Masalah- masalah dalam pemberian ASI

semprit setinggi 5-10 cm di atas bayi dan biarkan ASI peras mengalir ke bayi sesua daya tarik bumi, jangan terlalu tinggi karena mengakibatkan aliran terlalu keras. Dengan menggunakan cara ini setiap pemberian minum memakan waktu 5-10 menit, bila aliran terlalu cepat, semprit dapat diturunkan ataupipa dapat dilihat agar alirannya melambat. Bila pemberian minum selesai, lepaskan dan cuci semprit dan tutup ujung pipa lambung . Ganti pipa lambung dan semprit sekali sehari.

5. Masalah- masalah dalam pemberian ASI

a. Bayi tidak cukup kenaikan berat badannya ASI adalah makanan pokok bayi sampai usia 4-6 bulan. Karena itu bayi usia 4-6 bulan yang hanya mendapat ASI saja perlu di pantau berat badannya paling tidak sebulan sekali. Bila asi cukup, berat badan anak akan bertambah anak tumbuh dengan baik. Untuk memantau kecukupan ASI dengan memantau berat badan, dapat digunakan kartu menuju sehat untuk anak. Untuk mencegah berat badan yang tidak cukup naik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1 Perhatikan apakah bayi termasuk bayi yang menyusui lama, atau cepat. 2 Ibu jangan segera menghentikan memberikan ASI hanya karena merasa bayi sudah cukup lama menyusu, karena sebenarnya mungkin bayi masih mau terus menyusu. 3 Setelah bayi menyusu dan kemudian berhenti atau tidur, cobalah menyusukan kembali dengan menidurkan bayi telentang, gosok pelan perutnya atau atau gerakkan kaki atau tangannya, seringkali bayi akan bangaun kembali dan menyusu lagi. 4 Perhatikan teknik menyusui ibu, apakah sudah benar, bila masih salah harus diperbaiki. Universitas Sumatera Utara 5 Bila berat badan anak tidak naik, konsultasikan ke dokter-dokter spesialis anak untuk mendapatkan saran selanjutnya. b. Ibu bekerja Sekarang banyak ibu yang bekerja, sehingga kemudian menghentikan menyusui dengan alasan pekerjaan. Sebenarnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ibu yang bekerja, sebagai berikut: Sebelum berangkat kerja, susuilah bayi. ASI yang berlebihan dapat diperas atau dipompa, kemudian di simpan di kulkas untuk diberikan pada bayi saat ibu bekerja. Selama ibu bekerja, ASI dapat diperas atau di pompa dan disimpan di lemari pendingin di tempat kerja, atau antar pulang. Beberapa kantor atau instansi ada yang menyediakan tempat penitipan bayi atau anak. Ibu dapat memamfaatkannya untuk kelestarian menyusui. Setelah ibu di rumah, perbanyak menyusui, termasuk pada malam hari. Kalau anak sudah mendapatkan makanan pendamping ASI, saat ibu tidak ada dirumah dapat dimamfaatkan untuk memberikan makanan pendamping, sehingga kemungkinan menggunakan susu pormula lebih kecil. Perawat bayi dapat membawa bayi ke tempat ibu bekerja bila memungkinkan. Hendaknya ibu banyak beristirahat, minum cukup, makan gizi cukup, untuk menambah produksi ASI. Petugas rumah sakit yang menitipkan anaknya di tempat penitipan tidak perlu kuatir menyusui bayinya, dengan alasan takut menularkan penyakit pada anaknya. Hal ini dapat di jelaskan sebagai berikut: Tidak semua penyakit di tularkan melalui kontak langsung. Ibu yang sakit pun tetap di anjurkan untuk menyusui bayinya, apalagi ibu yang masih sehat dan bekerja sebagai petugas kesehatan. Seharusnya ibu yang bekerja di bidang kesehatan mengerti tentang kebersihan diri setelah merawat pasien, untuk pencegahan infeksi penularan. c. Ibu menderita penyakit Hepatitis HBsAg+ atau AIDS HIV+ Universitas Sumatera Utara Ibu yang mederita hepatitis atau AIDS tidak diperkenalkan menyusui bayinya, karena dapat menularkan virus kepada bayinya melalui ASI. AIDS pada muncul bersama-sama seperti AIDS pada orang dewasa. Pada orang dewasa, penularan HIV umumnya melalui 3 cara, yaitu hubungan seksual dengan penderita, penularan perenteral seperti transfusi darah, jarum suntik yang di pakai bersamaan penderita, serta perinatal dari ibu yang menderita kepada bayinya. Pada anak AIDS mempunyai hubungan spesifik dengan paktor-paktor resiko tertentu misalnya ibu yang kecanduan obat dan sering menggunakan suntikan, anak yang mendapat transfusi dari donor penderita, dan sebagainya. Apakah menyusui merupaakan paktor resiko penularan AIDS pada anak masih merupakan hal kontroversial. Dugaan peranan menyusui sebagai paktor resiko penularan AIDS pada bayi dan anak di mulai dari adanya laporan dari berbagai negara tentang ibu yang dapat transfusi yang mengandung HIV pasca persalinan. Ternyata kemudian di temukan bayi ibu tersebut terinfeksi juga oleh HIV. Bahkan ada juga laporan bahwa HIV dapat di isolasi darI ASI. Meskipun demikian ada yang tidak sependapat terhadap pandangan ASI sebagai media penularan HIV. Masalahnya adalah pada laporan tersebut belum dapat dubuktikan bahwa ASI adalah memang satu-satunya kemungkinan penularan pada bayi atau anak tersebut. Juga ada laporan yang menyebutkan bahwa meskipun seorang ibu positif HIV, anaknya tidak. Pendapat ini di dukung data epidemiologi, yaitu bahwa angka penularan perinatal yang di kumpulkan dari seluruh dunia sebesar 25-50. Masalahnya adalah apakah ibu dengan HIV positif akan tetap di perbolehkan menyusui bayinya. Adanya dugaan bahwa kemungkinan virus AIDS dapat ditularkan Universitas Sumatera Utara melalui ASI menyebabkan Centers For Disease Control Amerika Serikat melarang ibu yang terifeksi HIV untuk menyusui bayinya, sebaliknya Word Health Organization WHO memperbolehkan. Pandangan berbeda kedua lembaga ini disebabkan latar belakang yang berbeda. Di kebanyakan bagian dunia, ASI mempunyai peranan yang sangat penting karena mengandung zat gizi yang baik, mengandung zat antiifeksi kekebalan, serta ekonomis. Hal ini menjadi dasar kebijakan WHO. Sebaliknya di negara maju, biaya dan keberadaan susu formula memberikan alternatif untuk dapat lebih mempertimbangkan masalah keselamatan dan pencegahan penularan. Meskipun demikian, ada juga pandangan yang memperbolehkan ibu tetap menyusui bayinya, yaitu bila penularan sudah terjadi saat persalinan atau bahkan in- utero, justru menyusui itu akan melindungi bayi dari infeksi lain yang menyertai AIDS. Pendapat lain yang meninjau dari segi praktis, bahwa jika larangan menyusui hanya di tunjukkan pada ibu yang benar-benar positif terinfeksi, maka tidak akan banyak mempengaruhi angka menyusui, tetapi sulit dapat di pastikan pada semua golongan ibu bahwa seorang ibu benar-benar terinfeksi. Akibatnya larangan menyusui juga akan di tunjukkan kepada ibu-ibu yang termasuk kelompok resiko padahal belum tentu terinfeksi, sehingga menjadi berlebihan. Kontroversi ini menjadi dasar sikap untuk sementara melarang ibu yang terinfeksi HIV menyusui bayinya, sampai diperoleh pandangan yang sepaham tentang hal ini.

6. Masalah pada ibu saat menyusui