27
BAB II SISTEM PERLINDUNGAN HUKUM YANG DIBERIKAN OLEH PT.
PRUDENTIAL LIFE ASSURANCE CABANG MEDAN TERHADAP PEMEGANG POLIS
ASURANSI KECELAKAAN A. Asuransi Secara Umum
1. Pengertian Asuransi.
Setiap keputusan yang diambil manusia dalam menjalani kehidupannya selalu dipenuhi dengan risiko. Risiko adalah kemungkinan kerugian yang akan dialami,
yang diakibatkan oleh bahaya yang mungkin terjadi, tetapi tidak diketahui lebih dahulu apakah akan terjadi dan kapan akan terjadi.
56
Asuransi dalam Bahasa Belanda disebut ”Verzekering” atau juga berarti pertanggungan.
57
Secara yuridis, pengertian asuransi atau pertanggungan menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHD adalah:
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima
uang premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan
dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.
Pengertian asuransi menurut Pasal 246 KUHD semata-mata mendefinisikan mengenai asuransi kerugian, karena secara historis ketentuan-ketentuan dalam KUHD
56
Radiks Purba, Memahami Asuransi di Indonesia, Seri Umum No.10, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1992, hal. 29
57
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1990, hal.4.
27
Universitas Sumatera Utara
28
kebanyakan diambil dari asuransi laut, yang merupakan asuransi kerugian, di mana pada saat itu tahun 1847 merupakan asuransi yang paling lengkap peraturannya.
58
Berdasarkan ketentuan Pasal 246 KUH.Dagang tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian asuransi digantungkan pada syarat :
59
a. Peristiwa atau kejadian yang terjadi pada masa yang akan datang. b. Peristiwa atau kejadian tersebut belum pasti akan terjadi.
c. Apabila jika terjadi peristiwa atau keadaan yang tidak tentu itu terjadi, maka pihak penanggung
akan membayar ganti kerugian kepada si tertanggung.
HMN. Poerwosutjipto memberikan pengertian asuransi
adalah sebagai
berikut :
60
Asuransi pada umumnya adalah suatu perjanjian timbal balik, dalam mana pihak penanggung dengan menerima premi mengikatkan
diri untuk
memberikan pembayaran
pada pengambil asuransi atau
orang yang
ditunjuk karena terjadinya suatu pereistiwa yang belum pasti yang disebut dalam perjanjian,
baik karena
pengambilan asuransi atau tertunjuk
menderita kerugian
yang disebabkan oleh peristiwa tadi maupun karena peristiwa tadi mengenai hidup kesehatan atau validiteit seorang tertanggung.
Asuransi mempunyai tujuan untuk mengadakan jaminan bagi masyarakat yaitu mengambil alih semua beban resiko dari tiap-tiap individu.
Pada tanggal 11 Februari 1992 pemerintah mengatur asuransi secara spesifik dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian, di mana istilah asuransi menurut Pasal 1 angka 1 adalah : Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih
dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung dengan
58
Agus Prawoto., Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi Berdasarkan Risk Base Capital, BPFE, Yogyakarta, 2003, hal.26
59
Endang Suparman Sastrawidjaja, Hukum Asuransi, Perlindungan Tertanggung Deposito dan Usaha Perasuransian. Alumni, Bandung, 2001, hal.12.
60
HMN. Poerwosutjipto., OpCit, hal.20.
Universitas Sumatera Utara
29
menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan dan kehilangan keuntungan yang diharapkan atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan di derita tertanggung, yang timbul dari sutu pembayaran yang didasarkan atas
meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian hanya mengatur mengenai usaha perasuransian saja dan bukan mengatur mengenai substansi
dari asuransi itu sendiri. Oleh karenanya dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tidak menghapus ketentuan-ketentuan
mengenai asuransi yang diatur dalam KUHD yang dibuat pada masa Kolonial Belanda.
61
Asuransi ditinjau dari segi ekonomi adalah alat untuk mengalihkan resiko dari seorang tertanggung kepada pihak penanggung. Sedangkan pengertian dari segi
industri asuransi adalah suatu saranaalat masyarakat untuk memberikan santunan finansial terhadap akibat suatu musibah yang pembayarannya dilakukan dari dana
yang terkumpul melalui iuran kontribusi para pesertanya.
62
Orang bersedia membayar kerugian yang sedikit untuk masa sekarang, agar bisa menghadapi kerugian-kerugian besar yang mungkin terjadi pada
waktu mendatang.
Pengertian asuransi ini termasuk
dalam kategori perikatan bersyarat
voorwaardelijk Overeenkomst yang berarti perjanjian asuransi digantungkan pada suatu syarat yang belum tentu terjadi Pasal 1253 KUH.Perdata yang menyebutkan
61
M. Suparman Sastrawidjadja dan Endang, Hukum Asuransi, Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito, Alumni, Bandung, 1993, hal.50
62
A.Abas Salim. Dasar-Dasar Asuransi, PT. Raja Garafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.17.
Universitas Sumatera Utara
30
bahwa suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik
secara menanggungkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu maupun secara
membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak
terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam perjanjian asuransi peristiwa atau kejadian yang diisyaratkan atau diperjanjikan itu terjadinya harus pada masa yang akan datang yaitu pada
masa setelah diikatnya perjanjian asuransi oleh penanggung dan tertanggung sampai berakhirnya jangka waktu Perjanjian asuransi tersebut. Penanggung
hanya akan mengganti kerugian yang terjadi selama masih
berlakunya perjanjian asuransi.
63
Asuransi terhadap kepentingan yang kerugiannya telah terjadi
pada saat ditutupnya perjanjian asuransi adalah batal. Dari defenisi di atas dapat diketahui
adanya 3 tiga unsur penting di dalam asuransi, yaitu :
64
a. Pihak pertanggungterjamin verzekerder yang mempunyai kewajiban untuk
membayar sejumlah uang premi kepada pihak penanggung verzekaar sekaligus atau dengan berangsur-angsur.
b. Pihak penanggung yang mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang
kepada pihak terjamin, sekaligus atau berangsur-angsur apabila terlaksana unsur ketiga.
c. Suatu peristiwa atau kejadian yang semula belum jelas akan terjadi.
63
Salustra Satria, Perusahaan Asuransi Kerugian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 27.
64
M. Suparman Sastrawidjaja, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Bandung , 1997, hal.16
Universitas Sumatera Utara
31
Dibandingkan defenisi dalam Pasal 246 KUH Dagang dengan defenisi dalam UU No. 2 Tahun 1992 ternyata UU No. 2 Tahun 1992 lebih luas dan lengkap. Hal ini
diuraikan sebagai berikut : a. Defenisi Undang undang No. 2 Tahun 1992 meliputi pertanggungan kerugian
dan juga pertanggungan jumlah. Pertanggungan kerugian dibuktikan oleh bagian kalimat. “penggantian karena kerugian, kerusakan, kehilangan
keuntungan yang diharapkan, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga. Pertanggungan
jumlah dibuktikan
oleh bagian
kalimat “memberikan
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang”. b. Definisi dalam UU No. 2 Tahun1992 secara eksplisit meliputi juga
pertanggungan untuk kepentingan pihak ketiga. Hal ini terdapat dalam kalimat “tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga”, sedangkan dalam Pasal 246
KUH.Dagang tidak demikian.
c. Objek pertanggungan dalam Pasal 246 KUH.Dagang hanya meliputi benda, kepentingan yang melekat atas benda, dan sejumlah uang. Sedangkan dalam
Undang-undang No. 2 Tahun 1992 selain benda, kepentingan yang melekat atas benda, sejumlah uang, juga jiwa dan raga manusia.
d. Peristiwa dalam Pasal 246 KUH Dagang hanya meliputi yang berkenan dengan objek harta kekayaan, sedangkan dalam UU
No. 2 Tahun 1992 selain yang berkenanan dengan objek harta kekayaan juga yang mengenai
jiwa dan raga, yaitu meninggalnya seseorang dan cacatnya ragatubuh seseorang.
65
Asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian, maka didalamnya paling sedikit terdapat dua pihak yang mengadakan kesepakatan. Pihak yang satu
adalah pihak yang mengalihkan risiko kepada pihak lain, yang disebut dengan tertanggung. Sedangkan pihak yang lain adalah pihak yang menerima risiko dari
pihak tertanggung, yang disebut dengan penanggung, yaitu perusahaan asuransi.
65
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Alumni, Bandung, 1999, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
32
Perjanjian dalam asuransi merupakan perjanjian dengan ciri dan sifat khusus, jika dibandingkan dengan perjanjian lainnya. Kekhususan tersebut antara lain:
66
a. Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat aleatair aleatary, maksudnya ialah bahwa perjanjian ini merupakan perjanjian yang prestasi penanggung harus
digantungkan pada suatu peristiwa yang belum pasti, sedangkan prestasi tertanggung sudah pasti. Meskipun tertanggung sudah memenuhi prestasinya
dengan sempurna, pihak penanggung belum pasti berprestasi dengan nyata. b. Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat conditional, perjanjian yang
prestasi penanggung hanya akan terlaksana apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian dipenuhi. Pihak tertanggung pada suatu sisi tidak berjanji untuk
memenuhi syarat, tetapi ia tidak dapat memaksa penanggung melaksanakan, kecuali dipenuhi syarat-syaratnya.
c. Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat pribadi personal, maksudnya ialah bahwa kerugian yang timbul harus merupakan kerugian orang perorangan,
secara pribadi, bukan kerugian kolektif ataupun kerugian masyarakat luas. Kerugian yang bersifat pribadi itulah yang nantinya akan diganti oleh
penanggung. d. Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang melekat pada syarat penanggung
adhesion, karena di dalam perjanjian asuransi pada hakikatnya syarat dan kondisi
perjanjian hampir
seluruhnya ditentukan
diciptakan oleh
66
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.92
Universitas Sumatera Utara
33
penanggungperusahaan asuransi sendiri, dan bukan karena adanya kata sepakat yang murni atau menawar. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa kondisi
perjanjian asuransi sebagian besar ditentukan sepihak oleh penanggung sehingga penanggung dianggap sebagai penyusun perjanjian dan seharusnya mengetahui
apabila timbul pengertian yang tidak jelas, harus diuntungkan pihak tertanggung. e. Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengan syarat itikad baik yang sempurna,
maksudnya ialah bahwa perjanjian asuransi merupakan perjanjian dengan keadaan kata sepakat dapat tercapai negosiasi dengan posisi masing-masing
mempunyai pengetahuan yang sama mengenai fakta, dengan penilaian sama penelaahannya untuk memperoleh fakta yang sama pula, sehingga dapat bebas
dari cacat-cacat tersembunyi. Premi
adalah prestasi
yang harus
diberikan tertanggung
kepada penanggung.
67
Premi ini biasanya ditentukan dalam suatu persentase rate dari jumlah yang dipertanggungkan. Biasanya premi dibayarkan pada awal perjanjian
asuransi. Apabila tertanggung tidak memenuhi prestasinya dalam jangka waktu yang telah ditentukan maka perjanjian asuransi batal dengan sendirinya dan penanggung
terbebas dari segala kerugian yang timbul. Penanggung wajib memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila
risiko yang dialihkan benar-benar terjadi dan menimbulkan kerugian secara ekonomis. Perlu diperhatikan, bahwa penanggung hanya wajib memberikan ganti
67
Radiks Purba, Mengenal Asuransi Angkutan Darat dan Udara, Djambatan, Jakarta, 1997, hal.3
Universitas Sumatera Utara
34
rugi sesuai dengan kondisi pertanggungan, mengenai apa yang terjamin dan tidak menjamin kerugian yang dikecualikan dalam polis.
Perjanjian asuransi tidak cukup hanya dipenuhi syarat umum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata saja, tetapi harus pula memenuhi asas-asas khusus yang
diatur dalam KUHD. Hal ini agar supaya sistem perjanjian asuransi tersebut dapat dipelihara dan dipertahankan, sebab suatu norma tanpa dilengkapi dengan prinsip
tidak mempunyai kekuatan mengikat. Prinsip dalam perjanjian asuransi yaitu :
a. Prinsip Kepentingan Yang Dapat Diasuransikan Principle of Insurable Interest
Prinsip ini dijabarkan dalam Pasal 250 KUHD yang menentukan bahwa : “Apabila seorang yang telah mengadakan pertanggungan untuk diri sendiri, atau
apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang
dipertanggungkan itu, maka penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi.”
68
Kepentingan yang terdapat dalam Pasal 250 KUHD harus memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 268 KUHD di mana kepentingan tersebut dapat dinilai
dengan uang, dapat diancam oleh suatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang- undang.
68
Agus Sudjiono dan Abdul Sudjanto., Prinsip dan Praktek Asuransi, LPAI, Jakarta, 1997, hal.62
Universitas Sumatera Utara
35
Terdapat 4 empat hal penting yang harus dikandung dalam prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan, yaitu :
69
1 Bahwa harus ada harta benda, hak, kepentingan, jiwa, anggota tubuh, atau tanggung gugat yang dapat dipertanggungkan.
2 Bahwa harta benda, hak, kepentingan, jiwa, anggota tubuh, atau tanggung gugat itu harus menjadi pokok pertanggungan.
3 Bahwa tertanggung
harus mempunyai
hubungan dengan
pokok pertanggungan, dengan hubungan mana tertanggung tidak akan mengalami
kerugian apabila pokok pertanggungan itu selamat atau bebas dari tanggung gugat, dan akan menderita kerugian apabila pokok pertanggungan itu
mengalami kerusakan atau menimbulkan tanggung gugat.
4 Bahwa hubungan antara tertanggung dengan pokok pertanggungan itu diakui oleh hakim.
Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan dapat timbul dari beberapa hal : 1 Adanya kepemilikan atas harta benda atau tanggung gugat seseorang kepada
orang lain dalam hal kelalaian. 2 Adanya kontrak. Menempatkan suatu pihak dalam suatu hubungan yang diakui
secara hukum dengan harta benda atau tanggung jawab yang menjadi pokok perjanjian itu. Misalnya, dalam perjanjian kontrak sewa bangunan, perjanjian
kredit. 3 Adanya undang-undang. Misalnya, di Indonesia terdapat asuransi keselamatan
kerja yang diatur dengan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. b. Prinsip Itikad Terbaik Utmost Good Faith
Prinsip itikad baik merupakan prinsip atau asas yang harus ada dan dilaksanakan dalam setiap perjanjian.
70
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1388 KUH
69
Supardjono, Perasuransian di Indonesia, Dekdibud, Jakarta, 2004, hal.64
70
Mariam Barus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2004, hal.17
Universitas Sumatera Utara
36
Perdata yang menyatakan bahwa : “Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Penekanan terhadap berlakunya prinsip itikad terbaik dalam perjanjian asuransi diatur secara tegas delam Pasal 251 KUHD yang menyatakan bahwa :
Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya,
yang demikian sifatnya, sehingga, seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup
dengan syarat-syarat yang sama mengakibatkan batalnya perjanjian.
Pasal 251 KUHD secara sepihak menekankan kewajiban untuk melaksanakan itikad terbaik hanya kepada pihak tertanggung karena adanya anggapan bahwa
tertanggunglah yang paling mengetahui mengenai obyek yang diasuransikan. Menurut Sri Rejeki Hartono, Pasal 251 KUHD terlalu memberatkan
tertanggung disebabkan karena ancaman dapat dibatalkannya asuransi terhadap tertanggung yang beritikad baik dan tidak diberikannya kesempatan bagi tertanggung
untuk memperbaiki kekeliruan dalam memberikan keterangan.
71
Mengenai kekeliruan dalam memberikan informasi apabila dihubungkan dengan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, akibat
hukumnya adalah dapat dibatalkan. Sedangkan Pasal 251 KUHD akibat hukum adanya kekeliruan adalah batal. Dengan demikian Pasal 251 KUHD menyimpang dari
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Hal untuk melaksanakan itikad terbaik bukan hanya merupakan kewajiban
tertanggung, namun juga menjadi kewajiban penanggung. Pihak penanggung tidak
71
Sri Rejeki Hartono, Reasuransi Tinjauan Yuridis, FH. Undip, Semarang, 1997, hal.81
Universitas Sumatera Utara
37
dibenarkan memberikan pernyataan atau keterangan yang tidak benar pada saat merundingkan penutupan asuransi, penanggung tidak dibenarkan menyembunyikan
fakta-fakta yang dapat merugikan posisi tertanggung. Fakta-fakta yang harus diungkapkan oleh tertanggung kepada penanggung
pada saat penutupan asuransi adalah : 1 Fakta-fakta yang menunjukkan bahwa risiko yang hendak dipertanggungkan
itu lebih besar dari biasanya, baik karena pengaruh faktor internal maupun faktor eksternal dari risiko tersebut.
2 Fakta-fakta yang sangat memungkinkan jumlah kerugian akan lebih besar dari jumlah kerugian yang normal.
3 Pengalaman-pengalaman kerugian dan klaim-klaim pada polis-polis lainnya. 4 Fakta-fakta bahwa risiko yang sama pernah ditolak oleh penanggung lain, atau
pernah dikenakan persyaratan secara ketat oleh penanggung lain. 5 Fakta-fakta yang membatasi hak subrogasi karena tertanggung meringankan
pihak-pihak ketiga dalam segi tanggung jawab yang semestinya. 6 Fakta-fakta lengkap yang berkenaan dengan pokok pertanggungan.
72
Selain fakta-fakta yang perlu diungkapkan tertanggung pada saat penutupan asuransi, terdapat beberapa fakta yang tidak perlu diungkapkan oleh tertanggung pada
saat penutupan asuransi, yaitu : 1 Fakta-fakta hukum facts of law, setiap orang dianggap mengetahui hukum.
2 Fakta-fakta yang dianggap telah diketahui oleh penanggung. 3 Fakta-fakta yang memperkecil risiko
4 Fakta-fakta yang sudah dapat disimpulkan sendiri oleh penanggung dari hal-
hal yang pernah diberitahukan oleh tertanggung kepadanya. 5 Fakta-fakta yang seharusnya dicatat oleh pihak penanggung pada saat
penanggung melakukan survey risiko. 6 Fakta-fakta yang tidak perlu diungkapkan karena polis yang bersangkutan.
Hal ini terdapat pada ketentuan polis yang menetapkan adanya warranty. 7 Fakta-fakta yang tidak diketahui oleh tertanggung.
73
72
A. Hasyim Ali, Pengantar Asuransi. Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hal.84
73
Djanius Djamin dan Syamsul Arifin. Bahan Dasar Hukum Asuransi, STIE Perbanas, Medan, 1994, hal.84
Universitas Sumatera Utara
38
c. Prinsip Sebab Akibat Causalitiet Principle
Menurut definisi asuransi yang diatur dalam Pasal 246 KUHD, pihak penanggung hanya akan wajib membayar ganti rugi, apabila kerugian atau kerusakan
itu disebabkan oleh suatu peristiwa yang tidak tertentu, yang dimaksud dengan suatu peristiwa yang tidak tertentu disini adalah suatu peristiwa yang tak tertentu yang telah
diperjanjikan antara pihak tertanggung dengan pihak tertanggung. Menentukan apakah penyebab terjadinya kerugian dijamin atau tidak dijamin
oleh polis, terdapat 3 tiga pendapat, yaitu : 1 Pendapat menurut peradilan Inggris terutama dianut yaitu sebab dari kerugian
itu adalah peristiwa yang mendahului kerugian itu secara urutan kronologis terletak terdekat pada kerugian itu. Inilah yang disebut Causa Proxima.
2 Pendapat yang kedua ialah di dalam pengertian hukum pertanggungan, sebab itu tiap-tiap peristiwa yang tidak dapat ditiadakan tanpa juga akan
melenyapkan kerugian itu. Dengan perkataan lain ialah tiap-tiap peristiwa yang dianggap sebagai conditio sinequa non terhadap peristiwa itu.
3 Causa remota : bahwa peristiwa yang menjadi sebab dari timbulnya kerugian itu ialah peristiwa yang terjauh. Ajaran ini merupakan lanjutan dari
pemecahan suatu ajaran yang disebut sebab adequate yang mengemukakan : bahwa dipandang sebagai sebab yang menimbulkan kerugian itu adalah
peristiwa yang pantas berdasarkan ukuran pengalaman harus menimbulkan kerugian itu.
74
Teori yang digunakan untuk menentukan apakah sebab kerugian terjamin kondisi polis
digunakan causa proxima proximate cause. Definisi standar dari proximate cause adalah sebagai berikut :
Proximate cause means the active, efficient cause that sets in motion a train of events which brings about a result, without the intervention of any force started
and working actively from a new and independent source.” Artinya : “Penyebab proximate artinya penyebab aktif, efisien yang menggerakkan suatu rangkaian
peristiwa yang membawa akibat, tanpa adanya intervensi dari suatu kekuatanpun yang timbul dan bekerja secara aktif dari sumber yang baru dan berdiri sendiri.
75
74
Radiks Purba, Memahami Asuransi di Indonesia, PT. Pustaka Banaman Presindo, Jakarta, 1999, hal.59
75
Ibid, hal.65
Universitas Sumatera Utara
39
2. Syarat Perjanjian Asuransi