Penutupan Lahan Berdasarkan Kecamatan Tahun 2013
24 Tabel 7 Tabel penutupan lahan berdasarkan kecamatan di DAS Ciliwung
Hilir tahun 2013
Kecamatan Jenis Penutupan Lahan ha
Ruang Terbangun RTH
Badan Air Cempaka Putih
17.04 3.35
0.00 Gambir
125.17 7.40
7.22 Johar Baru
182.60 11.83
3.69 Kemayoran
476.39 47.72
8.06 Menteng
371.32 14.99
24.18 Sawah Besar
563.61 129.27
35.52 Senen
382.23 45.36
6.05 Pademangan
581.97 123.45
35.86 Tanjung Priok
352.85 55.81
97.41 Tamansari
167.40 21.79
0.00 Jatinegara
189.33 1.87
14.95 Kramat Jati
669.80 69.42
25.86 Matraman
135.57 1.08
1.51 Pasar Rebo
950.53 205.59
26.79 Jagakarsa
529.64 239.60
55.34 Pancoran
243.80 26.43
34.43 Pasar Minggu
390.09 86.67
61.97 Setiabudi
108.64 2.86
2.52 Tebet
730.90 65.08
27.71 Total
7 168.86 1 159.56
469.08
Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2013, diketahui bahwa Kecamatan Pasar Rebo merupakan kawasan dengan ruang terbangun terbesar
yaitu sebesar 950.53 ha 13.26. Hal ini disebabkan jumlah penduduk yang tergolong besar yaitu sebesar 200 352 jiwa menurut BPS dalam Pasar Rebo dalam
Angka 2014. Hal ini disebabkan peruntukkan Kecamatan Pasar Rebo sebagai wilayah pengembangan kawasan permukiman kepadatan rendah. Namun jika
dilihat berdasarkan tingkat kepadatan penduduk, Kecamatan Pasar Rebo tergolong wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi Lampiran 2. Hal ini
perlu diperhatikan karena beresiko terhadap daya dukung kawasan sebagai kawasan permukiman kepadatan rendah. Selain itu Kecamatan Pasar Rebo juga
diperuntukkan sebagai wilayah pengembangan kawasan perindustrian di wilayah Jakarta Timur menurut RTRW DKI Jakarta tahun 2010-2030. Tingginya aktivitas
industri mendorong pertumbuhan penduduk, sehingga berdampak pada semakin meningkatnya ruang terbangun di wilayah tersebut.
Berdasarkan hasil klasifikasi penutupan lahan tahun 2013, diketahui bahwa luas RTH terbesar terdapat di Kecamatan Jagakarsa dengan luas sebesar 239.60 ha
20.66. Hal ini disebabkan peruntukkan Kecamatan Jagakarsa sebagai wilayah pengembangan kawasan budidaya pertanian dan kawasan resapan air di wilayah
Jakarta Selatan menurut RTRW DKI Jakarta tahun 2010-2030. Namun berdasarkan nilai Indeks Penutupan Lahan IPL diketahui bahwa kondisi
penutupan lahan di Kecamatan Jagakarsa tergolong buruk IPL 30.00. Hal ini perlu diperhatikan karena akan berdampak pada kurangnya kemampuan lahan
dalam menyerap air akibat berkurangnya kawasan resapan air di wilayah tersebut. Dengan demikian perlu adanya peningkatan luas RTH tidak hanya di wilayah
Jagakarsa melainkan juga wilayah-wilayah lainnya di DAS Ciliwung Hilir, guna menanggulangi masalah kurangnya wilayah resapan air di DAS Ciliwung Hilir.
25
Gambar 17 Peta penutupan lahan di DAS Ciliwung Hilir Tahun 2013
26
Perubahan Penutupan Lahan Perubahan Penutupan lahan Periode 1993-2013
Dalam kurun waktu 1993-2013 terdapat lahan yang mengalami perubahan dan ada juga yang tetap atau tidak mengalami perubahan Lampiran 1. Luas
penutupan lahan yang tidak mengalami perubahan yaitu sebesar 5 419.98 ha 56.38. Sedangkan luas penutupan lahan yang mengalami perubahan yaitu 2
540.61 ha 26.42. Luas lahan yang tidak mengalami perubahan dari yang terbesar hingga terkecil adalah tetap ruang terbangun sebesar 4 604.22 ha
84.95, tetap RTH sebesar 689.85 ha 12.73, dan tetap badan air sebesar 125.91 ha 2.32. Jenis penutupan lahan yang tidak mengalami perubahan
terbesar berupa ruang terbangun. Hal ini disebabkan peruntukkan wilayah yang tergolong sebagai wilayah perkotaan. Hal ini terkait dengan fungsi utama kawasan
perkotaan sebagai wilayah non pertanian, sehingga menyebabkan tingginya intensitas ruang terbangun di wilayah tersebut. Sementara itu luas lahan yang
mengalami perubahan dari yang terbesar hingga terkecil adalah ruang terbangun menjadi RTH sebesar 325.44 ha 12.81, ruang terbangun menjadi badan air
sebesar 121.05 ha 4.76, RTH menjadi ruang terbangun sebesar 1 780.11 ha 70.07, RTH menjadi badan air sebesar 189.72 ha 7.47, dan badan air
menjadi ruang terbangun sebesar 70.83 ha 2.79 dan badan air menjadi RTH sebesar 53.46 ha 2.10.
Jenis penutupan lahan yang mengalami perubahan terbesar berupa RTH menjadi ruang terbangun. Hal ini disebabkan meningkatnya
jumlah penduduk yang berdampak pada tingginya laju perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di wilayah tersebut.
Perubahan Penutupan lahan dari RTH menjadi Ruang Terbangun
Berdasarkan peta perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun periode 1993-2013, diketahui bahwa dalam kurun waktu tersebut
hampir seluruh wilayah di lokasi penelitian mengalami perubahan. Perubahan lahan terutama terjadi pada RTH yang beralih fungsi menjadi ruang terbangun
sebesar 1 780.11 ha 70.07. Gambar di bawah ini menunjukkan persentase luas kawasan yang mengalami perubahan penutupan lahan RTH menjadi ruang
terbangun dari yang terkecil hingga terbesar berdasarkan kecamatan.
Gambar 18 Persentase luas RTH menjadi ruang terbangun per kecamatan periode 1993-2013
0,04 0,09 0,38 0,44 0,54 0,57 0,63 0,75 0,84 1,52 2,3 3,01 4
4,92 6,34 10,88
10,95 18,7
33,08
5 10
15 20
25 30
35
RTH menjadi Ruang Terbangun luas
27 Berdasarkan hasil peta perubahan penutupan lahan diketahui bahwa
Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu merupakan 3 kecamatan dengan perubahan RTH ke ruang terbangun yang paling tinggi. Pada Kecamatan
Pasar Rebo telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 589.20 ha 33.08. Dari total luas perubahan tersebut kawasan dengan
luas perubahan lahan terbesar di Kecamatan Pasar Rebo yaitu Kelurahan Pekayon sebesar 196.27 ha 33.31. Pada Kecamatan Jagakarsa telah terjadi perubahan
lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 333.08 ha 18,70. Dari total luas perubahan tersebut kawasan dengan luas perubahan lahan terbesar di
Kecamatan Jagakarsa yaitu Kelurahan Tanjung Barat sebesar 179.84 ha 53.99. Pada Kecamatan Pasar Minggu telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi
ruang terbangun sebesar 195.07 ha 10.95. Dari total luas perubahan tersebut kawasan dengan luas perubahan lahan terbesar di Kecamatan Pasar Minggu yaitu
Kelurahan Pejaten Timur sebesar 166.83 ha 85.53.
Perubahan lahan terutama terjadi di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu, terutama disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk.
Peningkatan jumlah penduduk dapat dilihat berdasarkan data kependudukan di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu pada tahun 1993, 2000, 2010,
2011, 2012 dan 2013 dari BPS DKI Jakarta. Pada tahun 1993 Kecamatan Pasar Rebo tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar 109 252 jiwa, pada tahun 2000
berjumlah 150 120 jiwa, pada tahun 2010 berjumlah 190 851 jiwa, pada tahun 2011 berjumlah 191 947 jiwa, pada tahun 2012 berjumlah 197 935 jiwa dan pada
tahun 2013 berjumlah 200 352 jiwa. Pada tahun 1993 Kecamatan Jagakarsa tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar 92 957 jiwa, pada tahun 2000
berjumlah 120 178 jiwa, pada tahun 2010 berjumlah 190 851 jiwa, pada tahun 2011 berjumlah 191 947 jiwa, pada tahun 2012 berjumlah 197 935 jiwa, dan pada
tahun 2013 berjumlah 165 371 jiwa. Pada tahun 1993 Kecamatan Pasar Minggu tercatat memiliki jumlah penduduk sebesar 78 296 jiwa, pada tahun 2000
berjumlah 76 314 jiwa, pada tahun 2010 berjumlah 89 829 jiwa, pada tahun 2011 berjumlah 95 910 jiwa, pada tahun 2012 berjumlah 96 296 jiwa dan pada tahun
2013 berjumlah 96 949 jiwa.
Besarnya jumlah penduduk berdampak pada tingginya kepadatan penduduk di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu Lampiran 2. Menurut
Paimin et al. 2012 dalam Wahyuni 2013, salah satu parameter yang mencerminkan tekanan penduduk terhadap suatu lahan atau wilayah adalah
kepadatan penduduk. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, maka semakin tinggi pula tekanan terhadap lahan. Oleh karena itu tingkat kepadatan penduduk di
ketiga wilayah tersebut perlu diperhatikan karena akan beresiko pada meningkatnya perubahan lahan, sehingga menyebabkan terganggunya fungsi
ekologis ketiga wilayah tersebut sebagai daerah aliran sungai.
Perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun di Kecamatan Pasar Rebo, Jagakarsa dan Pasar Minggu juga disebabkan oleh pembagian zona
perencanaan kawasan dalam RTRW dan RDTR. Pada periode 1993-2013 telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 48.03 di
Kecamatan Pasar Rebo. Perubahan lahan tersebut tidak sesuai dengan peruntukkan pengembangan zona wilayah di Kecamatan Pasar Rebo sebagai
wilayah pengembangan kawasan budidaya pertanian dan kawasan terbuka hijau dalam RTRW DKI Jakarta tahun 1990-2010 dan RTRW DKI Jakarta tahun 2010-
28 2030. Selain itu menurut Rencana Detail Tata Ruang RDTR Jakarta tahun 2014,
Kecamatan Pasar Rebo termasuk zona permukiman kepadatan sedang-tinggi Lampiran 3. Hal ini dapat dilihat dari kawasan permukiman kepadatan sedang
yang mendominasi wilayah ini, khususnya di Kelurahan Pekayon. Pada periode 1993-2013 telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun
sebesar 38.69 di Kecamatan Jagakarsa. Perubahan lahan tersebut tidak sesuai dengan pengembangan zona wilayah di Kecamatan Jagakarsa sebagai wilayah
pengembangan kawasan budidaya pertanian dan kawasan terbuka hijau dalam RTRW DKI Jakarta Tahun 1990-2010 dan RTRW DKI Jakarta tahun 2010-2030.
Selain itu menurut Rencana Detail Tata Ruang RDTR Jakarta tahun 2014, Kecamatan Jagakarsa termasuk zona kawasan permukiman kepadatan sedang-
tinggi Lampiran 4. Hal ini dapat dilihat dari kawasan permukiman kepadatan sedang-tinggi yang mendominasi wilayah ini, khususnya di Kelurahan Tanjung
Barat. Pada periode 1993-2013 telah terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun sebesar 35.82 di Kecamatan Pasar Minggu. Perubahan lahan
tersebut tidak sesuai dengan pengembangan zona wilayah di Kecamatan Pasar Minggu sebagai kawasan budidaya pertanian, kawasan resapan air dan kawasan
terbuka hijau dalam RTRW DKI Jakarta Tahun 1990-2010 dan RTRW DKI Jakarta tahun 2010-2030. Selain itu menurut Rencana Detail Tata Ruang RDTR
Jakarta tahun 2014, Kecamatan Pasar Minggu termasuk zona permukiman kepadatan sedang-tinggi Lampiran 5. Hal ini dapat dilihat dari kawasan
permukiman kepadatan sedang-tinggi yang mendominasi wilayah ini, khususnya di Kelurahan Pejaten Timur. Perubahan lahan dari RTH menjadi ruang terbangun
pada periode 1993-2013 yang tidak sesuai dengan arahan RTRW sebagai kawasan budidaya pertanian, kawasan resapan air, dan kawasan RTH perlu diperhatikan
karena berpotensi menimbulkan perubahan lahan menjadi ruang terbangun yang semakin luas. Hal ini akan berdampak pada terganggunya fungsi ekologis
kawasan tersebut sebagai daerah aliran sungai. Selain itu RDTR yang ada saat ini belum mengimplementasikan RTRW sebagai kawasan budidaya pertanian,
kawasan resapan air, dan kawasan RTH, oleh karena itu perlu adanya evaluasi lebih lanjut terhadap RDTR yang ada khususnya tentang rencana detail RTH. Hal
ini perlu diperhatikan agar tercipta keselarasan antara RDTR dan RTRW dalam hal rencana RTH di ketiga kecamatan terpilih.
Karakteristik Permukiman
Permukiman di lokasi terpilih terdiri dari permukiman terencana dan permukiman tidak terencana. Menurut pedoman teknis tata cara pemilihan lokasi
prioritas untuk pengembangan perumahan dan permukiman di kawasan perkotaan Dinas PU, permukiman terencana adalah permukiman yang dibangun dengan
suatu aturan yang jelas sehingga membentuk tata bangunan yang memiliki pola yang teratur, umumnya dibangun oleh pihak pengembang developer. Sedangkan
permukiman tidak terencana adalah permukiman yang dibangun secara informal yaitu permukiman yang dibangun oleh individu tanpa mengikuti aturan yang
berlaku sehingga membentuk tata bangunan yang cenderung tidak memiliki pola yang teratur. Karakteristik permukiman dapat dilihat berdasarkan pola
permukiman, ukuran permukiman, kepadatan permukiman dan infrastruktur permukiman di dalamnya.
29 Berdasarkan hasil analisis perubahan penutupan lahan dari RTH menjadi
ruang terbangun, diperoleh 3 wilayah yang paling banyak mengalami perubahan terutama menjadi kawasan permukiman Kelurahan Pekayon, Tanjung Barat, dan
Pejaten Timur. Saat ini ketiga wilayah tersebut didominasi oleh permukiman tidak terencana sebesar 236.52 ha 87.23. Sedangkan permukiman terencana
sebesar 30.96 ha 12.77. Berdasarkan hasil analisis perubahan penutupan lahan, diperoleh sampel permukiman yaitu permukiman tidak terencana yang berlokasi
di RW 02 Kelurahan Pekayon, RW 01 Kelurahan Tanjung Barat, dan RW 05 Kelurahan Pejaten Timur. Sedangkan pada permukiman terencana diperoleh
sampel yaitu Komplek Tanjung Mas Estate Kelurahan Tanjung Barat dan Komplek Batu Permata Kelurahan Pejaten Timur Lampiran 6.
Karakteristik Permukiman Tidak Terencana 1.
Pola permukiman
Berdasarkan hasil analisis pola permukiman dengan menggunakan software Google Earth
diketahui bahwa di ketiga lokasi yaitu pada RW 02 Kelurahan Pekayon, RW 01 Kelurahan Tanjung Barat dan RW 05 Kelurahan Pejaten
Timur memiliki pola permukiman yang linier memanjang. Bangunan rumah pada umumnya berorientasi pada jalan dan sebagian besar bangunan rumah
merupakan bangunan permanen.
Gambar 19 Pola permukiman tidak terencana di lokasi terpilih Pola permukiman pada permukiman tidak terencana di lokasi terpilih
memiliki pola permukiman linier memanjang dan berorientasi pada jalan. Pada pola permukiman ini unit-unit rumah dibangun secara memanjang mengikuti arah
jalan. Pola permukiman memanjang pada jalan terutama dipengaruhi oleh jaringan jalan yang telah ada. Hal ini terkait dengan kemudahan akses yang diperoleh jika
membangun permukiman di sepanjang jalan. Selain itu topografi juga mempengaruhi pola permukiman memanjang. Hal ini dikarenakan topografi
kawasan di lokasi terpilih relatif datar, sehingga memungkinkan untuk membangun permukiman di kawasan tersebut.