Gambaran Umum Upacara Pernikahan Adat Nias

3.1 Gambaran Umum Upacara Pernikahan Adat Nias

Pada masyarakat Nias perkawinan (falöwa [fal Σwa]) merupakan pembentukan keluarga baru untuk menghasilkan generasi baru. Dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan adat yang berlaku dan disahkan oleh agama (pihak gereja bagi yang beragama Kristen), serta memenuhi persyaratan hukum negara atau pemerintahan.

Seorang laki-laki yang telah dianggap dewasa atau sudah berumur 18 tahun dapat dikawinkan dengan seorang gadis yang telah berusia 17 tahun, jika beragama Kristen terlebih dahulu di baptis dan telah disidik. Kemudian pihak laki-laki menyelesaikan segala persyaratan adat yang diminta oleh keluarga pengantin wanita (balaki). Dengan masuknya agama Kristen di Pulau Nias tampak bahwa aturan agama yang masuk ke pulau Nias sangat mengambil peran penting dalam upacara adat perkawinan suku Nias. Jika calon pengantin adalah pemeluk agama Kristen, terlebih dahulu menjalani proses pemberkatan di gereja yang dipimpin oleh seorang Pendeta sebagai syarat syah menurut agama kemudian dilanjutkan dengan melangsungkan upacara adat dilokasi yang telah ditentukan. Kedua hal ini menurut orang Nias harus dilaksanakan sebaga pertanda bahwa perkawinan dilangsungkan dengan baik. Sebelum agama Kristen masuk ke pulau Nias, pengesahan lebih menitiberatkan pada persyaratan Seorang laki-laki yang telah dianggap dewasa atau sudah berumur 18 tahun dapat dikawinkan dengan seorang gadis yang telah berusia 17 tahun, jika beragama Kristen terlebih dahulu di baptis dan telah disidik. Kemudian pihak laki-laki menyelesaikan segala persyaratan adat yang diminta oleh keluarga pengantin wanita (balaki). Dengan masuknya agama Kristen di Pulau Nias tampak bahwa aturan agama yang masuk ke pulau Nias sangat mengambil peran penting dalam upacara adat perkawinan suku Nias. Jika calon pengantin adalah pemeluk agama Kristen, terlebih dahulu menjalani proses pemberkatan di gereja yang dipimpin oleh seorang Pendeta sebagai syarat syah menurut agama kemudian dilanjutkan dengan melangsungkan upacara adat dilokasi yang telah ditentukan. Kedua hal ini menurut orang Nias harus dilaksanakan sebaga pertanda bahwa perkawinan dilangsungkan dengan baik. Sebelum agama Kristen masuk ke pulau Nias, pengesahan lebih menitiberatkan pada persyaratan

3.1.1 Tata Cara Upacara Pernikahan Adat Nias

Upacara adat pernikahan masyarakat Nias memiliki struktur hierarki (tingkatan) yang yang dalam mekanisme perencanaan dan pelaksanaanya tergantung pada bagian daerah tempat upacara itu dilaksanakan. Mekanisme dan aturan adat Nias bagian utara berbedan dengan Nias bagian selatan dan bagian barat atau tengah. Masing-masing mempunyai karakter yang tersendiri. Namun pada masyarakat Nias memiliki kesamana sesuatu yang umum dilakukan dalam pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Nias salah satunya yaitu jujuran (böwö) yang dilakukan dalam ritual penentuan yang disebut fondrako.

3.1.2 Mahar (Jujuran) Menurut Adat Nias

Mahar (jujuran ) adalah keseluruhan prosedur pernyerahan yang oleh adat telah ditetapkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai dengan kedudukan sosial masing-masing sebelum seorang laki-laki secara resmi mengambil seorang perempuan Nias, Hans Daeng (dalam Lola Utama Sitompul, 2009 : 81), sedangkan menurut Ariyono jujuran merupakan benda- benda berharga yang diberikan kepada orang tua mempelai perempuan oleh mempelai laki-laki atau kerabatnya. Secara khusus, menurut adat istiadat pernikahan Nias jujuran (böwö) dalam arti sebenarnya adalah kasih atau perbuatan baik yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Secara umum

menurut adat Nias, mahar (jujuran) dalam masyarakat Nias terdiri dari kefe (uang kertas), bawi (babi),böra [b Σra] (beras), firö (uang perak), dan ana’a (emas). Kelima jenis mahar (jujuran) ini menunjukkan lambang kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Oleh kaarena itu dapat dikatakan bahwa nilai mahar (jujuran) pada masyarakat Nias adalah merupakan suatu hal penentu utama dalam berlangsungnya suatu proses pernikahan. Pada pelaksanaan pesta perkawinan, besarnya mahar yang diberikan pihak laki-laki kepada perempuan berkisar antara 30 juta sampai 50 juta, emas, beras 20 karung dan babi 30 ekor. Besar kecilnya mahar yang diberika kepada pihak perempuan juga dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya keturunan dan tingkat pendidikan serta pekerjaan seorang perempuan. Jika seorang perempuan mempunyai pekerjaan atau berasal dari keluarga kaya dan terpandang jumlah mahar bisa mencapai Rp 70 juta sampai Rp 100 juta. Untuk pendidikan, walaupun pendidikannya tinggi tetapi perempuan tersebut tidak bekerja, tidak akan mempengeruhi jumlah mahar yang diberikan. Hal terpenting dalam penentuan jumlah mahar adalah status dan pekerjaan seorang perempuan. Di beberapa daerah, dikenal istilah sumange (memberikan sesuatu dengan penuh rasa hormat) yaitu “salam tangan” yang dilakukan oleh mempelai pria kepada orangorang tertentu, yaitu orang-orang yang memilki wewenang untuk memutuskan apakah pada saat upacara dilangsungkan, mempelai wanitanya boleh diturunkan ke halaman untuk diserahkan atau tidak. Tak jarang, upacara perkawinan berlangsung lama (dari pagi hingga malam) hanya karena persoalan sumange tadi dan sumange ini yang paling menonjol dalam mempersoalkan ini ialah pihak paman dari mempelai menurut adat Nias, mahar (jujuran) dalam masyarakat Nias terdiri dari kefe (uang kertas), bawi (babi),böra [b Σra] (beras), firö (uang perak), dan ana’a (emas). Kelima jenis mahar (jujuran) ini menunjukkan lambang kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Oleh kaarena itu dapat dikatakan bahwa nilai mahar (jujuran) pada masyarakat Nias adalah merupakan suatu hal penentu utama dalam berlangsungnya suatu proses pernikahan. Pada pelaksanaan pesta perkawinan, besarnya mahar yang diberikan pihak laki-laki kepada perempuan berkisar antara 30 juta sampai 50 juta, emas, beras 20 karung dan babi 30 ekor. Besar kecilnya mahar yang diberika kepada pihak perempuan juga dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya keturunan dan tingkat pendidikan serta pekerjaan seorang perempuan. Jika seorang perempuan mempunyai pekerjaan atau berasal dari keluarga kaya dan terpandang jumlah mahar bisa mencapai Rp 70 juta sampai Rp 100 juta. Untuk pendidikan, walaupun pendidikannya tinggi tetapi perempuan tersebut tidak bekerja, tidak akan mempengeruhi jumlah mahar yang diberikan. Hal terpenting dalam penentuan jumlah mahar adalah status dan pekerjaan seorang perempuan. Di beberapa daerah, dikenal istilah sumange (memberikan sesuatu dengan penuh rasa hormat) yaitu “salam tangan” yang dilakukan oleh mempelai pria kepada orangorang tertentu, yaitu orang-orang yang memilki wewenang untuk memutuskan apakah pada saat upacara dilangsungkan, mempelai wanitanya boleh diturunkan ke halaman untuk diserahkan atau tidak. Tak jarang, upacara perkawinan berlangsung lama (dari pagi hingga malam) hanya karena persoalan sumange tadi dan sumange ini yang paling menonjol dalam mempersoalkan ini ialah pihak paman dari mempelai

3.1.3 Sistem Pernikahan Pada Masyarakat Nias

3.1.3.1 Kawin Sedarah

Kawin sedarah ini dilakukan antara saudara sepupu jauh (setelah Sembilan generasi) sebagai hasil keputusan fondrako bonio dan fondrako laraga yaitu, (1) seorang calon pengantin pria dapat mengawini saudara sepupu jauh setelah Sembilan generasi, hal ini dimungkinkan agar putra-putri keturunan bangsawan (si ulu atau balugu) jangan sampai jatuh kepada pihak lain yang derajat bosi berbeda agar hubungan kekeluargaan yang sudah mulai menjauh dapat menjadi lebih dekat kembali. Namun sesuai dengan pengalaman penulis perkawinan sedarah juga bukan hanya dilkukan oleh pihak balugu saja namun orang yang bosinya saling berbeda juga bisa dilakukan jikalau kedua belah pihak memiliki kecocokan dan sebagaimana pesta perkawinan pada umumny, (2) seorang pria menikahi putri pamannya dari pihak kerabat ibunya, yang lazim disebut sibaya atau uwu. Perkawinan seperti ini disebut sangawuli ba zibaya atau sangawuli ba nuwu, (3) perkawinan antara sepupu dengan ketentuan ibu calon pengantin pria bersaudara kandung dengan ibu calon pengantin wanita, yang disebut dusanai atau gasiwa (pariban dalam istilah lain).

3.1.3.2 Perkawinan Ganti Tikar

Pada masyarakat Nias perkawinan ganti tikar disebut sama lali tufo, terjadi bila seorang istri yang suaminya telah meninggal dunia, maka saudara Pada masyarakat Nias perkawinan ganti tikar disebut sama lali tufo, terjadi bila seorang istri yang suaminya telah meninggal dunia, maka saudara

3.1.4 Perkawinan Adat Menurut Böwö Laraga

Dahulunya wilayah adat suku Nias hanya terdiri dari dua bagian, yakni Nias selatan dan Nias utara. Namun sekarang dengan terbaginya beberapa kabupaten di pulau Nias maka semakin nampaklah bagian-bagian budaya pada masing-masing kabupaten. Tetapi secara umum yang menjadi patokan dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik masyarakat Nias yang ada di Kota Medan maupun masyarakat di Nias itu sendiri. Böwö laraga ini merupakan acuan yang mempunyai pengaruh yang paling luas dalam pelaksanaan upacara adat masyarakat Nias. Sedangkan bagi masyarakat yang tinggal di Kota Medan, dengan berbaurnya masyarakat dari daerah teritorial dan budaya yang berlainan sistem atau tata cara menurut böwö laraga ini menjadi acuan yang kemudian disesuaikan lagi dengan situasi dan kondisi oleh pihak yang malangsungkan upacara perkawinan. Sama halnya dalam mencari pasangan hidup, dahulunya perkawinan masyarakat Nias adalah kemauan dari kedua belah pihak atau di jodohkan dan sebagai anak harus tunduk dan taat kepada orang tuanya. Dalam penentuan mahar perkawinan seluruhnya di atur oleh orang tua.

3.1.5 Tata Urutan Pelaksanaan Pesta Pernikahan

Ada beberapa tata urutan pelaksanaan pesta pernikahan pada masyarakat Nias, adalah tahap memilih pasangan, peminangan, dan pesta pernikahan. Selengkapnya secara terperinci dijabarkan sebagai berikut.

3.1.5.1 Famaigi Niha ( Memilih Gadis )

Tahap famaigi niha merupakan tahap awal yang dilakukan oleh orang tua ayah/ibu mempelai laki-laki atau sese datang kerumah barasi (calon pengantin wanita) untuk melihat dan menanyakan gadis calon dari istri anak laki-lakinya. Kemudian setelah melihat maka orang tua sese menemui salah satu keluarga yang dekat dengan keluarga barasi untuk mengutarakan niat mereka untuk datang kerumah barasi.

Selama dari perjalanan, ibu sese harus memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di perjalanannya, siapa yang berjumpa dan apa-apa yang dijumpainya sampai kerumah tujuannya misalnya jika di tengah jalan dia berjumpa dengan seekor anjing atau anjing sedang menyalak maka maknanya bahwa tujuannya gagal dan tidak baik seperti kelakuan anjing, tetapi kalau ia berjumpa dengan orang atau gadis yang sedang pulang mengambil air artinya hal ini baik dan kalau selama ia berada dirumah tujuannya saat membicarakan hal itu dan ada seorang yang bersin (bohö) artinya hal itu hendaknya ditangguhkan saja yaitu berbahaya, tanda-tanda lain seperti apabila berjumpa dengan ular, anjing sedang berkelahi, jumpa dengan orang membawa api. Jika ibu sese tadi mempunyai tanda yang baik maka dilangsungkan niatnya untuk membicarakan tujuannya, setelah putus persetujuan keluarga dapat dia Selama dari perjalanan, ibu sese harus memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di perjalanannya, siapa yang berjumpa dan apa-apa yang dijumpainya sampai kerumah tujuannya misalnya jika di tengah jalan dia berjumpa dengan seekor anjing atau anjing sedang menyalak maka maknanya bahwa tujuannya gagal dan tidak baik seperti kelakuan anjing, tetapi kalau ia berjumpa dengan orang atau gadis yang sedang pulang mengambil air artinya hal ini baik dan kalau selama ia berada dirumah tujuannya saat membicarakan hal itu dan ada seorang yang bersin (bohö) artinya hal itu hendaknya ditangguhkan saja yaitu berbahaya, tanda-tanda lain seperti apabila berjumpa dengan ular, anjing sedang berkelahi, jumpa dengan orang membawa api. Jika ibu sese tadi mempunyai tanda yang baik maka dilangsungkan niatnya untuk membicarakan tujuannya, setelah putus persetujuan keluarga dapat dia

Setelah orang tua sese mendapat balasan bahwa bersetuju orang tua (barasi) barulah keluarga-keluarga terdekat sese berkumpul dan menanyakan kepada arwah orang tua (malaika zatua) dengan perantaraan seorang Ere untuk menyatukan jiwa kedua anak-anak tersebtu agar kelak menjadi satu keluarga (fonambatö) dan merestui pekerjaan pelaksanaan proses perkawinan dengan selamat.

3.1.5.2 Famaigi Tödö Manu Silatao ( Memeriksa Guratan Jantung Ayam Jantan )

Pelaksanaan pemeriksaan guratan jantung ayam jantan ini dilaksanakan di rumah sese (laki-laki) yang dihadiri oleh keluarga dan orang tua sese dengan menyediakan seekor ayam jantan yang sedang besarnya. Oleh pelakasanaan Ere. Memukul fondahi (alat gendang yang berupa tabuh) dimuka adu zatua (patung berhala) sambil menuturkan sanjak mantra untuk mencintai petunjuk dari arwah orang tua yang telah meninggal. Setelah selesai Ere memukul fondahi dan berantara kemudian ayam disembelih pada lehernya dan darahnya di ambil oleh Ere lalu dipoleskannya pada bibir adu zatua tadi sebagai penghormatan bagi arwah nenek moyang tersebut. Selanjutnya Ere membelah dada ayam tadi lalu mengambil jantung dan memeriksa guratannya; jika terdapat guratannya seperti susunan kaki lipan (ahe galifa) dari ulunnya sampai kepuncak jantung dan lurus letaknya maka ini menandakan bahwa suami istri itu (sese dan balaki) serasi dan Pelaksanaan pemeriksaan guratan jantung ayam jantan ini dilaksanakan di rumah sese (laki-laki) yang dihadiri oleh keluarga dan orang tua sese dengan menyediakan seekor ayam jantan yang sedang besarnya. Oleh pelakasanaan Ere. Memukul fondahi (alat gendang yang berupa tabuh) dimuka adu zatua (patung berhala) sambil menuturkan sanjak mantra untuk mencintai petunjuk dari arwah orang tua yang telah meninggal. Setelah selesai Ere memukul fondahi dan berantara kemudian ayam disembelih pada lehernya dan darahnya di ambil oleh Ere lalu dipoleskannya pada bibir adu zatua tadi sebagai penghormatan bagi arwah nenek moyang tersebut. Selanjutnya Ere membelah dada ayam tadi lalu mengambil jantung dan memeriksa guratannya; jika terdapat guratannya seperti susunan kaki lipan (ahe galifa) dari ulunnya sampai kepuncak jantung dan lurus letaknya maka ini menandakan bahwa suami istri itu (sese dan balaki) serasi dan

Yang akan menghubungi penunjuk jalan (samatörö) dipihak orang tua barasi (gadis). Seandainya dalam penglihatan Ere guratan jantung ayam tidak baik maka lanjutan peminangan dibatalkan. Apabila pembicaraan untuk peminangan jadi maka “SI’O” (pengantar; telangkai) dengan samatoro (penunjuk jalan) yang tetap berunding segala sesuatu hasil perundingan mereka tentang lanjutan pelaksanaan perkawinan tetap mereka berdua yang menyampaikan kepada kedua belah pihak orang tua sese dan barasi. (Catatan): Tentang tata cara memeriksa guratan jantung ayam jantan ini pada masa sekarang telah punah karena desakan agama.

3.1.5.3 Fame’e Laeduru (Menyerahkan Cincin)

Fame’e laeduru disebut juga fanunu manu zamatörö. Upacara pelaksanaan fame;e laeduru ini boleh di laksanakan dirumah samatörö (penunjuk jalan) dengan segala keperluan ditanggung oleh keluarga antara lain biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan famae’e laeduru ini ialah: (1) cincin yang terbuat dari kuningan atau emas atau perak. Bentuk cincin ini seperti belahan rotan. Cincin ini dibungkus pada saputangan dan didampingi diikutsertakan sepulu saga, sepuluh gram emas balaki (perada), dan ½ tambali ziwalu ( paun emas muda). Penyerahan emas pendampingan cincin ini adalah menurut derajat (bosi) orang tua balaki (gadis): berderajat. (2) Fanema laeduru = menerima cincin (köla). Fanema laeduru ini dilaksanakan dengan pemberian

jujuran tanda terima kepada si’o dan samatörö beserta keluarga sebesar ½ tambali siwalu paun emas muda.(3). Afo (sekapur sirih) selengkapnya.(4). Sakhozi ziwalu (peleburan emas muda) artinya keperluan babi hidup untuk dimakan bersama sebesar 2 s/d 4 alisi = 20 kg s/d 40 kg, babi hidup. Setelah lengkap keperluan tersebut diatas dan berlangsung pertemuan kedua belah pihak orang tua maka oleh salawa hada (tokoh adat) pada desa si barasi (gadis) menyerahkan dimuka siraha afasi (patung buat kapas) sebagai penghormatan dan pemberitahuan pada arwah nenek moyang / leluhur. Pada masa sekarang ini hal itu diganti dengan acara doa pemberkatan dan pemaduan hidup antar sese (laki-laki) dan barasi (gadis) agar selamat. Selamat sebelum berlangsungacara perkawinan kelak. Segala keperluan dalam acara ini ditanggung oleh orang tua sese / laki-laki. (Catatan: dahulu dilaksanakan hal ini oleh Ere tetapi setelah agama berkembang Ere diganti dengan pengetua adapt (salawa hada) atau pengetua agama dengan berdoa kepada Tuhan yang maha Esa. Setelah berlangsung hal tersebut diatas maka orang tua barasi atau gadis menolak pinangan dari orang lain yang datang.

3.1.5.4 Fanunu Manu (Upacara Resmi Peminangan)

Pelaksanaan upacara fanunu manu ini adalah salah satu upacara adapt resmi yang sangat menentukan pelaksanaan peralatan upacara pesta perkawinan kelak, karena pada saat ini dapat ditentukan berapa besar jujuran yang harus disediakan oeh pihak sese (laki-laki). Upacara fanunu manu ini dilaksanakan oleh si’o dari pihak laki-laki dan oleh samatörö dari pihak barasi. Upacara ini dilaksanakan dirumah barasi yang dihadiri oleh masyarakat kedua belah pihak,

tokoh adat, uwu (paman), ibu-ibu isteri tokoh-tokoh adat. Tujuan upacara fanunu manu : (1) untuk memperkenalkan si sese (lelaki) kepada seluruh keluarga barasi (gadis), (2) untuk memperkenalkan si sese (laki-laki) kepada seluruh penduduk desa si barasi baik anak-anak, orang tua dan pemuda-pemudinya serta dengan tokoh-tokoh adapt, (3) untuk memperkenalkan si sese kepada paman barasi,(4) mengesahkan bahwa si sese dan si barasi telah bertunangan da orang tua sese dan barasi telah berbesan syah, (5) membicarakan besarnya jujuran yang harus dibayar oleh pihak sese kelak menurut tingkat bosi orang tua barasi dalam masyarakat, (6) menentukan waktu pelaksanaan pesta perkawinan kelak, disebut bongi zalawa . Keperluan-keperluan yang diperlukan pada upacara fanunu manu (1)Yang disediakan oleh pihak sese (laki-laki), (2) Afo dibawa oleh pihak sese beberapa kembut sirih (bola nafo) yang disebut bola nafo mböwö artinya bola nafo yang diberi berkatan bola nafo ni diserhkan sese melalui ibu barasi yang selanjutnya diserahkan kepada : (a) bola nafo untuk nina (soboto yaitu ibu) diterima oleh ibu barasi, (b) Bola nafo untuk umu (paman) barasi diterima oleh barasi (c) bola nafo untuk iwa (diterima oleh saudara Ayah barasi), (d) Bola nafo untuk awe (diterima oleh nenek barasi ) (d) bola nafo untuk huwa (diterima oleh saudara kakak barasi ), (e) bola nafo untuk si’o/ sanatö rö/ sameli (diterima oleh pengantar dan telangkai baik dari pihak sese maupun barasi ) (f) bola nafo untuk banua (diterima oleh isteri tokoh adapt di desa si barasi) (g) satu bungkusan besar himpunan jenis nafo yang diserahkan ditengah-tengah ibu-ibu untuk dimasak sebagai afo biasa, (1) Satu ekor babi hidup 4 alisi (40 kg) untuk keperluan adapt fanunu manu (diserahkan satu hari sebelum hari fanunu manu), (2) Emas disediakan sara balaki atau sara siwalu ini ditentukan dengan tingkat tokoh adat, uwu (paman), ibu-ibu isteri tokoh-tokoh adat. Tujuan upacara fanunu manu : (1) untuk memperkenalkan si sese (lelaki) kepada seluruh keluarga barasi (gadis), (2) untuk memperkenalkan si sese (laki-laki) kepada seluruh penduduk desa si barasi baik anak-anak, orang tua dan pemuda-pemudinya serta dengan tokoh-tokoh adapt, (3) untuk memperkenalkan si sese kepada paman barasi,(4) mengesahkan bahwa si sese dan si barasi telah bertunangan da orang tua sese dan barasi telah berbesan syah, (5) membicarakan besarnya jujuran yang harus dibayar oleh pihak sese kelak menurut tingkat bosi orang tua barasi dalam masyarakat, (6) menentukan waktu pelaksanaan pesta perkawinan kelak, disebut bongi zalawa . Keperluan-keperluan yang diperlukan pada upacara fanunu manu (1)Yang disediakan oleh pihak sese (laki-laki), (2) Afo dibawa oleh pihak sese beberapa kembut sirih (bola nafo) yang disebut bola nafo mböwö artinya bola nafo yang diberi berkatan bola nafo ni diserhkan sese melalui ibu barasi yang selanjutnya diserahkan kepada : (a) bola nafo untuk nina (soboto yaitu ibu) diterima oleh ibu barasi, (b) Bola nafo untuk umu (paman) barasi diterima oleh barasi (c) bola nafo untuk iwa (diterima oleh saudara Ayah barasi), (d) Bola nafo untuk awe (diterima oleh nenek barasi ) (d) bola nafo untuk huwa (diterima oleh saudara kakak barasi ), (e) bola nafo untuk si’o/ sanatö rö/ sameli (diterima oleh pengantar dan telangkai baik dari pihak sese maupun barasi ) (f) bola nafo untuk banua (diterima oleh isteri tokoh adapt di desa si barasi) (g) satu bungkusan besar himpunan jenis nafo yang diserahkan ditengah-tengah ibu-ibu untuk dimasak sebagai afo biasa, (1) Satu ekor babi hidup 4 alisi (40 kg) untuk keperluan adapt fanunu manu (diserahkan satu hari sebelum hari fanunu manu), (2) Emas disediakan sara balaki atau sara siwalu ini ditentukan dengan tingkat

3.1.5.5 Famalua Li (Pertanyaan Melangsungkan Perkawinan)

Setelah ketentuan bongi zalawa atau bongi nama berangsung beberapa minggu atau bulan maka oleh orang tua pihak sese memperkirakan kemampuan pembiayaan sudah ada dan cukup maka si’o dari pihaknya disuruh mengadakan kontak bicara dengan sanemali dipihak gadis meminta persetujuan dan menanyakan perkiraan besarnya jujuran yang harus dibawa dan bagaimana rencana selanjutnya mengenai waktu dan persiapan mereka. Ini disebut famangelama (mengingatkan). Pada waktu si’o sese pergi menanyakan ini ia ditemani oleh menantu laki-laki dengan membawa bola nafoi dan olöwöta yang disebut bungkusan daging anak babi mengingatkan. Pada pembicaraan pertemuan ini dihadiri oleh keluarga dari ayah gadis yang berhak menerima bagian dari jujuran. Pada wakktu inilah si’o dari pihak laki-laki dengan gigih berbicara meminta belas kasihan penurunan dari jumlah jujuran yang sewajarnya kepada yang berhak menerima yang akhirnya diminta berapa besar jujuran

keperluan saekhu bazimaöchö (jujuran yang harus dibayar sampai pada peralatan pesta perkawinan) yaitu böwö soguna maöchö (dalam hal ini besar jujuran menurut bosi tidak terlepas yang tetap sebagai jujuran yaitu böwö nisitaigö yawa ) yang kemudian dibayar. Setelah sepakat dengan keperluan saekhu bazimaökhö / böwö soguna maökhö maka beberapa hari kemudian oleh salawa hada (pengetua adat) dan si’o dari pihak sese datang sebanyak ± 5 orang tanpa wanita/ ibu-ibu mengadakan upacara famua li di pihak gadis dihadiri oleh keluarga gads, dan salawa hada dan ibu-ibu keluarga. Untuk mengesahkan besarnya jujuran yang diminta untuk pesta sehari. Keperluan-keperluan yang disediakan oleh pihak laki-laki, (1) Afo selengkapnya, (2) Babi untuk famangelama yaitu daging babi mentah (yang sudah di asini) sebanyak dua hia s/d öfa hie gunua suguhan pada para salawa sebagai ganti famangelama terdahulu, (3) Seekor babi hidup sebesar öfa alisi, (4) Emas jujuran (sebagai angsuran ) besarnya diserahkan pada kesanggupan pihak laki-laki yang nantinya dikurangi dari jumlah keseluruhan jujuran. Pihak gadis menyediakan:

1. Seekor anak babi sebesar sara alisi untuk dibawa tome yaitu pihak laki-laki

2. Beras secukupnya untuk dipergunakan hari itu. Dalam pelaksanaan ini dapat juga berlaku acara fangowai dan untuk mempersingkat waktu bisa saja dimulai dengan acara biasa yang mulai oleh si’o dan seterusnya dengan penyerahan daging babi famangelama tersebut diatas sambil meyatakan apa maksud dan tujuan mereka. Setelah berselang pembicaraan kedua belah pihak maka oleh salawa kedua belah pihak pertama- tama salawa dari pihak gadis mengambil daun kelapa muda mengeja besarnya 2. Beras secukupnya untuk dipergunakan hari itu. Dalam pelaksanaan ini dapat juga berlaku acara fangowai dan untuk mempersingkat waktu bisa saja dimulai dengan acara biasa yang mulai oleh si’o dan seterusnya dengan penyerahan daging babi famangelama tersebut diatas sambil meyatakan apa maksud dan tujuan mereka. Setelah berselang pembicaraan kedua belah pihak maka oleh salawa kedua belah pihak pertama- tama salawa dari pihak gadis mengambil daun kelapa muda mengeja besarnya

3.1.5.6 Folohe Fakhe Toho (Penyerahan Padi Keperluan Pesta Kawin)

Setelah berselang beberapa hari sesudah pertemuan fangandrö li nina maka penduduk warga desa atau keluarga dari pihak sese datang membawa dan menyerahkan padi untuk keperluan pesta kawin yang disebut fakhe toho. Rombongan yang membawa padi tersebut diktahui oleh si’o dari pihak sese dan menyertakan membawa su’a wakhe ( sukatan atau takaran padi ) yaitu daging babi mentah yang sudah dibungkus pada upin pinang besarnya atau beratnya dua hie s/d tölu hie (3 kilogram s/d 6 kilogram). Banyaknya fakhe toho yang dibawa adalah berdasakan ketentuan yang diinta pihak barasi menurut rembukkan pada waktu femanga manu yang disesuaikan dengan jenjang bosi orang tua barasi : Banyaknya fakhe toho tersebut berdasarkan bosi:

1. bosi si fitu : Fakhe toho sebanyak 1 zo’e

2. bosi si walu: Fa khe toho sebanyak 2 zo’e

3. bosi si siwa : Fakhe toho sebanyak 4 zo’e

4. bosi si fulu : Fakhe toho sebanyak 6 zo’e

5. bosi si felendrua : Fakhe toho sebanyak 8 zo’e Catatan:

1. 1 zo’e daerah Laraga = 15 Lauru 4 Jumba (120 liter)

2. 1 zo’e daerah Moro’ö = 10 Lauru 5 Jumba (100 liter)

3. 1 zo’e daerah Lahömi = 10 Lauru 5 Jumba (100 liter)

4. 1 zo’e daerah Raya = 6 Lauru 5 Jumba (60 liter)

5. 1 zo’e daerah Yöu = 10 Lauru 4 Jumba (80 liter) Sesudah siap diukur atau disukat dan ditukar padi tersebut dan

rombongan yang terlah juga siap makan maka mereka pulang. Sesudah itu padi tadi dibersihkan, ditumbuk oleh wanita pihak barasi secara beramai-ramai, untuk dijadikan beras yang selanjutnya dipergunakan pada peralatan pesta kawin berlangsung.

3.1.5.7 Famaigi Bawi ( Menengok Babi Adat Pesta Kawin)

Menjelang beberapa hari lagi sebelum pesta kawim berlangsung maka dilaksanakan upacara famaigi bawi walöwa yang telah disiapkan pemeliharaannya oleh sese. Bawi walöwa ini ada dua ekor yaiut, (1) satu ekor yang disebut bawi zo’ono, yaitu untuk orang tua barasi dan pamannya,(2) satu ekor yang disebut bawi mbanua yaitu untuk warga desa kedua belah pihak.

3.1.5.8 Folau Bawi (Upacara Membawa Babi Bawi Walöwa)

Upacara membawa babi adat (bawi walöwa) ini dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut yaitu (1) Fesu ( tali pengikat ) kaki dan alogo ditali dulu yang terdiri dari bahan ono gahalu ( kulit kayu), (2) seluruh warga desa sese berkumpul dirumah sese baik saawa , tokoh adapt dan ono matua dipilih untuk membawa babi adat tersebut, (3) sebelum berangkat maka oleh tokoh adat, salawa mendoakan pada arwah leluhur agar memberkati babi tersebut dan menjauhkan segal mara bahaya di jalan dan selamat sampai di desa barasi.

3.1.5.9 Falöwa (Pesta Perkawinan)

Pihak sese ( laki-laki ) mempersiapkan segala keperluan untuk datang ke pesta kawin antara lain yang dipersiapkan ialah, (1) segala keperuan pakaian dan peralatan sese (laki-laki) atau mempelai, (2) uang emas untuk pelunasn utang pada jujuran, (3) alat musik yang dibunyikan disepanjang perjalan dari rumah sese kerumah barasi seperti fariti, cucu, (4) pakaian adat para ibu-ibu seperti ni’ohulaya, ni’otalakhoi baju dan sarung serta perhiasan emas umpamanya balahögö, saerudalinga,nifato-fato. Baju adat yang dipersiapkan itu adalah berwarna dasar merah hati, kuning dan hitam yang telah di motif dengan ni’ohulaya dan ni’otalakhoi. Sesudah segala persiapan langkah dan keperluan lain maka rombongan sese berangkat dengan terdiri dari: (1) seluruh warga desa sese , wanita, orangtua dan anak-anak, (2) seluruh tokoh-tokoh adapt dan salawa, (3) Seluruh besan jiran ipar dan menantu di pihak sese, (4) semua keluarga paman sese, (5) semua kenalan dari desa sekitar desa sese. Setelah diperkirakan lengkap seluruh para rombongan zangowalu baru berangkat dengan mengatur letak seperti, (1) dimuka ibu-ibu istri tokoh-tokoh adat dan salawa, (2) sesudah itu b öli gana’a (menantu-menantu yang baru) dan wanita,(3) setelah itu tokohtokoh adat laki-laki dan salawa, (4) sesudah itu regu marafule (mempelai) dengan didampingin oleh beberapa orang pemuda sebagai pendampingnya dan menjaganya, (5) sesudah itu regu pemuda-pemudi, (6) sesudah itu regu yang membawa alat musik seperti faritia dan tambur yang terdiri dari anak-anak setengah baya. Sepanjang jalan alat musik ini tetap dimainkan atau di bunyikan. Sebelum berangkat rombongan menyerahkan diri dahulu kepada Tuhan,setelah itu baru höli-höli dan menyusul böli hae yang dilaksanakan sepanjang perjalanan Pihak sese ( laki-laki ) mempersiapkan segala keperluan untuk datang ke pesta kawin antara lain yang dipersiapkan ialah, (1) segala keperuan pakaian dan peralatan sese (laki-laki) atau mempelai, (2) uang emas untuk pelunasn utang pada jujuran, (3) alat musik yang dibunyikan disepanjang perjalan dari rumah sese kerumah barasi seperti fariti, cucu, (4) pakaian adat para ibu-ibu seperti ni’ohulaya, ni’otalakhoi baju dan sarung serta perhiasan emas umpamanya balahögö, saerudalinga,nifato-fato. Baju adat yang dipersiapkan itu adalah berwarna dasar merah hati, kuning dan hitam yang telah di motif dengan ni’ohulaya dan ni’otalakhoi. Sesudah segala persiapan langkah dan keperluan lain maka rombongan sese berangkat dengan terdiri dari: (1) seluruh warga desa sese , wanita, orangtua dan anak-anak, (2) seluruh tokoh-tokoh adapt dan salawa, (3) Seluruh besan jiran ipar dan menantu di pihak sese, (4) semua keluarga paman sese, (5) semua kenalan dari desa sekitar desa sese. Setelah diperkirakan lengkap seluruh para rombongan zangowalu baru berangkat dengan mengatur letak seperti, (1) dimuka ibu-ibu istri tokoh-tokoh adat dan salawa, (2) sesudah itu b öli gana’a (menantu-menantu yang baru) dan wanita,(3) setelah itu tokohtokoh adat laki-laki dan salawa, (4) sesudah itu regu marafule (mempelai) dengan didampingin oleh beberapa orang pemuda sebagai pendampingnya dan menjaganya, (5) sesudah itu regu pemuda-pemudi, (6) sesudah itu regu yang membawa alat musik seperti faritia dan tambur yang terdiri dari anak-anak setengah baya. Sepanjang jalan alat musik ini tetap dimainkan atau di bunyikan. Sebelum berangkat rombongan menyerahkan diri dahulu kepada Tuhan,setelah itu baru höli-höli dan menyusul böli hae yang dilaksanakan sepanjang perjalanan

(b) Tome tiba di lokasi pesta juga disambut oleh keluarga pihak pengantin perempuan. Pada saat kedatang tome ini, mereka melakukan bolihae (syair hoho yang isinya menyanjung atau mengagungkan pihak perempuan dan juga menyanyikan lagulagu dan doa yang terkandung dalam ajaran agama Kristen).

(c) Fangowai ba fame’e afo (penghormatan dan pemberian sirih), ini dilaksanakan oleh satua mbanua / salawa hada (laki-laki maupun perempuan) yang dimulai oleh pihak perempuan dengan syair yang merendah, dan kemudian dilanjutkan oleh pihak laki-laki atau tamu dengan mengagunggungkan pihak perempuan.

(d) Famasao bola zangowalu, disini dengan sangat hati-hati serta hormat, memberikan seperengkat sirih yang di masukkan kedalam sebuah kantong (bola nafo) kepada pihak yang berhak yaitu, ina (ibu dari pengantin perempuan), iwa (istri dari salah seorang saudara kandung ayah pengantin perempuan), uwu (istri dari pihak paman), huwa (istri dari kakek), banua (salah seorang istri dari tokoh masyarakat sekitar dan mempunyai hubungan keluarga dengan pengantin dan Si’o atau penghubung yang terdiri dari Si’o narö gosali dan Si’o sanöröra lala).

(e) Fanetu huhuo dan fanika gera-era mböwö, ini dilaksanakan oleh para raja adat atau satua mbanua setelah membicarakan tentang hal böwö, maka diputuskan oleh fangetua huhuo dengan acara pengukuhan berupa höli-höli yang kemudian dilanjutkan dengan fanotoli mbosi dan berdasarkan ini dijelaskan jumlah jujuran (böwö) yang wajib dilunasi. Böwö yang sisa ini sesuai dengan falsafah suku Nias yaitu, hönö mböwö no awai, hönö mböwö so nasa, nila’a yawa bambuatö gosali (bila kelak orang tua dari pihak pentin perempuan meninggal dunia (ahele nasi) atau mendirikan rumah, atau mengawinkan anak, atau mendirikan satu kampung maka disitulah pengantin laki-laki ini membayar sisa böwö yang dimaksud). Fanika gera-era mböwö sebagian materinya yakni nasehat bagi pengantin pria (famotu sangowalu). Juga dijelaskan bagi sanak keluarga dan para sitenga bö’ö memberitahukan kepadapengantin laki-laki agar menghormati dan menghargai mereka seumur hidup. Pada saat ini dipergunakan alat berupa daun kelapa muda (lehe nohi) dan satu tempat air (fanefe idanö) yang dilakukan oleh seorang satua mbanua (pengetua adat). Dewasa ini pembayaran böwö pada acara fanika gera-era mböwö sudah mulai langka ditemukan dan dilaksanakan hanya pada pesta besar yang melakukannya seperti ono duha / ono mbawali (orang yang berada).

(f) Femanga yaitu makan bersama dengan pemberian sumange kepada uwu, tome, iwa, huwa, banua, sitenga bö’ö undangan, ono alawe atau fedono yang mendapatkan bagian berupa kaki depan babi lengkap sampai kuku ( ta’io).

(g) Fametou bene’ö, pada acara ini uwu bertindak untuk menggendong pengantin perempuan ( bene’ö) kemudian didudukkan pada tempat yang sudah disediakan. Dilanjut dengan penyerahan pengantin perempuan dari orang tua (g) Fametou bene’ö, pada acara ini uwu bertindak untuk menggendong pengantin perempuan ( bene’ö) kemudian didudukkan pada tempat yang sudah disediakan. Dilanjut dengan penyerahan pengantin perempuan dari orang tua

mbene’ö, merupakan acara pemberian gelar kepada pengantin perempuan oleh keluarga laki-laki dengan persetujuan dari pihak uwu. Setelah mendapat kata sepakat baru lahuhugö sebagai tanda pengesahan, mulai saat ini sebutan atau panggilan terhadap pengantin perempuan adalah gelar yang baru diberikan kepadanya. Selesai acara ini maka pihak pengantin laki-laki bersama pengantin perempuan berangkat kerumah pihak laki-laki. (i) Fame gö mbene’ö atau fame gö nono nihalö Kegiatan ini dilakukan setelah dua atau tiga hari pesta perkawinan. Pada acara ini pihak perempuan (ibu, saudarasaudara dan kerabat dekat) pergi kerumah laki-laki untuk melihat keadaan pengantin peremppuan dengan membawa makanan berupa seekor anak babi, dan makanan lainnya. Setelah tiba dirumah pihak laki-laki maka pihak perempuan dijamu makan dengan seekor babi, dan sewaktu berangkat pulang diberikan lagi seekor babi untuk ibu Orifitö nina biasanya babi tersebut seberat 60 – 70 kg (sazilo) dan kemudian diberikan uang dengan jumlah tidak ditentukan jumlahnya untuk dibagikan kepada orang yang ikut pada waktu itu ( awö zamasao’ö).

(j) Femanga gahe (famuli nucha), pada kegiatan ini kedua pengantin bersama keluarga pihak laki-laki datang kerumah orang tua perempuan dengan membawa seekor babi seberat 25-40 kg, serta membawa sebagian pakaian wanita yang tadinya hanya dipakai pada pesta bukan menjadi milik sendiri. Setibanya di rumah pihak perempuan mereka disambut dengan diberi makan (j) Femanga gahe (famuli nucha), pada kegiatan ini kedua pengantin bersama keluarga pihak laki-laki datang kerumah orang tua perempuan dengan membawa seekor babi seberat 25-40 kg, serta membawa sebagian pakaian wanita yang tadinya hanya dipakai pada pesta bukan menjadi milik sendiri. Setibanya di rumah pihak perempuan mereka disambut dengan diberi makan

3.1.6 Pertunjukan Tari Maena pada Pesta Pernikahan

Untuk melihat fungsi maena dalam konteks upacara perkawinan pada masyakarakat Nias di Kota Medan, akan lebih mudah mengetahui terlebih dahulu bagaimana proses dan tahap-tahap upacara adat perkawinan tersebut namun sebelum melihat bagaimana pertunjukannya maena pada pesta perkawinan, penulis menjelaskan bahwa biasanya di Nias sendiri upacara adat dilaksanakan di rumah pengantin perempuan dan tidak dengan menggunakan gedung khusus seperti wisma (bagi suku Batak Toba), jambur (Karo).

Hal ini pesta adat perkawinan masyarakat Nias yang tinggal di Kota Medan bisa juga dilakukan seperti halnya di daerah Nias sendiri namun dengan dilihat kondisi lingkungan dimana pelaksana upacara adat itu tinggal sangat tidak memungkikan untuk dilaksanakan upacara adat karena faktor seperti sarana tempat tinggal kurang memadai (tinggal di cost), sehingga pada pesta adat perkawinan masyarakat Nias di Kota Medan yang penulis teliti diselenggarakan di gedung serba guna atau wisma.

Tata cara jalannya upacara pesta adat perkawinan masyarakakat Nias yakni setelah pemberkatan yang dilangsungkan di gereja, kedua mempelai,

kelompok kerabat, berikut rombongan pengiring tiba dilokasi pesta. Setibanya di lokasi pesta,seorang protokol atau MC membacakan tata cara saat memasuki

Gambar: Pemimpin dalam nyanyian Maena

gedung. Namun bagi masyarakat Nias di Kota Medan sebelum masuk, pihak tome (tamu) menyanyikan lagu-lagu gerejawi dalam bahasa Nias ataupun dengan bahasa Indonesia. Mulai dari pemberkatan hingga nyanyian gerejawi terasa nilai-nilai ajaran Kristen begitu mempengeruhi bentuk upacara perkawinan ini, dimana ada fungsi adat yang digantikan dengan fungsi gereja, yaitu pengesahan oleh kelompok adat yaitu ere digantin dengan pemberkatan oleh pendeta.

Gambar: Para tamu yang menarikan Maena

(a) Fora’u tanga (salama-salaman). Setibanya di lokasi pesta pihak laki- laki, para ibu-ibu dan kerabat keluarga pihak mempelai wanita menyambut mereka dengan saling bersalam-salaman dengan tujuan menyambut para tamu karena sudah datang. Pada acara salam-salaman ini kedua mempelai berjalan kedepan dengan ditemi oleh kedua pendamping mempelai laki-laki dan perempuan, kemudian disusul oleh keluarga, family dan kerabat mempelai laki- laki. Pada saat pihak tamu sampai di lokasi pesta, pihak pengantin wanita

Gambar: Para tamu yang menarikan Maena

(sowatö) berada di depan menyambut kedatangan mempelai laki-laki. Kemudian setelah selesai salam-salaman, maka kedua mempelai wanita dan mempelai laki- laki dipersilah untuk duduk dipelaminan. Setelah dipersilahkan untuk duduk, pihak tome dan pihak sowatö berpisah tempatnya dimana mempelai wanita berada di posisi sebelah kiri dan mempelai laki-laki berada di sebelah kanan. Masing-masing elemen upacara terdiri dari: kedua mempelai berada di depan (sowatö) berada di depan menyambut kedatangan mempelai laki-laki. Kemudian setelah selesai salam-salaman, maka kedua mempelai wanita dan mempelai laki- laki dipersilah untuk duduk dipelaminan. Setelah dipersilahkan untuk duduk, pihak tome dan pihak sowatö berpisah tempatnya dimana mempelai wanita berada di posisi sebelah kiri dan mempelai laki-laki berada di sebelah kanan. Masing-masing elemen upacara terdiri dari: kedua mempelai berada di depan

(b) Fanunö (nyanyian gereja). Setelah kedua pihak telah dipersilahkan duduk dan semua kerabat maka diadakan nyanyian pembukaan berupa nyanyian gerejawi dimana bertujuan bahwa acara akan segera dimulai maka kedua belah pihak menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar pelaksanaan acara ini dapat berjalan dengan baikyang dipimpin oleh pendeta setempat. setelah acara ini selesai maka seorang protokal membacakan acara selanjutnya. Pada susunan acara perkawinan yang penulis teliti ini dilangsungkan berdasarkan kesepakatan kedua pihak. Kemudian acara fangowai dome dan fangowai zowatö. Pada acara fangowai dome dan faongawi zowatö ini tidak menggunakan alat musik pengiring dan bukan dalam konteks maena.

(c) Fame’e bola nafo. Pada acara ini pengantin laki-laki dengan sangat berhatihati menyerahkan bola nafo kepada ibu-ibu yang telah duduk dibagian depan ditempat yang telah disediakan yang terdiri dari: ina (ibu dari pengantin perempuan), iwa (istiri dari salah seorang saudara kandung ayah pengantin perempuan), uwu (istri dari pihak paman), huwa (istri dari kakek), banua (salah seorang istri dari tokoh masyarakat sekitar dan mempunyai hubungan keluarga dengan pengantin dan Si’o atau penghubung yang terdiri dari Si’o narö gosali dan Si’o samatörö lala). Pada acara fame’e afo pengantin laki-laki dalam pemberiannya harus tunduk dan tidak boleh berdiri karena dalam filsafah orang

Nia, pengantin laki-laki merupakan orang yang datang dari bawah (sanörö tou). Setelah penyerahan bola nafo, maka dipertunjukan maena yang merupakan bagian dari susunan acara pesta perkawinan. Pada pelaksanaan maena yang menjadi pembuka pertama ialah pihak perempuan. Dalam pertunjukan maena oleh pihak perempuan ini, maena yang dibawakan ialah maena wangowai dome. Pada maena ini seluruh pihak mempelai perempuan melakukan maena. Biasanya dalam pertunjukan budaya peserta maena adalah orang yang di panggil dari sanggar-sanggar budaya, namun dalam pesta adat perkawinwan masyarakat Nias ini tidak demikan tetapi yang menjadi peserta maena ialah orang-orang yang menjadi pelaksana daripada pesta adat tersebut. Setelah dipertunjukannya maena wangowai dome maka disusul dengan maena wangowai zowatö yang dilaksanakan oleh pihak laki-laki. Pada pertunjukanya tidak membatasi seberapa orang yang ikut dalam tarian ini namun tergantung daya tampung gedung atau halaman lokasi pesta tersebut dilangsungkan.

(d) Femanga (jedah). Pada acara ini pihak paman (uwu/sibaya) merupakan orang yang paling diharmati dan diberikan kepadanya daging babi yang berupa simbi dimana menandakan bahwa simbi ini merupakan bagian terhormat yang diberikan kepada seseorang pada suatu acara. Setelah berakhirnya jedah menjelang beberapa saat kemudian diteruskan dengan acara maena wangandrö sokono yang bertujuan meminta saweran atau pemberian pihak laki-laki kepada peserta maena yang dilaksanakan oleh pihak perempuan.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS ISI LIRIK LAGU-LAGU BIP DALAM ALBUM TURUN DARI LANGIT

22 212 2

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25