Representasi Pesan Tradisi Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas Likas

(1)

REPRESENTASI PESAN BUDAYA KARO DALAM

FILM 3 NAFAS LIKAS

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

GITA FIOLANDA GRESIA 110904104

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, puji dan syukur peneliti panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya peneliti ini dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulisan skripsi yang berjudul “Representasi Pesan Tradisi Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas Likas” ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan

yang harus dilengkapi dalam memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya merupkan hasil pembelajaran yang peneliti terima selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Sumatera Utara. Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti banyak mendapat saran, bimbingan dan arahan baik dari segi moril maupun materi serta dorongan semangan dari berbagai pihak yang sangan berguna bagi saya.

Secara khusus saya ingin mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua peneliti, Ayahanda Drs. Grensi Kembaren dan Ibunda Dra. Pesta Ria Barus serta kedua saudara Feba Kembaren dan Gerika Kembaren yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan dan nasehat yang bijaksana bagi peneliti. Ucapan terimakasih lainnya saya ingin sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, MA selaku ketua Departemen Ilmu Komunikasi

3. Ibu Dra. Dayana, Msi selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas segala bantuan serta dukungannya yang sangat berguna dan bermanfaat bagi peneliti.

4. Bapak Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasehat dan saran luar biasa bagi peneliti selama pengerjaan skripsi ini.


(3)

5. Kepada Ketua Penguji dan Penguji Utama yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini hingga akhirnya bisa menjadi lebih baik lagi.

6. Seluruh Dosen dan Staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing mulai dari semester awal hingga saya menyelesaikan perkuliahan dikampus dengan ilmu ilmu yang luar biasa

7. Sahabat-sahabat spesial peneliti Sebrina, Putri M, Mira, Deasy, Juwita, Putri, Henny, Retika, Sera, Febe, Fey, Nika, Anke, Redno, Tommy dan yang lainnya yang tidak bisa peneliti sebutkan satu-persatu disini. Terimakasih telah memberikan banyak dukungan dan bantuan kepada peneliti.

8. Kepada David Barus yang tidak pernah jenuh memberi semangat dan motivasi kepada peneliti.

9. Teman-teman Ilmu Komunikasi berbagai stambuk terutama teman seperjuangan stambuk 2011 yang senantiasa menjadi teman terbaik bagi saya dan member motivasi sehingga peneliti terus semangat mengerjakan skripsi ini hingga selesai.

Menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, peneliti memohon maaf sebesar-besarnya. Dan peneliti sangat menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk perbaikan dan pendorong peneliti untuk dapat semakin maju. Semoga skripsi ini dapat menambah khasanah pengetahuan kita semua. Amin.

Medan, April 2015 Peneliti


(4)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Gita Fiolanda Gresia

NIM : 110904104

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-eksklusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Representasi Pesan Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas Likas. Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, untuk mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memp[ublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Medan, April 2015


(5)

REPRESENTASI PESAN BUDAYA KARO DALAM FILM 3 NAFAS LIKAS

Oleh:

Gita Fiolanda Gresia Ilmu Komunikasi

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Representasi Pesan Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas

Likas”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui representasi dan makna pesan tradisi

budaya karo yang terkandung dalm film 3 Nafas Likas berdasarkan tanda-tanda yang muncul pada film tersebut. Film sebagai representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksi nilai-nilai budaya tertentu didalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu : Paradigma Konstruktivis, Komunikasi Massa, Semiotika Roland Barthes, Representasi, serta Komunikasi Antar Budaya. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes berupa signikasi dua tahap (two order of signification); denotasi dan konotasi, yang kemudian dibagi dalam penanda, petanda, level donotasi dan level konotasi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa film 3 nafas likas merupakan film yang mengangkat budaya karo sebagai latar budayanya. Sekitar 10 persen adegan di film 3 Nafas Likas ini menggunakan dialog dalam bahasa karo. Segmentasi film ini adalah masyarakat yang menggemari film tokoh perjuangan dan masyarakat karo itu sendiri. Pesan yang ingin disampaikan agar penonton bisa kembali mengingat dan mengenang setiap jasa pahlawan untuk dijadikan motivasi, cerminan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tidak melupakan budaya yang berkembang dilingkungan kita.

Kata kunci :


(6)

REPRESENTASI PESAN BUDAYA KARO DALAM FILM 3 NAFAS LIKAS

by:

Gita Fiolanda Gresia Communication Science

ABSTRACK

This research titled “Representasi Pesan Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas

Likas”. The purpose of this research was to determine the representation and meaning of cultural messages contained in the 3 Nafas Likas movie by signs that appear in that movie. The movie as a cultural representation not only construct a particular cultural values within itself, but also about how the values are produced and how that value is consumed by people who watch the movie. In this research , researchers used some relevant theory : Constructivist Paradigm, Mass Communication, Semiotics Roland Barthes, Representation, and Intercultural Communication. This research uses a semiotic analysis of the significance of Roland Barthes form two stages (two orders of signification);; denotation and connotation, which is then divided into markers, markers, donotasi level and the level of connotation. denotation and connotation, which is then divided into markers, markers, donotasi level and the level of connotation. The results of this study found that 3 Nafas Likas movie is a movie that raised karo culture as cultural background. Approximately 10 % t of the scenes in the 3 Nafas Likas movie uses Karo language dialogue. Segmentation of this movie is the public who enjoyed the movie about leaders and karonese community. The message that the audience can remember every heroes sacrifice for our country to be used as motivation, reflection in the life of the nation by not forgetting our culture that flourished in the environment


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Konteks Masalah ... 1

1.2Fokus Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 4

1.4Manfaat Penelitian ... 4

BAB II PARADIGMA & TEORI KOMUNIKASI 2.1Kajian Penelitian Terdahulu ... 6

2.2Paradigma Kajian ... 9

2.3Teori Film ... 12

2.3.1 Perkembangan Teori Film ... 12

2.3.2 Pengertian Film ... 14

2.3.3 Jenis-jenis Film ... 17

2.3.4 Unsur-unsur Film ... 18

2.3.5 Tujuan dan Pengaruh Film ... 22

2.3.6 Film Sebagai Representasi Budaya ... 23

2.4Semiotika ... 25

2.5.1Semiotikan Roland Barthes ... 30

2.5.2Semiotika Dalam Film ... 33

2.5.3Semiotika komunikasi Visual ... 38

2.5 Komunikasi Antar Budaya ... 46

2.5.1Unsur-Unsur Budaya ... 46

2.5.2Pesan Tradisi Budaya Dalam Suatu Film ... 48

2.7 Representasi Dalam Sebuah Film ... 49

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1Metode Penelitian ... 53

3.2Subjek dan Objek Penelitian ... 53

3.3Unit Analisis ... 53

3.4Teknik Pengumpulan Data ... 54

3.5Keabsahan Data... 54


(8)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Gambaran Umum Film 3 Nafas Likas ... 56

4.2Penyajian Data ... 57

4.3Analisis Data ... 60

4.3.1Analisis Scene Pertama ... 60

4.3.2Analisis Scene Kedua ... 66

4.3.3Analisi Scene Ketiga ... 71

4.3.4Analisis Scene Keempat ... 76

4.3.5Analisis Scene Kelima ... 81

4.3.6Analisis Scene Keenam ... 86

4.3.7Analisis Scene Ketujuh ... 90

4.4 Mitos Dan Temuan Analisis Data ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan ... 100

5.2Saran ... 101

DAFTAR REFERENSI ... 103 LAMPIRAN

- Biodata Peneliti


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Teknik Dalam Pengambilan Gambar ... 45

Tabel 2 Tabel Proses Representasi fiske ... 51

Tabel 3 Teknik Dalam Menyunting Gambar ... 58

Tabel 4 Ikon Scene Pertama ... 62

Tabel 5 Ikon Scene Kedua... 67

Tabel 6 Ikon Scene Ketiga ... 72

Tabel 7 Ikon Scene Keempat... 77

Tabel 8 Ikon Scene Kelima ... 83

Tabel 9 Ikon Scene Keenam ... 87


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kategori Tipe Tanda dari Pierce ... 28

Gambar 2 Peta Tanda Roland Barthes ... 32

Gambar 3 Scene Pertama ... 60

Gambar 4 Scene Kedua ... 67

Gambar 5 Scene Ketiga ... 70

Gambar 6 Scene Keempat ... 76

Gambar 7 Scene Kelima ... 81

Gambar 8 Scene Keenam ... 87


(11)

REPRESENTASI PESAN BUDAYA KARO DALAM FILM 3 NAFAS LIKAS

Oleh:

Gita Fiolanda Gresia Ilmu Komunikasi

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Representasi Pesan Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas

Likas”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui representasi dan makna pesan tradisi

budaya karo yang terkandung dalm film 3 Nafas Likas berdasarkan tanda-tanda yang muncul pada film tersebut. Film sebagai representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksi nilai-nilai budaya tertentu didalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu : Paradigma Konstruktivis, Komunikasi Massa, Semiotika Roland Barthes, Representasi, serta Komunikasi Antar Budaya. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes berupa signikasi dua tahap (two order of signification); denotasi dan konotasi, yang kemudian dibagi dalam penanda, petanda, level donotasi dan level konotasi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa film 3 nafas likas merupakan film yang mengangkat budaya karo sebagai latar budayanya. Sekitar 10 persen adegan di film 3 Nafas Likas ini menggunakan dialog dalam bahasa karo. Segmentasi film ini adalah masyarakat yang menggemari film tokoh perjuangan dan masyarakat karo itu sendiri. Pesan yang ingin disampaikan agar penonton bisa kembali mengingat dan mengenang setiap jasa pahlawan untuk dijadikan motivasi, cerminan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tidak melupakan budaya yang berkembang dilingkungan kita.

Kata kunci :


(12)

REPRESENTASI PESAN BUDAYA KARO DALAM FILM 3 NAFAS LIKAS

by:

Gita Fiolanda Gresia Communication Science

ABSTRACK

This research titled “Representasi Pesan Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas

Likas”. The purpose of this research was to determine the representation and meaning of cultural messages contained in the 3 Nafas Likas movie by signs that appear in that movie. The movie as a cultural representation not only construct a particular cultural values within itself, but also about how the values are produced and how that value is consumed by people who watch the movie. In this research , researchers used some relevant theory : Constructivist Paradigm, Mass Communication, Semiotics Roland Barthes, Representation, and Intercultural Communication. This research uses a semiotic analysis of the significance of Roland Barthes form two stages (two orders of signification);; denotation and connotation, which is then divided into markers, markers, donotasi level and the level of connotation. denotation and connotation, which is then divided into markers, markers, donotasi level and the level of connotation. The results of this study found that 3 Nafas Likas movie is a movie that raised karo culture as cultural background. Approximately 10 % t of the scenes in the 3 Nafas Likas movie uses Karo language dialogue. Segmentation of this movie is the public who enjoyed the movie about leaders and karonese community. The message that the audience can remember every heroes sacrifice for our country to be used as motivation, reflection in the life of the nation by not forgetting our culture that flourished in the environment


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Konteks Masalah

Film 3 Nafas Likas adalah sebuah film yang menggambarkan tentang kebudayaan. Film ini merupakan sebuah film Indonesia yang diproduksi oleh Oreima Films dan diarahkan oleh peraih sutradara terbaik Piala Citra 2013, Rako Prijanto (Sang Kiai, Ungu Violet, D'Bijis), serta berdasarkan naskah garapan Titien Watimena. Dibintangi oleh Atiqah Hasiholan, Vino G. Bastian, Tuti Kirana, Marissa Anita, Mario Irwinsyah. Film ini mengambil lokasi di beberapa kota di Sumatera Utara, Jakarta dan Ottawa, Kanada. 3 Nafas Likas merupakan film yang berdasarkan kisah nyata seorang tokoh bernama Likas Tarigan, yang kemudian lebih dikenal sebagai Likas Gintings, istri dari Let.Jend. Djamin Gintings. Kisah dalam film ini berlatar beberapa periode waktu, mulai dari era 1930'an hingga ke tahun 2000. Juga melalui beberapa kejadian penting di Indonesia, mulai dari perang kemerdekaan, pergolakan revolusi di era 1960'an, hingga masa kejayaan perekonomian Indonesia. Cerita dalam film ini berlatar di tiga lokasi; tujuh kota di Sumatera Utara, Jakarta, hingga ke Ottawa, Kanada.

Film ini bercerita tentang seorang perempuan istimewa bernama Likas (Atiqah Hasiholan), yang menjalani kehidupan luar biasa. Likas kemudian berhasil meraih berbagai pencapaian dan keberhasilan, karena ia memegang teguh tiga janji yang pernah diucapkannya kepada tiga orang terpenting dalam hidupnya. Janji-janji itulah yang selalu berada di setiap tarikan nafasnya. Nafas yang memberikan ruh dan semangat dalam setiap tindakan, serta keputusannya. Keputusan yang lahir atas janjinya untuk terus berjuang dan berlandaskan kerinduannya akan cinta. Sebuah kisah yang melontarkan sebuah pertanyaan, Untuk Siapa Kau Bernafas?

Cerita dalam film ini berlatar di daerah Karo, Sumatera Utara mulai dari periode waktu 1930'an hingga ke masa kini, maka tim produksi Oreima Films melakukan riset ke beberapa kota di Sumatera Utara demi mendapatkan keotentikan budaya, tempat dan adat istiadat seperti yang ingin ditampilkan di filmnya. Dalam proses riset inilah, didapatkan fakta bahwa budaya Tanah Karo


(14)

yang menjadi latar kisah 3 Nafas Likas berbeda dari budaya Batak dan kota Medan, yang selama ini sering ditampilkan di beberapa produksi.

Sekitar 10 persen adegan di film 3 Nafas Likas menggunakan dialog dalam Bahasa Karo. Meski demikian, tim produksi berusaha sesempurna mungkin menghadirkan budaya Karo sehingga taste-nya tidak lari dari keadaan sebenanrnya. Film ini akan mengikuti perjalanan Likas beru Tarigan, mulai dari masa revolusi di Sibolangit, hingga kesertaannya mengikuti sang suami, Djamin Gintings, bertugas di Ottawa, Kanada. Karena rentang periode dan banyaknya

setting tempat yang digunakan, maka tim produksi menyadari akan ada perubahan rengget (cengkok) atau bahkan kosakata.

Demi memerankan karakter yang berasal dari Karo, Atiqah Hasiholan dan Vino Bastian melewati satu proses pelatihan bahasa, meliputi: pelatihan dialek, aksen, hingga pelafasan untuk mendapatkan keotentikan. Setting waktu yang terbentang dari era 1930'an hingga 2000, juga membuat mereka akan melalui beberapa fase perubahan penampilan fisik.

Film 3 nafas likas merupakan salah satu film Indonesia yang memiliki unsur kebudayaan yang kental. Representasi budaya karo yang dihadirkan dalam film tersebut membuat film ini terlihat lebih menarik karena film 3 nafas likas merupakan film berunsur kebudayaan karo pertama di Indonesia. Graeme Turner mengungkapkan bahwa film tidak hanya sekedar refleksi dari realitas. Sebaliknya”Film lebih merupakan representasi atau gambaran dari realitas, film

membentuk dan ”menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya. ” (Sobur, 2006 : 127).

Pembuatan film tidak hanya terinspirasi dari sebuah budaya namun saat ini film justru dapat menciptakan budaya baru. Littlejohn (409:2009) menjelaskan bahwa lingkungan tiruan yang dibentuk media memberitahu apa yang harus kita lakukan. Lingkungan ini membentuk selera, pilihan, kesukaan, dan kebutuhan kita. Oleh sebab itu, nilai-nilai dan perilaku sebagian besar orang sangat dibatasi oleh “realitas” yang disimulasikan dalam media. Kita mengira bahwa kebutuhan pribadi kita terpenuhi, tetapi kebutuhan ini sebenarnya adalah kebutuhan yang disamakan yang dibentuk oleh penggunaan tanda-tanda dalam media.


(15)

Cerita atau skenario yang ditampilkan dalam suatu film dapat mengekspresikan kebudayaan dan unsur-unsur dari berbagai kebudayaan lain. Koentjaranigrat (2004:2) menyebutnya sebagai unsur kebudayaan universal yang meliputi : sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Adapun wujud budaya yaitu kebudayaan ideal, sistem sosial, dan kebudayaan fisik.

Bagaimana pun hubungan yang terjalin antara film dan budaya, representasi di sini harus dilihat sebagai upaya menyajikan ulang sebuah realitas. Dalam usaha ini, film tidak akan pernah disajikan sebagai realitas aslinya. Film sebagai repesentasi budaya hanyalah sebagai second hand reality. Maksudnya, film tersebut sudah di konstruksi oleh pembuat film, sedangkan first hand reality

itu merupakan realitas yang nyata dalam masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh adanya “sentuhan” dan cara pandang sutradara yang turut mempengaruhi bagaimana pesan dalam sebuah film disajikan.

Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode analisis semiotika Roland Barthes. Semiotika adalah suatu bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang (Alex Sobur, 2006 : 11). Metode analisis semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis media dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda tersebut tidak pernah membawa makna tunggal (Alex Sobur, 2002 : 95).

Fokus dalam penelitian ini adalah mengkaji aspek budaya yang disampaikan dan tercermin dalam sebuah film. Penulis bermaksud untuk meneliti lebih jauh lagi nilai-nilai tradisi budaya karo yang terepresentasi dalam film 3 Nafas Likas, serta apa makna tersirat dari representasi tersebut. Film 3 Nafas Likas merupakan Film pertama di Indonesia yang mengangkat tentang Budaya Karo. Karena itu penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai representasi tradisi budaya karo dalam film 3 Nafas Likas.

Selain itu film 3 Nafas Likas ini juga penting untuk diteliti mengingat film sebagai media komunikasi massa mengemban sejumlah fungsi atau peran penting. Media sering sekali sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja


(16)

dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalm pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif, media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang diburkan dengan berita dan hiburan (McQuail (1987:83), dalam Rahmat, 2004, Metode Penelitian Komunikasi, hlm.127).

1.2Fokus masalah

Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan diatas, maka peneliti

merumuskan fokus masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah representasi pesan budaya karo dalam film 3 Nafas Likas?”

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui representasi budaya karo yang ditampilkan dalam film 3 Nafas Likas.

2. Untuk mengetahui makna pesan budaya karo yang terkandung dalam film 3 Nafas Likas.

3. Untuk mengetahui bagaimana film 3 Nafas Likas menyerap budaya karo sebagai realitas sosial

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut 1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah penelitian komunikasi dan mampu memberikan konstribusi positif terhadap perkembangan ilmu mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa ilmu komunikasi FISIP USU


(17)

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini untuk menerapkan ilmu yang sudah didapat selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta diharapkan mampu menambah pengetahuan dan memperluas wawasan, bahan masukan dan referensi yang bermanfaat dalam pengembangan penelitian Ilmu Komunikasi, khususnya bagi pengembangan penelitian yang berkaitan dengan makna pesan budaya dalam sebuah film dan kajian-kajian komunikai antarbudaya yang ditampilkan dalam sebuah film. 3. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini, diharapkan bisa memberikan pemahaman bahwa budaya dapat direpresentasikan dalam sebuah film dan memberikan pemaknaan pesan budaya pada penonton film 3 Nafas Likas.


(18)

BAB II

PARADIGMA DAN TEORI KOMUNIKASI

2.1 Kajian Penelitian Terdahulu

Kajian penelitian terdahulu merupakan salah satu referensi yang diambil peneliti. Melihat hasil karya ilmiah para peneliti terdahulu yang mana ada dasarnya peneliti mengutip beberapa pendapat yang dibutuhkan oleh penelitian sebagai pendukung penelitian. Tentunya dengan melihat hasil karya ilmiah yang memiliki pembahasan serta tinjauan yang sama.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian analisis tekstual dengan pendekatan studi semiotika. Untuk pengembangan pengetahuan, peneliti akan terlebih dahulu menelaah penelitian mengenai semiotika. Hal ini perlu dilakukan karena suatu teori atau model pengetahuan biasanya akan diilhami oleh teori dan model yang sebelumnya. Selain itu, telaah pada penelitian terdahulu berguna untuk memberikan gambaran awal mengenai kajian terkait dengan masalah dalam penelitian ini.

Setelah peneliti melakukan tinjauan pustaka pada hasil terdahulu, ditemukan beberapa penelitian tentang representasi budaya dalam film. Berikut ini adalah penelitian mengenai representasi budaya dalam film :

Nama : Rr. Windhy Prameswari

Metode : Kualitatif Studi Semiotika Roland Barthes

Judul Penelitian : Representasi Budaya Jepang dalam Kimono Geisha

(Analisis Semiotik pada Film “Memoirs of a Geisha”)

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang 2009 Melalui penelitian terhadap film Memoirs Of A Geisha ini, peneliti mencoba membongkar dan memahami makna sekaligus pesan dibalik tanda-tanda budaya yang direpresentasikan. Untuk itulah metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotic dengan pendekatan subyektif interpretative. Dimana dengan metode semiotika Roland Barthes peneliti mendapatkan peluang yang cukup besar untuk mengkaji makna dibalik tanda. Melalui proses


(19)

pemaknaan denotasi dan konotasi dari penanda dan petanda tersebut diharapkan dapat mengungkapkan mitos dibalik fenomena sebuah film yang luput dari perhatian .

Representasi budaya Jepang dalam film MOG dari hasil analisis data yang telah diteliti ternyata memiliki tendensi untuk memberikan interpretasi negatif, dimana banyak terdapat mistifikasi didalam tayangannya. Film tersebut dinilai sebagai sebuah kritikan keras sutradara (Amerika) dalam memandang legenda sebuah budaya (sosok geisha) yang absurb, diperlihatkan pula bahwa mizuage

dalam budaya Jepang adalah „sesuatu‟ yang bisa diperdagangkan. Sekali lagi

penonton dihadapkan pada pilihan ambigu dengan pemahaman profesinya yang masih saja mengambang tanpa batasan yang jelas. Selain itu terdapat pula beberapa unsur propaganda yang dengan sengaja telah dibentuk oleh sutradara sebagai jerat ideologi kekuasaan dan kekuatan media yang mengatur apa dan bagaimana penonton berpikir.

Dari penelitian tersebut terdapat beberapa kesimpulan yakni dalam hal ini Amerika tidak berusaha meluruskan anggapan miring tentang fenomena geisha, namun sebaliknya dengan sengaja telah memberikan pandangan subyektif (dari sudut pandang Amerika) dalam melihat budaya Jepang, dengan kata lain wacana tentang fenomena geisha hanyalah sebuah „umpan‟ bagi media provokasi Amerika. Dengan demikian sutradara telah membentuk pesan budaya yang homogen, dimana penonton tidak mendapatkan kesempatan dalam menilai dan memahami makna representasinya secara sadar, wacana akan geisha dinilai sebagai suatu kesesatan pemikiran terhadap masalah pelacuran yang legal dilakukan oleh bangsa Jepang.

Nama : Rahmi Dafiza

Judul Penelitian : Representasi Budaya Seni Rongggeng Dalam Film Sang Penari

Program Studi : Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro 2012 Dalam penelitian ini mengkaji tentang kebudayaan berupa tarian ronggeng yang hampir hilang setelah kejadian keracunan massal tempe bongkrek di kampung Dukuh Paruh yang mengakibatkan banyak penerus kebudayaan leluhur


(20)

tersebut meninggal yang diperankan oleh tokoh utama Prisia Nasution (Srintil). Menurut hasil analisis peneliti dalam film ini diperoleh tanda kebudayaan yang ditampilkan dalam bentuk adegan tari-tarian, kehidupan budayanya serta lirik lagunya. Pada penelitian ini yang menggunakan delapan analisis semiotik Roland Barthes dalam menganalisis tanda.

Nama : Edwina Ayu Dianingtyas

Metode yang digunakan : Kualitatif Studi Semiotika Judul Penelitian : Representasi Perempuan Jawa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Diponogoro 2010

Mengetahui representasi perempuan Jawa dan untuk menjelaskan gagasan-gagasan dominan yang ingin disampaikan oleh film R.A Kartini yang berkaitan dengan persoalan Ideologi. Penelitian Edwina Ayu Dianingtyas lebih condong meneliti ketidakadilan gender dalam budaya Jawa yang identic dengan ideology patriaki. Ideologi patriaki dalam film R.A Kartini ditampilkan melalui budaya poligami, penggunaan bahasa dalam kebudayaan Jawa.

Nama : PARAMESWARI PRIMADITA

Metode : Semiotika Roland Barthes

Judul Penelitian : REPRESENTASI BUDAYA MISTIS KUNTILANAK DALAM FILM KUNTILANAK( Studi Analisis Semiotik Representasi Budaya Mistis Yang Ada Dalam Film Kuntilanak )

Penelitian ini menaruh perhatian pada masalah budaya mistis Kuntilanak

yang ada dalam film “Kuntilanak ( 2006 )“ Budaya mistis ini adalah Mistis Non -Keagamaan yang masih sering ditemukan dalam lingkup masyarakat. Hal-hal berbau mistis non-keagamaan yang terdapat didalam film ini antara lain; Pesugihan, Kuntilanak, pemakai durma Jawa yang memiliki kekuatan mistis, unsur kesuraman dan ketakutan. penafsiran terhadap mimpimimpi menurut penafsiran Jawa. Metode dalam penelitian ini bersifat analisis semiotic, yaitu penelitian kualitatif dengan cara merepresentasikan tanda-tanda di film


(21)

Semiotik film adalah ilmu yang mengkaji tanda-tanda yang terdapat pada film ini menggunakan teori Roland Barthes mengenai mitos dan kerangka analisis semiotik pada film menurut John Fiske. Tehnik pengumpulan data memakai tehnik dokumentasi dan pengamatan secara langsung terhadap beberapa scene dalam film.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa memang benar adanya praktekpraktek, serta pemikiran dan ideology Mistis Non-Keagamaan yang berkembang dalam masyarakat kita. Dimana praktek-praktek dan ideology tersebut justru meng-arahkan individu pada perbuatan-perbuatan yang jauh melenceng dari norma ke-Tuhanan, serta kemasyrakatan dan hati nurani yang ada. Kesimpulan yang dihasilkan dari film ini masih banyaknya budaya mistisme yang berkembang di penjuru Nusantara dan bahwa mistisme itu amat mempengaruhi pola pikir masyarakat kita.

2.2Paradigma Konstruktivisme

Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interprestasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalu bagaimana cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2009:107).

Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.

Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu mengintrepretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak mengambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang


(22)

terhadap realitas tersebut. Teori konstruktivisme dibangun berdasarkan teori yang ada sebelumnya, yaiyu konstruksi pribadi atau konstruksi personal (personal construct) oleh George Kelly. Iya menyatakan bahwa orang memahami pengalamannya dengan cara mengelompokkan berbagai peristiwa menurut kesamaannya dan membedakan berbagai hal melalui perbedaannya (Littlejohn 2009: 180).

Paradigma konstrukivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dama perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam 3 jenis , yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadapa paradigm positivis. Menurut paradigm konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog

interpretative. Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan definisi sosial (Eriyanto 2004:13)

Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorang yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya.

Paradigma konstruktivis dipengaruhi oleh perspektif interaksi simbolis dan perspektif struktural fungsional. Perspektif interaksi simbolis ini mengatakan bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut


(23)

dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga memantapkan realitas itu secara objektif (Weber, 2006:56).

Paradigma Konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teori-teoritisi aliran konstruktivis. Littlejohn mengatakan bahwa Paradigma konstruktivis berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya (Wibowo, 2011: 27).

Paradigma dalam penelitian semiotika banyak mengacu pada paradigma konstruktivis, meski sejumlah penelitian lainnya menggunakan paradigma kritis namun paradigma konstruktivis lebih relevan jika digunakan untuk melihat realitas signifikannya objek yang diteliti,dari paradigma konstruktivis dapat dijelaskan melalui empat dimensi seperti diutarakan oleh (Hidayat dalam Wibowo, 2010: 28) sebagai berikut:

1. Ontologis: relativism, relaitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.

2. Epstemologis: transactionalist/subjectivist, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti.

3. Axiologis: Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjebatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.

4. Metodologis: menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti, melalui metode-metode kualitatif seperti participant observasion. Kriteria kualitas penelitian authenticity

dan revlectivty: sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas yang di hayati oleh para pelaku sosial.


(24)

2.3. Teori Film

2.3.1 Perkembangan Teori

Rudolph Arnheim, salah satu tokoh pemikir, mengacu kepada adanya potensi perubahan dari pembuatan film dari aslinya, dikarenakan adanya pilihan framing, sudut kamera, dan pencahayaan. Maka, proses pengeditan menjadi akar dari teori ini.

Lev Kuleshov melakukan eksperimen dengan mengedit rekaman bersama-sama dengan cara yang berbeda untuk menentukan dampak pada penonton. Hal itu menunjukkan bahwa penonton menjadi penentu hubungan dari bidikan satu ke bidikan lainnya.

Sergei Eisenstein berpendapat bahwa potensi tertinggi dalam pengeditan terletak pada tabrakan gambar yang berbeda untuk menghasilkan ide-ide baru.

André Bazin dan Siegfried Kracauer menjelaskan bahwa film tidak memproduksi dunia yang telah dikenal oleh penonton, tetapi mengungkapkan apa yang tidak diketahui sebelumnya oleh penonton. Dalam hal pengeditan, teori realis juga tidak sepaham dengan teori formatif. Bazin percaya bahwa jika sebuah film harus diedit, maka harus mengalami pengeditan yang berkelanjutan, di mana tindakan pengeditan dibagi persusunannya, lalu kemudian disusun kembali. Oleh karena itu, Bazin menyukai pendekatan sinematik yang mengambil take panjang, yaitu membidik seluruh adegan dalam satu bidikan yang terus-menerus dengan fokus yang nampak sama. Bazin menekankan bahwa para pembuat film harus bebas saat membuat film dengan melakukan berbagai pendekatan sinematik, bukan menenakankan pengeditan.

Setelah itu, banyak teori bermunculan, teori ini dikembangkan dari ilmu sosial, misalnya teori lingusitik oleh Ferdinand de Saussure dan teori psikoanalisis oleh Jacques Lacan. Teori ini juga harus dipahami dalam konteks sejarah, bahwa film diproduksi sesuai lingkungan sosialnya, misalnya tentang hak-hak sipil, hak perempuan, dan gerakan antiperang pada zaman tersebut. Ide-ide tradisional tentang gender dan seksualitas juga menjadi tantangan dalam film.

Hingga muncul teori baru, Teori Marxis dan Teori Film Feminis. Marxisme merupakan tantangan kapitalisme, sedangkan feminisme merupakan tantangan patriarki, yang sama-sama menjadi ideologi dominan dalam budaya


(25)

pada saat itu. Marxisme mendukung untuk mengakhiri penindasan kaum miskin dan kelas pekerja, sementara feminisme mendukung untuk mengakhiri penindasan perempuan. Kedua perspektif tersebut digunakan dalam berbagai kritik pada film. Teori ini dianggap dapat mendorong kelanjutan ideologi penindasan dalam struktur-struktur lainnya, sehingga mereka hanya dianggap sebagai koreksi dalam perfilman.

Setelahnya, Teori Film sekali lagi berubah arah. Teori baru menolak asumsi dasar dari teori materialis, namun secara implisit mengakui kekakuan sistematis yang mereka bawa ke studi tentang film. Teori baru ini dicontohkan pada karya Gilles Deleuze. Film sebagai bahasa sistem atau kode yang harus dipecahkan untuk menemukan makna yang tersembunyi di dalamnya. Deleuze berpendapat bahwa film sebagai gambar dan suara yang kompleks.

1930-an, Teori Formatif, yaitu:

Film bukan sekedar rekaman gambar, karena adanya potensi perubahan dari pembuatan film dari aslinya, dikarenakan adanya pilihan framing, sudut kamera, dan pencahayaan, maka, proses pengeditan menjadi akar dari teori ini. meskipun teori film dari masa pergantian abad melalui tahun 1930-an berbeda-beda sesuai fokus dari tokoh pemikir masing-masing, tetapi mereka menekankan pada perubahan sebuah film dikarenakan alat-alat yang ada.

1945-an (Setelah Perang Dunia II), Teori Realis, yaitu:

Kualitas film terletak pada kemampuannya menangkap hal-hal yang nyata dan realis film tidak memproduksi dunia yang telah dikenal oleh penonton, tetapi mengungkapkan apa yang tidak diketahui sebelumnya oleh penonton. pembuat film harus bebas saat membuat film dengan melakukan berbagai pendekatan sinematik, bukan menenakankan pengeditan.

1960-an, Teori Materialis, yaitu:

Tindakan dan kesadaran manusia dibentuk oleh materi sebagai kekuatan pokok yang ada di luar kendali individu. Teori dikembangkan dari ilmu sosial, misalnya teori lingusitik oleh Ferdinand de Saussure dan teori psikoanalisis oleh Jacques Lacan. film diproduksi sesuai lingkungan sosialnya, misalnya tentang hak-hak sipil, hak perempuan, dan gerakan antiperang pada zaman tersebut


(26)

Setelah 1970-an, Teori Marxis dan Teori Film Feminis, marxisme merupakan tantangan kapitalisme, sedangkan feminisme merupakan tantangan patriarki, yang sama-sama menjadi ideologi dominan dalam budaya pada saat itu

Teori ini dianggap mendorong kelanjutan ideologi penindasan dalam struktur-struktur lainnya, sehingga mereka hanya dianggap sebagai koreksi dalam perfilman. 1980-an, Teori Film kembali berubah arah, yaitu:

Menolak asumsi dasar dari teori materialis, namun mengakui kekakuan sistematis film. film sebagai bahasa sistem atau kode yang harus dipecahkan untuk menemukan makna yang tersembunyi di dalamnya. film sebagai gambar dan suara yang kompleks.

2.3.2 Pengertian Film

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, film berarti (1) selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambaran positif (yang akan dimainkan dalam bioskop), (2) lakon (cerita) gambar hidup (KBBI, 2002: 316). Film adalah gambar hidup dari seonggok seluloid dan dipertontonkan melalui proyektor. Di mana sekarang produksi film tidak hanya menggunakan pita seluloid (proses kimia) tetapi memanfaatkan tegnologi video (proses elektonik) namun keduanya tetap sama yaitu merupakan gambar hidup (Sumarno, 1994: 4). Film merupakan gambar bergerak yakni bentuk dominan dari komunikasimassa visual dibelahan dunia ini. Kemampuaan film yang melukiskan gambar hidup dan suara menjadikan daya tarik tersendiri.

Film atau gambar hidup, bioskop dalam bahasa inggris disebut Moving Pictures, moving pictures or cinema, yaitu serentetan gambar hasil proyeksi pada film diatas layar, ialah gambar foto benda atau makluk (obyek) pada taraf-taraf gerak yang diproyeksikan sedemikian cepatnya, sehingga menurut penangkapan mata merupakan rentetan gerak yang tidak terputus. Pemotretan berentet ini dilakukan tahun 1870 dan diperbaiki oleh penemuan-penemuan Thomas A. Edision dan kakak adik Lumiere. Film bioskop ini adalah jenis film teatrikal (threatical film) (Kusnawan, Et,al: 99). Isi dari film akan dikembangkan kalau sarat akan simbol-simbol atau pengertian, dan dapat mengsosialisasikan suatu


(27)

maksud dari film tersebut di kehidupan sehari-hari. Dengan demikian film akan sangat diterima di dalam kehidupan manusia.

Film adalah media komunikasi massa yang kedua muncul di dunia setelah surat kabar, mempunyai masa pertumbuhan pada akhir abad ke-19. Pada awal perkembangannya, film tidak seperti surat kabar kabar yang mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhan pada abad ke-18 dan pemulaan abad ke-19 (Sobur, 2004: 126).

Meskipun dunia perfilman mengalami kemunduran, namun menurut Garin Nugroho, sinema Amerika pasca 1970-an mampu mengalami kebangkitan kembali, yang justru dibangkitkan oleh generasi televisi.

Seiring dengan kebangkitan film, maka muncul film-film yang mengumbar seks, kriminal dan kekerasan. Inilah yang kemudian melahirkan berbagai studi komunikasi massa. Sayangnya, perkembangan awal studi komunikasi beberapa dekada, paradigma yang mendominasi dampak media. Selama beberapa dekade, paradikma yang mendominasi penelitian komunikasi

tidak jauh beranjak dari “model komunikasi mekanistik”, yang pertama kali

diasumsikan oleh Shanon dan Weaver. Komunikasi selalu diasumsikan oleh paradikma ini sebagai entitas pasif dalam menerima pengaruh dari media massa.

Film merupakan gambar bergerak yakni bentuk dominan dari komunikasi massa visual dibelahan dunia. Film atau motion pictures ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Film yang pertama kali diperkenalkan kepada publik Amerika Serikat adalah The Life Of An American Fireman dan film The Gread Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S. Porter pada tahun1903 (Ardianto, 2004: 134). Tetapi The Gread Train Robbery yang masa putarannya hanya 11 menit dianggap sebagai film cerita pertama, karena telah menggambarkan situasi secara ekspresif, serta peletak dasar teknik editing yang baik.

Tahun 1906 sampai tahun 1916 merupakan periode paling penting dalam sejarah perfilman di Amerika Serikat, karena pada dekade ini lahir film feature, lahir pula bintang film serta pusat perfilman yang terkenal sebagai Hollywood. Periode ini juga disebut sebagai the of age Griffith karena David Wark


(28)

Griffith-lah yang teGriffith-lah membuat film sebagai media yang dinamis. Diawali dengan film The Adventure Of Dolly (1908) dan puncaknya film The Birith of a Nation (1915) serta film Intolerance (1916). Griffith mempelopori gaya berakting yang lebih alamiah, organisasi berita yang baik dan yang paling utama mengangkat film sebagai media yang memiliki karakteristik unik, dengan gerakan-gerakan kamera yang dinamis, sudut pengambilan yang baik, dan teknik editing yang baik pula (Ardianto, 2004: 135).

Pada periode ini pula nama Mack Senneet dengan Keystone Company-nya yang telah membuat film comedi bisu dengan bintang legendaris Charlie Caplin apabila film permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927 di Broadway Amerika Serikat muncul film bicara yang pertama meskipun dalam keadaan belum sempurna sebagaimana yang dicita-citakan. Menurut perfilman di Indonesia, film pertama di negeri ini berjudul Lely Van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh seseorang yang bernama David. Film ini disusun oleh Eulis Atjih produksi Kruenger Corporation pada tahun 1927/1928. Sampai pada tahun1930 film yang disajikan masih merupakan film bisu, dan yang mengusahakannya adalah orang-orang Belanda dan Cina (Effendy, 1981: 201).

Film bicara yang pertama berjudul Terang Bulan yang dibintangi oleh Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah penulis Indonesi Saerun. Pada saat perang Asia Timur Raya dipenghujung tahun 1941, perushaan perfilman yang diusahakan oleh orang Belanda dan Cina itu berpindah tangan kepada pemerintah Jepang, diantaranya adalah NV. Muliti Film yang diubah nama menjadi Nippon Eiga Sha, yang selanjutnya memproduksi film Feature dan film Dokumenter. Jepang telah memanfaatkan film untuk media informasi dan propaganda. Namun tatkala Bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekannya, maka pada tanggal 6 Oktober 1945 Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Effendy, pada Komala dalam Karlinah, dkk. (1999) menyebutkan bahwa serah terima dilakukan oleh Ishimoto dari pihak Pemerinta militer Jepang kepada R.M Soetarto yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia. Sejak tanggal 6

Oktober 1945 lahirlah Berita Film Indonesia atau BFI. Bersama dengan pindahnya Pemerintah Republik Indonesia dari Yogyakarta, BFIpun pindah dan


(29)

bergabung dengan perusahaan milik negara, yang pada akhirnya berganti nama menjadi Perusahaan Film Nasional.

2.3.3. Jenis-jenis Film

Jenis-jenis film pada dasarnya dapat dikelompokan sebagai berikut: 1.Film cerita

Film cerita (story film) adalah jenis yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat dalam film cerita biasanya berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari segi alur ceritanya maupun dari segi gambar artistiknya. Misalnya film Janur Kuning, Serangan Umum 1 Maret dan lain sebagainya.

2.Film berita

Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah penting dan menarik. Jadi berita juga harus penting atau menarik atau penting sekaligus menarik. Film beritanya bisu, pembaca berita yang membicarakan narasinya. Bagi peristiwa-peristiwa tertentu, peran, kerusuhan, pemberontakan dan lain sebagainya film berita yang dihasilkan kurang baik. Dalam hal ini terpenting adalah peristiwanya terekam secara utuh.

3. Film dokumenter

Film dokumenter (documentary film) didevinisikan oleh Robert Flaherty sebagaimana yang dikutip oleh Andianto dan Erdinaya (2004: 137-139) adalah karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatmen of actuality). Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyatan, maka film dokumenter merupakan hasil interprestasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut. Misalnya, seorang sutradara ingin membuat film dokumenter mengenai para pembatik di kota Pekalongan, maka ia akan membuat naskah yang ceritanya bersumber pada kegiatan para pembatik seharihari dan sedikit merekayasanya agar dapat menghasilkan kualitas film cerita dengan gambar yang lebih baik.


(30)

4. Film kartun

Film kartun (cartoon film) dibuat untuk konsumsi anak-anak. Dapat dipastikan, kita semua mengenal tokoh Donal Bebek (Donald Duck), Putri Salju (Snow White), Miki Mouse (Mickey Mouse) yang diciptakan oleh seniman Amerika Serikat Walt Disney (Andiyanto dan Erdinaya, 2004: 139-140).

2.3.4. Unsur-unsur Film 1.Sutradara

Sutradara merupakan pionir pembuatan film tentang bagaimana yang harus tampak oleh penonton. Tanggung jawabnya meliputi aspek-aspek kreatif, baik interpretatif maupun teknis dari sebuah produksi film. Selain mengatur laku didepan kamera dan mengarahkan akting serta dialog, sutradara juga mengontrol posisi kamera beserta gerak kamera, suara dan pencahayaan. Disamping itu sutradara menjadi penyumbang hasil akhir sebuah film.

2. Skenario

Skenario adalah naskah yang disusun dalam bentuk literer sebagai landasan bagi penggarapan suatu produksi. Dalam dunia perfilman, skenario

dinamakan jugan “shooting script” lengkap dengan dialog-dialog dan istilah teknis sebagai instruksi kepada kerabat kerja seperti juru kamera, juru suara, juru cahaya, dan lain-lain (Effendi, 1989: 321). Skenario film disebut juga screen atau script yang diibaratkan seperti cetak biru insinyur atau kerangka bagi tubuh manusia.

3. Penata Fotografi

Penata fotografi atau juru kamera adalah tangan kanan dari sutradara dalam kerja lapangan. Ia bekerja sama untuk menentukan jenis-jenis shot, termasuk menentukan jenis-jenis lensa. Selain itu, juga menentukan diafragma kamera dan mengatur lampu-lampu untuk mendapatkan efek pencahayaan yang maksimal. Selain itu juga juru kamera melakukan tugas pembingkaian. Dalam pelaksanaan tugasnmya, seorang juru kamera juga membuat komposisi-komposisi dari subyek yang hendak direkam.


(31)

4.Penata artistik

Tata artistik berarti penyusunan segala sesuatu yang melatar belakangi cerita film, yakni mengangkat pemikiran tentang setting. Yang dimaksud setting

adalah tempat-tempat waktu berlangsungnya cerita film. Oleh karena itu, sumbangan yang dapat diberikan seorang penata artistik kepada produksi film sangatlah penting. Seorang penata artistik boleh memiliki kecendrungan, namun bukan gaya yang harus tunduk pada tuntunan cerita atau pengarahan sutradara. Seorang artistik bertugas sebagai penterjemah konsep visual sutradara kepada pengertian-pengertian visual dan segala hal yang mengelilingi aksi di depan kamera, dilatar depan bagaimana di latar belakang.

5. Penata Suara

Sebagai media audio visual, pengembangan film sama sekali tidak boleh hanya memikirkan aspek visual, sebab suara juga merupakan komponen aspek kenyataan hidup dalam sebuah film. Itu sebabnya perkembangan teknologi perekaman suara untuk film tidak bisa diabaikan. Tata suara dikerjakan di studio suara. Tenaga ahlinya disebut penata suara yang tugasnya dibantu oleh tenaga-tenaga pendamping, seperti perekaman suara di studio maupun di lapangan. Perpaduan unsur-unsur suara ini nantinya akan menjadi jalur suara yang letaknya bersebelahan dengan jalur gambar dalam hasil akhir film yang nantinya akan dipersiapkan diputar di gedunggedung bioskop.

6. Penata musik

Musik sejak dahulu sangatlah penting untuk mengiringi sebuah film. Dalam era film bisu, sudah ada usaha-usaha untuk mempertunjukan film dengan iringan musik hidup. Para pemusik bersiap di dekat layar dan akan memainkan musik pada adeganadegan tertentu. Perfilman Indonesia memiliki penata musik yang handal, yaitu Idris Sardi. Beliu berulangkalin meraih piala citra untuk tata musik terbaik. Tugas terpenting seorang penata musik adalah untuk menata paduan bunyi (bukan efek suara) yang mampu menambah nilai dramatik seluruh cerita film.


(32)

7. Pemeran

Pemeran atau aktor adalah orang yang memerankan suatu tokoh dalam sebuah cerita film. Pemeran mengekspresikan tingkah laku tidak lepas dari tuntunan sutradara dan naskah scenario.

8. Penyuting

Penyuting disebut juga editor yaitu orang yang bertugas menyusun hasil shoting sehingga membentuk rangkaian cerita sesuai konsep yang diinstruksikan seorang sutradara dalam sebuah film

9. Editor

Editor bertugas menysun hasil syuting hingga membentuk rangkaian cerita. Seorang editor berkerja dibawah pengawasan seorang sutradara tanpa mematikan kreatifitas, sebab tugas dari seorang editor berdasarkan konsepsi. Editor akan menyusun segala materi di meja editing menjadi pemotongan kasar

(rought cut) dan pemotongan halus (tine cut). Hasil pemotongan halus disempurnakan lagi dan akhirnya ditransfer bersama suara dengan efek-efek transisi optik untuk menunjukkan waktu maupun adegan.

Dilihat dari segi teknis, unsur-unsur film terdiri dari: 1. Audio (Dialog dan Sound Effect)

a. Dialog berisikan kata-kata, dialog dapat digunakan untuk menjelaskan perihal tokoh atau peran, menggerakkan plot maju dan membuka fakta. b. Sound Effect adalah bunyi-bunyian yang digunakan untuk melatar belakangi sebuah adegan yang berfungsi sebagai penunjang sebuah gambar untuk membentuk nilai dramatik dan dramatika sebuah adegan dalam film.

2. Visual

a. Angle kamera dibedakan menurut karakteristik dari gambar yang dihasilkan ada tiga yaitu:

1) High Angle, yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih tinggi dari objek. Hal ini akan memberikan kepada penonton sesuatu kekuatan atau rasa superioritas.

2) Low Angle, yaitu yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih rendah dari objek. Hal ini akan membuat seseorang nempak


(33)

kelihatan mempunyai kekuatan yang menonjol dan akan kelihatan kekuasaannya.

3) Straight Angle, yaitu sudut pengambilan gambar yang normal, biasanya ketinggalan kamera setinggi dada dan sering digunakan pada acara yang gambarnya tetap. Mengesankan situasi yang normal, bila mengambil Straight Angle secara zoom in menggambarkan ekspresi wajah objek atau pemain dalam memainkan karakternya, sedangkan pengambilan Straight Angle secara zoom out menggambarkan secara menyeluruh ekspresi gerak tubuh dari objek atau pemain.

b. Pencahayaan/Lighting adalah tata lampu dalam film. Ada 2 macam pencahayaan yang dipake dalam suatu produksi film yaitu Natural Light (Matahari) dan Artifical Light (Buatan). Jenis pencahayaan antara lain:

1) Front Lighting/cahaya depan yaitu pencahayaan yang merata dan tampak natural atau alami.

2) Side Lighting/cahaya samping Yaitu pencahayaan subjek lebih terlihat dinamis, biasanya banyak dipake untuk menonjolkan suatu benda karakter seseorang.

3) Back Lighting/cahaya belakang Yaitu pencahayaan yang menghasilkan bayangan dan dimensi.

4) Mix Lighting/cahaya campuran Pencahayaan yang merupakan gabungan dari gabungan ketiga pencahayaan sebelumnya, efek yang dihasilkan lebih merata dan meliputi setting yang mengelilingi objek. c. Teknik Pengambilan Gambar Pengambilan gambar atau perlakuan

kamera juga merupakan salah satu hal yang penting dalam proses penciptaan visualisasi simbolik yang terdapat dalam film. Proses tersebut akan dapat mempengaruhi hasil gambar yang diinginkan, apakah ingin menampilkan karakter tokoh, ekspresi wajah dan setting yang ada dalam sebuah film.

d. Setting Setting adalah tempat atau lokasi untuk mengambil sebuah visual dalam pembuatan film.


(34)

2.3.5. Tujuan dan Pengaruh Film

Film mempunyai tujuan, selain dapat memasukkan pesanpesan juga mengandung unsur hiburan, informasi dan pendidikan. Film sebagai media komunikasi mempuyai tujuan transmission of values (penyebaran nilai-nilai). Tujuan ini disebut dengan sosialisasi. Sosialisasi ini mengacu pada cara, dimana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok.

Film memberikan dapat memberikan pengaruh yang sangat besar sekali pada jiwa manusia. Dalam suatu proses menonton sebuah film, terjadi suatu gejala yang disebut oleh ilmu jiwa sosial sebagai identifikasi psikologi (Kusnawan, et al, 2004: 93). Alasan khusus mengapa seseorang lebih suka menonton film dari pada membaca buku, karena di dalam film terdapat unsur usaha manusia untuk mencari hiburan dan meluangkan waktu karena film bersifat hidup dan memikat. Alasan utama seseorang menonton film yaitu untuk memberi nilai-nilai yang memperkaya batin. Setelah seseorang menyaksikan film, maka seseorang tersebut akan memanfaatkan dan mengembangkan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas kehidupan nyata yang dihadapi. Jadi film dapat dipakai penonton untuk melihat hal-hal di dunia ini dengan pemahaman baru (Sumarno, 1996: 22).

Film sebagai salah satu media komunikasi massa yang memiliki kapasitas untuk memuat pesan yang sama secara serempak dan mempnyai sasaran yang beragam dari agama, etnis, status, umur, dan tempat tinggal dapat memainkan peranan sebagai saluran penarik untuk pesan-pesan tertentu dari dan untuk manusia. Dengan melihat film kita dapat memperoleh informasi dan gambar tentang realitas tertentu, realitas yang sudah diseleksi (Asep S. Muhtadi dan Sri Handayani, 2000: 95).

Film disadari maupun tidak disadari dapat mengubah pola kehidupan seseorang. Terkadang ada seseorang yang ingin meniru gaya hidup dari meniru kehidupan yang dikisahkan dalam sebuah film. Terkadang seseorang meniru atau menyamakan seluruh pribadinya dengan salah seorang pemeran film. Pengaruh sebuah film diantaranya:

1. Pesan yang terdapat dalam adegan-adegan film akan membekas dalam jiwa penonton, gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologi.


(35)

2. Pesan film dengan adegan-adegan penuh kekerasan, kejahatan, dan pornografi, apabila ditonton dengan jumlah banyak akan mengundang keprihatinan bayak pihak. Sajian tersebut memberikan dampak buruk dan kecemasan bagi gaya hidup manusia modern. Kecemasan tersebut berasal dari keyakinan bahwa isi film seperti itu akan mempengaruhi efek moral, psikologi, dan sosial yang sangat merugikan, khususnya pada generasi muda dan akan menimbulkan anti sosial.

3. Pengaruh terbesar yang ditimbulkan film yaitu imitasi atau peniruan. Peniruan yang diakibatkan oleh anggapan bahwa apa yang dilihatnya wajar dan pantas untuk dilakukan setiap orang. Jika film yang isinya tidak sesuai dengan norma budaya bangsa (seperti seks bebas, penggunaan narkoba) dikonsumsi oleh penonton remaja, maka remaja generasi muda Indonesia bisa rusak (Aep Kusnawan, 2004, 95).

2.3.6 Film sebagai Representasi Budaya

Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid.

Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dapat diartikan dalam dua pengertian. Pertama, film merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang digunakan untuk menyimpan gambar negatif dari sebuah objek. Kedua, film diartikan sebagai lakon atau gambar hidup.

Film sebagai media komunikasi merupakan sebuah kombinasi antara usaha penyampaian pesan malalui gambar yang bergerak, pemanfaatan teknologi kamera, warna dan suara. Unsur-unsur tersebut didukung oleh suatu cerita yang


(36)

mengandung suatu pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara kepada khalayak film.

Film merupakan media komunikasi massa memiliki beberapa fungsi komunikasi (Effendy,212:1981) sebagai berikut :

a. Hiburan

Fungsi film sebagai hiburan bermaksud menghibur sasaran utamanya dengan isi cerita film, geraknya, keindahannya, suara, dan sebagainya agar penonton mendapat kepuasan psikologis. Film-film seperti inilah yang banyak dihadirkan di bioskop-bioskop, maupun dalam format video compact disc (VCD) dan digital versatile disc (DVD). Film jenis inilah yang menjadi objek dagang para produser dan dunia industri film.

b. Pendidikan

Film pendidikan atau sering disebut film ilmiah adalah film yang berisi uraian atau penjelasan ilmiah tentang suatu objek untuk mendapatkan pengetahuan dengan taraf yang lebih tentang subjek tersebut.

c. Penerangan

Film penerangan adalah film yang memberikan penjelasan kepada penonton tentang suatu hal atau masalah, agar penonton menjadi mengerti atau paham tentang hal tersebut dan dapat melaksanakannya.

d. Propoganda

Film propaganda adalah film dengan sasaran utama untuk mempengaruhi penonton, agar penonton merima atau menolak sesuatu ide atau barang, membuat senang atau tidak senang kepada sesuatu , sesuai dengan keinginan si propogandis. Film propaganda biasanya digunakan untuk kampanye politik atau promosi barang dagangan.

Di dalam sebuah film terkandung pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara. Penonton harus bisa menyaring pesan dan informasi yang terkandung dalam film tersebut. Ini menyadarkan kita bahwa apa yang disajikan film tidak semuanya memiliki muatan positif. Merupakan tantangan tersendiri bagi masyarakat untuk lebih cerdas memilih tontonan yang berkualitas agar tidak terjebak dalam realitas dan lingkungan tiruan dari media yang kompleks


(37)

Budaya dapat diciptakan dan dipelihara melalui komunikasi, termasuk komunikasi massa. Salah satu media massa yang berperan dalam pembelajaran budaya yaitu film. Film dapat merepresentasikan suatu budaya tertentu. Film juga digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat. Melalui film sebenarnya kita juga bisa banyak belajar tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat di mana kita hidup di dalamnya, atau bahkan budaya yang sama sekali asing buat kita. Dan kita menjadi paham perbedaan dalam budaya masyarakat terutama melalui film.

Representasi budaya merujuk kepada konstuksi segala bentuk media (terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan (atau lebih tepatnya dikonstruksikan) di dalam sebuah film, tapi juga dikonstruksikan di dalam proses produksi oleh masyakarat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan dalam film tersebut.

Dalam film sebagai representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai representasi budaya.

2.4 Semiotika

Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti „tanda‟ atau seme yang berarti „penafsir tanda‟. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:64). Semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2009:27).


(38)

Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah „tanda‟ yang

diartikan sebagai suatu stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri. Semiotika, atau dalam istilah Roland Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek-objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179).

Semiotika didefenisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistic, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Implisit dalam defenisi Saussure adalah prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif (Piliang, 2012:300). Saussure dengan model dyadic, menyatakan bahwa tanda terdiri atas : signifier (signifiant) yaitu forma atau citra tanda tersebut, atau dengan kata lain wujud fisik dari tanda; dan signified (signifie) yaitu konsep yang direpresentasikan atau konsep mental (Birowo, 2004:45). Tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari bidang penanda (signifier) dan bidang petanda (signified). Suatu penanda tanpa petanda tidak memiliki arti apa-apa.

Charles Sanders Pierce, pendiri semiotika modern, mendefenisikan semiotika sebagai suatu hubungan antara tanda (simbol), objek dan makna. Tanda mewakili objek (referent) yang ada di dalam pikiran orang yang menginterpretasikannya (interpreter). Pierce menyatakan bahwa representasi dari suatu objek dengan interpretant. Tanda merupakan sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Tanda dan referen harus saling bekerja sama agar suatu tanda dapat berfungsi. Pierce mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya dimana keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah icon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan symbol untuk asosiasi konvensional.


(39)

Pembagian tipe-tipe tanda berdasarkan objeknya menjadi ikon, indeks dan simbol menjadi sangat bermanfaat dan fundamental mengenai sifat tanda. Tanda merupakan suatu yang mewakili sesuatu yang dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan. Jika sesuatu misalnya A adalah asap hitam yang mengepul dari kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yang misalnya sebuah kebakaran (pengalaman). Tanda semacam ini dapat disebut sebagai indeks yakni antara A dan B ada ketertarikan (contiguity). Tanda juga bisa berupa lambang ataupun simbol, seperti contoh burung dara yang sudah diyakini sebagai tanda atau lambang perdamaian. Burung dara tidak dapat begitu saja digantikan dengan burung atau hewan yang lainnya.

Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan dalam bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan (Sobur, 2004:41). Contohnya saja potret foto seseorang yang dapat dikatakan sebagai suatu ikon, begitu juga dengan peta atau gambar yang ditempel pada pintu kamar kecil pria dan wanita yang merupakan sebuah ikon. Pada dasarnya ikon adalah suatu tanda yang bisa menggambarkan ciri utama dari sesuatu, meskipun sesuatu yang lazim yang disebut sebagai objek acuan tersebut tidak hadir. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikannya. Model tanda objek interpretant dari Pierce merupakan sebuah ikon dalam upayanya mereproduksi dalam konkret struktur relasi yang abstrak diantara unsur-unsurnya. Dapat pula dikatakan sebagai ikon atau tanda yang memiliki ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Contohnya: Peta Indonesia yang merupakan ikon dari wilayah Indonesia yang tergambar dalam peta tersebut, atau foto Megawati sebagai ikon presiden perempuan pertama di Indonesia.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan (Sobur, 2004:42). Contohnya yang paling jelas adalah asap sebagai tanda adanya api. Selain itu, tanda tangan (signature) merupakan indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tanda tangan tersebut.


(40)

Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Simbol juga merupakan tanda yang berdasarkan konvensi (perjanjian) atau peraturan yang telah disepakati bersama. Simbol dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya seperti burung Garuda bagi masyarakat Indonesia adalah sebagai lambang Pancasila yang memiliki makna, namun bagi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda sepeti orang indian, mereka menganggap burung garuda dianggap seperti burung yang biasa saja dan tidak memiliki arti apa-apa.

Hubungan antara ikon, indeks dan simbol tersebut memiliki sifat konvensional. Hubungan antara simbol, thought of reference (pikiran atau referensi) dengan referent (acuan) dapat digambarkan melalui bagan semiotic triangle berikut ini :

Gambar 1

Kategori Tipe Tanda Pierce

Pikiran atau Referensi

Simbol Acuan

Sumber : Sobur, Alex.2004. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hlm.159

Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi yang merupakan hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satuan pengertian tertentu. Simbol berbeda dengan tanda. Tanda berkaitan langsung dengan objek, sedangkan simbol memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan dia dengan objek. Dengan


(41)

kata lain, simbol lebih substansif daripada tanda. Semiotika dibagi ke dalam tiga wilayah, yaitu:

1. Semantik

Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu dunia benda (world of things) dan dunia tanda (world of signs) dan menjelaskan hubungan keduanya. Prinsip dasar semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari satu situasi ke situasi lainnya (Morissan, 2009: 29).

2. Sintaktik

Sintaktik (syntactics) yaitu studi mengenai hubungan diantara tanda. Dalam hal ini, tanda tidak pernah sendirian mewakili dirinya, tanda adalah selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok tanda yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini disebut dengan kode (code). Secara umum, sintaktik sebagai aturan yang digunakan manusia untuk menggabungkan atau mengkombinasi berbagai tanda ke dalam suatu sistem makna yang kompleks. Aturan yang terdapat pada sintatik memungkinkan manusia menggunakan berbagai kombinasi tanda yang sangat banyak untuk mengungkapkan arti atau makna (Morissan 2009:30).

3. Pragmatik

Pragmatik adalah bidang yang mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia, atau dengan kata lain studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi pemahaman (understanding) atau kesalahpahaman (misunderstanding) dalam berkomunikasi (Morissan 2009:30).


(42)

2.4.1 Semiotika Roland Barthes

Kancah penelitian semiotika tidak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes, ahli semiotika yang ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks. Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.

Barthes ini dikenal dengan “order of significations” (Kriyantono, 2010 :

272). Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya dalam tanda adalah peran pembaca (the reader). Tradisi Semiotika pada awal kemunculannya hanya sebatas makna-makna denotatif atau semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes ada makna lain yang bermain pada level yang lebih mendalam, yaitu pada level konotasi. Tambahan ini adalah sumbangan dari Barthes yang sangat berharga untuk menyempurnakan pemikiran Saussure, yang hanya berhenti pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, pembaca teks dapat memahami penggunaan bahasa kiasan dan metafora yang tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif (Manneke Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004:255). Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi ini sebagai kunci dari analisisnya. Dalam Mithologies-nya (1983) secara tegas ia membedakan antara denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama dengan sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif.

Lewat model Signifikasi dua tahap (two order of signification) Barthes menjelaskan bahwa denotasi atau signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) di dalam sebuah tanda terhadap


(43)

realitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign). Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca seta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif dan paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara mengggambarkannya (Wibowo, 2011:37).

Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda tetap membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Pembaca mudah sekali membaca makna

konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda. Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Beberapa tanda dapat membentuk sebuah konotator tunggal.

Dalam iklan, susunan tanda-tanda nonverbal dapat menutupi pesan yang

ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya meninggalkan „pesan lain‟, yakni

sesuatu yang berada di bawah citra kasar atau penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Dapat dikatakan bahwa ideologi adalah suatu

form penanda-penanda konotasi, sementara tampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal dan visualisasinya merupakan elemen bentuk (form) dari konotator-konotator.

Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai ‟mitos‟ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda pada sistem pemaknaan tataran kedua. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain, mitos adalah juga


(44)

suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki penanda (Sobur, 2004:71). Misalnya saja Imperialisme Inggris, yang ditandai oleh berbagai ragam penanda seperti teh, bendera Union Jack serta bahasa Inggris yang menjadi bahasa internasional. Artinya dalam segi jumlah, petanda lebih miskin jumlahnya daripada penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda.

Dalam realitas yang termediasi, banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan dan kejantanan. Mitos ini bermain

dalam tingkat bahasa yang dalam bahasa Barthes disebut sebagai „adibahasa‟ atau

metalanguage (Strinati, 1995 : 113). Dibukanya pemaknaan konotatif dalam

kajian semiotika memungkinkan „pembaca‟ iklan memaknai bahasa metaforik

yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda dengan level denotasi yang tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi, level konotasi menyediakan ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis.

Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja, berikut peta tanda Roland Barthes :

Gambar 2

Peta Tanda Roland Barthes

Sumber:http://www.ahlidesain.com/semiotika-dalam-desain-komunikasi visual.html


(1)

Dalam merepresentasi tradisi budaya karo yang ada dalam Film ini, tim produksi Film ini melakukannya cukup baik sehingga tidak terlalu berbeda dengan realitasnya. Tradisi yang direpresentasikan dalam film ini juga bukan hanya dalam bentuk visual atau gambar, dialog dan pemilihan kata yang diucapkan pun dapat merepresentasikan tradisi budaya karo yang digunakan dalam film tersebut.

3. Munculnya Film 3 Nafas Likas ini memberikan dampak positif bagi khalayak yang menonton, maupun keluarga dari Djamin Ginting dan Likas Tarigan. Dengan adanya film 3 Nafas Likas khalayak semakin dapat mengerti tentang perjuangan pahlawan daerah maupun pahlawan nasional di Indonesia, khalayak yang menonton juga dapat melihat bagaimana keunikan dari tradisi budaya adat karo yang disuguhkan dalam film tersebut yang selama ini masyarakat hanya mengetahui tentang budaya batak toba yang ternyata memiliki perbedaan yang signifikan dengan tradisi budaya karo, dan menjadi kebanggan tersendiri bagi masyarakat karo khususnya.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang telah diperoleh peneliti selama melakukan penelitian, ada beberapa saran yang peneliti anggap perlu, yaitu:

1. Diharapkan agar kedepannya film berunsur budaya seperti film 3 Nafas Likas semakin banyak produksinya untuk menunjukkan keindahan dan keunikan budaya yang begitu banyak di Indonesia. Diintrepretasikan sedemikian rupa dengan kekeliruan yang dapat diminimalisirkan.

2. Film dengan tema sejenis diharapkan tidak hanya berfokus pada keuntungan komersil semata, tetapi pesan yang terkandung didalamnya hendaknya memberikan motivasi, maupun nilai moral yang lebih kepada masyarakat.


(2)

3. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi para peneliti lain yang ingin meneliti pesan dalam film sejenisnya. Penelitian ini masih jauh dari sempurna, sehingga diharapkan para peneliti lain dapat menutupi kekurangan tersebut di masa depan.


(3)

DAFTAR REFERENSI

Aep, Kusnawan. 2004. Komunikasi Dan Penyiaran islam, Bandung:

Benang Merah Press.

Ardianto, Elvinaro. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Barthea, Roland. 1988. The semiotic challenge. New York : Hill and Wang Birowo, Antonius.2004. Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta:

Gitanyali

Bungin, Burhan. 2009. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

. 2001. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana. Christomy, T dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat

Kemasyarakatan dan Budaya UI.

Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.

Danton, Sihombing. 2001. Tipografi Dalam Desain Grafis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Effendy, Onong Uchjana. 2004. Dinamika Komunikasi.Bandung: PT

Remaja Rosdakarya

Eriyanto. 2004. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Media. Yogyakarta: LKIS

E. Taylor, Shelley. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana Predana Media. Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Fishke Jhon, Television Culture, London: Routledge, 1987.

Gandhi, Mahatma. 2002. Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hartley, John. 2004 Communication, Cultural, & Media Studies, Yogyakarta:Jalasutra.

Hermawan, Anang. 2011. Mix Methodolgy Dalam Penelitian Komunikasi.

Yogyakarta: Mata Padi Pressindo.

Irawanto, Budi. 1999. Film, Ideologi dan Militer Hegemoni Militer dalam Sinema

Indonesia. Yogyakarta. Media Pressindo.

Koentjaraningrat. 1989. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. . . 1990. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:

Pustaka Jaya.

. 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia Pustaka UTama

Kriyantono, Rakhmat. 2008. Teknik Praktek Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana

. 2010. Teknik Praktek Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group.

Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Littlejhon , Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. Edisi Kelima : Kencana Prenada Media


(4)

Little john, Stephen W & Karen A. Foss. 2009. Teori Komunikasi. (Theories of Human Communication). Edisi Kedua: Kencana Prenada Media

Maleong, Lexy J. 2007 Metode Penelitian Kealitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

McQuail, Denis. 1996. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga. Morrisan, M. A. 2009. Teori Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia. Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung. Tarsito.

Nurudin. 2004.Pengantar Komunikasi Massa. Malang: Cespur. Piliang, Yasraf Amir. 2012, Semiotik & Hipersemiotika. Yogyakarta:

Jalasutra

Rahmat, Jalaludin.2004. Metodologi Penelitian Komunikasi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya

Rivers, William L. 2008. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana

Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi Perspektif. Jakarta: Rineka Cipta. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Stinari, Dominic. 1995. An Introduction to Theories of Popular Culture

(Pengantar Teori Menuju Budaya). New York: Routledge . 2004. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rodaskarya. Tarigan, Sarjani. 2008. Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisme. Si

B N B – BABKI, Ergaji : Perpustakaan Nasional.

. 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya. Si

B N B – BABKI, Medan.

. 2010. Dinamika Peradatan Orang Karo. Si B N B- BABKI, Kabanjahe.

. 2011. Kepercayaan Orang Karo Tempoe Doeloe. Medan: Perpusatkaan Nasional

Tinarbako, Sumbo. 2010. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: PT. Jalasutra.

Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Weber, Max. 2006. Etika Protestan & Spirit Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media

http://id.wikipedia.org/wiki/3_Nafas_Likas


(5)

BIODATA PENELITI

Nama/NIM : Gita Fiolanda Gresia/ 110904104

Tempat/ Tanggal Lahir : Medan/ 28 Juni 1992

Departemen : Ilmu Komunikasi FISIP USU

Alamat : Jl. Sei Padang No. 2 Medan

Email : Kembarenn@rocketmail.com

Anak ke : 2 dari 3 bersaudara

Orangtua :

Ayah : Drs. Grensi Kembaren

Ibu : Dra. Pesta Ria Barus

Pendidikan : 1998 - 2004

SD Sint. Yoseph Kabanjahe 2004 -2007

SMP Negeri 1 Kabanjahe 2007-2010

SMA Negeri 1 Kabanjahe 2011-2015

Departemen Ilmu Komunikasi


(6)