1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Dalam beberapa dekade terakhir ini, terjadi penurunan usia harapan hidup perusahan di beberapa negara di Eropa, seperti: di Jerman, Perancis dan
Inggris. Di Jerman misalnya, usia harapan hidup perusahaan menurun dari 45 tahun menjadi 18 tahun, di Perancis, dari 13 tahun menjadi 9 tahun, dan yang
terjadi di Inggris, yang semula 10 tahun menurun menjadi hanya 4 tahun. sepertiga dari perusahaan yang terdaftar dalam Fortune 500 tahun 1970 telah
lenyap pada 1983, baik karena merger, akuisisi maupun perpecahan, survey dari Belanda yang menunjukkan rata-rata usia harapan hidup perusahaan di
Jepang dan Eropa adalah 12,5 tahun De Geus, 1997:7 . Penyebab utama
penurunan tersebut adalah maraknya kegiatan marger dan akuisisi. Namun kegiatan marger dan akuisisi tersebut adalah distress selling, yaitu karena
perusahaan mengalami kesulitan, bukan karena strategic buying. Di Indonesia sendiri, belum secara pasti diketahui usia harapan hidup
perusahaan rata-rata. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Payatma Setiawan 2004 terhadap kinerja perusahaan manufaktur yang melakukan
kegiatan marger dan akuisisi diperoleh indikasi bahwa tujuan ekonomis dilakukannya marger dan akuisisi tidak tercapai. Berikut kesimpulan hasil
penelitian Payatma Setiawan 2004.
2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengujian secara serentak
terhadap semua rasio keuangan untuk satu tahun sebelum dengan satu tahun setelah pengumuman Marger Akuisisi, dua tahun sebelum dengan satu tahun
sesudah pengumuman Marger Akuisisi, satu tahun sebelum dengan dua tahun sesudah pengumuman Marger Akuisisi dan dua tahun sebelum dan
dua tahun sesudah tidak berbeda secara signifkan. Jadi, kinerja perusahaan manufaktur setelah melakukan Marger Aakuisisi ternyata tidak mengalami
perbaikan dibandingkan dengan sebelum melaksanakan Marger Akuisisi. Pengujian secara parsial menunjukkan ada perbedaan yang signifkan
untuk rasio keuangan Total Asset Turnover, ROI dan ROE untuk pengujian
satu tahun sebelum dan satu tahun sesudah pengumuman Marger Akuisisi,
rasio keuangan Fixed Asset Turnover, ROI, ROE, dan NPM untuk pengujian
satu tahun sebelum dan dua tahun sesudah pengumuman Marger Akuisisi; rasio keuangan Total Asset Turnover dan Fired Asset Turnover untuk
pengujian dua tahun sebelum dan satu tabun sesudah pengumuman Marger Akuisisi, rasio keuangan fixed asset turnover total asset to debt, net worth to
debt, dan total asset turnover untuk pengujian dua tahun sebelum dan dua
tahun sesudah pengumuman Marger Akuisisi. Rasio keuangan tersebut
mengalami penuruan setelah perusahaan melakukan Marger Akuisisi. Jadi,
berdasarkan analisis kinerja keuangan perusahaan dari sisi rasio keuangan Marger Akuisisi tidak menimbulkan sinergi bagi perusahaan. Atau dengan
kata lain, motif ekonomi bukanlah motif utama perusahaan melakukan Marger Akuisisi.
3 Hasil pengujian terhadap rasio keuangan diperkuat dengan hasil
pengujian terhadap abnormal return perusahaan yang melakukan Marger Akuisisi. Hasil pengujian menunjukkan abnormal return perusahaan pada
periode jendela sebelum pengumuman Marger Akuisisi, berbeda dengan abnormal return
pada periode jendela sesudah pengumuman Marger Akuisisi. Abnormal return sesudah pengurnuman Marger Akuisisi justru
negatif, sedangkan sebelum pengumuman Marger Akuisisi abnormal return positif. Artinya, kinerja perusahaan dari sisi kinerja saham justru mengalami
penurunan setelah pengumurman Marger Akuisisi. Investor menganggap Marger Akuisis yang dilakukan oleh perusahaan tidak menimbulkan sinergi
bagi perusahaan, bahkan menjadi reverse sinergy. Hasil penelitian ini memberi
indikasi bahwa tujuan ekonomis dilakukannya merger dan akuisisi tidak tercapai. Hal ini mungkin disebabkan karena alasan non ekonomis yang lebih
hanya dipertimbangkan, atau mungkin keputusan merger dan akuisisi dilakukan dengan maksud untuk menyelamatkan target company dari ancaman
kebangkrutan, yang memang kondisinya terpuruk, seperti yang banyak terjadi dalam masa krisis ekonomi dewasa ini Payatma Setiawan., 2004:280.
Keputusan merger dan akuisisi yang dilakukan perusahaan dengan maksud untuk menyelamatkan target company dari ancaman kebangkrutan
dapat kita lihat pada Enron, sebuah perusahaan energi Amerika yang berbasis di Houston, Texas, Amerika Serikat, dan merupakan salah satu perusahaan
terkemuka di dunia dalam bidang listrik, gas alam, bubur kertas dan kerta, serta komunikasi. Mirip tragedi WTC, tapi minus darah dan kematian, Enron
4 menguap jadi debu saat perusahaan itu menyatakan diri bangkrut pada 2
desember 2001, namun pada ahhir November, Enron bisa sedikit bernafas lega ketika Dynegy Inc berniat membeli sahamnya dalam sebuah kesepakatan
marger. Harapan itu tidak berumur lama, Dynegy mundur setelah Enron semaki kehilangan kepercayaan investor dan rating kreditnya jatuh ketitik
terendah, hanya puluhan sen nilainya, beberapa hari kemudian Enron menyerah dengan mengajukan petisi bangkrut. Keputusan merger yang dipilih Enron
bukan bertujuan untuk memperluas pangsa pasar atau skala usahanya, namun untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrut.
Kegiatan Akuisisi juga terjadi pada salah satu perusahaan perbankan di Indonesi, yaitu pada Bank CIMB Niaga, Bank yang berdiri pada tanggal 26
September 1955 dengan nama Bank Niaga. Pada bulan November 2002, Commerce Asset-Holding Berhad
CAHB, kini dikenal luas sebagai CIMB Group Holdings Berhad
CIMB Group Holdings, mengakuisisi saham mayoritas Bank Niaga dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN. Di
bulan Agustus 2007 seluruh kepemilikan saham berpindah tangan ke CIMB Group sebagai bagian dari reorganisasi internal untuk mengkonsolidasi
kegiatan seluruh anak perusahaan CIMB Group dengan platform universal banking
. Selain itu, kegiatan marger juga banyak dialami perusahaan di
Indonesia, seperti yang terjadi pada LippoBank CIMB Niaga. Khazanah yang merupakan pemilik saham mayoritas CIMB Group Holdings
mengakuisisi kepemilikan mayoritas LippoBank pada tanggal 30 September
5 2005. Seluruh kepemilikan saham ini berpindah tangan menjadi milik CIMB
Group pada tanggal 28 Oktober 2008 sebagai bagian dari reorganisasi internal yang sama.
Sebagai pemilik saham pengendali dari Bank Niaga melalui CIMB Group
dan LippoBank, sejak tahun 2007 Khazanah memandang
penggabungan marger sebagai suatu upaya yang harus ditempuh agar dapat mematuhi kebijakan Single Presence Policy SPP yang telah ditetapkan oleh
Bank Indonesia. Penggabungan ini merupakan merger pertama di Indonesia terkait dengan kebijakan SPP. Pada bulan Mei 2008, nama Bank Niaga
berubah menjadi Bank CIMB Niaga. Kesepakatan Rencana Penggabungan Bank CIMB Niaga dan LippoBank telah ditandatangani pada bulan Juni 2008,
yang dilanjutkan dengan Permohonan Persetujuan Rencana Penggabungan dari Bank
Indonesia dan
penerbitan Pemberitahuan
Surat Persetujuan
Penggabungan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di bulan Oktober 2008. LippoBank secara resmi bergabung ke dalam Bank CIMB
Niaga pada tanggal 1 November 2008 Legal Day 1 atau LD1 yang diikuti dengan pengenalan logo baru kepada masyarakat luas. kasus-kasus perusahaan
perbankan di Indonesia yang melakukan akuisisi dapat kita lihat pada table 1.1
6
Table 1.1 Perusahaan perbankan yang melakukan akuisisi
No Nama Bank
Akuisisi saham
1 Konsorsium Wishart
Bank Anglomas Intl 90
2 Hana Bank + IFC
Bank Bintang Manunggal 61
3 Triputra Persada R
Bank Purba Danarta 81,49
4 Kharisma Putra K
Bank Ina Perdana 55
5 Dian Intan Pertiwi
Bank Finconesia 51
6 Bank Victoria
Bank Swaguna 99,79
7 Rabobank
Bank Haga Hagakita
-
8 BoTM-UFJ+Acom
Bank Nusantara P 75,41
9 Bank Commonwealth
Bank Arta Niaga K 80
10 BRI
Bank Jasa Arta 11
Bank of India Bank Swadesi
100 12
ICBC Bank Halim
90 13
Bank Index Selindo Bank Harmoni
-
14 Bank Multicor
Bank Windu Kentjana -
15 Bank Panin
Bank Harfa 100
16 Bank Mandiri
Bank Sinar H Bali 80
Sumber: http:bataviase.co.idnode531452
Ketika strategi merger dan akuisisi tidak diambil oleh perusahaan sebagai langkah penyelamatan kelangsungan hidup perusahaan, maka
kebangkrutanlah yang akan dihadapi oleh perusahaan, hal tersebut dapat kita lihat pada berbagai kasus kebangkrutan yang dialami perusahaan-perusahaan
baik di dalam negeri maupun perusahaan diluar negeri. Seperti kebangkrutan yang terjadi pada beberapa perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia,
seperti: Sempati Air, Adam Air, Star Air, Bouraq, Indonesian Airline, Eva Air dan Jatayu Air.
Selain perusahaan maskapai penerbangan yang telah disebutkan diatas, baru-baru ini tragedi kebangkrutan nyaris menyapa perusahaan penerbangan
7 PT Mandala Airlines, perusahaan yang didirikan pada 17 April 1969 dan
awalnya merupakan bagian dari badan militer Indonesia. Pada bulan April 2006, grup transportasi Indonesia, Cardig International mengakuisisi maskapai
penerbangan tersebut senilai Rp300 Milyar 34 Juta USD. Pada bulan Oktober 2006, Indigo Partners, sebuah perusahaan investasi mengakuisisi 49 saham
Cardig. Pada tanggal 11 Februari 2011, PT Mandala Airlines menerbitkan press
release mengenai pengajuan rencana perdamaian untuk selamatkan
perusahaan. Dalam press release tersebut, perusahaan meminta dukungan dari para krediturnya atas rencana perdamaian yang telah diajukan kepada
pengadilan Niaga pada 4 Februari 2011. Secara hukum, perusahaan akan dilikuidasi jika kreditur tidak menyepakati rencana perdamaian tersebut.
Selain PT Mandala Airlines, kebangkrutanpun dialami oleh perusahaan maskapai penerbangan Japan Airlines JAL, perusahaan penerbangan
terkemuka di Jepang dengan perolehan pendapatan terbesar di kawasan Asia. JAL resmi mengajukan perlindungan pailit pada Selasa, 19 Januari 2010. ini
merupakan kasus kebangkrutan keempat terbesar di Jepang. Bahkan JAL menjadi perusahaan non-keuangan yang menderita kebangkrutan terbesar di
Negeri Matahari Terbit itu. Dari beberapa kasus kebangkrutan dunia, berikut
data-data kebangkrutan terbesar, urut dari yang memiliki aset tertinggi:
8
Table 1.2 Kasus kebangkrutan terbesar sepanjang sejarah dunia
No Nama perusahaan
Tahun bangkrut
Total asset
1 Lehman Brothers Holdings Inc
2008 US 691.000.000.000
2 Washington Mutual Inc
2008 US 327.900.000.000
3 WorldCom Inc
2002 US 103.900.000.000
4 General Motors Corp
2009 US 91.000.000.000
5 CIT
2009 US 71.000.000.000
6 Enron Corp
2001 US 65.500.000.000
7 Conseco Inc
2002 US 61.000.000.000
8 Chrysler LLC
2009 US 39.000.000.000
9 Thornburg Mortgage Inc
2009 US36.500.000.000
10 Pacific Gas and Electric Co
2001 US36.100.000.000
11 Texaco Inc
1987 US 34.900.000.000
12 Financial Corp of America
1988 US 33.800.000.000
13 Refco Inc
2005 US 33.300.000.000
14 Indymac Bancorp
2008 US 32.700.000.000
15 Global Crossing Ltd
2002 US 30.100.000.000
16 Bank of England New Corp
1991 US 29.700.000.000
17 General Growth Properties Inc
2009 US 29.500.000.000
18 Lyondell Chemical Co
2009 US 29.300.000.000
19 Calpine Corp
2005 US 27.200.000.000
20 New Century
2007 US 26.100.000.000
21 UAL Corp
2002 US25.100.000.000
22 Delta Air Lines Inc
2005 US21.800.000.000
Sumber: http:www.fx6.nettechnical2693-22-largest-bankruptcies-world-
history.html Perusahaan-perusahaan tersebut merupakan perusahaan terkemuka di
dunia yang kemudian runtuh dan hanya meninggalkan cerita singkat mengenai kejayaan kelangsungan hidup usaha mereka. berdasarkan tabel diatas, dapat
disimpulkan bahwa perusahaan dengan image yang begitu baik dan nilai asset yang begitu besar masih memungkinkan dilanda masalah kebangkrutan. Kasus-
kasus kebangkrutan perusahaan raksasa tersebut harus menjadi fokus penting bagi auditor untuk tetap memperhatika masalah status kelangsungan hidup
9 perusahaan. Agar tidak membawa dampak yang merugikan para pemangku
kepentingan internal maupun eksternal perusahaan. Disinilah peran auditor sangat diperlukan, sebagai lembaga independen
yang mempunyai fungsi sebagai monitoring dengan memberikan opini going concern
pada laporan keuangan perusahaan, sehingga dapat memprediksi apakah perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan financial distress
atau tidak. Menons William 2010:2076, mengemukakan auditor memiliki keahlian jasa audit, bukan dalam memutuskan status going concern sebuah
perusahaan, dan asersi mereka mungkin tidak menambah apa yang telah investor ketahui, disisi lain, auditor mempunyai akses kepada informasi yang
tidak tersedia bagi investor dan bisa mengungkapkan informasi tersebut kedalam laporan audit going concer going concern audit report. Para
pemakai laporan keuangan merasa bahwa pengeluaran opini audit going concern
ini sebagai prediksi kebangkrutan suatu perusahaan. Ketika kondisi ekonomi merupakan sesuatu yang tidak pasti, para investor mengharapkan
auditor memberikan early warning akan kegagalan keuangan perusahaan Chen dan Church 1996 dalam Praptitorini dan Januarti 2007:2. Pengeluaran
opini audit going concern ini juga sangat diperlukan bagi para investor yang akan menginvestasikan dana mereka pada suatu perusahaan, investor perlu
mengetahui mengenai kondisi keuangan perusahaan sebelum melakukan investasi pada perusahaan tersebut, terutama yang menyangkut mengenai
kelangsungan hidup perusahaan sebelum mereka menginvestasikan dananya. Hal tersebut membuat auditor mempunyai tanggung jawab yang besar untuk
10 mengeluarkan opini audit going concern yang konsisten dengan keadaan
perusahaan sesengguhnya. Santosa dan Wedari 2007:142, kajian atas opini audit going concern dapat dilakukan dengan melihat kondisi internal
perusahaan, seperti kualitas audit, kondisi keuangan perusahaan, opini audit tahun sebelumnya, pertumbuhan perusahaan dan ukuran perusahaan.
Going concern adalah kelangsungan hidup suatu badan usaha. Dengan
adanya going concern maka suatu badan usaha dianggap akan mampu mempertahankan usahanya dalam jangka panjang, tidak akan dilikuidasi dalam
jangka waktu pendek Hani dan Mukhlisin., 2003:1223. Going concern merupakan asumsi dasar dalam penyusunan laporan keuangan, suatu
perusahaan diasumsikan tidak bermaksud atau berkeinginan melikuidasi atau mengurangi secara material skala usahanya IAI dalam pernyataan standar
akuntansi keuangan, 2009:5, paragraph 23. Going concern sebagai asumsi bahwa perusahaan dapat mempertahankan hidupnya going concern secara
langsung akan mempengaruhi laporan keuangan. Laporan keuangan yang disiapkan menggunakan dasar going concern kemungkinan akan berbeda
secara subtansial dengan laporan keuangan yang disiapkan pada asumsi bahwa perusahaan tidak going concern. Konservatisme auditor untuk menerbitkan
opini modifikasi going concern lebih meningkat setelah kebangkrutan Enron Feldmann Read, 2010:277.
Pernyataan wajar tanpa pengecualian unqualified opinion mempunyai arti bahwa laporan keuangan yang dibuat perusahaan telah bebas dari salah saji
material. Tetapi, apabila laporan audit bentuk wajar dengan pengecualian
11 qualified, tidak wajar adverse, atau tidak memberikan pendapat
disclaimer, diterbitkan pada saat auditor merasa tidak memperoleh kepuasan dalam pelaksanaan auditnya, atau menemukan bukti bahwa laporan keuangan
tidak disajikan secara wajar, atau merasa tidak independen. Sehingga auditor wajib untuk memberikan informasi tambahan. Penyebab-penyebab utama
ditambahkannya suatu paragraph penjelasan atau modifikasi kalimat pada laporan audit bentuk baku antara lain disebabkan oleh tidak adanya konsistensi
dalam penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum, Ketidakpastian atas kelangsungan hidup perusahaan going concern, Auditor menyetujui
terjadinya penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum, Penekanan pada suatu masalah, dan Laporan yang melibatkan auditor lainnya
Arens, Beaslly, Elder, 2010:51. Penelitian-penelitian tentang opini audit going concern yang dilakukan
diindonesia antara lain dilakukan Santosa dan Wedari 2007, yang menggunakan 5 variabel penelitian, yaitu 3 variabel keuangan kondisi
keuangan perusahaan, pertumbuhan perusahaan dan ukuran perusahaan serta dua variabel non-keuangan kualitas audit dan opini audit tahun sebelumnya
terhadap perusahaan manufaktur dengan menggunakan regresi logistik memberikan bukti empiris bahwa variabel kondisi keuangan perusahaan yang
diproksikan dengan model kebangkrutan yang digunakan adalah the altman model
dan the springate model, opini audit tahun sebelumnya dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going
12 concern
. Untuk variabel kualitas audit dan pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Januarti Fitrianasari 2008:55, dapat disimpulkan bahwa rasio keuangan rasio profitabilitas,
aktivitas, laverage, pertumbuhan penjualan serta rasio nilai pasar dan rasio non-keuangan ukuran perusahaan, reputasi KAP, auditor-client tenure tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern, dimana rasio keuangan liquidity ratio dan dua rasio non-keuangan opini audit tahun
sebelumnya dan audit lag berpengaruh positif terhadap penerimaan opini audit going concern
yang dianalisis dari 282 perusahaan manufaktur yang listing di Jakarta stock exchange
JSX pada waktu itu dari tahun 2000 sampai dengan 2005.
Hingga saat ini topik mengenai bagaimana tanggung jawab auditor dalam menyikapi masalah going concern masih menarik untuk diteliti. Auditor
memiliki suatu tanggung jawab untuk mengevaluasi status kelangsungan hidup perusahaan dalam setiap pekerjaan auditnya Fany Saputra., 2005:967.
Independensi auditor dalam memberikan opini atas laporan keuangan yang diauditnya harus mempertimbangkan going concern kelangsungan usaha
auditee . Auditor tidak bisa lagi hanya menerima pandangan manajemen bahwa
segala sesuatunya baik. Penilaian going concern lebih didasarkan pada kemampuan perusahaan untuk melanjutkan operasinya dalam jangka waktu 12
bulan kedepan. Untuk sampai pada kesimpulan apakah perusahaan akan memiliki going concern atau tidak, auditor harus melakukan evaluasi secara
13 kritis terhadap rencana-rencana manjemen. Pada kenyataannya, masalah going
concern merupakan hal yang kompleks dan terus ada. Sehingga diperlukan
faktor-faktor sebagai tolak ukur yang pasti untuk menentukan status going concern
pada perusahaan. dan kekonsistensian faktor-faktor tersebut harus diuji agar dalam keadaan ekonomi yang fluktuatif, status going concern tetap
diprediksi Praptitorini dan Januarti., 2007:4. Pada penelitian ini, penulis berusaha untuk menganalisis beberapa
faktor yang mempengaruhi pemberian opini audit going concern oleh auditor diantaranya; ukuran perusahaan, opini audit tahun sebelumnya, kondisi
keuangan perusahaan, pertumbuhan perusahaan, dan audit lag dalam meningkatkan kemungkinan sebuah perusahaan yang mengalami kesulitan
financial distress untuk menerima pendapat wajar dengan pengecualian qualified opinion untuk kelangsungan usahanya going concern.
Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Santosa dan Wedari 2007, yang meneliti mengenai “analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan penerimaan opini audit going concern”. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada
tahun pengamatan, penggunaan model prediksi kebangkrutan dengan menggunakan the springate model, dan penambahan satu variabel independen,
dan penggunaan metode pengujian regresi logistik. Adapun penjelasan perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
14 1. Tahun pengamatan. Pada penelitian sebelumnya pengamatan dimulai dari
tahun 2001 sampai dengan 2005, sedangkan pada penelitian ini dimulai tahun 2005 sampai 2009.
2. Variabel independen berupa kondisi keuangan perusahaan pada penelitian sebelumnya diukur dengan empat model prediksi kebangkrutan yaitu the
zmijeski model, the altman model, revised altman model dan springate
model , sedangkan dalam penelitian ini kondisi keuangan perusahaan diukur
hanya dengan menggunakan the springate model, karena penulis merasa bahwa the springate model merupakan model prediksi kebangkrutan yang
lebih akurat dari the
zmijeski model
, sedangkan model prediksi kebangkrutan the altman model dan revised altman model merupakan model
prediksi kebangkrutan yang sudah banyak digunakan dalam penelitian- penelitian sebelumnya.
3. Untuk keandalan daya analisis pengaruh variabel bebas dengan variabel independennya, maka pengujian dilakukan dengan menggunakan regresi
logistik, karena variabel terikatnya merupakan data kualitatif yang menggunakan variabel dummy Sumodiningrat., 2001:359. Pengujian juga
dilakukan dengan menggunakan alat bantu program komputer statistik terbaru SPSS versi 17.
4. Penambahan satu variabel independen, yaitu variabel audit lag, karena penulis tertarik terhadap variabel tersebut. ketertarikan tersebut dipicu oleh
estimasi penulis bahwa audit lag merupakan salah satu bagian yang mendasari auditor dalam pemberian opini audit going concern, dan hal yang
perlu dipertimbangkan oleh auditor dalam memberikan opini audit going concern.
15 Dengan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul “pengaruh audit lag, opini audit tahun sebelumnya, kondisi keuangan perusahaan, pertumbuhan perusahaan,dan
ukuran perusahaan terhadap pemberian opini audit going concern oleh auditor Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di
BEI Periode 2005-2009.”
B. Perumusan Masalah