Teknologi Modifikasi Cuaca TMC untuk Mengantisipasi Curah Hujan yang Tinggi

penghijauan,pembuatan resapan air dan memperbaiki DAS. Kekeringan dapat disebabkan oleh pola pembangunan sungai dengan normalisasi, pembuatan tanggul, dan pembetonan tebing.

2.5 Teknologi Modifikasi Cuaca TMC untuk Mengantisipasi Curah Hujan yang Tinggi

Sejarah Hujan buatan di dunia dimulai pada tahun 1946 oleh penemunya Vincent Schaefer dan Irving Langmuir. Uji coba pertama kali dilakukan oleh Prof. Dr. Ing. B.J Habibie pada 1970. Tahun 1980, penerapan teknologi ini berhasil meningkatkan curah hujan. Saat itu tujuannya adalah untuk menjaga ketersediaan air pada waduk sebagai sumber air untuk irigasi dan Pembangkit Listrik Tenaga Air PLTA. Hujan buatan dibuat dengan cara menyemai awan dengan menggunakan bahan yang bersifathigroskopik menyerap air sehingga proses pertumbuhan butir-butir hujan di dalam awan akan meningkat dan selanjutnya akan mempercepat terjadinya hujan. Awan yang digunakan untuk membuat hujan buatan adalah jenis awan Cumulus Cu yang bentuknya seperti bunga kol. Setelah lokasi awan diketahui, pesawat terbang yang membawa bubuk khusus untuk menurunkan hujan diterbangkan menuju awan. Bahan untuk “mempengaruhi” proses yang terjadi di awan terdiri dari dua jenis yaitu: 1. Bahan untuk “membentuk” es, dikenal dengan glasiogenik, berupa Perak Iodida AgI. 2. Bahan untuk“menggabungkan” butir-butir atmosphere di awan, dikenal dengan higroskopis, berupa garam dapur atau Natrium Chlorida NaCl, atau CaCl2 3. Penyebaran bubuk urea dilakukan beberapa jam setelah penyebaran garam-garaman tadi atau setelah tumbuh awan-awan kecil secara berkelompok pada beberapa beberapa tempat. Bubuk urea selain dapat membentuk awan lebih lanjut, juga bersifat endotermi menyerap panas yang sangat baik bila bereaksi dengan atmosfer atau uap air. Penyebaran bubuk urea di siang hari dapat mendinginkan lingkungan sekitarnya sehingga kelompok- kelompok kecil awan segera bergabung menjadi kelompok-kelompok besar. Kelompok awan besar biasanya segera terlihat agak kehitam-hitaman artinya awan hujan telah terbentuk. Selain dengan modifikasi cuaca, BPPT juga mengoperasikan alat pemecah pembentukan awan hujan. Alat ini dipasang pada menara berketinggian sekitar 50 meter dan sudah Universitas Sumatera Utara dioperasikan lima unit di sekitar Puncak dan 20 unit tersebar di Jakarta. Alat ini bekerja berdasarkan pantauan radar cuaca BPPT. Pelaksanaan TMC di Jakarta dilakukan dengan mengerahkan empat pesawat terbang, yaitu 1 Hercules C-130 TNI AU dan 3 pesawat CASA 212-200. Pesawat Hercules yang bisa mengangkut 5 ton-6 ton garam disiapkan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Gambar 2.1 Alat Pantau Cuaca Berdasarkan kajian yang dilakukan BPPT, lokasi paling tepat untuk pemasangan alat modifikasi cuaca adalah di sekitar area Monumen Nasional Monas. Alat tersebut bekerja sebagai radar yang mampu mengendus potensi hujan di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Setelah diketahui adanya potensi hujan tinggi, BPPT akan segera melakukan stimulasi dengan teknik liquid, flare, atau powder guna memecah hujan tersebut. Hujan dengan intensitas tinggi akan diturunkan di laut, atau di balik gunung. Tetapi, kalau awan hitamnya sudah masuk ke Jakarta, awannya akan dipecah supaya tidak turun di satu titik. Alat tersebut mampu memantau pergerakan curah hujan ekstrem dengan resolusi 500 meter ukuran sel terkecil yang dapat dideteksi. Data dapat disediakan setiap 6 menit. Proses modifikasi cuaca ini akan memakan waktu selama dua sampai tiga jam. Pesawat Hercules juga mampu menampung banyak zat semai sehingga bisa digunakan untuk 5-10 awan. BPPT belum bisa memastikan biaya yang diperlukan untuk memodifikasi cuaca. Tergantung berapa lama kegiatan ini berlangsung. Dananya akan ditanggung BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

2.6 Persepsi tentang “Laser” Pemecah Awan