Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya Landasan Teori 1. Pendekatan Fungsi Produksi

finansial dan ekonomi, tingkat penerimaan petani, kontribusi terhadap pendapatan asli daerah PAD, dan lain-lain. Usaha tani pola CLS dikatakan memenuhi dimensi sosial-budaya, bila pola tersebut dapat mendukung pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan, terjadi pemerataan pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, serta terdapat akuntabilitas serta partisipasi masyarakat. Dengan demikian atribut sosial-budaya yang dapat mencerminkan keberlanjutan dari dimensi ini antara lain adalah pemahaman masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan, bekerja dalam kelompok, frekuensi penyuluhan dan pelatihan dan lain-lain. Karena kondisi yang demikian akan mampu mendorong ke arah keadilan sosial dan mencegah terjadinya konflik kepentingan. Oleh karena itu pengelolaan sumberdaya yang berbasis pada masyarakat lokal harus dapat dipertahankan. Dari uraian sebelumnya, semakin jelas bahwa tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan pola CLS bersifat multidimensi multiobjective yaitu mewujudkan kelestarian sustainability baik secara ekologis, ekonomi, dan sosial-budaya. Implikasinya memang menjadi kompleks jika dibandingkan dengan usaha tani pola monokultur yang hanya mengejar produksi pertanian. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pertanian terpadu pola CLS ini antara lain: meningkatkan produktivitas gabah dan daging, meningkatkan populasi ternak sapi, meningkatkan pendapatan petani dan pendapatan daerah, meningkatkan produktivitas dan kelestarian lahan, meningkatkan lapangan kerja baru dengan mengolah kompos, meningkatkan keharmonisan kehidupan sosial dan menyehatkan lingkungan.

2.2.5. Hasil-hasil Penelitian Sebelumnya

Beberapa hasil penelitian usaha tani pola CLS yang telah dilakukan masih terbatas melakukan analisis kelayakan secara finansial. Pertama kali penelitian pola CLS dilakukan di Batumarta, Sumatera Selatan tahun 1985 dimana penerapan model tanaman- ternak selama tiga tahun meningkatkan pendapatan petani sebesar US1.500 KKtahun, dimana tiap KK memiliki lahan 2 hektar tanaman pangan dan satu ekor sapi Puslitbang Pangan dan Puslitbang Peternakan, dalam Diwyanto et al 2001. Kontribusi hasil ternak terhadap total pendapatan masih rendah yaitu 10 sedangkan dari tanaman pangan 71,7 dan sisanya berasal dari pendapatan lainnya, dibandingkan dengan pola konvensial maka pola CLS mampu meningkatkan pendapatan bersih petani sebesar 36 CRIFC, 1995 dalam Devendra, et al, 1997. Hasil penelitian Pramono et al 2001 pola integrasi padi - sapi potong pembibitan dengan hasil pendapatan usaha tani padi lahan irigasi di Kabupaten Banyumas, Purworejo, Pati, Boyolali dan Grobogan per tahun rata-rata Rp. 2,455 jutaha dan pendapatan dari usaha tani sapi potong pembibitan dengan pola introduksi sebesar Rp.1,183 juta per periode 13 bulan. Dengan demikian penerapan integrasi padi – sapi potong mampu memberikan tambahan pendapatan petani. Hasil penelitian di Philipina menunjukkan bahwa dengan menerapkan CLS, maka usaha dari ternak sapi mampu memberikan kontribusi lebih dari 50 terhadap pendapatan usaha tani dan lebih dari 20 terhadap pendapatan keluarga. Pola CLS di lahan irigasi di Mindanao meningkatkan pendapatan per tahun dari US 570hektar menjadi US 767hektar Guy, 1995 dalam Devendra, et al, 1997. Hasil penelitian di Pulau Luzon tahun 1986-1988 pola CLS pada lahan kering dengan pemberian pakan konsentrat untuk ternak sapi mampu meningkatkan pendapatan petani dari US 935hektar menjadi US 1.232hektar. Hasil penelitian di Thailand menunjukkan usaha ternak pada lahan kering mampu meningkatkan pendapatan usaha tani dari US 518 pada tahun 1983 menjadi US 715 pada tahun 1986 Devendra, et al, 1997. Sedangkan penelitian di Ban Donpondaeng Thailand usaha tani pola CLS dengan kepemilikan rata-rata 4,8 ekor sapi menunjukkan hasil pada tahun kedua mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar 18.151 bahtKK dari 12.728 bahtKK dan kepemilikan rata-rata 7,5 ekor sapi pada tahun kedua mampu meningkatkan pendapatan 39.982 bahtKK dari 24.972 bahtKK, dimana US1= 26.5 Bath Bromani, 1985 dalam IRRI, 1986. Mersyah. R. 2005 melakukan penelitian di Kabupaten Bengkulu Selatan menggunakan pendekatan konsep pembangunan berkelanjutan sistem budidaya sapi potong, yang bersangkutan menyusun nilai indeks keberlanjutan dengan metode MDS disimpulkan bahwa pengembangan sapi potong di Bengkulu Selatan termasuk dalam kategori “kurang” berkelanjutan.

III. METODE PENELITIAN