di tabel 25. Selain itu mereka lebih menekankan kepada aspek kharisma dan kedekatan untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan mereka dalam memilih.
3.5 Analisa Data Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dan Perilaku
Pemilih.
Perilaku pemilih dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai keikutsertaan seseorang dalam memberikan suara pada pemillihan umum berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Setiap pertimbangan-pertimbangan tersebut sangat erat kaitannya dengan aspek pendidikan. Dimana didalam penelitian ini
penulis mengajukan hipotesis berupa terdapat pengaruh antara tingkat pendidikan dan perilaku pemilih. Hal ini didasari dengan asumsi bahwa dengan pendidikan
yang tinggi, pemilih akan semakin rasional dalam menentukan pilihannya. Margaret Conway menyebutkan bahwa aspek pendidikan mampu membuat
masyarakat memiliki pandangan yang luas terhadap dunia politik, perbedaan diantara masyarakat yang berpendidikan tinggi maupun rendah terlihat dari sikap
dan perilaku mereka. Pendidikan yang tinggi akan memberikan kepercayaan diri bagi masyarakat untuk mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik
pemerintah yang pada akhirnya akan membawa masyarakat kepada partisipasi politik dalam level yang tinggi.
Melihat data-data diatas, maka dapat dianalisa bahwa responden dengan pendidikan yang tinggi cendrung lebih rasional dalam menentukan pilihannya.
Mereka memiliki motivasi yang tinggi dalam memilih dan hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Samuel J. Eldersvelt bahwa masyarakat yang
pendidikannya tinggi akan memiliki motivasi yang tinggi pula dalam memilih. Dengan pendidikan yang tinggi, responden mampu mengetahui kondisi
perpolitikannya dengan baik. Hal ini diawali dengan tumbuhnya kesadaran yang tinggi bahwa pemilu merupakan hak sebagai warga negara, sehingga mereka
mempergunakan kesempatan tersebut untuk ikut menentukan nasib bangsa kedepannya. Mereka memiliki minat yang tinggi untuk menggali informasi
mengenai Caleg Partai Politik yang akan dipilihnya yang mereka dapatkan melalui menonton kampanye misalnya, sering membaca koran maupun
berbincang-bincang masalah politik dengan teman maupun keluarganya. Dengan minat yang tinggi ini, akan membawa responden dengan kategori
pendidikan tinggi ini menjadi mengetahui tentang Caleg Partai Politik yang akan dipilihnya. Kecukupan informasi yang diterima responden ini berimplikasi dengan
meningkatnya rasionalitas dalam memilih, artinya sebelum melakukan pilihan, responden dengan kategori pendidikan tinggi ini memiliki perimbangan-
pertimbangan tertentu terhadap seorang Caleg Partai Politik. Pertimbangan- pertimbangan tersebut seperti yang diungkapkan Elster meliputi kalkulasi yang
akan menghasilkan hasil yang terbaik, dimana ketika seorang pemilih dihadapkan kepada berbagai jenis pilihan, seorang pemilih akan melakukan kalkulasi dan
memilih Caleg Partai Politik yang berkemungkinan memberikan hasil yang paling terbaik bagi bangsa dan dirinya sendiri.
Responden dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki rasionalitas yang tinggi pula dalam memilih. Pilihan terhadap seorang Caleg Partai Politik didasari
dengan alasan pertimbangan terhadap visi dan misi. Visi misi menjadi aspek yang dominan yang dipertimbangkan pemilih dengan kategori berpendidikan tinggi.
Terdapat keyakinan bahwa, melalui pertimbangan terhadap visi dan misi, responden dapat menilai sejauh mana seorang Caleg Partai Politik concern
terhadap permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Jika dilihat dari
pendekatan psikologis, maka responden kategori ini memiliki orientasi yang tinggi terhadap isu-isu apa saja yang diangkat oleh seorang Caleg Partai Politik.
Selain pertimbangan atas visi dan misi, pertimbangan terhadap track record calegpartai politik juga dirasakan sebagai hal yang sangat penting dalam
menentukan pilihan dalam pemilu. Responden akan menilai seorang Caleg Partai Politik tertentu melalui catatan masa lalu mereka. Jika track record Caleg Partai
Politik menunjukkan hal yang positif berupa peningkatan kualitas pemerintahan misalnya, maka kemungkinannya untuk kembali dipilih akan semakin besar.
Singkatnya dengan melihat track record seseorang dapat memprediksikan pemerintahan kedepannya.
Dalam melakukan pilihan, responden kategori berpendidikan tinggi juga tidak mudah terpengaruh oleh ajakan orang lain. Artinya dengan basic pendidikan
yang tinggi, maka perolehan informasi juga semakin banyak sehingga mereka memiliki keyakinan yang kuat atas pilihan mereka. Mereka cendrung memilih
atas keinginan mereka sendiri dan tidak akan terpengaruh dengan ajakan teman bahkan keluarga sendiri.
Jika dianalisa melalui teori jenis-jenis pemilih seperti yang diungkapkan Muhamad Asfar, responden dengan kategori berpendidikan tinggi dapat dikatakan
termasuk kedalam dua jenis pemilih, yaitu pemilih rasional dan pemilih kritis. Dikatakan sebagai pemilih rasional dikarenakan pemilih ini dalam memilih lebih
mengutamakan kemampuan partai politk calon legislatif dengan menilai visi- misinya atau melihat program kejanya melalui pencarian informasi yang lengkap
dan menilai kinerja Caleg Partai Politik dimasa lampau. Jenis pemilih rasional mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa para pemilih memang benar-benar
rasional yang melakukan penilaian secara valid terhadap visi, misi, dan kinerja
kandidat. Pemilih jenis ini tidak mementingkan kedekatan-kedekatan dan tidak mementingkan kharisma sebagai aspek penilaiannya, karena yang paling
terpenting bagi pemilih rasional adalah apa yang telah dilakukan oleh seorang Caleg Partai Politik dan apa yang akan dilakukannya kedepan.
Kemudian responden berpendidikan tinggi ini dikatakan kritis dikarenakan dalam memilih, mereka berpijak kepada analisis ideologis dan kebijakan yang
akan dibuat. Hal ini terlihat melalui pola hubungan antara tingkat pendidikan dengan partai politik yang dipilih responden. Bahwa, sebelum memilih, responden
melihat dahulu ideologi seorang Caleg Partai Politik untuk kemudian memperkirakan kebijakan seperti apa yang akan dihasilkan nantinya. Responden
yang memilih partai nasionalis islam memperkirakan bahwa dengan memilih partai tersebut, Aceh yang berlandaskan syariat isalam akan mampu mewujudkan
nilai-nilai keislaman secara utuh dalam pemerintahannya. Responden yang memilih partai politik lokal memperkirakan bahwa partai politik lokal mampu
mewujudkan kepentingan-kepentingan daerah dan mampu menyerap aspirasi masyarakat daerah secara baik untuk kemudian dapat diperjuangkan ketingkat
pusat. Sedangkan responden yang memilih partai nasional nasionalis menganggap partai seperti Golkar dan Demokrat mampu menjaga stabilitas keamaan dan
perdamaian diaceh serta meredam konflik, hal ini dikarenakan responden menganggap kedamaian di Aceh adalah karya SBY dan JK sebagai icon dari
kedua pertai tersebut. Selanjutnya, dapat dianalisis dari data diatas bahwa responden dengan
tingkat pendidikan menegah kebawah cendrung apatis terhadap perpolitikan yang ada. Responden dalam kategori berpendidikan menegah kebawah memiliki
motivasi yang rendah pula dalam memilih, hal ini terlihat dari rendahnya
keingintahuan responden terhadap politik dan seputar Pemilu DPRK Banda Aceh Tahun 2009. Mereka jarang, bahkan tidak pernah menggali informasi mengenai
Caleg Partai Politik yang akan mereka pilih baik hanya sekedar untuk menonton kampanye maupun melalui perbincangan sehari-hari. Hal ini dikarenakan
responden yang berpendidikan rendah menganggap politik merupakan hal yang sangat rumit untuk diperbincangkan serta dianggap bukanlah topik yang menarik.
Dengan kurangnya minat tersebut akan berimplikasi kepada penerimaan informasi yang sedikit menegai seorang Caleg Partai Politik tersebut sehingga mereka
cendrung tidak mengetahui mengenai visi misi maupun track record Caleg Partai Politik.
Dalam hal alasan menggunakan hak pilihnya, responden berpendidkan sedang pada umumnya sadar akan hanya sebagai warga negara. Berbeda dengan
responden yang berpendidikan rendah cenderung menggunakan hak pilihnya karena imbalan dan ajakan teman.
Penilaian terhadap visi misi dan track record calon bukanlah menjadi bahan pertimbangan mereka sebelum memilih. Responden yang berpendidikan
menengah kebawah lebih mempertimbangkan aspek kharisma dan kedekatan dengan seorang Caleg Partai Politik tertentu. Hal ini dikarenakan minimnya
rendahnya tingkat pendidikan diiringi dengan minimnya jumlah informasi yang didapatkan responden sehingga mereka memilih Caleg Partai Politik yang
mereka kenal saja ataupun yang memberikan mereka imbalan. Responden dengan kategori pendidikan yang menengah kebawah ini dapat
dikatakan termasuk kedalam jenis pemilih skeptis dan tradisional. Dikatakan pemilih skeptis karena pemilih jenis ini tidak mementingkan kebijakan sebagai hal
yang penting. Mereka memilih hanya secara acak saja karena mereka
berkeyakinan bahwa siapapun yang menang nanti, tidak akan memberikan banyak pengaruh bagi daerah dan dirinya sendiri. Kemudian dikatakan sebagai jenis
pemilih tradisional karena mereka lebih mengutamakan unsur unsur kedekatan, dan kharisma sebagai tolak ukur penilaian. Kebijakan-kebijakan merupakan
prioritas yang kedua. Pemilih ini mudah dimobilisasi karena tidak memiliki informasi yang cukup sehingga tidak pendirian yang tetap.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis, dimana hipotesis penelitian yang disampaikan adalah “ada pengaruh antara tingkat pendidikan terhadap
perilaku pemilih”. Maka melalui data-data dan analisa data yang telah diungkapkan penulis diatas, dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima. Yaitu
terdapat pengaruh antara tingkat pendidikan dan perilaku pemilih, dimana dengan pendidikan yang tinggi, seseorang akan memperoleh informasi yang cukup
mengenai Caleg Partai Politik yang akan dipilihnya sehingga berimplikasi kepada perilaku pemilih yang rasional. Sebaliknya, Dengan pendidikan yang
menengah kebawah, semakin sedikit informasi yang diterima mengenai caleg parpol tertentu sehingga berimplikasi kepada perilaku pemilih dengan rasionalitas
yang rendah pula.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN