegal asal Indonesia?

Gelombang kedatangan tenaga kerja ilegal dari Indonesia ke Malaysia telah menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak pertengahan 1970-an. 43 Kedatangan

imigran ini dipengaruhi oleh kebijakan New Economic Policy yang diberlakukan di Malaysia. Kebijakan industri ini mendorong tenaga kerja Malaysia yang berada di wilayah rural untuk berurbanisasi sehingga Malaysia mengalami kekurangan tenaga kerja untuk sektor-sektor pertanian, maupun perkebunan. Kekurangan tenaga kerja ini mendatangkan kerugian material yang cukup besar. United Planters Association mengklaim kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian telah menyebabkan kerugian sebesar $23 juta. Adanya kebutuhan yang sangat besar dari Malaysia atas tenaga kerja asing di sektor-sektor yang kurang diminati oleh para pekerja Malaysia ini menjadikan isu tenaga kerja ilegal asal Indonesia pada awalnya tidak dianggap sebagai ancaman.

Disamping faktor permintaan tenaga kerja yang besar, jumlah tenaga kerja ilegal asal Indonesia pada masa ini masih tergolong kecil yaitu hanya mencapai enam sampai tujuh orang di setiap wilayah tertentu sehingga tidak dinilai sebagai potensi ancaman. Para tenaga kerja ilegal inipun hanya menempati wilayah rural, terutama daerah perkebunan kelapa sawit dan karet. Pemikiran ini diperkuat oleh adanya pandangan politik dari publik Malaysia yang didominasi oleh Etnis Melayu bahwa tenaga kerja ilegal asal Indonesia merupakan bangsa serumpun yang pada akhirnya akan berasimilasi dengan penduduk lokal “bumiputera”.

Tenaga kerja ilegal asal Indonesia diharapkan di masa depan dapat memperkuat power electoral dari etnik Melayu dalam menghadapi etnik lainnya yang non-Melayu (etnik China dan etnik India yang menjadi komponen komposisi penduduk Malaysia

secara keseluruhan) dan memperkuat posisi etnik Melayu dalam keseimbangan komunal yang ada. Kuatnya asumsi yang berkembang di kalangan masyarakat etnik Melayu terhadap tenaga kerja ilegal asal Indonesia ini direfleksikan dalam pidato dari pemimpin United Malays National Organization yang menjabat sebagai wakil Perdana Menteri bahwa setelah tenaga kerja ilegal ini menetap selama 10 tahun di Malaysia dan pada akhirnya akan mendaftar sebagai warga negara, dan mereka akan menjadi pemilih- pemilih dalam pemilihan umum.

43 Ibid.

Akan tetapi sikap dari Pemerintah Malaysia terhadap tenaga kerja ilegal asal Indonesia menunjukkan perubahan mulai pertengahan tahun 1980an. 44 Terutama

dengan semakin intensifnya migrasi ilegal tenaga kerja Indonesia, baik karena faktor reproduksi maupun kedatangan teman ataupun keluarga. Berdasarkan laporan yang dituliskan dalam Fellowship Paper terdapat sebuah kasus dimana kedatangan seorang imigran diikuti oleh 25 anggota keluarganya setelah ia bekerja di Malaysia selama 10 tahun. Jumlah tenaga kerja ilegal yang bekerja sebagai pembuka tanah di wilyah- wilayah tertentu telah meningkat menjadi 4000 orang.

Peningkatan jumlah tenaga kerja ilegal asal Indonesia ke Malaysia pada pertengahan 1980an ini tidak dapat dilepaskan oleh push maupun pull factor. Dalam terminologi push factors, kondisi internal Indonesia memiliki pengaruh yang besar. Transformasi Indonesia dari negara agraris ke negara industri menyebabkan semakin rendahnya permintaan terhadap tenaga kerja unskilled, standar gaji yang rendah, dan kondisi situasi angkatan kerja yang menunjukkan ketidakseimbangan besarnya jumlah usia kerja dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia telah menjadi pendorong migrasi. Para imigran ini cenderung memilih untuk masuk ke Malaysia sebagai tenaga kerja ilegal dengan pertimbangan utama menghindari biaya pemberangkatan yang cukup mahal untuk mendapatkan kelengkapan dokumen (seperti paspor dan visa kerja), serta urusan birokratis yang berbelit-belit, seringkali seorang tenaga kerja Indonesia perlu menunggu sampai enam bulan agar seluruh proses birokratis yang ada selesai.

Persyaratan lainnya dirasa menyulitkan seperti kepemilikan rekening tabungan maupun waktu pelatihan kerja di Perusahaan Jawatan Tenaga Kerja legal yang relatif lebih lama. Sementara dari segi pull factors, Malaysia dinilai memiliki sejumlah kelebihan yang dapat menarik tenaga kerja ilegal asal Indonesia. Pull factors ini diantaranya meliputi kesempatan kerja yang lebih besar dengan perolehan gaji yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat upah di Indonesia.

Pada tahap awal kedatangan tenaga kerja ilegal asal Indonesia tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi dengan semakin besarnya jumlah tenaga kerja ilegal maupun penyebaran tenaga kerja ilegal ini ke wilayah kota yang semula hanya menempati wilayah pedesaan tenaga kerja ilegal telah mendatangkan keresahan publik di Malaysia. Tenaga kerja ilegal dipandang telah membawa ancaman multidimensi dari segi ekonomi, kriminalitas, sosial budaya maupun kesehatan. Permasalahan yang

44 Ibid.

ditimbulkan oleh para TKI ilegal asal Indonesia ini mendorong Pemerintah Malaysia untuk mengeluarkan kebijakan pendeportasian mereka.

Setelah peristiwa deportasi tahun 2002 (peristiwa Nunukan), rencana Pemerintah Malaysia untuk mendeportasi para pendatang asing ilegal (PATI) sudah mulai dilaksanakan. Deportasi besar-besaran PATI di Malaysia, yang secara legal berbentuk kebijakan Operasi Nyah III, kali ini di prioritaskan di Negeri Bagian Sabah. Disana jumlah PATI memang sangat besar, dan yang terbesar berasal dari Indonesia. Pihak imigrasi Malaysia mencatat, antara tahun 2003-2008, 1,6 juta warga negara Indonesia masuk ke negeri bagian Sabah. Menurut catatan resmi mereka sekitar 861.000 orang dari WNI ilegal kembali ke tanah air secara suka rela dan dengan cara di deportasi paksa oleh Pemerintah Malaysia. Sekitar 799.000 orang masih berada disana, dan sekitar 600.000 orang diantaranya berstatus ilegal. Sejak berubahnya peraturan Imigrasi di Malaysia tahun 2002 lalu, pemerintah Malaysia gencar merazia para pendatang haram. Razia tidak cuma dilakukan oleh pihak kepolisian dan imigrasi, bahkan satuan khusus dari masyarakat sipil dibentuk untuk melancarkan pelaksanaan kebijakan ini, ikatan Relawan rakyat Malaysia (RELA), adalah pasukan sipil yang dibentuk dan mulai naik daun karena sepak terjangnya dalam menjalankan operasi razia para pendatang haram.

Pasca booming deportasi pada tahun 2002 lalu, Pemerintah Malaysia secara reguler terus melakukan upaya deportasi. Dua kali dalam seminggu, tepatnya setiap hari Selasa dan Jum’at kita bisa dapatkan rombongan deportan merapat di pelabuhan Tanjung Priok. Setiap minggunya antara 100 – 500 orang dipulangkan, tentunya setelah menjalani hukuman, penjara dan cambuk. Pemulangan biasanya melalui jalur Tanjungpinang – Tanjung Priok dan daerah perbatasan Entikong Kalimantan Barat. Setelah pencanangan operasi Nyah III, gelombang deportasi mulai meningkat, 500 – 1000 orang perminggu mulai di pulangkan.

Persoalan buruh migran adalah salah satu persoalan sensitif dalam hubungan Indonesia-Malaysia. Kebijakan deportasi bagi PATI adalah bentuk dari ketegasan Pemerintah Malaysia dalam membenahi dan menanggulangi persoalan sosial dan politik yang diakibatkan oleh para pendatang haram disana. Pemerintah lokal Negeri Sabah bahkan mencanangkan program tahun 2012 sebagai tahun bersih dari PATI. Menurut mereka, angka kriminalitas terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya para PATI. Tidak hanya menimbulkan masalah sosial tapi juga meluas sampai masalah politik. Sudah bukan rahasia bahwa ada beberapa partai politik disana

menggunakan suara para pendatang haram untuk meraup kemenangan dalam Pemilu. Tetapi tidak bisa disangkal bahwa pembangunan di Malaysia tergantung dengan keberadaan buruh migran. Lebih dari 70 % sektor informal diisi oleh buruh migran, sebagai pekerja konstruksi, perkebunan dan jasa. Di rumah-rumah para pegawai pemerintahan dan masyarakat menengah Malaysia, para pekerja rumah tangga diisi oleh tenaga-tenaga migran. Di sektor formal, tak sedikit juga tenaga-tenaga migran mengisi kilang-kilang. Merekalah salah satu penentu meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Malaysia. Kontribusi buruh migran untuk peningkatan pendapatan mereka juga tidak sedikit. Di beberapa negeri bagian seperti Selangor, pemerintah lokalnya menarik retribusi dengan pemotongan upah sebesar RM 10 setiap bulannya dari para buruh migran yang bekerja disana. Dari keringat para buruh migran legal, setiap tahun rata- rata RM 1,4 Milyar masuk ke pundi-pundi pendapatan negara Malaysia, melalui program penarikan pajak dan retribusi Employees Provident Fund (EPF). Sebuah data yang bersumber dari sebuah organisasi masyarakat di Sabah mengungkapkan, terdapat sekitar 900.000 buruh migran bekerja di perkebunan-perkebunan milik perusahaan besar antara lain FELDA, FELCRA, Lembaga Tabung Haji, Golden Hope, IOI dan sebagainya. Sejumlah 300.000 orang diantaranya sengaja dibiarkan bekerja secara ilegal, sekitar 600.000 dapat bekerja legal tapi dengan dokumen-dokumen aspal (asli tapi palsu).

Memang tak bisa dipungkiri, dibalik kesuksesan Malaysia sebagai salah satu negara terbesar penghasil CPO di dunia adalah buruh migran berupah murah sebagai penopang utamanya. Fenomena pembiaran dalam mempekerjakan buruh migran ilegal dengan sengaja di berbagai sektor adalah kenyataan bahwa Malaysia masih bergantung pada tenaga murah buruh migran sebagai penopang pertumbuhan ekonomi mereka. Pada saat yang sama, razia besar-besaran terhadap buruh migran ilegal juga dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan melanggar HAM. Besarnya biaya yang harus di keluarkan dalam pengurusan izin kerja, selain memberatkan para buruh migran juga membuat para pengguna tenaga buruh migran, baik itu majikan atau perusahaan dan perkebunan memilih mempekerjakan mereka yang ilegal. Perlu di catat bahwa setiap buruh migran yang ingin bekerja dengan legal harus membayar RM 1800 untuk izin kerja. Tidak ada sanksi tegas dari Pemerintah Malaysia bagi para pengguna tenaga buruh migran (employer) yang mempekerjakan buruh migran ilegal, kesalahan sepenuhnya di limpahkan kepada buruh migran. Sehingga mereka yang ilegal harus siap Memang tak bisa dipungkiri, dibalik kesuksesan Malaysia sebagai salah satu negara terbesar penghasil CPO di dunia adalah buruh migran berupah murah sebagai penopang utamanya. Fenomena pembiaran dalam mempekerjakan buruh migran ilegal dengan sengaja di berbagai sektor adalah kenyataan bahwa Malaysia masih bergantung pada tenaga murah buruh migran sebagai penopang pertumbuhan ekonomi mereka. Pada saat yang sama, razia besar-besaran terhadap buruh migran ilegal juga dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan melanggar HAM. Besarnya biaya yang harus di keluarkan dalam pengurusan izin kerja, selain memberatkan para buruh migran juga membuat para pengguna tenaga buruh migran, baik itu majikan atau perusahaan dan perkebunan memilih mempekerjakan mereka yang ilegal. Perlu di catat bahwa setiap buruh migran yang ingin bekerja dengan legal harus membayar RM 1800 untuk izin kerja. Tidak ada sanksi tegas dari Pemerintah Malaysia bagi para pengguna tenaga buruh migran (employer) yang mempekerjakan buruh migran ilegal, kesalahan sepenuhnya di limpahkan kepada buruh migran. Sehingga mereka yang ilegal harus siap