REALITAS SOSIAL DALAM NOVEL REVOLUSI DARI SECANGKIR KOPI KARYA DIDIK FOTUNADI OLEH : SITTI AMZAWIYAH

Realitas Sosial tentang Kebudayaan

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kebudayaan juga merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Indonesia terkenal karena keragaman budaya keramahtamahan penduduknya. Budaya yang ada di masyarakat cenderung berubah. Terkadang kita melihat seolah-olah dalam suatu masyarakat tidak terjadi perubahan, padahah perubahan budaya selalu terjadi meskipun mungkin sangat sedikit dan lambat. Masyarakat seperti ini dinamakan masyarakat statis. Sementara itu, masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat dinamakan masyarakat dinamis.

Oleh karenanya, kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari- hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan Oleh karenanya, kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari- hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan

Dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menunjukkan realitas sosial tentang budaya. Hal ini terdapat dalam kutipan: “Kehidupan kampung, keringat buruh tani, anak-anak bertelanjang dada yang bermain di sawah, derit bambuori, dengungan bambang erang selalu mengisi datangnya pagi dan tenggelamnya mentari ditelan senja. Waktu bergerak tak tercegah oleh siapa pun.”(Didik Fotunadi, 2014:46). Kutipan tersebut mengungkapkan realitas sosial budaya pada kehidupan perkampungan.

Pemandangan para buruh tani dan anak-anak yang bermain di sawah merupakan aktivitas serta budaya dari masyarakat di perkampungan. Alunan suara yang dikeluarkan oleh derit bambu ori dan juga kumpulan capung yang berterbangan berebut angkasa. Warna-warninya menghias udara dam kontras dengan hamparan padi yang kuning keemasan. Geletar sayapnya menghasilkan dengung, menciptakan nyanyian alam yang memanjakan telinga. Berpadu dengan tembang sumbang para buruh tani. Terdapat pula kutipan lain seperti:

“Sejak sebelum berangkat dari Stasiun Senen Jakarta, kemarin sore,laki-perempuan, tua-muda, semua berjubel berdesakan dan saling sikut beradu kecepatan berebut masuk ke pintu gerbong kereta. Ada anak laki terhuyung dalam jepitan tubuh-tubuh kuat. Satu sandalnya terlepas, ia coba meraih kembali namun arus penumpang yang kesetanan itu tak mampu ia tahan. Lalu kakek itu surut merangkak mundur, duduk di bawah tiang penyangga bangunan stasiun.Buntelan bawaannya terbuka di lantai dan nasi bekalnya terhambur terinjak-injak ratusan calon penumpang yang kesetanan berebut masuk itu.”(Didik Fotunadi, 2014:49).

Kutipan tersebut menggambarkan realitas sosial tentang suasana di stasiun kereta api yang telah benar-benar menjadi sebuah budaya. Menjadi tabiat di stasiun saling berdesakan dan berebut masuk ke gerbong kereta. Realitas yang didasari oleh kurangnya kesadaran dalam kedisiplinan, sehingga mengabaikan keselamatan.Seperti pada kutipan:

“Ya, semuanya saling sikut, saling rebut, saling mendahului masuk kereta demi sebuah kursi yang sebenarnya tak empuk ini. Sebuah kursi keras yang busanya lengket dan berdaki yang akan membawa kami dalam perjalanan 18 jam menuju kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya, kupilih duduk di lantai lorong yang pengap; kursiku kurelakan untuk nenek tua yang tidak kebagian tempat duduk. Biarlah kursi keras itu minimal membantu tubuh tuanya bisa istirahat.”(Didik Fotunadi, 2014:51). Kutipan di atas mengungkapkan budaya masyarakat yang saling berebut dan saling mendahului

untuk masuk kereta demi mendapatkan kursi. Dalam memperoleh kursi tentu saja begitu sulit di antara desakan orang-orang. Namun, tetap saja, tak mengurangi rasa menghormati orang yang lebih tua. Didik memberikan kursi yang didapatkannya untuk seorang nenek tua yang tidak kebagian tempat. Lalu, ia memilih duduk di lantai kereta. Seperti pada kutipan:

“Lalu jangan harap lantai berkarat itu sudah disapu atau dibersihkan. Kecoak-kecoak kecil lincah bermunculan dari sudut di bawah kursi; mereka berpesta mengerubuti remah-remah sisa makanan di daun pisang bungkus nasi pecel yang tercecer di sana. Ada terserak plastic bungkus roti,kertas- kertas Koran bungkus kue, yang entah kapan teronggok di sana. Mungkin sampah bekas penumpang sebelumnya yang tak sempat dibersihkan. Hidungku mencium bau busuk makanan basi bercampur aroma besi berkarat kereta yang khas.”(Didik Fotuandi, 2014:51). Kutipan di atas menujukkan bahwa terdapat realitas sosial tentang budaya yang meliputi

kebiasaan kurangnya perhatian masyarakat dalam menjaga kebersihan. Tiadanya kesadaran serta kurangnya kedisiplinan dalam menjaga kebersihan lingkungan menyebabkan sampah-sampah berserakan di dalam gerbong kereta api yang merupakan hasil dari penumpang sebelumnya. Kondisi kereta pun yang berbau besi berkarat merupakan kereta kelas ekonomi yang pada kenyataannya jauh dari kelayakan kenyamanan pengguna kereta api. Lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang pada akhirnya seolah menjadi kebiasaan kurangnya perhatian masyarakat dalam menjaga kebersihan. Tiadanya kesadaran serta kurangnya kedisiplinan dalam menjaga kebersihan lingkungan menyebabkan sampah-sampah berserakan di dalam gerbong kereta api yang merupakan hasil dari penumpang sebelumnya. Kondisi kereta pun yang berbau besi berkarat merupakan kereta kelas ekonomi yang pada kenyataannya jauh dari kelayakan kenyamanan pengguna kereta api. Lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang pada akhirnya seolah menjadi

“Iya, intinya bisa di atur, supaya kamu bisa kuliah di Sekolah Tinggi milik Departemen Perindustrian di Bandung, lanjutnya dengan sungguh-sungguh. Mendadak tubuhku lemas mendengar itu, terngiang lagi apa yang tertulis dalam buku fotokopian bersampul merah. Disebutkan di sana bahwa salah satu penyebab tidak majunya negeri ini adalah KKN- Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Apakah kuliah di Perguruan Tinggi Negeri yang masuk karena dibantu saudara itu bukan kolusi? Bukan Nepotisme?”(Didik Fotunadi, 2014:55). Realitas teks tersebut menunjukkan bahwa setelah sempat gagal pada ujian setahun sebelumya

untuk masuk ke salah satu perguruan tinggi, muncul tawaran dari Pak Likuntuk membantunya agar lebih mudah lulus. Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa hal tersebut sama saja dengan kolusi dan nepotisme. Hal-hal tersebut memang sederhana, namun kian merambat menjadi budaya ketika masuk ke perguruan tinggi berkat bantuan seseorang dan bukan karena kemampuan sendiri. Bibi-bibit seperti inilah yang pada akhirnya menjadi kelemahan dari sikap KKN. Terdapat pula realitas budaya lain, seperti pada kutipan:

“hidup… hidup… hidup! Itu saja gemuruh yang kudengar setiap orang yang tarik urat leher di panggung menyelesaikan satu kalimat. Teriakan itu dilantangkan sambil mengangkat satu tangan terkepal ke atas. Lalu selebihnya, Cuma orang-orang berjoget ria mengikuti cengkok penyanyi dangdut yang harus kuakui, selain bajunya yang hmm…, lenggok gemulai goyangannya membuat mata tak berkedip menikmatinya, membuat merinding nafsu para laki-laki, membuat cemburu paraa perempuannya. Suaranya jelas kalah nyaring disbanding lenggok pinggang seksi tubuhnya. Kampanye itu begitu gembita tetapi kering makna.”(Didik Fotunadi, 2014:187). Pada kutipan tersebut menggambarkan realitas sosial tentang kebudayaan masyarakat saat

dilakukannya kampanye. Seakan telah menjadi sesuatu yang wajib ketika berkampanye menghadirkan penyanyi dangdut. Tujuannya yang tidak lain untuk menghibur sekaligus memeriahkan kampanye. Penyampaian visi dan misi kinerja untuk masyarakat kalah keras dan kalah seru bila dibandingkan dengan penyanyi dangdut yang berlenggak-lenggok di panggung. Kenyataannya penyanyi dangdut yang ditampilkan lebih menarik ketimbang penyampaian tujuan kampanye. Maka, tidak heran pula pejabat- pejabat yang dilahirkan adalah orang-orang yang bermental tak bermoral di masa kini. Realitas budaya juga tergambar seperti pada kutipan:

“Pada fasilitas water refill station yang setinggi dua meteran itu, tampak tulisan Say no to bottled water . Saat rakyat di tanah air merasa modern dan hidup sehat dengan minum air mineral kemasan, negeri ini telah setahap di depan, mereka tengah berkampanye untuk tidak menggunakan air kemasan yang notabene akan menghasilkan banyak sampah plastik.”(Didik Fotunadi, 2014:212). Kutipan tersebut menggambarkan budaya masyarakat negara Australia untuk menjaga lingkungan

dengan tidak menggunakan air kemasan. Sangat jauh berbeda dengan dengan realitas di Indonesia yang gemar mengkonsumsi air kemasan. Semakin banyak air kemasan yang digunakan, maka semakin banyak pula sampah plastik yang dihasilkan. Realitas sosial menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki peranan serta pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Budaya yang meliputi sistem teknologi dan peralatan hidup, sistem organisasi masyarakat, bahasa, serta sistem pengetahuan sebagai keseluruhan cara hidup manusia.

Realitas Sosial tentang Hukum

Hukum merupakan suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol. Hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi bagi pelanggarnya.

Tujuan hukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.

Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menuliskan tentang adanya hukum dalam keberlangsunggan hidup masyarakat Indonesia khusunya tokoh-tokoh yang ada dalam novel, yang pada kenyataanya lebih banyak menuai ketimpangan. Hukum yang baik secara tertulis maupun tidak tertulis di atur dalam setiap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberadaan hukum yang diharapkan mampu memberikan ketentraman dan keadilan terhadap masyarakat berbanding terbalik. Seperti pada kutipan:

Aku baru menyadari arti “terlibat”. Para buruh tani yang melarat hidupnya itu, yang tiap hari kusaksikan dengan mata kepala sendiri, berjuang hanya untuk bertahan agar bisa makan, telah terhukum gara-gara ikut bergabung di BTI dan hidup tidak bebas lagi di negeri ini. Sedihnya, hukuman itu menimpa anak keturunannya yang bahkan belum lahir pada saat peristiwa enam lima itu terjadi.(Didik Fotunadi, 2014:22). Kutipan tersebut membuktikan adanya realitas sosial tentang hukum.Saat teman Didik yang

bernama Yatno dikeluarkan oleh pihak kampus yang saat itu menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Akuntasi Negara atau STAN.Dikeluarkannya Yatno oleh sebab keterlibatan Ayahnya serta buruh tani lainnya di BTI.BTI adalah Barisan Tani Indonesia yang merupakan salah satu organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia, partai yang menculik dan membunuh para jenderal di Lubang Buaya.Ketika Pak Harto menumpas PKI, semua orang yang menjadi anggota partai tersebut termasuk para anggota BTI dianggap terlibat peristiwa berdarah tersebut. Meskipun pada kenyataannya mereka tidak ikut menculik dan membunuh. Mereka hanya ikut kumpul-kumpul karena ada yang menjanjikan bahwa nasib buruh tani akan sejahtera. Oleh karena itu, anak-anak mereka yang terlibat PKI tidak bisa jadi pegawai negeri. Realitasnya, hukuman tersebut juga ditimpakan tidak hanya kepada mereka yang terlibat, namun keturunan mereka pun ikut terhukum. Realitas lainnya juga terdapat dalam kutipan:

“Turunkan setengah tiang. Negeri ini berkabung!” balas Alit dengan urat leher tertarik. “Tidak ada perintah berkabung!” balas petugas sambil matanya membeliak mau keluar dari tempatnya. “Tidak perlu perintah, kawan-kawan Tri Sakti tertembak, Jakarta rusuh, banyak aktivis hilang, cukup sudah!” timpal Yan…(Didik Fotunadi, 2014:417). Realitas sosial tersebut menunjukkan bahwa adanya kekacauan, mahasiswa yang tebunuh serta

banyaknya aktivis yang hilang justru memudarkan fungsi hukum yang diciptakan sebagai sarana dalam penegakan ketertiban dan kedamaian nasional. Rendahnya sistem pelaksanaan hukum membuat kejahatan merajalela. Ini semakin menegaskan bahwa hukum Indonesia tumpul kebawah, tajam ke atas.Seperti pula pada kutipan:

“Aku berpikir, apakah gerakan reformasi yang tak terbendung ini memang dianugerahkan kepada tanah pertiwi? Sebuah titik perubahan dari negara militer ke era baru, sebuah negeri madani. Nyaris sulit dipercaya, beberapa tahun terakhir bahkan beberapa bulan lalu, siapa pun yang turun ke jalan, akan ditangkap dan di penjara tanpa pengadilan. Siapa pun yang menentang akan diculik, lenyap, hilang, dan tak pernah kembali…”(Didik Fotunadi, 2014:420). Kutipan di atas mengungkapkan realitas sosial tentang hukum.Kenyataan bahwa mereka yang

turun ke jalan justru ditangkap dan di penjara tanpa pengadilan. Itu artinya, tidak ada proses hukum yang berarti. Hukum yang pada hakikatnya memberikan pembelaan terhadap rakyat justru tidak berlaku bagi mereka yang berkuasa. Hal yang sama juga diterangkan seperti pada kutipan:

“Kami bergeming, napas aku tahan. Mataku gentar akan kemungkinan yang bisa terjadi. Terlintas di benakku kawa-kawan Tri Sakti tersungkur saat tubuhnya ditembus peluru timah panas, lalu rusuh yang menelan ribuan korban, di antaranya terpanggang api karena dibakar, pemerkosaan, “Kami bergeming, napas aku tahan. Mataku gentar akan kemungkinan yang bisa terjadi. Terlintas di benakku kawa-kawan Tri Sakti tersungkur saat tubuhnya ditembus peluru timah panas, lalu rusuh yang menelan ribuan korban, di antaranya terpanggang api karena dibakar, pemerkosaan,

mestinya. Saat mahasiswa maupun rakyat menjadi korban atas kekejian peritiwa ‟98. Menjadi sebuah kepiluan saat hukum justru tidak dapat melindungi masyarakatnya dari ketidakadilan.

Realitas Sosial tentang Politik

Politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Selain itu, sistem politik merupakan sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan negara dan hubungan antar negara. Politik juga merupakan cara, tata, rencana, skema, prosedur atau metode yang digunakan oleh seorang individu atau suatu kelompok untuk mencapai tujuan tertentu.

Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menuliskan tentang adanya politik dalam kehidupan yang dialami oleh masyarakat Indonesia khususnya tokoh-tokoh yang ada di dalam novel, yang pada kenyataan telah melenceng dari sistem yang telah diharapkan. Politik merupakan suatu sistem yang beriringan dengan berjalannya pemeritahan. Memiliki prinsip serta tujuan pasti akan kepentingan rakyatnya. Namun, realitasnya politik itu sendiri mengalami pencemaran atas perilaku- perilaku pelakunya. Melenceng dari tujuan dan fungsinya. Realitas tentang politik tergambar seperti pada kutipan:

“BTI itu salah satu organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia, Nak, partai yang menculik dan membunuh para jenderal di Lubang Buaya. Ketika Pak Harto menumpas PKI, semua orang yang menjadi anggota partai itu, termasuk para anggota BTI, dianggap terlibat peristiwa berdarah itu.”(Didik Fotunadi, 2014:22).

Kutipan di atas menunjukkan adanya realitas sosial tentang politik yaitu ketika buruh tani menjadi anggota BTI atau Barisan Tani Indonesia yang tidak lain merupakan salah satu organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia yakni partai yang menculik dan membunuh para jenderal di Lubang Buaya. Meski tidak ikut menculik dan membunuh namun mereka tetap di anggap terlibat. Padahal mereka sebagai rakyat biasa tidak tahu menahu persoalan yang berkaitan dengan penculikan tersebut. Mereka hanya ikut kumpul-kumpul karena ada yang menjanjikan bahwa nasib buruh tani akan sejahtera. Mereka tidak akan kelaparan lagi dan dapat menyekolahkan anak-anaknya. Sekali lagi, ini merupakan gambaran realitas bahwa lagi-lagi rakyat biasa yang menjadi korban politik atas kepentingan-kepentingan partai. Realitas lainnya juga terdapat pada kutipan:

“Aksi damai itu membuat sang Menteri berang. Berbekal kamera video, entah siapa yang melakukannya, satu demi satu mahasiswa yang terekam video itu digelandang dari kampus dan tempat kosnya. Mereka diseret dan diinterogasi di kantor polisi. Beberapa mahasiswa dilepaskan, tapi beberapa lainnya diajukan ke meja hijau.”(Didik Fotunadi, 2014:85). Kutipan tersebut mengungkapkan adanya realitas sosial tentang pilitik yaitu saat dilakukannya

aksi damai yang diikuti sekitar 200-an mahasiswa di depan pintu utama Gedung Serba Guna atas kedatangan Mendagri Rudini. Namun, aksi tersebut justru berdampak dengan diseretnya mereka ke kantor polisi karena sang Menteri Berang karena dianggap penggerak aksi menolak kedatangan Mendagri. Mereka dituduh subversife. Demikianlah kacamata penguasa melihatnya. Realitas juga tergambar pada kutipan:

“Orang menulis di dinding kamar mandi pun mampu diendus lalu ditangkap, oleh sebuah lembaga yang telinga serta matanya bisa masuk ke semua instansi dan rumah tangga rakyat. Yang berhak melenyapkan rakyat „katanya ‟ demi kepentingan „rakyat‟ yang lain.”(Didik Fotunadi, 2014:88).

Kutipan di atas mengungkapkan realitas sosial tentang politik yaitu suatu gambaran bagaimana sistem pemerintahan otoriter di jalankan. Mampu mengendus setiap langkah dan gerakan rakyat. Menggunakan kekuasaan sebagai senjata untuk mengekang kebebasan rakyat. Terdapat pula realitas lainnya seperti pada kutipan:

“Bagaimana juga diceritakan penggususran petani di Rancamaya, Kacapiring, Cimacan, Badega, dan Kedung Ombo. Lalu ditunjukkan deretan sejarah panjang data-data kebiadaban rezim Orde Baru: peristiwa Tanjung Priok 1984 yang menelan nyawa ratusan rakyat, korban-korban operasi militerdi ujung wilayah negeri, kasus Dukuh Talangsari Lampung dengan puluhan korban tewas. Selain itu, tertulis banyak catatan angka-angka korupsi, isu kolusi, utang luar negeri yang membengkak, dan keserakahan putra-putri Soeharto.”(Didik Fotunadi, 2014:90). Realitas sosial tentang politis tersebut menjelaskan bahwa sederet peristiwa-peritiwa bersejarah

tersebut merupakan tinta hitam dari cerita bangsa Indonesia. Pada kenyataannya, pemerintahlah yang justru merusak kestabilan nasional dan mengabaikan rakyatnya. Sistem politik dengan langkah yang salah yaitu mengedepankan kepentingan pribadi dan bukan untuk rakyat. Sehingga korupsi menjadi tameng mengakibatkan utang luar negeri yang membengkak. Realitas lainnya juga terdapat pada kutipan:

“Salah satu konsep dasar yang dipegang teguh rezim Orde Baru yaitu trickle down effect, sebuah konsep dengan pendekatan memperbesar kue kemajuan dahulu, baru dibagi rata. Jalan pintas dengan cara utang luar negeri, kue memang cepat menjadi besar, namun ketika sudah menggunung seperti saat ini, hal yang tak mudah dilakukan bahkan mustahil adalah membagi kue tersebut sama rata kepada rakyat. Nyatanya yang terlanjur menikmati enaknya kue pembangunan, maunya mengangkani terus dan tak mau berbagi.”(Didik Fotunadi, 2014:106). Kutipan di atas menunjukkan realitas sosial tentang politik yang terjadi pada Indonesia.

Realitasnya, dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan, maka rezim Orde Baru melakukan pinjaman luar negeri. Namun, alih-alih terjadinya perubahan, keserakahan para penguasa justru kian menjalar. Nasib rakyat tidak lagi diutamakan hingga menimbulkan terjadinya korupsi di mana-mana. Demikianlah jawaban mengapa kemakmuran hanya dinikmati oleh segelintir orang dan tak kunjung dirasakan oleh rakyat kebanyakan sehingga jumlah rakyat miskin pun masih banyak di negeri ini. Realitas tentang politik juga terdapat pada kutipan:

“Hai kawan, jangan lupa kita punya DPR lho,” celetuk teman lain yang aku belum tahu namanya. Alih-alih memikirkan nasib rakyat, para anggota dewan yang gila hormat, malah meminta kenaikan tunjangan 70-100%, tetap jalan-jalan ke luar negeri yang katanya studi banding, jelas sekalian membawa keluarga. Enak to, diongkosin pajak,”balas Ivan.(Didik Fotunadi, 2014:109). Kutipan tersebut menggambarkan saat Didik dan kawan lainnya melakukan diskusi malam.

Saling menimpali pendapat yang tak sekedar mengucap, namun juga menampilkan data sehingga argumentasinya kuat. Mengungkapkan adanya realias sosial tentang politik yaitu negara Indonesia memiliki sistem politik dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat.DPR merupakan lembaga penganyom sekaligus penindak atas suara rakyat. Namun, realitas dilapangan justru bertolak belakang. Kedudukan anggota dewan justru disalah gunakan. Nasib rakyat tidak lag menjadi tujuan utama, para anggota justru meminta lebih kenaikan tunjangan dan melakukan jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding. Mereka lupa bahwa rakyatlah yang sesungguhnya mengongkosi anggota dewan melalui pajak. Jadi, semestinya para anggota dewan tersebut memaksimalkan kinerjanya untuk kepentingan rakyat dan kesejahteraan rakyat.Bukan, kesejahteraan pribadi maupun orang-orang tertentu. Terdapat pula realitas politik lainnya seperti pada kutipan:

“Kalau gue yang terpikir bukan itu Dik,” tukas Charly sambil jarinya menggaruk keningnya. “di mana-mana, pengusul, inisiator, atau pemimpin akan sering menjadi tumbal atau sengaja dikorbankan. Simple.”(Didik Fotunadi, 2014:133). Realitas sosial tentang politik mengungkap bahwa ibarat rezim berkuasa akan menekan birokrat

kementerian pendidikan, kementerian akan menekan rektorat Jurusan. Demikian seterusnya kait-mengait dan saling „tekan ‟ demi kepentingan yang paling atas.Strukturkomando dijalankan. Hal inilah yang juga terjadi saat mahasiwa melakukan usaha pembelaan rakyat. Memantau serta mengkritisi berjalannya kementerian pendidikan, kementerian akan menekan rektorat Jurusan. Demikian seterusnya kait-mengait dan saling „tekan ‟ demi kepentingan yang paling atas.Strukturkomando dijalankan. Hal inilah yang juga terjadi saat mahasiwa melakukan usaha pembelaan rakyat. Memantau serta mengkritisi berjalannya

“Selama kaderisasi yang sistemik terwujud, jiwa kritis, keberanian, dan semangat juang akan terus mengalir dalam darah muda kawan-kawan. Oleh sebab itu, pemberangusan kaderisasi adalah pembunuhan karakter. Ini pemasungan peluang masa depan. Aku yakin, ada yang berkepentingan untuk mengebiri kaderisasi kemahasiswaan. Pelanggaran kaderisasi adalah bagian dari grand design kooptasi model baru rezim Soeharto.”(Didik Fotunadi, 2014:142). Kutipan di atas menunjukkan adanya realitas sosial tentang politik yaitu kenyataan bahwa rezim

Soeharto melakukan usaha pengebirian kemahasiswaan. Pengebirian tersebut berdasar atas dilakukannya kaderisasi dalam perguruan tinggi. Adapun usaha yang ditempuh dengan berbagai trik. Salah satunya dengan usaha memberangus kaderisasi. Sebab, melalui kaderisasi, jiwa kritis, keberanian, dan seemangat juang akan terus dilahirkan dan mengalir dalam darah mahasiswa. Semangat dalam memantau perkembangan atas nasib rakyat Indonesia.Berikut kutipan lainnya:

“Lalu, apakah rezim paham benar bagaimana memutus tali gerakan mahasiswa?” pikiran liarku berkecamuk, berusaha memahami apayang terjadi. “Dengan cara menembak satu atau dua orang, rezim berharap lainnya akan jinak atau lari tunggang langgang, sebelum menjadi gerakan yang akan meledak besar menggoyahkan penguasa.”(Didik Fotunadi, 2014:203). Kutipan tersebut mengisahkan saat terjadinya peristiwa penangkapan Yeni Rosa Damayanti yang

dijebloskan ke penjara karena aksi di DPR. Kejadian itu mau tak mau menjadi beban pikiran. Mungkin juga ketakutan di benak mahasiswa lainnya. Sebab, kejadian tersebut selang bebrapa minggu setelah momentum jatuhnya skorsing Yos dan Mei sehingga sadar maupun tidak disadari menaikkan level ketakutan baik aktivis kampus maupun non-kampus. Inilah cara penguasa dalam memutus tali gerakan kemahasiswaan. Menembak satu dua orang dengan harapan dapat menjinakkan sebelum melakukan gerakan yang lebih besar yang dapat menggoyahkan penguasa. Berikut kutipannya:

“Makin tebal keyakinanku bahwa Rezim Soeharto telah mengerahkan segala cara untuk mengamankan kekuasaanya, termasuk menggunakan Rektorat untuuk membungkam mahasiswa. Intinya, gerakan mahasiswa tetap berfokus pada sikap anti-penguasa yang korup, bukan terhadap rektorat. Bahkan muncul beberapa analisis politik menyoroti soal ini sebagai gerakan mahasiswa pola baru.”(Didik Fotunadi, 2014:251). Realitas sosial tentang politik tersebut menggambarkan bahwa pemerintah berusaha

membungkam gerakan kemahasiswaan. Menggunakan pihak Rektorat untuk sedikit demi sedikit mengebiri langkah-langkah mahasiswa. Trik tersebut tidak lain merupakan cara untuk mengamankan kekuasaan atas Rezim Soeharto. Namun, usaha tersebut tidak menghalau semangat gerakan mahasiswa. Terdapat pula realitas lainnya, seperti pada kutipan:

“Belum selesai urusan jam malam, entah dari mana Satgas mendapat salinannya, muncul Surat Ketua Komisi IX DPR, Ismael Hassan, tertanggal 28 Februari 1994: Komisi IX, Mendikbud, dan Rektor ITB sepakat mengusahakan kemelut internal kampus segera diselesaikan. Kuncinya, mereka setuju agar masalah itu tidak lagi dimunculkan dalam media massa, baik cetak maupun elektronik.”(Didik Fotunadi, 2014:267). Kutipan di atas mengungkapkan realitas sosial tentang politiku yaitu dikeluarkannya surat edaran

keputusan atas mengusahakan masalah internal kampus yang akan segera diselesaikan. Namun, realitasnya kesepakatan itu dilakukan hanya agar masalah tersebut tidak lagi dimunculkan dalam media massa. Hal ini tentu juga merupakan usaha dalam menekan dan membungkam media dalam menyoroti masalah negeri. Sebab, disadari bahwa masalah terjadinya skorsing dalam lingkup kampus ternyata juga menjadi sorotan publik tentang kemelut masalah rezim Soeharto. Seperti pada kutipan:

“Tangan-tangan rezim Soeharto diam-diam menyelusup ke dalam internal masyarakat kampus, mengendap-endap dan akhirnya menikam dari belakang dengan pisau pinjaman, dengan cara “Tangan-tangan rezim Soeharto diam-diam menyelusup ke dalam internal masyarakat kampus, mengendap-endap dan akhirnya menikam dari belakang dengan pisau pinjaman, dengan cara

membungkam gerakan mahasiswa. Realitasya, melalui kekuasaan berusaha menyelusup ke dalam urusan internal kampus. Menikam dari belakang dengan menyamar sebagai aturan kampus yang harus dipatuhi yaitu dengan memanfaatkan pihak pengelola kampus.

Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi juga menuliskan adanya realitas sosial tentang politik yaitu saat mahasiswa dan rakyat melakukan usaha perubahan sistem pemerintahan. Mereka berhasil memaksa Ketua MPR Harrmoko untuk meminta Soeharto mundur dari jabatannya. Hal- hal tersebut diwarnai dengan rentetan peristiwa pilu kematian kawan-kawan Tri Sakti, yang disusul kerusuhan terorganisir 13-15 Mei 1989.Seperti pada kutipan:

“Jakarta makin genting. Belum ada yang tahu bagaimana situasi runyam ini berakhir.Gerakan mahasiswa makin kuat, dan pertentangan elite politik sangat kentara. Selain itu, muncul isu adanya gerakan-gerakan satuan tentara yang tidak terkoordinasi, sementara korban mahasiswa dan rakyat yang terus berjatuhan. Jakarta lumpuh. Setelah berhari-hari melakukan aksi yang diikuti puluhan bahkan ratusan ribu mahasiswa dan rakyat menuntut Soeharto turun di Bandung, tadi malam perselisihan keras dan debat tajam berbagai faksi aktivis di kampus terjadi. Beberapa kelompok memilih tetap di Bandung, menuntaskan gerakan mahasiswa dan rakyat yang bak tsunami tak terbendung itu.Memilih terus memimpin lapangan Gasibu dan menduduki Gedung Sate.”(Didik Fotunadi, 2014:418). Kutipan tersebut mengungkapkan bahwa gerakan mahasiswa dan rakyat merupakan realitas atas

terjadinya revolusi besar sepanjang sejarah Indonesia. Terjadinya KKN serta nasib rakyat yang kian melarat dan tertindas membuat semua bersatu demi kepentingan dan kebaikan bersama. Rasa takut tidak lagi diindahkan manakala kekejaman Rezim Soeharto kian merebak. Semakin membengkakkan utang luar negeri. Hal yang sama juga tergambar seperti pada kutipan:

“Beberapa faksi lain meyakini hanya ke Jakartalah satu-satunya cara untuk menuntaskan perjuangan reformasi. Satu-satunya cara mengakhiri siklus empat tahunan bom gerakan mahasiswa yang telah meledak bertubi-tubi sejak langka dan mahalnya harga kebutuhan pokok di akhir tahun 1997. Lalu, hilangnya kawan-kawan mahasiswa Tri Sakti, dan sampai kerusuhan Jakarta beberapa hari lalu. Tidak ada cara lain selain terjun ke Jakarta untuk menumbangkan rezim Orde Baru ini. Bergabung dengan kawan-kawan mahasiswa Jakarta yang kabarnya mulai menduduki gedung wakil rakyat mulai malam ini.”(Didik Fotunadi, 2014:418). Realitas sosial tentang politik di atas menunjukkan bahwa bersatunya mahasiswa serta rakyat

dalam memperjuangkan reformasi. Aksi tersebut dilakukan secara besar-besaran di Jakarta atas kesepakatan bersama bahwa hanya dengan ke Jakartalah maka reformasi sedapat mungkin terwujud. Kebobrokan negeri kian tergambar atas krisis ekonomi yang di awali pada akhir tahun 1997. Lalu, hilangnya mahasiswa-mahasiswa Tri Sakti sampai dengan terjadinya kerusuhan Jakarta. Realitas lainnya juga terungkap seperti pada kutipan:

“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, padahari ini, Kamis 21 Mei 1998 .” Kutipan tersebut menunjukkan realitas sosial tentang politik yaitu saat bertubi-tubi tiada henti

dilakukannya gerakan masyarakat. Menuntut aksi penurunan Soeharto sebagai presiden Indonesia. Membuat Soeharto sangat sulit untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Momentumnya tepat pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya dengan konfirmasi melalui Televisi nasional secara langsung.

Realitas sosial menunjukkan bahwa politik sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan. Politik mengatur sistem pemerintahan serta kelangsungan hidup masyarakatnya. Meski realitasnya sistem politik Realitas sosial menunjukkan bahwa politik sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan. Politik mengatur sistem pemerintahan serta kelangsungan hidup masyarakatnya. Meski realitasnya sistem politik

Relevansi Hasil Penelitian dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah

Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), novel diajarkan pada kelas X, XI, XII. Pada kelas XI semester I, pertemuan ke-8, siswa menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel indonesia/terjemahan. Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi, dapat memberi pemahaman yang positif terhadap siswa. Novel ini mengisahkan tentang sosok Didik yang hidup dalam perkampungan di Gedog, kota Blitar. Sejak SMA pikirannya telah terusik oleh kehidupan masyarakat yang bekerja keras membanting tulang sebagai buruh tani. Merasa bahwa pemerintah semestinyalah yang sangat berperan akan keberlangsungan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Oleh karenanya, sejak awal mahasiswa ia telah menerjunkan diri di dunia kemahasiswaan. Hal inilah yang menjadi tonggak dasar terjadinya perubahan besar Orde Baru menjadi Reformasi.

Dengan membaca hasil penelitian ini, siswa dapat menggali nilai-nilai budaya, sosial, moral, dan nilai-nilai kemanusian yang dapat mengantarkan siswa menuju kearifan dan kebijaksanaan hidup. Melalui analisis realitas sosial dapat memberikan pemahaman adanya kehidupan sosial serta interaksi dengan masyarakat. Selain itu, analisis realitas dalam penelitian dapat dihubungkan dengan pengalaman keseharian siswa, sehingga siswa dapat mengambil pelajaran positif dari hasil penelitian maupun novelnya.

Dunia pernovelan menjadikan para remaja sebagai sasaran empuk, karena menilai kondisi psikologis mereka masih belum stabil, mudah dipengaruhi, terombang-ambing, dan masih mencari sosok yang dapat dijadikan panutan. Mereka sedang berkembang, senang meniru, dan kreatif dalam menilai sesuatu. Novel ini bercerita tentang sebuah perjuangan masyarakat dalam melakukan perubahan Indonesia yang lebih baik. Dengan demikian, novel ini dapat mempengaruhi pembentukan karakter siswa tentang kaderisasi dan perjuangan masyarakat Indonesia khususnya mahasiswa pada masa Orde Baru. Lebih dari itu, siswa akan diperhadapkan dengan rasa ingin tahu yang besar pada sosok pengarang di Indonesia.

Haedar Alwasilah mengemukakan sejumlah alasan pentingnya pembelajaran novel di sekolah. Pertama, secara psikologis manusia memiliki kecenderungan untuk menyukai realita dan fiksi. Sastra memberikan kesempatan yang tak terbatas untuk menghubungkan bahasa dan pengalaman siswa. Kedua, karya sastra memperkaya kehidupan pembacanya melalui pencerahan pengalaman dan masalah pribadi dan lewat sastra pembaca balajar bagaimana orang lain menyikapi semua itu. Ketiga, karya sastra adalah harta karun berbagai kearifan lokal yang seharusnya diwarisi secara turun-temurun lewat pendidikan. Keempat, melalui sastra siswa ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa yang menkoordinasikan komunikasi lisan, eksplorasi sastra, dan perkembangan pengalaman personal dan kolektif. Dengan kata lain, siswa diterjunkan langsung ke dalam dunia nyata lewat rekayasa imajiner. Kelima, pembiasaan terhadap karya sastra meningkatkan kecerdasan, yaitu kemampuan memaknai secara kritis dan kemampuan memproduksi narasi. Sastra menawarkan ragam struktur cerita, tema, gaya penulisan dari para penulis.

Penutup Simpulan

Berdasarkan analisis terhadap objek kajian dengan mencermati realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menggunakan pendekatan sosiologi, dapat ditarik kesimpulan bahwa realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi dideskripsikan dengan lima aspek yaitu, realitas sosial tentang kemiskinan, realitas sosial tentang pendidikan, realitas sosial tentang kebudayaan, realitas sosial tentang hukum, dan realitas sosial tentang politik.

Saran

Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan dalam penelitian ini, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut:

1. Bagi pembaca Pembaca karya sastra sebaiknya mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam karya sastra tersebut, kemudian diaplikasikan dikehidupan sehari-hari.

2. Bagi guru Hendaknya guru memfasilitasi siswa dalam menganalisis novel, membantu siswa agar peka terhadap masalah sosial yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat, serta mengajarkan bagaimana dalam menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya

3. Bagi peneliti selanjutnya Penelitian ini adalah Realitas Sosial dalam Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Diharapkan agar peneliti berikutnya dapat menelaah dan mengalisis kembali novel tersebut dengan melihat masalah-masalah yang ada di dalamnya dengan menggunakan pendekatan-pendekatan sastra yang lain.

Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Endraswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fortunadi, Didik. 2014. Revolusi dari Secangkir Kopi. Bandung: PT. Mizan

Pustaka. Ras, J.J. 1985. Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT. Grafiti Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Riswan, Bade, dkk. 2010. Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi. Tasikmalaya: Siklus Pustaka. Santosa, Wijaya Heru, dan Wahyuningtyas. 2010. Pengantar Apresiasi Prosa. Surakarta: Yuma Pustaka. Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa. Sumardjo, Yakob. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV Nur

Cahaya Soerjono, Soekanto. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Waluya, Bagja. 2009. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Jakarta: PT. Pribumi Mekar.

Wellek, Rene, dkk. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Yogi, Adiputra. (https://yogieadiputra.wordpress.com ). Rabu: 28/01/2015.