POTRET WILAYAH KEL. KALIBARU KEC. CILINCING

2 Jumlah Penduduk MenurutUmur Table 1.2 3 Berdasarkan tabel di atas penduduk di Kelurahan Kalibaru kebanyakan berumur 10 sampai 14 tahun, sekitar masih duduk di bangku sekolah dasar dan menengah pertama. 3 Data Penduduk menurut Pendidikan Pendidikan di Kelurahan Kalibaru penduduknya kebanyakan berpendidikan tidak tamat sekolah. Walaupun tidak tamat sekolah tetapi mereka tidak buta huruf dengan kata lain masih bisa membaca dan menulis. Lebih jelasnya lihat tabel berikut ini: 3 Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru NO USIA-TAHUN L P JUMLAH 1. – 4 3245 1824 5069 2. 5 – 9 2306 2764 5070 3. 10 – 14 2530 2763 5293 4. 15 – 19 1334 1851 3185 5. 20 – 24 1079 1513 2592 6. 25 – 29 1205 2373 3578 7. 30 – 34 1197 1592 2789 8. 35 – 39 1975 1417 3392 9. 40 – 44 1249 1586 2835 10. 45 – 49 1874 1227 3101 11. 50 – 54 1152 1173 2325 12. 55 – 59 387 873 1260 13. 60 – 64 562 805 1367 14. 65 – 69 618 942 1560 15. 70 – 74 622 163 785 16. 75 keatas 424 101 525 JUMLAH 21759 22967 44726 Table 1.3 4 4 Mata Pencaharian Penduduk Penduduk di Kelurahan Kalibaru banyak yang mata pencahariannya itu adalah sebagai nelayan baik laki-laki maupun perempuan, karena Kelurahan Kalibaru ini adalah daerah pesisir. Banyak dari mereka yang memiliki tambak, beternak kerang, dan lain sebagainya. Lebih jelasnya tentang mata pencaharian Kelurahan Kalibaru sebagai berikut : Table 1.4 5 4 Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru 5 Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru NO PENDIDIKAN L P JUMLAH 1. Tidak Sekolah 3754 4014 7768 2. Tidak Tamat SD 6420 6573 12993 3. Tamat SD 5798 6373 12171 4. Tamat SLTP 186 180 366 5. Tamat SLTA 4720 4829 9549 6. Tamat AkademiPT 889 993 1882 NO. NAMA PEKERJAAN JENIS KELAMIN Jumlah LK PR 1. Tani - - - 2. KaryawanPNSTNI 134 290 424 3. Pedagang 2222 2024 4246 4. Nelayan 8667 8837 17504 5. Buruh 1846 2727 4573 6. Pensiunan 473 470 943 7. Lain-lain 1630 1776 3406 5 Agama Walaupun ada penduduk di Kelurahan Kalibaru beragama non Islam tapi mayoritas penduduknya adalah penganut agama Islam. Mereka saling menghormati satu sama lainnya walaupun berbeda agama. Penulis rinci sebagai berikut tentang agama di Kelurahan Kalibaru di tiap RW. Tabel 2.1 6 NO . RW AGAMA JUMLAH Islam Protestan Katolik Hindu Budha 1. 01 3249 108 32 4 5 3398 2. 02 2320 47 23 5 8 2403 3. 03 2893 103 35 10 12 3053 4. 04 2263 108 35 7 26 2439 5. 05 3111 11 35 9 28 3298 6. 06 3146 115 35 10 16 3322 7. 07 3120 113 36 7 26 3302 8. 08 3531 79 15 6 5 3636 9. 09 2953 86 30 8 26 303 10. 010 2616 59 20 7 9 2711 11. 011 - - - - - - 12. 012 3622 61 21 6 7 3717 13. 013 3529 89 30 7 15 3670 14. 014 3153 76 27 6 5 3267 15. 015 3318 60 19 5 5 3407 Jumlah 42824 1219 393 97 193 44726 B. Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan Kalibaru Masyarakat Bugis adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa 6 Berdasarkan Laporan Kelurahan Kalibaru orang-orang Bugis pada masa lalu sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa yang akan datang masih terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur hidup keseharian. Kata Bugis berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Bagi suku-suku lain di sekitarnya, orang Bugis dikenal sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Namun demikian di balik sifat keras tersebut orang bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya. Suku Bugis juga dikenal sebagai perantau sehingga tidak mengherankan jika di beberapa tempat di kepulaan Nusantara ini, bahkan sampai ke negeri lain terdapat perkampungan suku Bugis, contohnya saja di Kelurahan Kalibaru ini terdapat sekumpulan orang-orang Bugis. Hampir di seluruh pesisir pantai di pelosok nusantara akan ditemukan komunitas orang Bugis. Mereka hadir di daerah tersebut menjadi perantau pasompe. Masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Tapi dikarenakan di daerah Kalibaru tidak terdapat lahan untuk bercocok tanam maka orang Bugis di Kelurahan Kalibaru ini bekerja sebagai nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Orang Bugis perantauan dikenal sebagai suku yang cepat melakukan adaptasi dengan penduduk asli. Demikian masyarakatnya dengan berbagai latar belakang pengalaman dan pendidikan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendorong pelaksanaan pembangunan Kelurahan Kalibaru itu sendiri. Kelurahan Kalibaru memiliki potensi sumber daya alam serta dukungan SDM untuk perkembangan Kelurahan Kalibaru. Oleh karena itu diperlukan pemikiran, gagasan dan perencanaan yang tepat dalam mengorganisir potensi yang dimiliki ke dalam suatu pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Masyarakat suku Bugis yang ada di Kelurahan Kalibaru sekitar 65 dari 44.726 jiwa di Kelurahan Kalibaru. Kebanyakan dari mereka memiliki mata pencaharian sebagai nelayan sekitar 57 dari 17.504 jiwa yang bekerja sebagai nelayan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Selain orang Bugis ada juga suku Sunda sebanyak 3, Betawi sebanyak 5, Madura sebanyak 8, Jawa sebanyak 17, dan suku lainnya sebanyak 2. 7 Pada umumnya orang Bugis mempunyai sistem kekerabatan yang disebut dengan assiajingeng yang mengikuti sistem bilateral, yaitu sistem yang mengikuti lingkungan pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. 8 Sedangkan garis keturunannya berdasarkan ayah. 7 Hasil wawancara dengan wakil ketua Kel. Kalibaru 8 Gita, Tata Cara Perkawinan Adat Makassar, artikel diakses pada 1 Juli 2010 dari http:jendelabugis.blogspot.com201003tata-cara-perkawinan-adat-bone.html Orang bugis yang tinggal di Kelurahan Kalibaru sudah menyatu dengan adat yang lainnya sehingga melebur mengikuti suku lain yang ada di Kelurahan Kalibaru, karena masyarakat di Kelurahan Kalibaru berbagai macam suku seperti Sunda, Betawi, Madura, Jawa, dan lain sebagainya. Walaupun berbeda suku mereka saling menghormati dan menghargai suku lainnya.

C. Prosesi Perkawinan Masyarakat Adat Bugis di Kalibaru

Perkawinan bagi suku Bugis dipandang sebagai suatu yang sakral, religious dan sangat dihargai. Tata cara perkawinan adat suku Bugis diatur sesuai dengan adat dan agama sehingga merupakan rangkaian upacara yang menarik, penuh tata krama dan sopan santun serta saling menghargai. Perkawinan ideal pada masyarakat suku Bugis sama dengan masyarakat Makassar. Bahwa seorang laki-laki maupun perempuan diharapkan untuk mendapatkan jodohnya dalam lingkungan keluarganya baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah. Perkawinan dalam lingkungan keluarga makin mempererat hubungan kekerabatan. Hubungan perkawinan yang paling baik dalam lingkungan keluarga ialah yang berada dalam hubungan horizontal sebagai berikut : 9 9 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan, h. 75 1 Siala massapposiseng ialah perkawinan yang dilakukan antara sepupu sekali. Hubungan semacam ini yang paling ideal dahulu dikalangan bangsawan tinggi raja-raja untuk menjaga kemurnian darah. Perjodohan tersebut disebut juga assialang marola perjodohan yang sesuai. 2 Siala massappo kadua ialah perkawinan yang dilakukan antara sepupu dua kali biasa pula disebut assialanna memeng maksudnyanya perjodohan yang baik sangat serasi. 3 Siala massappo katellu ialah perkawinan yang dilakukan antara sepupu tiga kali disebut ripasilorongngengi maksudnya mendekatkan kembali kekerabatan yang agak jauh, biasa juga dalam bahasa Bugis disebut ripadeppe mabelae. Hubungan perkawinan yang ideal selalu dalam lingkungan kerabat ialah hubungan yang berdasarkan karena kedudukan assikapukeng maksudnya mempunyai hubungan sejajar karena kedudukan sosial yang setaraf tujuannya untuk memperkokoh kedudukan dengan mempererat hubungan kekerabatan. Perkawinan kerabat yang dalam lingkungan kerabat dapat dikatakan sebagai hubungan yang tidak baik atau tidak ideal, yaitu perkawinan antara paman dan kemenakan atau antara bibi dan kemenakan. 10 10 Bekti Lasmini, Adat Istiadat dan Pakaian Pengantin Sulawesi Selatan, Jakarta : Institut Kesnian, 1981, h. 19 Peminangan adalah suatu proses perbuatan, cara meminang atau melamar, atau meminta seorang perempuan untuk dijadikan istri. Peminangan merupakan suatu proses awal dari suatu rangkaian kegiatan suatu pernikahan yang dilaksanakan secara norma, beradab, beradat dan beragama. 11 Adapun tata cara perkawinan masyarakat suku Bugis yaitu sebagai berikut : a. Mattiro Paita Yang dimaksud mattiro ini adalah seorang laki-laki yang mencari perempuan untuk dinikahinya yang belum dikenalnya dan informasi tersebut datangnya dari orang lain, kemudian ia datang tanpa ada yang tahu bahwa ia ingin melihat perempuan dan begaimana keluarganya. b. Mappese-pese Mappese-pese atau mammanu-manu atau mabbaja laleng adalah suatu cara untuk mengetahui sudah terikat atau tidaknya si gadis yang telah dipilihnya dan untuk mengetahui kemungkinan diterima atau tidaknya pinangannya nanti. 12 11 Andi Nurnaga, Adat istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, Makassar : CV. Telaga Zamzam, 2001, h. 18 12 Nonci, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis, Makassar : CV. Aksara, 2002, h. 8-9 c. Madduta Madduta adalah pengiriman utusan untuk mengajukan lamaran dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang telah disepakti oleh pihak keluarga laki-laki. Utusan itu harus orang yang dituakan dan tahu seluk-beluk madduta. Ia harus pandai membawa diri agar keluarga si gadis tidak merasa tersinggung. Tahap ini adalah kelanjutan dari tahap petama Mappese-pese. d. Mappettu Ada Mappettu Ada ialah memutuskan dan meresmikan segala hasil pembicaraan yang telah diambil pada waktu pelamaran dilakukan yang bahasa Bugis dinamakan “Mappasiarekkeng” seperti uang belanja, leko, mas kawin, penentuan hari akad nikahperkawinan dan lain sebagainya. Di Kabupaten Bone sejak dahulu sampai sekarang Mappetu Ada ini dilaksanakan dalam bentuk dialog antara juru bicara pihak laki-laki dengan juru bicara pihak perempan. 13 Dalam acara Mappetu Ada, dibicarakanlah berbagai hal yang berhubungan dengan pernikahan yang meliputi : 13 Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Makassar : Indobis, 2006, h. 140 1 Tanra Esso Penentuan Hari Penentuan acara puncak atau hari pesta pernikahan sangat perlu mempertimbangkan beberapa faktor, seperti waktu-waktu yang dianggap luang bagi keluarga pada umumnya. Jika pihak keluarga, baik laki-laki atau perempuan berstatus petani, biasanya mereka memilih waktu sesudah panen. Jika lamaran itu terjadi pada saat musim tanaman padi, biasanya hari yang dipilih ialah hari sesudah tanam padi atau sesudah panen. 14 2 Doi Menre Uang Belanja Sesudah menetapkan hari pernikahan tanra esso, maka hal yang paling penting adalah besarnya uang naik diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. 15 Besarnya uang belanja ditetapkan berdasarkan kelaziman atau kesepakatan lebih dahulu antar anggota keluarga yang melaksanakan pernikahan. 16 Selain uang belanja ada pula hadiah-hadiah yang biasa disebut Leko atau seserahan. Leko ini diberikan pada waktu mengantar 14 Andi Nurnaga, Adat istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, h. 32-33 15 Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone, Makassar : Dinas Kebudayaan Pariwisata Kab. Bone, 2007, h. 16 16 Nonci, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Bugis, h. 12 pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Biasanya Leko ini berisikan seperti kelengkapan untuk pengantin perempuan yang terdiri dari, make up, handuk, sepatu, dan lain sebagainya Di depan pengantin laki- laki ada beberapa laki-laki tua yang berpakaian adat dan membawa keris. Kemudian diikuti oleh sepasang remaja yang masing-masing berpakaian pengantin. Lalu diikuti sekelompok bissu yang berpakaian adat pula berjalan sambil menari mengikuti irama gendang. Lalu di belakangnya terdiri dari dua orang laki-laki berpakaian tapong yang membawa gendang dan gong. Kemudian pengantin laki-laki pada barisan berikutnya dengan diapit oleh dua orang passeppi dan satu bali botting. 17 3 Sompa Sompa atau mahar adalah pemberian pihak laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, berupa uang atau benda, sebagai salah satu syarat sahnya pernikahan. Jumlah sompa sebagaimana yang diucapkan oleh mempelai laki-laki pada saat pernikahan akad nikah, menurut ketentuan adat jumlahnya bervariasi 17 Andi Nurnaga, Adat istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis, h.51 menurut tingkatan strata sosial atau tingkatan sosialnya seseorang. 18 Sompa yang berlaku sejak lama di daerah Bugis, dinilai dengan mata uang lama orang Bugis menyebutnya Rella. Bagi bangsawan tinggi sompa atau maharnya dinyatakan dengan kati senilai 88 Real, ditambah satu orang hamba ata senilai 40 Real dan satu ekor kerbau senilai 25 Real. Sompa bagi perempuan dari kalangan bangsawan tinggi disebut Sompa Bocco sompa puncak yang biasa mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan dari kalangan bangsawan menengah kebawah hanya satu kati, bagi orang baik-baik to deceng setengah kati, kalangan orang biasa seperempat kati. 19 Adapun tingkatan-tingkatan sompa menurut adat Bugis, adalah sebagai berikut : a Bangsawan Tinggi = 88 Real b Bangsawan Menengah = 44 Real c Arung Palili = 40 Real d Todeceng = 28 Real e To Maradeka = 20 Real 18 Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone, h. 16 19 Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika Perkawinan Adat Dalam Masyarakat Bugis Bone, h. 17 f Hamba Sahaya ata = 10 Real Orang Bugis di Kelurahan Kalibaru ada juga yang menikah dengan suku lain maka biasanya dalam acara mappettu ada salah satu yang dibicarakannya adalah pakaian yang akan digunakan pada waktu pesta pernikahan. Misalkan jika pihak laki-laki dan perempuan berasal dari suku Bugis maka pakaian yang dipakai adalah pakaian adat Bugis. Sedangkan jika salah satu dari pihak laki-laki dan perempuan berbeda suku maka ditentukanlah pakaian apa yang akan dikenakan pada acara pernikahan. Adanya kompromi antara keluarga perempuan dengan laki-laki untuk menentukan pakaian apa yang akan digunakan. Pada dasarnya prosesi perkawinan masyarakat Bugis yang ada di Kelurahan Kalibaru dengan masyarakat Bugis yang di Sulawesi tidak berbeda dengan kata lain prosesinya sama, hanya saja masyarakat Bugis yang ada di Kelurahan Kalibaru menyederhanakan tahapan-tahapan tersebut. Maksudnya menyederhanakan disini adalah prosesi perkawinannya tidak semua dilaksanakan seperti mattiro dengan mappese-pese dijadikan dalam satu pelaksanaan. Hasil wawancara dari penulis dengan orang Bugis di kalibaru, pihak laki-laki hanya datang dua kali yaitu pada waktu madduta melamar dan saat mappettu ada. Pada saat mappettu ada dibicarakanlah tanra esso. Penulis sudah mengamati beberapa perkawinan masyarakat Bugis, ternyata orang Bugis di Kalibaru saat menentukan hari pernikahannya kedua belah pihak keluarga yang akan menikah menunjuk salah seorang yang mereka percayai sebagai orang yang tahu tentang hari-hari yang baik untuk melakasanakan pernikahan. Biasanya orang yang ditunjuk itu sudah berumur dan orang tersebut biasanya masih ada hubungan keluarga dengannya. 50

BAB IV ANALISIS TENTANG IMPLEMENTASI PEMBERIAN MAHAR DALAM

PANDANGAN ISLAM

A. Konsepsi Masyarakat Bugis tentang Mahar

Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. 1 Berdasarkan hasil wawancara penulis kepada salah satu tokoh masyarakat yang ada di Kelurahan Kalibaru memberikan pengertian mahar yaitu suatu perintah untuk diberikan kepada mempelai perempuan, dan oleh Agama tidak ditentukan jumlahnya. 2 Mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya yang diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, saham, kontrakan atau benda berharga lainnya. 1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Inonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, Edisi 3, Cet. Ke-3, h. 696 2 Wawancara Penulis dengan tokoh masyarakat Kelurahan Kalibaru, Bapak H. Kaharuddin Adanya kerelaan dan kesederhanaan, dalam arti disesuaikan dengan kemampuan si suami tidak ada paksaan jumlah tertentu. Bahkan Islam lebih mengedepankan kesederhanaan dalam hal mahar. Pada saat Mappettu ada akan disepakati beberapa perjanjian, diantaranya Sompa. Sompa artinya maskawin atau mahar sebagai syarat sahnya perkawinan. besarnya Sompa telah ditentukan menurut golongan dan tingkatan si perempuan. Menurut Ibu Ros salah satu warga yang bertempat tinggal di kelurahan Kalibaru mengatakan bahwa orang Bugis sangat menjaga harga diri keluarga mereka, contohnya saja dalam menjodohkan anak perempuannya dengan seorang laki-laki. Beliau mengatakan bahwa mahar itu penting untuk masa depan calon istri, menurutnya mahar itu diberikan sesuai dengan stratifikasi perempuan tersebut, karena mahar perempuan itu mencerminkan bahwa keluarganya itu dari kalangan yang baik. Makanya kebanyakan orang Bugis menikah dengan orang Bugis juga karena selain sudah mengetahui bagaimana keadaan keluarga masing-masing, tapi agar keturunannya itu tidak terlepas dari keluarganya.

B. Praktek Pemberian Mahar

Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan. 3 Kroeber dan Klukhon 1950 mengajukan konsep kebudayaan sebagai kupasan kritis dari definisi-definisi kebudayaan konsesus yang mendekati. Definsinya adalah kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama ditirukan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterkaitan terhadap nilai-nilai. 4 Masyarakat Bugis sebagaimana masyarakat lain di bagian dunia lainnya, laki-laki dan perempuan mempunyai wilayah aktifitas yang berbeda. Hubungan mereka saling melengkapi sebagai manifestasi dari perbedaan yang mereka miliki. Perbedaan ini diharapkan dapat saling melengkapi dan bersatu dalam satu ikatan perkawinan. Pemberian mahar disebut dan diberikan pada waktu akad nikah yang dibawa ketika mappenre botting 5 . Tetapi sebelumnya mahar tersebut sudah 3 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia, 2008, Cet. Ke-23, h. 1 4 M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT. Refika Aditama, 1998, Edisi 3, Cet. Ke-6, h. 11 5 Mappenre botting merupakan kegiatan menganta pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah