II. T I N J A U A N P U S T A K A
2.1. Kelapa Sawit
Kelapa sawit tumbuh baik di daerah tropika basah pada ketinggian 0 – 500 m di atas permukaan laut. Jumlah curah hujan yang baik untuk budidaya kelapa sawit
adalah 1500 – 2500 mmtahun yang merata sepanjang tahun tanpa ada bulan kering. Temperatur optimal yang dibutuhkan sepanjang tahun yaitu 27
o
C dan minimum 22
o
C, kelembaban 80, dan penyinaran matahari 5 – 7 jamhari Lubis, 1992; Purba et al., 2003.
Kelapa sawit bisa tumbuh dan berproduksi baik pada semua jenis tanah seperti Ultisol, Entisol, Inceptisol, Andisol dan Histosol tanah gambut. Kelapa sawit
bisa dibudidayakan pada tanah yang memiliki tekstur tanah agak kasar sampai dengan halus yaitu antara pasir berlempung sampai liat massif. Tekstur yang ideal untuk
tanaman ini berupa lempung liat berpasir, liat berpasir, lempung berdebu, lempung berliat dan lempung. Kedalaman efektif tanah yang baik 100 cm dan kedalamam
efektif 50 cm dapat menjadi faktor pembatas. Kemasaman tanah optimal untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah pada pH 5.0-6.0, namun kelapa sawit masih toleran
terhadap pH 5.0 misalnya pada tanah gambut yang memiliki pH rata-rata 3,5 – 4,0. Produktivitas perkebunan sawit tidak optimal pada pH 7,0 Lubis, 1992 ; Purba et
al., 2003. Pemilihan bahan tanaman dari pusat sumber benih yang telah memiliki
legalitas dari pemerintah dan mempunyai reputasi yang baik bersama dengan
Universitas Sumatera Utara
pengelolaan managamen agronomi dari tanaman merupakan dua aspek yang menjamin keberhasilan perkebunan kelapa sawit Purba et al., 2003.
2.2 Pengendalian Hayati
Istilah pengendalian hayati adalah aksi dari parasitoid, predator atau patogen dalam usaha untuk memelihara kepadatan populasi organisme lain pada tingkat
terendah bila dibandingkan jika tidak ada. Pengendalian alami adalah pemeliharaan tingkat populasi suatu organisme tertentu karena aksi abiotik dan biotik dari faktor
lingkungan. Van de Bosch 1959 memodifikasi defenisi tersebut dengan menekankan bahwa pengendalian hayati adalah manipulasi musuh alami oleh
manusia untuk mengendalikan hama, sedangkan pengendalian alami adalah tanpa ada campur tangan manusia dalam usaha pengendalian hama Kasumbogo, 2007.
Pengendalian hayati digunakan karena diperlukan sebuah teknik pengendalian ketika pestisida tidak mampu bekerja untuk mengendalikan hama tertentu. Hal lain
yang merangsang penggunaan pengendalian hayati karena pestisida dapat menyebabkan efek samping yang negatif terhadap kesehatan manusia dan kelestarian
lingkungan. Pengendalian hayati tidak meninggalkan residu kimia dan umumnya spesifik pada hama tertentu jika dibandingkan dengan pestisida kimia sintetik
menimbulkan residu dan umumnya berspektrum luas Wagiman, 2007.
2.3. Ulat Kantong Metisa Plana