26
BAB II LANDASAN TEORI
II.A. Penyesuaian Perkawinan II.A.1. Definisi Perkawinan
Sebelum diuraikan mengenai pengertian penyesuaian perkawinan, terlebih dahulu diuraikan pengertian dari perkawinan itu sendiri.
Di Indonesia sendiri perkawinan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974, dimana pada pasal 1 mengatakan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Subekti Tjitrosudibio, 2001.
Duvall dan Miller 1985 mengatakan bahwa perkawinan adalah monogamous
, hubungan berpasangan antara satu wanita dan satu pria. Sehingga bisa didefinisikan sebagai suatu kesatuan hubungan suami istri dengan harapan
bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai pasangan yang telah menikah, dimana didalamnya terdapat hubungan seksual,
keinginan mempunyai anak dan menetapkan pembagian tugas antara suami istri. Dyer 1983 menyatakan bahwa perkawinan adalah bagaimana hubungan
dibentuk dan dipertahankan, dan bagaimana hubungan ini kemungkinan akan diakhiri. Dyer mengatakan bahwa warga Amerika pada umumnya berpikir bahwa
Universitas Sumatera Utara
27 perkawinan adalah hubungan dua orang dewasa dengan jenis kelamin yang
berbeda menetapkan komitmen untuk hidup bersama sebagai suami istri. Menurut Azar dalam Walgito, 1984 perkawinan atau nikah artinya
melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki- laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah
pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman dengan cara-cara yang diridhai Allah. Perkawinan bukan semata- mata untuk memenuhi kebutuhan biologis, melainkan untuk memenuhi kebutuhan
afeksional, yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman dan terlindungi, dihargai dan diperhatikan oleh pasangannya.
Perkawinan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang,
pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang Papalia Olds, 1998. Jadi dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan penyatuan
hubungan antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga secara sah dimana didalamnya terdapat pemenuhan
kebutuhan biologis, kebutuhan afeksional dan adanya pembagian peran sebagai pasangan yang telah menikahi.
II.A.2. Penyesuaian Perkawinan
Hirning dan Hirning 1956 mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebih kompleks dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan
Universitas Sumatera Utara
28 harus menyesuaikan satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk
tingkat organismik mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian,
masing-masing mereka harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan, nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga
harus menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru, anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.
Lasswell dan Lasswell 1987 mengatakan bahwa konsep dari penyesuaian perkawinan adalah bahwa dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan
kebutuhan, keinginan, dan harapan. Dyer 1983 menyatakan penyesuaian perkawinan adalah adanya
bermacam-macam proses dan penyesuaian didalam hubungan perkawinan antar pasangan, dimana adanya proses untuk mengakomodasikan situasi sehari-hari,
menyeimbangkan kebutuhan masing-masing, ketertarikan, role-expectation, dan pandangan, dan beradaptasi untuk perubahan kondisi perkawinan dan kehidupan
keluarga. Menurut LeMasters dalam Dyer, 1983 penyesuaian perkawinan bisa
dikonseptualisasikan sebagai kapasitas penyesuaian atau adaptasi, sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah daripada kemangkiran dari masalah.
Schneiders 1964 mengatakan bahwa konsep dari penyesuaian perkawinan adalah suatu seni kehidupan dan bermanfaat dalam kerangka
tanggung jawab, hubungan, dan pengharapan yang merupakan hal mendasar dalam perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
29 Duvall dan Miller 1985 mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu
adalah proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan
memainkan peran sebagai suami istri. Penyesuaian perkawinan ini juga dianggap sebagai persoalan utama dalam hubungan sebagai suami istri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri
dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan, kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan
kebutuhan, keinginan dan harapan.
II.A.3. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Perkawinan
Hurlock 1990 mengatakan bahwa terdapat lima kriteria keberhasilan dalam penyesuaian perkawinan, yaitu :
1. Kebahagiaan suami istri
Suami dan istri yang bahagia yang memperoleh kebahagiaan bersama akan membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan
bersama. Mereka juga mempunyai cinta yang matang dan mantap satu dengan lainnya. Mereka juga dapat melakukan penyesuaian seksual
dengan baik serta dapat menerima peran sebagai orang tua. 2.
Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat Perbedaaan pendapat di antara anggota keluarga yang tidak dapat
dielakkan, biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan,
Universitas Sumatera Utara
30 yaitu adanya ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi
perdamaian atau masing-masing keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan dan pendapat orang lain. Dalam jangka panjang kemungkinan
ketiga yang dapat menimbulkan kepuasan dalam penyesuaian perkawinan, walaupun kemungkinan pertama dan kedua dapat mengurangi ketegangan
yang disebabkan oleh perselisihan yang meningkat. 3.
Kebersamaan Jika penyesuaian perkawinan dapat berhasil, maka keluarga dapat
menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila hubungan keluarga telah dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun
perkawinan, maka keduanya dapat mengikatkan tali persahabatan lebih erat lagi setelah mereka dewasa, menikah dan membangun rumah atas
usahanya sendiri. 4.
Penyesuaiaan yang baik dalam masalah keuangan Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan
kejengkelan adalah sekitar masalah keuangan. Bagaimanapun besarnya pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan
pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu melilitnya agar disamping itu mereka dapat menikmati kepuasan atas
usahanya dengan cara yang sebaik-baiknya, daripada menjadi seorang istri yang selalu mengeluh karena pendapatan suaminya tidak memadai. Bisa
juga dia bekerja untuk membantu pendapatan suaminya demi pemenuhan kebutuhan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
31 5.
Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak
keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan, kecil kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan
hubungan dengan mereka. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kriteria keberhasilan
penyesuaian perkawinan adalah kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang
baik dalam masalah keuangan, dan penyeusian yang baik dari pihak keluarga pasangan.
II.A.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan
Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan Dyer, 1983. Berikut ini beberapa hal yang
mempengaruhi penyesuaian perkawinan : 1.
Usia Udry dan Schoen dalam Dyer, 1983 mengatakan bahwa penyesuaian
pekawinan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka
dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Penelitian
juga mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari segi romantismenya dan kurang persiapan untuk
Universitas Sumatera Utara
32 menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut. Tapi dalam hal
perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi pasangan
yang memiliki usia yang sama Locke; Blode Wolfe, dalam Dyer, 1983, namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang
berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian pekawinan Udry, Nelson Nelson, dalam Dyer, 1983.
2. Agama
Hubungan antara agama dan penyesuaian perkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-
beda dan selalu tidak konsisten. Terman dalam Dyer, 1983 menyimpulkan bahwa latar belakang agama dari pasangan bukan faktor
yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama Christensen Barber; Glenn, dalam Dyer, 1983 ditemukan
bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama
di ketiga agama tersebut. 3.
Ras Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana
perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya
secara statistik sangat sedikit yang mendukung pandangan ini Udry, dalam Dyer, 1983. Penelitian yang dilakukan Monahan dalam Dyer,
Universitas Sumatera Utara
33 1983 pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan
antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit
hitam dan istri kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan
putih. Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan
menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing
4. Pendidikan
Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan
Weaver dalam Dyer, 1983 menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan
perkawinan. Penelitian terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada
pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian
yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami istri dengan penyesuaian perkawinan Terman;
Burgess Wallin, dalam Dyer, 1983.
Universitas Sumatera Utara
34 5.
Keluarga Pasangan Salah satu hal yang harus dihadapi oleh pasangan yang baru menikah
adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri
atau suami mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983. Ibu
mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam
perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumahtangga.
II.A.5. Usia Perkawinan dalam Melakukan Penyesuaian Perkawinan
Menurut Hirning dan Hirning 1956 tahun pertama dalam perkawinan adalah tahun yang paling penting sekali dalam penyesuaian perkawinan. Pasangan
harus melakukan penyesuaian seperti mengetahui kepribadian masing-masing, penyesuaian dengan faktor seksual, emosional, dan intelektual dan pasangan harus
belajar untuk saling membantu dalam kehidupan rumah tangga. Hurlock 1990 juga mengatakan bahwa tahun pertama dan kedua
perkawinan, pasangan suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian perkawinan satu sama lain Hurlock, 1990.
Hassan 2005 mengatakan bahwa masa lima tahun pertama perkawinan biasanya pengalaman bersama belum banyak, sehingga diperlukan proses
Universitas Sumatera Utara
35 penyesuaian diri tidak hanya dengan pasangan hidup tapi juga dengan kerabat-
kerabat yang ada. Clinebell dan Clinebell 2005 mengatakan bahwa krisis muncul saat
pertama kali memasuki pernikahan. Biasanya tahap berlangsung selama dua sampai lima tahun. Kedua pasangan harus banyak belajar tentang pasangan
masing-masing dan diri sendiri. Keduanya mulai berhaapan dengan berbagai masalah.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa satu sampai dua tahun pertama perkawinan adalah tahun yang paling penting sekali dalam penyesuaian
perkawinan.
II.B. Wanita Bekerja II.B.1. Definisi Wanita Bekerja
Tingginya tingkat pendidikan dewasa ini membuat banyak wanita usia dewasa awal memasuki dunia profesionalisme dengan bekerja. Abad 21 juga
dicirikan dengan persaingan di dunia kerja dan peluang tersebut sangat terbuka bagi para wanita Bhatnagar Rajadhyaksha, 2001.
Suryadi dalam Anoraga, 2001 mengartikan wanita bekerja sebagai wanita yang bekerja untuk menghasilkan uang atau lebih cenderung pada
pemanfaatan kemampuan jiwa atau karena adanya suatu peraturan sehingga memperoleh kemajuan dan perkembangan dalam pekerjaan, jabatan, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
36 Wanita bekerja adalah wanita yang berperan sebagai ibu dan bekerja diluar
rumah untuk mendapatkan penghasilan disamping berada dirumah dan membesarkan anak Working Mothers Forum, 2000
Maheshwari 1999 mengatakan bahwa wanita bekerja adalah wanita yang pergi keluar rumah dan mendapatkan bayaran atau gaji.
Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa wanita bekerja adalah seorang ibu yang bekerja diluar rumah untuk mendapatkan penghasilan atau gaji
disamping berada dirumah untuk mengatur rumah tangga.
II.B.2. Faktor-Faktor yang Mendorong Wanita Bekerja
Rini 2002 mengemukakan beberapa faktor yang mendorong wanita bekerja di luar rumah, yaitu :
1. Kebutuhan Finansial
Faktor ekonomi umumnya menjadi alasan seorang wanita bekerja karena dengan penghasilan yang diperoleh, dapat memenuhi kebutuhan sehari-
hari. 2.
Kebutuhan Sosial-Relasional Kebutuhan sosial-relasional merupakan kebutuhan akan penerimaan
sosial, identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. 3.
Kebutuhan Aktualisasi Diri Bekerja merupakan salah satu jalan untuk mengaktualisasikan diri, sesuai
dengan pendapat Maslow dalam Rini, 2002 bahwa salah satu kebutuhan bagi manusia adalah aktualisasi diri. Dengan bekerja, seseorang dapat
Universitas Sumatera Utara
37 bekerja, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan diri
dengan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menghasilkan sesuatu, mendapatkan penghargaan, penerimaan dan prestasi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong wanita bekerja yaitu kebutuhan finansial, kebutuhan sosial-relasional, dan
kebutuhan aktualisasi diri.
II.C. Wanita Tidak Bekerja II.C.1. Definisi Wanita Tidak Bekerja
Adiningsih 2004 mengatakan bahwa dalam UU Perkawinan No.11974 pasal 31 ayat 3, seorang istri didefinisikan sebagai ibu rumah tangga. Definisi ini
menunjukkan bahwa seorang istri bertanggung jawab akan urusan rumah tangga, yang tidak menghasilkan, sehingga ia tergantung pada hasil kerja suaminya.
Menurut Wikipedia 2006 wanita tidak bekerja homemaker housewife adalah wanita yang memiliki pekerjaan utama untuk menjaga atau merawat
keluarga dan rumah, suatu bentuk untuk menggambarkan wanita yang tidak dibayar sebagai tenaga kerja untuk menjaga keluarganya.
www.shaadi.com [online] mengatakan bahwa ibu rumah tangga housewife adalah non-working
woman .
Vivian 1999 mengatakan bahwa di Austria kata ibu rumah tangga adalah wanita 18 tahun atau diatas 18 tahun, yang mengurus rumah. Di Perancis ibu
rumah tangga diartikan sebagai female shopper.
Universitas Sumatera Utara
38 Menurut Word Reference 2006 ibu rumah tangga adalah seorang ibu
yang mengatur rumah tangga sementara suami bekerja mendapatkan gaji untuk pendapatan keluarga.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wanita tidak bekerja adalah seorang ibu yang bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga atau
merawat keluarga tanpa memiliki pekerjaan diluar rumah.
II.C.2. Tipe-Tipe Pembagian Peran dalam Perkawinan
Kephart dan Jedlicka 1991 membagi beberapa tipe pembagian peran di dalam perkawinan, yaitu :
1. Traditional Role Arrangements, dikarakteristikkan dengan peran wanita
sebagai pengasuh, memiliki sikap untuk patuh, dan terbatas untuk menjaga rumah, suami, dan anak. Sedangkan laki-laki sebagai pencari nafkah dan
bekerja dan memiliki peran yang lebih dominan. 2.
Role Sharing in Marriage, dimana pasangan akan membagi tanggung jawab untuk melakukan berbagai macam tugas rumah tangga. Melengkapi
penghasilan keluarga, melakukan pekerjaan rumah tangga, menjaga anak- anak, memelihara hubungan dengan keluarga, dan bersama-sama dalam
pengambilan keputusan. 3.
Random Role Assignment, dimana tidak ada perbedaan antara laki-laki yang bekerja dan wanita yang bekerja. Lebih melihat kepada kemampuan,
manfaat, dan ketertarikan, sehingga peran ditetapkan secara acak atau random.
Universitas Sumatera Utara
39
II.D. Dewasa Dini II.D.1. Definisi Dewasa Dini
Hurlock 1990 mengatakan bahwa masa dewasa dini dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan
psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Dariyo 2003 mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong
dewasa dini young adulthood adalah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut Havighurst dalam Duvall Miller, 1985 dewasa dini adalah
periode kehidupan individualistik dan masa sepi, harus dimulai dengan perhatian sosial yang rendah dan bantuan untuk melakukan tugas-tugas perkembangan yang
penting. Vaillant dalam Papalia,dkk 1998 membagi tiga masa dewasa dini yaitu
masa pembentukan, masa konsolidasi, dan masa transisi. Masa pembentukan dimulai pada usia 20 hingga 30 tahun dengan tugas perkembangan mulai
memisahkan diri dari orang tua, membentuk keluarga baru dengan pernikahan dan mengembangkan persahabatan. Masa konsolidasi usia 30-40 tahun merupakan
masa konsolidasi karir dan memperkuat ikatan perkawinan, sedangkan masa transisi sekitar usia 40 tahun merupakan masa meninggalkan kesibukan
pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang telah diperoleh. Dari uraian diatas disimpulkan bahwa dewasa dini adalah individu yang
menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan baru dalam
Universitas Sumatera Utara
40 masyarakat, pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis dan berusia
20 hingga 40 tahun.
II.E. Perbedaan Penyesuaian Perkawinan Pada Wanita Dewasa Dini yang Bekerja dan Tidak Bekerja
Masa dewasa dini sebagai salah satu tahapan dalam perkembangan, dimana memiliki ciri-ciri perkembangan yang ditandai dengan adanya
ketertarikan dengan lawan jenisnya Papalia Olds, 1992. Ditinjau dari tahap perkembangannya, individu yang berada pada periode dewasa dini, 20-40 tahun,
dituntut untuk segera menikah agar dapat membentuk dan memelihara kehidupan rumah tangga yang baru, yakni terpisah dari orang tua Santrock, dalam Dariyo,
2004. Perkawinan menurut Duvall dan Miller 1985 adalah suatu kesatuan
hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai pasangan yang telah menikah, dimana
didalamnya terdapat hubungan seksual, keinginan mempunyai anak, dan menetapkan pembagian tugas antara suami istri. Dalam perkawinan ditetapkan
komitmen untuk hidup sebagai suami istri dan bagaimana hubungan tersebut dibentuk dan dipertahankan Dyer, 1983. Masalah yang muncul pada tahun
pertama perkawinan adalah proses penyesuaian. Tidak hanya dengan pasangan tapi juga dengan kerabat-kerabat yang ada Hassan, 2005.
Tahun pertama dan kedua perkawinan, pasangan suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian perkawinan Hurlock, 1990. Dari penyesuaian
Universitas Sumatera Utara
41 perkawinan tersebut dapat dilihat beberapa permasalahan yang ada, misalnya
masalah pribadi suami istri yang meliputi masa lampau mereka dan masa depan yang akan dijalani bersama Gunarsa, 2003. Penyesuaian perkawinan merupakan
proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan
memainkan peran sebagai suami istri Duvall dan Miller, 1985. Berdasarkan bagaimana aturan kerja dalam rumah atau keluarga
diselesaikan oleh seseorang dan siapa yang akan mengambil keputusan, perkawinan dapat diidentifikasikan sebagai perkawinan tradisional Lemme,
1995. Pada perkawinan tradisional, suami yang dominan dan sebagai kepala rumah tangga. Tugas-tugas rumah tangga berdasarkan aturan yang sudah ada
yaitu wanita memegang bagian dalam dan pria cenderung dibagian luar. Saat wanita memasuki perkawinan sebagai istri yang baru new wife’s,
diharapkan melakukan aturan rumah tangga dan sebagai pasangan sex, wanita kepercayaan, teman, social secretary, dan perencana keluarga Duvall Miller,
1985. Menurut UU Perkawinan No.11974 pasal 31 ayat 3 Adiningsih, 2004, seorang istri didefinisikan sebagai ibu rumah tangga. Wanita yang mengatur
rumah tangga sedangkan pria bekerja diluar untuk mendapatkan gaji atau bayaran, wanita tersebut disebut ibu rumah tangga housewife. Housewife disebut juga
sebagai non-working woman Who Is A Working Woman, 2001. Kamo dalam Santrock, 1997 mengatakan bahwa istri dua hingga tiga kali
lebih banyak melakukan pekerjaan keluarga dibandingkan dengan suaminya. Hasil penelitian mengatakan bahwa hanya 10 dari suami yang melakukan
Universitas Sumatera Utara
42 pekerjaan keluarga seperti istrinya Berk, dalam Santrock, 1997. Jika dia
melakukan aturan perkawinannya dengan baik, suaminya, keluarganya, dan teman-teman akan menganggap dia adalah istri yang baik. Istri yang baru
memiliki tugas-tugas perkembangan sebagai wanita dewasa dan istri yang diharapkan dapat memiliki peranan penting dalam rumah tangga dan dalam
kehidupan sosial pasangan baru. Pada masa sekarang ini karena adanya perubahan sosial, wanita lebih
mempunyai kesempatan besar untuk memilih. Wanita dapat melakukan aktifitas berkarier seperti laki-laki tetapi tidak meninggalkan tanggung jawabnya dalam
keluarga sebagai ibu rumah tangga. Bentuk yang menonjol pada masa sekarang adalah dimana suami dan istri bekerja diluar rumah, yang disebut dual-earner atau
dual-career family Piotrkowski, Rapoport, Rapoport, dalam Lemme, 1995.
Williams dalam Lemme, 1995 mengatakan bahwa wanita dimotivasi untuk bekerja karena tiga alasan, yaitu kebutuhan ekonomi, adanya aturan atau
aspek dalam rumah tangga yang memotivasi dan adanya kebutuhan psikologis Selain hal tersebut, masa dewasa dini disebut juga sebagai masa pengaturan
Hurlock, 1990. Ada keinginan untuk mencoba berbagai pola kehidupan dan menentukan pola hidup mana yang akan dipilih. Wanita muda sekarang ingin
mencoba-coba berbagai pekerjaan sebelum mereka menentukan pilihan. Mereka bekerja untuk mengetahui apakah mereka lebih suka bekerja daripada berumah
tangga atau apakah mereka ingin melakukan keduanya, dan tentunya hal ini akan membutuhkan waktu.
Universitas Sumatera Utara
43 Berkaitan dengan penyesuaian perkawinan ini banyak persoalan yang
dialami oleh para wanita bekerja. Wanita bekerja adalah wanita yang berperan sebagai ibu dan bekerja diluar rumah untuk mendapatkan penghasilan disamping
berada dirumah dan membesarkan anak Working Mothers Forum, 2000. Pada waktu wanita mengejar karir, mereka dihadapkan pada pertanyaan menyangkut
karir dan keluarga Anderson Leslie; Gustafson Magnusson; Spade Reese; Steil Weltman, dalam Santrock, 1990. Ada yang bisa menikmati perannya,
namun ada yang merasa kesulitan hingga akhirnya persoalan-persoalan rumit kian berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Padahal proses penyesuaian
perkawinan itu membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung
jawab dan memainkan peran sebagai suami istri Duvall Miller, 1985.
II.F. Hipotesa
Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan diatas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
“Ada perbedaan penyesuaian perkawinan pada wanita dewasa dini yang bekerja dan tidak bekerja”.
Universitas Sumatera Utara
44
BAB III METODE PENELITIAN