neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan
plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba daripada
kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70 dari penderita HIV
akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri. b Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit
secara langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase
simptomatik daripada pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah. c Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan
berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
2.7 Diagnosis
Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien dapat tetap sehat lebih lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi orang lain dengan
mencegah transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus dan protein yang menghasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus. Protein ini yang dikenal
sebagai antibodi, biasanya tidak terdeteksi sampai sekitar 3-6 minggu setelah infeksi awal. Maka jika melakukan tes 3 hingga 6 minggu selepas paparan akan memberi
hasil tes yang negatif Swierzewski, 2010. Menurut University of California San Francisco 2011, ELISA enzyme-
linked immunosorbent adalah salah satu tes yang paling umum dilakukan untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA sensitif pada infeksi HIV
Universitas Sumatera Utara
kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi, maka hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu setelah infeksi. Walaupun hasil tes negatif
pada waktu jendela, seseorang itu mempunyai risiko yang tinggi dalam menularkan infeksi. Jika hasil tes positif, akan dilakukan tes Western blot sebagai konfirmasi.
Tes Western blot adalah diagnosa definitif dalam mendiagnosa HIV. Di mana protein virus ditampilkan oleh acrylamide gel electrophoresis, dipindahkan ke kertas
nitroselulosa, dan ia bereaksi dengan serum pasien. Jika terdapat antibodi, maka ia akan berikatan dengan protein virus terutama dengan protein gp41 dan p24.
Kemudian ditambahkan antibodi yang berlabel secara enzimatis terhadap IgG manusia. Reaksi warna mengungkapkan adanya antibodi HIV dalam serum pasien
yang telah terinfeksi Shaw dan Mahoney, 2003 Tes OraQuick adalah tes lain yang menggunakan sampel darah untuk
mendiagnosis infeksi HIV. Hasil tes ini dapat diperoleh dalam masa 20 menit. Hasil tes positif harus dikonfirmasi dengan tes Western blot MacCann, 2008.
Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus, manakala polymerase chain reaction PCR mendeteksi virus HIV. Tes ini dapat
mendeteksi HIV bahkan pada orang yang saat ini tidak memproduksi antibodi terhadap virus. Secara khusus, PCR mendeteksi “proviral DNA”. HIV terdiri dari
bahan genetik yang dikenal RNA. Proviral DNA adalah salinan DNA dari RNA virus. PCR digunakan untuk konfirmasi kehadiran HIV ketika ELISA dan Western
blot negatif; dalam beberapa minggu pertama setelah infeksi, sebelum antibodi dapat dideteksi; jika hasil Western blot tidak tentu dan pada bayi baru lahir dimana antibodi
ibunya merumitkan tes lain Swierzewski, 2010.
2.8 Pengobatan