REALITAS SOSIAL DALAM NOVEL REVOLUSI DARI SECANGKIR KOPI SITTI AMZAWIYAH Abstrak - REALITAS SOSIAL DALAM NOVEL REVOLUSI DARI SECANGKIR KOPI KARYA DIDIK FOTUNADI

REALITAS SOSIAL DALAM NOVEL REVOLUSI DARI SECANGKIR KOPI KARYA DIDIK FOTUNADI OLEH : SITTI AMZAWIYAH

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi, sangat kental menampilkan realitas sosial masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah pada masa Orde Baru. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Forunadi? Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan realitas sosial tentang kemiskinan, pendidikan, kebudayaan, hukum, dan politk dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Jenis penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan (library research). Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik baca dan teknik catat. Data penelitian dianalisis menggunakan pendekatan sosiologi sastra.

Dari hasil penelitian, peneliti mengidentifikasi realitas sosial tentang kemiskinan, pendidikan, kebudayaan, hukum, dan politik. Realitas sosial tidak hanya ditemukan dalam teks novel Revolusi dari Secangkir Kopi, tetapi juga ditemukan dalam kehidupan masyarakat, juga pada masa pengarang mengalami situasi tersebut. Realitas sosial inilah yang mengungkap adanya kemiskinan, pendidikan, kebudayaan, hukum, serta politik yang dialami oleh masyarakat pada masa Orde Baru.

Kata Kunci : Realitas Sosial, Novel, Revolusi Secangkir Kopi

Pendahuluan

Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri merupakan suatu kenyataan sosial. Sebuah karya sastra tercipta atas inspirasi yang datang dari lingkungan dalam kategori terkecil maupun lingkungan dunia. Tentu hal itu akan terbatas pada pengetahuan dan daya khayal pengarang.

Karya sastra tidak lahir dari kekosongan sosial walaupun karya sastra itu merupakan hasil khayal atau imajinasi pengarang. Daya khayal seorang pengarang banyak dipengaruhi oleh pengalamannya dalam lingkungan hidupnya. Oleh karena itu, pengarang dalam menciptakan karya sastra seperti novel memperoleh ide, gagasan, maupun konsep dari pengalaman dan pengamatan terhadap masyarakatnya sehingga tidak jarang suatu tata nilai, norma, dan pandangan hidup suatu masyarakat menjadi objek penulisan pengarang dalam karya sastranya.

Faktor yang paling mempengaruhi seorang pengarang adalah aspek-aspek masyarakat. Hal itu sejalan dengan asumsi bahwa pengarang merespons persoalan yang terjadi di masyarakat lewat karya sastra yang diciptakannya. Pengarang adalah anggota masyarakat sehingga karya sastra yang dihasilkan setiap pengarang adalah produk dari masyarakat. Masyarakat merupakan pemicu lahirnya karya sastra. Dalam suatu karya sastra terkandung nilai-nilai dasar berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai kebenaran terungkap dalam karya sastra sebagai cerminan pengakuan universal terhadap apa yang dianggap ideal dalam perilaku interaktif umat manusia. Ketika realitas yang ada ternyata tidak sesuai dengan gambaran Faktor yang paling mempengaruhi seorang pengarang adalah aspek-aspek masyarakat. Hal itu sejalan dengan asumsi bahwa pengarang merespons persoalan yang terjadi di masyarakat lewat karya sastra yang diciptakannya. Pengarang adalah anggota masyarakat sehingga karya sastra yang dihasilkan setiap pengarang adalah produk dari masyarakat. Masyarakat merupakan pemicu lahirnya karya sastra. Dalam suatu karya sastra terkandung nilai-nilai dasar berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai kebenaran terungkap dalam karya sastra sebagai cerminan pengakuan universal terhadap apa yang dianggap ideal dalam perilaku interaktif umat manusia. Ketika realitas yang ada ternyata tidak sesuai dengan gambaran

Proses penciptaan suatu karya sastra, tidak dapat dipisahkan dari subjektivitas si pengarang. Pada dasarnya seorang pengarang menulis sebuah karya sastra setelah melakukan tafsiran dari realitas dan fakta yang ditemukan dalam kehidupannya. Sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan (Endraswara, 2003:78).

Mengingat hal tersebut, sebuah realitas bisa jadi memperoleh penafsiran yang tidak sama dari pengarang-pengarang yang berbeda, sehingga hasilnya dalam bentuk sebuah karya sastra pun akan berbeda. Perbedaan ini bisa saja terletak pada penggunaan bahasa, sudut pandang penceritaan, penekanan nilai-nilai, maupun penceritaan tokoh-tokohnya. Kesemua itu akan memberikan arah pembentukan opini yang berbeda pula bagi pembacanya. Sebagai contoh, pengarang dengan latar belakang kehidupan keluarga yang menjunjung tinggi kebebasan dengan tentu akan berbeda dengan pengarang yang memiliki kehidupan sebagai santri yang kesehariannya dipenuh aturan-aturan agama dalam cara memberikan tafsiran terhadap suatu hal atau peristiwa. Demikian pula ketika seorang pengarang memaknai sebuah percakapan yang terjadi di lingkungan bermacam-macam untuk sebuah percakapan yang sama.

Melalui sastra seorang pengarang dapat menyampaikan opininya. Opini yang berupa kesetujuan maupun ketidaksetujuan terhadap sebuah kenyataan. Bila pula opini yang muncul berupa protes maupun sindiran. Semisal ketika tersiar berita seorang pejabat terkenal melakukan tindak pidana korupsi, pengarang yang satu mungkin membuat karya yang mengecam habis-habisan pejabat tersebut, sementara pengarang yang lain bisa saja melakukannya dengan cara yang lebih halus dengan menerapkan gaya bahasa tertentu semacam ironi. Namun,apa pun yang keluar sebagai hasil oleh cipta seorang pengarang, pastilah terdapat manfaat yang bisa dipetik di dalamnya. Hal ini, sejalan dengan fungsi sastra yang selain mengemban nilai-nilai keindahan sebagai fungsi hiburan, juga harus memiliki nilai manfaat.

Novel tidak dapat dipisahkan dengan realitas sosial yang ada dalam masyarakat, karena dalam penulisan sebuah novel berdasarkan atas gambaran kehidupan masyarakat. Menjadi penting untuk dikaji tentang realitas sosial yang ada dalam novel, hal ini dimaksudkan untuk melihat kehidupan masyarakat pada suatu latar yang terdapat dalam novel yang akan dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan bahwa ada kaitan antara novel dan realitas sosial. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa novel mencerminkan kenyataan sosial.

Demikian halnya dengan novel Revolusi dari Secangir Kopi.Dalam konteks ini pengarang membuktikan adanya kesejajaran antara realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi dengan realitas sosial pada kurun sejarah tersebut. Pengarang sendiri merupakan tokoh yang ikut terlibat dalam cerita. Kisah hidup serta perjuangannya dituangkan dalam novel.

Didik Fotunadi lahir dari keluarga sederhana di Blitar, Jawa Timur pada tahun 1973. Tumbuh kembang dan menempuh pendidikan dari SD hingga SMA di Blitar. Sejak awal mahasiswa, ia sudah menceburkan diri di dunia aktivis. Beberapa kiprahnya: Ketua Kaderisasi PSIK 1994, Danpus Diksar GEA 1994, Pemimpin Umum Majalah “Merdeka” 1995, Danlap OSKM ITB 1995, Danlap Deklerasi KM ITB 1996, Ketua Himpunan HMTG “GEA” 1996-1997, Sekjen FKHJ 1996-1997, dan Tim Materi Satgas Reformasi Mahasiswa ITB ‟98.

Meski sejak mahasiswa akrab dengan isu-isu publik, setelah lulus Didik Fotunadi tidak terjun ke dunia politik praktis. Ia memilih berkarir sebagai profesional di PT. Inco Sorowako dan sekarang bekerja sebagai Vice President Corporate Enhancement di PT. Carsurin. Kendati bekerja sebagai profesional di dunia pertambangan, dunia seni dan sosial tetap ditekuninya. Selain itu, ia sering tampil sebagai motivator. Dan novel Revolusi dari Secangkir Kopi merupakan novel perdananya.

Hal yang menarik dari novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi adalah masalah anak muda pada zaman Orde Baru.Persepsi publik atas realitas sosial di zaman Orde Baru di ulas dalam sebuah novel Revolusi dari Secangkir Kopi. Berbagai potret geletar kehidupan masyarakat khususnya anak muda di zaman Orde baru. Dengan gamblang diceritakan proses awal pembentukan pola pikir, kaderisasi, keberanian, setia kawan, dan nilai kebersamaan. Proses dialektika dan romantika yang Hal yang menarik dari novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi adalah masalah anak muda pada zaman Orde Baru.Persepsi publik atas realitas sosial di zaman Orde Baru di ulas dalam sebuah novel Revolusi dari Secangkir Kopi. Berbagai potret geletar kehidupan masyarakat khususnya anak muda di zaman Orde baru. Dengan gamblang diceritakan proses awal pembentukan pola pikir, kaderisasi, keberanian, setia kawan, dan nilai kebersamaan. Proses dialektika dan romantika yang

“Pikiranku semakin terbuka.Kemelaratan para buruh tani, kemiskinan, anak-anak yang putus sekolah, perampasan tanah rakyat, korupsi yang merajalela, utang luar negeri yang tak terawasi, hukuman keturunan PKI, serta berbagai paparan Ammarsyah dalam pleidoinya menjadi alasan yang tak bisa ditawar bahwa mahasiswa harus membela rakyat. Selain karena mahasiswa dibiayai oleh rakyat, juga karena mereka adalah sekelompok kecil manusia terdidik dari ratusan

juta rakyat di negeri ini.” Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat digambarkan bahwa persoalan kemiskinan, pendidikan, kebudayaan, hukum, dan politik merupakan realitas sosial yang terjadi. Adapun tokoh-tokoh dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi mempunyai posisi yang strategis sebagai pembawa dan penyampaian sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Oleh karena itu, untuk mengungkap realitas sosial yang terdapat dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi adalah menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahui sturkturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.

A. Tinjauan Pustaka Pengertian Sastra

Sastra telah diakui oleh para ahli sosiologi sebagai sumber informasi mengenai tingkah laku, nilai-nilaidan cita-cita yang khas pada anggota-anggota setiap lapisan yang ada di dalam masyarakat, pada kelompok-kelompok keluarga atau generasi-generasi (Ras, J.J., 1985:1). Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa sastra berkaitan erat dengan masyarakat.

Sastra dan realitas sosial masyarakat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena sastra diproduksi dan distrukturisasi dari berbagai perubahan realitas tersebut. Realitas pada sastra merupakan suatu cara pandang penciptanya dalam melakukan pengingkaran atau penelusuran atas realitas sosial yang melingkupi kehidupannya. Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideologi pengarangnya. Menurut Sumarjo (1982: 15) pengarang adalah anggota salah satu masyarakat manusia. Ia hidup dan berelasi dengan orang-orang lain di sekitarnya. Maka tak mengherankan kalau terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakatnya. Selalu dapat ditarik sifat relasi antara karya sastra dengan masyarakat di mana pengarang hidup.

Sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya. Di dalam karya sastra terdapat dunia yang merupakan tiruan dari dunia kenyataan yang menurut Plato merupakan tiruan dari dunia ide (Teeuw,1983:219). Dengan demikian, apabila dunia dalam karya sastra membentuk dunia diri sendiri sebagai sebuah dunia sosial, dunia tersebut merupakan tiruan terhadap dunia sosial yang ada dalam kenyataan sebagaimana yang dipelajari oleh sosiologi.

Novel Novel adalah karangan prosa yang lebih panjang dari cerita pendek dan menceritakan kehidupan seseorang dengan lebih mendalam dengan menggunakan bahasa sehari-hari serta banyak membahas aspek kehidupan manusia. Hal ini mengacu pada pendapat Santoso dan Wahyuningtyas (2010: 46), yang menjelaskan bahwa kata novel berasal dari bahasa latin novellas, yang terbentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa inggis. Karena novel adalah bentuk karya sastra yang datang dari karya sastra lainnya seperti puisi dan drama. Ada juga yang mengatakan bahwa novel berasal dari bahasa Italia novella yang artinya sama dengan bahasa latin.

Realitas Sosial

Yogi mengatakan bahwa realitas sosial adalah pengungkapan tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga oleh sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif. (https://yogieadiputra.wordpress.com).

Realitas sendiri bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, melainkan hasil interpretasi manusia. Oleh karena itu, realitas bagi setiap orang berbeda adanya, tergantung dari pengalaman masing-masing individu, ras, gender, kultur, agama, dan lain-lain. Realitas dibatasi dengan konsepsi-konsepsi, pemahaman-pemahaman, persepsi, dan consensus, sehingga dapat dikatakan bahwa yang disebut realitas adalah apa yang dapat ditangkap oleh akal manusia dan sejauh mana batasan-batasan define yang dimiliki oleh manusia akan hal tersebut. Jadi, realitas sosial adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya atau mengandung arti kenyataan-kenyataan sosial di sekitar lingkungan masyarakat tertentu.

Konsep-konsep Realitas Sosial

Berikut beberapa hal tentang realitas sosial di masyarakat terkait dengan proses hidup yang kita jalani seperti yang dikemukakan oleh Waluya (2009:17) yang membagi realitas sosial menjadi enam konsep yaitu realitas sosial tentang kemiskinan, realitas sosial tentang pendidikan, realitas sosial tentang kebudayaan, realitas sosial tentang hukum, realitas sosial tentang politik, dan realitas sosial tentang agama yang merupakan isi dasar sosiologi, yaitu kenyataan kehidupan sosial seperti adanya masyarakat, kelompok, dan para individu.

Realitas Sosial tentang Kemiskinan

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi, dan bukan dikehendaki manusia.

Realitas Sosial tentang Pendidikan

Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta, dan budi nurani) sehingga memanusiakan manusia muda. Pendidikan juga berarti lembaga yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi, sistem, dan organisasi pendidikan. Lembaga-lembaga ini meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Realitas Sosial tentang Kebudayaan

Kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola- pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Realitas Sosial tentang Hukum

Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan. Hukum memiliki tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh sebab itu setiap masyarat berhak untuk memperoleh pembelaan didepan hukum. Hukum dapat diartikan sebagai sebuah peraturan atau ketetapan/ ketentuan yang tertulis ataupun yang tidak tertulis untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi untuk orang yang melanggar hukum.

Realitas Sosial tentang Politik

Agama mengambil peranan penting dalam keberadaan suatu masyarakat atau komunitas. Karena suatu agama atau kepercayaan akan tetap langgeng jika terus diamalkan oleh masyarakat. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, melihat kepada kondisi masyarakat maka agama dapat dibedakan dalam dua tipe, yaitu : agama yang hidup dalam masyarakat sakral dan agama yang hidup dalam masyarakat sekuler. Sumbangan atau fungsi agama dalam masyarakat adalah sumbangan untuk mempertahankan nilai-nilai dalam masyarakat. Sebagai usaha-usaha aktif yang berjalan terus menerus, maka dengan adanya agama maka stabilitas suatu masyarakat akan tetap terjaga. Sehingga agama atau kepercayaan mengambil peranan yang penting dan menempati fungsi- fungsi yang ada dalam suatu masyarakat.

Konsep Sosiologi Sastra

Ratna (2009:1) menjelaskan bahwa sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra.Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik.

Fugen (dalam Segers, 2000:69) mendefinisikan bahwa, sosiologi sastra sebagai cabang ilmu umum. Karena objek sosiologi sastra adalah perilaku sosial, maka sosiologi sastra berminat pada teks sastra hanya sebagai sebuah faktor dalam tipe hubungan antarmanusia yang spesifik. Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya.

Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan

Semi (1988:48) menyatakan bahwa pendekatan sosiologi adalah pendekatan yang lebih terfokus atau lebih banyak memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam karya sastra. Damono (1984:2) menyebutkan ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasar pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai lahan penelaahan.

Pendekatan sosiologis bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang, mengungkapkan problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu member pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di zaman, sementara sastrawan sendiri yang merupakan anggota masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkannya sekaligus membentuknya (Riswan, 2010:71).

Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data berupa realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi, kemudian disusul dengan analisis. Deskritif analitis dilakukan dengan cara mendeskritifkan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna,2008:53). Metode ini tidak semata-mata menguraikan tetapi juga memberikan penjelasan.

Jenis penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan. Dikatakan penelitian kepustakaan karena data penelitian ini didukung oleh buku-buku referensi. Jenis penelitian ini memanfaatkan sumber kepustakaan untuk memperoleh data penelitiannya, karena peneliti berhadapan langsung dengan data dalam teks dan dilaksanakan dengan menggunakan buku-buku literature, surat kabar, artikel ilmiah dan sumber lain (internet) yang terkait dengan masalah yang timbul.

Data dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa teks novel, yang memuat realitas sosial dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi. Sumber data penelitian ini adalah novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fortunadi yang diterbitkan di Bandung oleh penerbit Mizan Pustaka cetakan pertama tahun 2014 dan terdiri atas 443 halaman.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik baca dan teknik catat. Data diperoleh dari hasil membaca dan mencatat informasi yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini. Teknik baca yang digunakan untuk membaca novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fortunadi. Teknik catat yaitu digunakan untuk mencatat data-data atau informasi yang diperoleh dari hasil pembacaan mengenai realitas sosial.

Data penelitian ini dianalisis berdasarkan pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang terkandung dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi dengan cara peneliti mendeskripsikan atau menggambarkan realitas sosial kehidupan tokoh.

Menurut Wellek dan Werren, sosiologi terbagi tiga, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra dan sosiologi pembaca sebagaimana dalam uraian beriku:

1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang.

2. Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban.

3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan sosiologi karya sastra, dengan melihat isi serta keterkaitan kehidupan pengarang yang tersirat di dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial.

Selengkapnya teknik analisis data yang dimaksud dilakukan dengan tahapan sebagai berikut.

1. Identifikasi data yang sudah diberikan kode sesuai dengan permasalahan penelitian dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi.

2. Mengklasifikasikan data, yaitu mengklasifikasikan (mengelompokkan) data yang menyangkut realitas sosialdi dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fortunadi.

3. Deskripsi data, yaitu gambaran data dalam bentuk kutipan yang akan dipaparkan dalam bentuk pembahasan.

4. Interpretasi data, memberikan gambaran secara umum tentang hasil penelitian yang diperoleh, hal tersebut tampak pada simpulan hasil penelitian.

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menceritakan tentang kehidupan sosial masyarakat pada masa Orde Baru. Perjuangan mahasiswa yang menjadi awal mula suatu perubahan Indonesia yang dimotori oleh masyarakat sipil. Akan tetapi, perjuangan hidup demi perubahan dan kebebasan seringkali berbenturan dengan realitas hidup kelas menengah.

Didik merupakan tokoh dalam novel ini. Didik sendiri seorang anak muda lulusan SMA, dari keluarga sederhana. Ia berasal dari kampung Gedog. Gedog berada paling pinggir Kota Blitar. Selain Gedog terkurung dengan hamparan sawah, jalan utama maupun lorongnya masih dari tanah yang berdebu, belum tersentuh aspal hitam yang mulus. Kehidupan diperkampungan membuat kebanyakan penduduk bekerja sebagai buruh tani, meski hal itu bukanlah pilihan karena tak mengentas mereka dari kemelaratan. Satu dua orang membuka warung nasi pecel dan toko kelontong.

Didik melanjutkan pendidikan di ITB. Sedari dini sang ibu yang bernama Sukinem menasehati untuk kuliah yang rajin, tidak usah ikut-ikutan demo, agar dapat lulus cepat, dapat pekerjaan bagus, dan hidup berkecukupan. Tapi, garis linier itu tidak ada di pikiran seorang Didik. Sedari SMA, dia telah diracuni oleh sebuah ide untuk aktif di dunia kemahasiswaan melalui sebuah buku pleidoi mahasiswa ITB dalam peristiwa 5 Agustus 1989. Di samping tu, benih kepekaan sosial telah tumbuh saat menangkap kepahitanhidup di kampungnya dan rentetan kejadian tragis yang dialami teman-teman dekatnya.

Berbekal ide itu, tidak heran jika jalan hidup seorang Didik berbeda dari kebanyakan mahasiswa lain di eranya. Sejak awal dia mencari dan menceburkan diri ke dalam arus gerakan mahasiswa di kampus. Semangat itu menemukan momentumnya oleh sejumlah kejadian penting di kampus, seperti kasus skorsing, aksi bakar KTM, doktrin PPLK, pesta wisuda, kaderisasi PSIK, dan diksar himpunan GEA. Peristiwa-peristiwa itu memaksanya mengalami perang batin antara kesetiaan di jalur pergerakan mahasiswa dan pesan sang ibunda tentang jalur murni belajar di kampus.

Namun pelan-pelan ia memahami, gerakan besar dan masif hanya mungkin dimulai dari langkah- langkah kecil. Bahkan langkah kecil itu dimulai dari pertemuan satu-dua orang ngobrol ngalor- ngidul.Pendeknya, Revolusi itu bisa datang dari obrolan secangkir kopi.

Dengan kesadaran itu, dia bergerak di level himpunan jurusan, di tingkat universitas, lalu jaringan antaruniversitas, hingga berpuncak pada pendudukan gedung DPR-MPR yang mempercepat kejatuhan Soeharto. Ia bersama ribuan anak-anak muda telah bersatu dan mempercepat kejatuhan Soerharto. Dia bersama ribuan anak-anak muda lain, telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia.

Realitas Sosial tentang Kemiskinan

Kemiskinan merupakan suatu keadaan individu atau sekelompok individu dalam masyarakat yang secara ekonomi tidak dapat mengembangkan dirinya setaraf dengan perekonomian orang-orang disekitarnya. Kemiskinan merupakan salah satu fenomena sosial yang akan diperangi oleh semua bangsa melalui proses pembangunan dan modernisasi. Sebagaimana program sosial yang dilakukan oleh berbagai lembaga, prioritas utama mereka adalah kemiskinan. Dari realitas yang demikian penulis juga menerapkan konsep bebas kemiskinan dalam visinya. Melihat dampak yang luar biasa dari konsep yang pertama ini maka penulis sengaja meletakkannya dalam prioritas pertama dan juga sebagai wujud tanggung jawab lebih terhadap keluarga.

Realitas sosial tentang kemiskinan berorientasi pada kebutuhan ekonomi masyarakat. Kurangnya lapangan pekerjaan dan tuntutan kebutuhan hidup yang meningkat serta jeratan kemiskinan memaksa Realitas sosial tentang kemiskinan berorientasi pada kebutuhan ekonomi masyarakat. Kurangnya lapangan pekerjaan dan tuntutan kebutuhan hidup yang meningkat serta jeratan kemiskinan memaksa

Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menuliskan tentang adanya kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia yang ada dalam novel, yang pada akhirnya mayoritas masyarakat memilih pekerjaan sebagai buruh tani untuk menafkahi keluarga mereka. Dalam novel tersebut menggambarkan realitas sosial tentang kemiskinan. Realitas ini ditujukan oleh tokoh Ibu Yatno dan ibu rumah tangga lainnya. Berikut kutipannya:

“Mereka hanya butuh mengayun tangan memukulkan batang padi. Hanya dengan cara itu mereka sadar bahwa esok hari mereka punya sesuatu untuk mengganjal perutnya, bahwa esok hari bisa hidup dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah bukti kejujuran hidup yang murni. Dengan keringat itu, mereka membantu para suami agar asap dapur tetap mengepul. Keringat itu terus mengalir dan tak pernah diberi kesempatan kering sampai senja menghentikan mereka.”(Didik Fotunadi, 2014:34). Kutipan di atas menujukkan bahwa masyarakat mengalami masalah di dalam kebutuhan hidup,

sehingga kaum perempuan pun terlibat langsung bekerja di sawah membantu suami. Rasa lelah tak terhiraukan lagi meski keringat terus mengalir demi memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi hal tersebut tidaklah mengurangi masalah kemiskinan. Berikut kutipannya:

“Para laki-laki dan perempuan itu bukanlah petani karena tak menggarap tanah sendiri.Buruh tani hanya menjual tenaga dan keringat, yang diupah harian dengan sekaleng dua kaleng gabah. Kalau mereka tak kerja hari ini, maka tidak ada nasi esok hari.Jangankan punya uang lebih untuk membeli sepatu dan buku sekolah anak-anaknya.”(Didik Fotunadi, 2014:35). Kutipan di atas mengungkapkan bahwa masyarakat yang bekerja bukanlah pemilik tanah dan

sawah tersebut. Mereka hanya orang-orang yang di upah untuk mengelola padi. Hal ini menujukkan para buruh tani yang bekerja keras tapi melarat. Kebutuhan hidup yang serba kekurangan juga terlihat pada kondisi di rumah-rumah masyarakat. Seperti pada kutipan:

“…selama listrik negara belum masuk, pada jam delapan malam kami menyalakan petromaks. Cahayanya yang putih membuat mata sakit.Sinar itu merangsang serangga jatuh mati ketika tanpa sengaja terbang tepat di bagian atas lampu petromaks yang panas.”(Didik Fotunadi, 2014:37). Kutipan di atas mengungkapkan kehidupan masyarakat yang kondisinya belum di sinari dengan

lampu listrik dan hanya menggunakan lampu seadanya. Semakin memperkuat keadaan masyarakat yang kian terbelakang. Selain pekerjaan sebagai buruh tani, terdapat guru salah satunya Ayah Didik. Namun, hal tersebut tidaklah lebih menguntungkan. Seperti pada kutipan:

“Kalau buruh tani terhimpit kemiskinan yang akut, kehidupan ekonomi guru lebih baik, tapi tidak berarti mudah.Kami makan nasi dari beras jatahyang warnanya mirip cokelat tanah, kadang berulat dan muncul campuran kerikil hitam. Ibu harus memunguti satu per satu kerikil dan kotoran lain sebelum beras di tanak jadi nasi. Makan berlauk telur hanya setiap dua atau tiga hari sekali.”(Didik Fotunadi, 2014:38). Kutipan tersebut menguraikan bahwa bekerja sebagai guru tidaklah lebih mudah dengan para

buruh tani. Kenyataannya beras jatah yang diperoleh berbanding terbalik dengan wajah bangsa Indonesia yang merupakan salah satu penghasil padi terbesar dengan hasil yang terbaik. Namun, beras yang diperoleh masyarakat Indonesia justru beras dengan kualitas di bawah standar layak konsumsi.

Realitas sosial kemiskinan juga menimpa keluarga Didik. Ayahnya yang bernama Moeljana Sismihardjo yang berprofesi sebagai guru tetap tidak lebih mudah. Dengan gaji pas-pasan pekerjaan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup yang lebih baik. Seperti pada kutipan:

“Gaji bulanan Bapak tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.Apalagi pada tahun sembilan dua itu ketika semua kakakku duduk di bangku kuliah.Uang gaji bulanannya minus, sehingga ibuku harus ikut membanting tulang mencari tambahan penghasilan.”(Didik Fotunadi, 2014:38).

Kutipan di atas mengisahkan kehidupan keluarga Didik yang juga serba pas-pasan. Gaji ayahnya yang berprofesi sebagai guru tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga ibunya juga membantu dalam mencari penghasilan tambahan demi membiayai pendidikan anak-anaknya. Kemiskinan juga meliputi sulitnya pemenuhan pendidikan anak. Seperti yang terjadi pada tokoh Siswanto, sahabat Didik. Seperti pada kutipan:

“…Kehidupan ibunya masih belum berubah, seperti saat ia dilahirkan, melarat dan kepayahan menghidupi tiga adik tirinya. Lalu ia ditampung di rumah neneknya yang berjarak tak lebih dua kilometer dari rumahnya. Untuk tidak membebani nenek, ia membuat mainan dari kayu yang dijualnya di area Makam Bung Karno. Keinginan Siswanto untuk lanjut sekolah tidak pernah surut, dan niat baja itu yang membawanya masuk SMPN 5 Blitar.Ia lalui hari-hati di SMP sambil membuat mainan; dendamnya untuk mentas dari miskin…”(Didik Fotunadi, 2014:42). Kutipan tersebut menggambarkan Siswanto yang bersekolah dari hasil kerja kerasnya sendiri

karena ibunya tidak sanggup untuk menyekolahkannya. Kehidupan ibunya yang melarat sudah kepayahan menghidupi adik-adik Siswanto. Namun, keinginan Siswanto tidak redup. Membuat mainan untuk dijual merupakan usaha yang dilakukannya untuk keluar dari kemiskinan. Selain itu, kondisi rumahnya juga menggambarkan kemiskinan. Seperti pada kutipan:

“Rumahnya berupa gubuk kecil, yang sebenarnya mungkin tak layak disebut rumah. Dindingnya terbuat dari gebek, berlubang di sana sini karena dimakan usia. Siswanto menyambut kedatanganku. Aku masuk lewat pintu bambu yang mengeluarkan suara derit ketika dibuka.Tidak ada ruang tamu.Dapur ini berjendela satu dengan gorden jarit merah keunguan. Tak satu pun hiasan menempel di dinding gebek warna natural itu. Aku hampir tak kuat menahan air mata agar tak keluar. Sudah banyak gubuk yang kulihat, tapi tak ada yang sesengsara ini. Aku duduk di amben yang sudah tidak tegak lagi dudukannya karena kaki-kakinya yang mulai lapuk. Mentari menerobos masuk lewat celah genteng yang bolong.Dapat dibayangkan, bagaimana bocor dan beceknya rumah ini di saat hujan.”(Didik Fotunadi, 2014:43). Kutipan di atas mengisahkan kehidupan Siswanto di lihat dari kondisi rumah tempat tinggalnya.

Rumah merupakan salah satu kebutuhan hidup untuk tempat tinggal dan bernaung. Rumah yang mestinya nyaman dan sebagai tempat berlindung justru di penuhi lubang serta kondisi atap yang bocor menggambarkan kehidupan Siswanto yang melarat. Begitpun Didik saat berangkat ke Bandung dalam menempuh pendidikan di ITB. Ia ikut merasakan dampak kemiskinan. Seperti pada kutipan:

“Arti miskin di negara ini adalah siap melakoni hidup lebih sulit dari rata-rata manusia lainnya. Itulah pelajaran penting yang kurasakan saat mencari tempat kos ini. Miskin berarti tidak punya pilihan”(Didik Fotunadi, 2014:73). Kutipan di atas mengungkapkan bahwa kesulitan Didik dalam mencari rumah kosan. Setiap sore

ia menyusuri lorong-lorong untuk mencarinya. Terkadang ia sampai harus terduduk di pingggir jalan ketika kaki lelah melangkah. Tidak mudah mencari kos yang cocok. Bukan memilih-milih, namun lantaran uang yang diberikan oleh ibunya membuatnya tak punya banyak pilihan.

Realitas sosial yang menggambarkan kemiskinan yang menjadi PR besar bangsa ini tidak kunjung usai namun sebaliknya. Seperti pada kutipan: “Apa kira-kira yang ada dalam benak kawan-kawan, mengapa jumlah orang miskin masih banyak di negara ini? Mengapa kemakmuran hanya dinikmati oleh segelintir orang dan tak kunjung dirasakan oleh rakyat kebanyakan?”(Didik Fotunadi, 2014:106). Kutipan di atas menunjukkan saat Didik berada di ruang T-08 yang menjadi salah satu pusat

perkumpulan mahasiswa PPLK. Saat Meldi yang di daulat membawakan materi tentang kemiskinan, ia melontarkan pertanyaan yang mendasari permasalahan ekonomi yang mempunyai peranan terhadap kesejahteraan rakyat. Kemakmuran yang mestinya sama rata dan dapat dirasakan oleh semua rakyat di perkumpulan mahasiswa PPLK. Saat Meldi yang di daulat membawakan materi tentang kemiskinan, ia melontarkan pertanyaan yang mendasari permasalahan ekonomi yang mempunyai peranan terhadap kesejahteraan rakyat. Kemakmuran yang mestinya sama rata dan dapat dirasakan oleh semua rakyat di

“Aku teringat Siswanto, teman SMA-ku yang cemerlang tetapi impiannya kandas membentur tembok kemiskinan. Ia dengan sadar memilih menjadi penyiar radio serta membuat mainan anak- anak untuk dijual di sekitar makam Bung Karno, Blitar. Itu dilakukan untuk bertahan menghidupi adik-adiknya yang kecil serta bapaknya yang sakit-sakitan.”(Didik Fotunadi, 2014:259). Kutipan tersebut mengungkapkan realitas sosial tentang kemiskinan seorang Siswanto yang tidak

dapat melanjutkan pendidikannya. Ia pun harus bekerja keras untuk menghidupi adik-adik serta ayahnya yang sakit-sakitan. Bekerja sebagai penyiar radio dan membuat mainan anak-anak untuk dijual sebagai usaha memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Didik sendiri meskipun dapat melanjutkan pendidikan namun ada yang harus dikorbankan. Seperti pada kutipan:

“…Aku ingat saat Ibu memberikan amplop berisi uang bekal, total semuanya Rp600.0000. Nilai itu untuk SPP sekaligus praktikum satu semester sebesar Rp240.000,-, untuk kos enam bulan Rp150.000, untuk makan sebulan Rp100.000 serta untuk keperluan daftar ulang, transport, dan lainnya Rp110.000. Dadaku sesak menerimanya karena aku tahu, sepetak sawah kecil yang digarap oleh Pak De terpaksa dilepas.”(Didik Fotunadi, 2014:360). Kutipan di atas mengungkapkan realitas sosial tentang kemiskinan yang dihadapi orang tua

Didik saat membiayai pendidikan anaknya. Kesulitan perekonomian membuat mereka terpaksa menjual sepetak sawah kecil untuk biaya pendidikan Didik. Sekembalinya Didik ke kampung halamannya, ia bertandang kerumah sahabatnya Siswanto. Seperti pada kutipan:

“Seperti setahun lalu, beberapa garis sinar mentari tampak menerobos masuk lewat celah-celah genteng yang bolong. Mereka belum sempat memperbaiki kebocoran gubuknya ini, mungkin urusan perut lebih penting dan mesti didahulukan.”(Didik Fotunadi,2014:364). Kutipan tersebut menggambarkan realitas kemiskinan yang dialami oleh keluarga Siswanto.

Kondisi yang dari tahun ketahun tiada kemajuan dalam taraf kesejahtearaan hidup. Rumah yang masih tetap sama dengan setahun lalu tak kunjung mengalami perbaikan. Kenyataan mengenai masalah kebutuhan untuk makan jauh lebih penting sebagaimana demi kelangsungan hidup, sehingga untuk urusan tak kelayakan kondisi rumah menjadi sesuatu yang dikesampingkan. Seperti pada kutipan:

“Karena Siswanto tak di rumah, aku berpamitan pulang dan titip pesan. Bapaknya berusaha menahan tetapi aku tetap memaksa pulang.Semakin lama berada di rumah ini makin sesak dadaku. Sepanjang perjalanan pulang, kukayuh sepedaku dengan lambat. Otakku berkecamuk memikirkan seorang kepala keluarga yang melarat, ujung tombak pencari nafkah, tumbang sakit tak mampu lagi bergerak. Keluarga yang tak lepas dirundung kesulitan. Dan aku belum bisa berbuat apa- apa.”(Didik Fotunadi, 2014:365). Kutipan di atas mengisahkan bahwa saat Ayah Siswanto yang juga merupakan kepala keluarga

mengalami sakit sehingga membuatnya tak lagi mampu mencari nafkah. Semakin membuat keluarga tersebut dirundung kesulitan serta kemelaratan hidup oleh ketidakberdayaan sang Ayah. Maka dari itu, Siswantolah yang bekerja dan itulah sebabnya ia tak berada di rumah saat Didik bertandang kerumahnya.

Realitas sosial menunjukkan bahwa kemiskinan sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan. Bekerja sebagai buruh tani tidak mengubah kenyataan menjadi lebih baik. Kemelaratan oleh tuntutan kebutuhan hidup dengan upah yang diperoleh sering kali tak berimbang dengan cucuran keringat serta kerja keras para buruh tani sehingga para istri terpaksa ikut bekerja membantu suami demi memenuhi kebutuhan hidup. Tak jauh berbeda dengan kehidupan guru. Gaji yang tak cukup untuk memenuhi kehidupan yang lebih layak serta makan nasi dari beras jatah yang warnanya mirip cokelat tanah, kadang berulat dan muncul campuran kerikil hitam. Sangat bertolak belakang dengan keadaan negara Indonesia yang tidak lain sebagai negeri lumbung padi. Hal ini juga ditandai dengan pemenuhan pendidikan anak yang tidak sepenuhnya mampu dipenuhi, kondisi rumah tempat tinggal yang nyaman dan layak dikesampingkan oleh pemenuhan kebutuhan panganyang jauh lebih penting demi kelangsungan hidup.

Realitas kemiskinan terjadi akibat kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah Indonesia sehingga solusi yang diperlukan dalam masalah kemiskinan yakni pemerintah perlu menyediakan banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat sehingga standar pemenuhan kebutuhan yang layak dapat terjadi secara merata dan dapat dirasakan oleh semua pihak.

Realitas Sosial tentang Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu konsep dasar yang bertujuan mengarahkan, membimbing, dan membina dari suatu hal yang tidak diketahui menjadi suatu hal yang diketahui baik secara umum maupun pribadi. Dengan struktur, arahan, sarana dan prasarana yang telah terencana sehingga mendukung proses pendidikan tersebut dan dapat dihasil kan suatu serapan materi yang penting. Lingkungan pendidikan biasanya disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.

Realitas sosial tentang pendidikan berorientasi terhadap kebutuhan serta sistem pendidikan di dalam masyarakat. Peranan pendidikan berdampak pada meningkatnya pengetahuan serta mendidik anak bangsa untuk mengembangkan serta meningkatkan kehidupan. Meski, di sisi lainnya kenyataan pendidikan yang tidak sepenuhnya dapat diperoleh seluruh masyarakat meengungkapkan realitas pendidikan yang tidak merata.

Novel Revolusi dari Secangkir Kopi karya Didik Fotunadi menuliskan tentang adanya realitas pendidikan yang terjadi dalam masyarakat khususnya pada tokoh-tokoh dalam novel, seperti pada kutipan:

“Pendidikan adalah prioritas utama pemerintah kami, sebab kami sadar, dengan jumlah penduduk terbanyak nomor dua di dunia yang lebih dari 1 milyar, jika pendidikan tak terurus, maka hanya akan menjadi beban dan terpuruk. Tapi sebaliknya, orang pintar dalam jumlah besar adalah kekuatan, dan kami punya kesempatan memimpin dunia di masa depan.”(Didik Fotunadi, 2014:26). Kutipan di atas mengisahkan saat Didik duduk bersebelahan dengan orang berkebangsaan India.

Terjadi obrolan yang mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan hal yang menjadi prioritas utama. Ia sendiri sedang menuntaskan pendidikan doktornya di University of Queensland. Ia mendapat kesempatan meraih gelar itu dari beasiswa pemerintah India. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mendukung masyarakatnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan karena dengan terdidiknya masyarakat, maka sangat membantu perkembangan dan kemajuan bangsa. Realitas pendidikan juga terdapat pada kutipan:

“…Liukan api itu membuat tulisan di buku jadi gelap dan terang silih berganti. Tiap malam kami mengelilingi lampu itu untuk belajar di meja satu-satunya yang ada di rumah ini. Geliat cahayanya membuat setengah badan kami masing-masing tertutup bayangan, hanya bagian yang terkena cahaya yang tampak. Lalu kami akan saling ejek pagi harinya karena terasa muncul jelaga hitam di wajah.”(Didik Fotunadi, 2014:37). Realitas teks di atas menggambarkan bahwa meski lampu listrik belum menyentuh

perkampungan mereka, namun semangat belajar anak-anak tidak pernah surut. Mereka tetap giat belajar walau hanya dengan menggunakan lampu petromaks. Meski dengan adanya keterbatasan, belajar untuk mengulang pelajaran dianggap sangat penting dan tetap dilakukan. Realitas sosial tentang pendidikan juga terjadi pada Siswanto. Seperti pada kutipan:

“Keinginan Siswanto untuk lanjut sekolah tidak pernah surut, dan niat baja itu membuatnya masuk SMPN 5 Blitar. Ia lalui hari-hari di SMP sambil membuat dan menjual mainan;dendamnya untuk mentas dari miskin membuatnya mampu berprestasi, bahkan dipercaya teman-teman untuk menjadi ketua OSIS. Ia berjuang dengan gigih antara tuntutan hidup, keharusan belajar, dan kewajiban organisasi. Ia berhasil menyelesaikan SMP-nya dengan meraih kembali NEM tertinggi di sekolahnya.”(Didik Fotunadi, 2014:42). Kutipan di atas mengungkapkan tentang realitas sosial pendidikan bahwa meski melarat,

semangat Siswanto untuk terus belajar tidak pernah redup. Realitasnya, meski tersandung dengan masalah ekonomi, namun Siswanto tetap belajar dengan giat hingga membuatnya menjadi siswa semangat Siswanto untuk terus belajar tidak pernah redup. Realitasnya, meski tersandung dengan masalah ekonomi, namun Siswanto tetap belajar dengan giat hingga membuatnya menjadi siswa

“Aku menggertakkan gigi menahan dadaku yang hamper meledak. Marah dan emosi berkepanjangan karena telah menghancurkan

kedua orangtuaku kembali tersulut.Jantungku berdetak lebih cepat.Mengapa manusia muda dan berbakat ini harus terpuruk? Di mana pemerintah yang katanya peduli pendidikan? Di mana pembangunan yang digembar-gemborkan itu?”(Didik Fotundi, 2014:45). Kutipan tersebut menggambarkan ketika Didik mengetahui bahwa Siswanto tidak dapat

mimpi

melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena harus tersandung masalah ekonomi dan menjadi tulang punggung keluarga. Sementara Didik yang merasa kecewa terhadap dirinya sendiri karena tidak lulus di universitas yang dipilihnya. Kenyataan bahwa Siswanto yang merupakan anak yang berprestasi dengan nilai yang gemilang harus terpuruk dengan memilih bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya serta kurangnya biaya untuk melanjutkan pendidikan. Pemerintah seakan buta terhadap kondisi masyarakatnya. Kebijakan-kebijakan yang senantiasa digembar-gemborkan tak kunjung terealisasikan di lapangan. Faktanya, masih banyak anak-anak yang justru harus menelan pil pahit dengan berhenti sekolah. Realitas pendidikan juga terungkap pada kutipan:

“Menurutku, mahasiswa merupakan periode usia emas manusia dalam pengembangan diri, naluri keingintahuannya di titik tertinggi, kecepatan belajarnya pada masa yang menakjubkan!”(Didik Fotunadi, 2014:67). Kutipan tersebut menunjukkan adanya realitas tentang pendidikan. Pemberian istilah mahasiswa

dikarenakan saat zaman dulu dalam mengecap bangku kuliah itu sesuatu yang tak terjangkau. Untuk keluarbiasaan itulah disebut mahasiswa atau justru karena gelar itulah akhirnya mahasiswa benar-benar memberikan peranannya di setiap masa perjalanan bangsa Indonesia. Terdapat pula kutipan lain seperti: