Studi Awal Terhadap Implementasi Teknologi Biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan

(1)

STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN

Oleh :

NUR ARIFIYA AR F14050764

2009

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


(2)

STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN

RINGKASAN

Limbah kotoran yang dihasilkan seekor sapi rata-rata 25 kg (Sosroamidjojo, 1975 dalam Sahidu, 1983) dan biasanya langsung dibuang ke selokan dan badan air di lingkungan sekitar sehingga kondisi di sekitar lokasi peternakan sapi menjadi kurang baik. Berdasarkan kondisi di atas perlu adanya penanganan terhadap limbah kotoran sapi yang dihasilkan agar lingkungan sekitar peternakan tetap terjaga. Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan terletak di daerah pemukiman dan limbah kotoran sapi padat yang dihasilkan telah dimanfaatkan menjadi pupuk organik dan sebagian lain yang merupakan limbah cair langsung dibuang ke badan air di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, pemilihan teknologi biogas untuk diterapkan di daerah ini dianggap tepat mengingat peternakan berada di daerah pemukiman dan harga bahan bakar yang semakin meningkat. Selain itu, penerapan teknologi ini tidak akan mengganggu tingkat produksi pupuk organik, karena sludge sisa dari proses produksi biogas merupakan pupuk organik juga.

Tujuan penelitian ini untuk melakukan studi awal kemungkinan penerapan teknologi biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan dengan tujuan spesifik adalah menghitung potensi limbah kotoran sapi yang akan digunakan sebagai bahan baku di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. Melakukan analisis kelayakan dari segi teknis, ekonomi, dan sosial terhadap implementasi teknologi biogas serta merencanakan penerapan teknologi biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. Penelitian ini dilakukan beberapa tahapan yaitu pendekatan masalah, perancangan instalasi biogas, pembuatan dan pemasangan alat, penentuan parameter dan metode pengambilan data, penelitian pendahuluan, pengujian, pengolahan data dan perencanaan penerapan teknologi biogas, dan yang terakhir melakukan analisis kelayakan dari segi teknis, ekonomi, dan sosial.

Perancangan instalasi pembangkit biogas dibuat dengan pertimbangan tata letak dan kesediaan bahan di wilayah tersebut. Produksi biogas pada sistem batch adalah 0.02 m3, ini sangat jauh jika dibandingkan dengan hasil perhitungan berdasarkan teori adalah 2.07 m3. Pada percobaan dengan menggunakan sistem kontinyu pengisian kembali dilakukan pada hari ke-24 dan dilakukan tiga percobaan, guna mengetahui waktu pengisian bahan yang optimum untuk menghasilkan biogas maksimum. Perlakuan pertama adalah pengisian bahan dilakukan setiap hari menghasilkan biogas rata-rata 2.607 m3. Perlakuan kedua adalah pengisian dilakukan tiga hari sekali menghasilkan biogas rata-rata 0.717 m3. Perlakuan ketiga yaitu dengan cara pengisian dilakukan setiap dua hari sekali dengan produski biogas rata-rata 1.99 m3. Dari ketiga perlakuan tersebut diperoleh waktu paling optimum untuk memasukkan bahan isian secara kontinyu sebaiknya dilakukan setiap hari.

Hasil analisis teknis pembangkit biogas ini belum layak diaplikasikan di peternakan setempat karena dua faktor yaitu fluktuasi suhu lingkungan dan nilai CN ratio limbah kotoran sapi hanya 17.5. Fluktuasi suhu lingkungan


(3)

sehingga mengakibatkan produksi biogas rendah, untuk mengatasinya pembuatan digester dapat dilakukan dalam tanah, sehingga fluktuasi suhu lingkungan tidak berpengaruh besar terhadap suhu larutan bahan dalam digester. Nilai CN ratio limbah kotoran sapi rendah menyebabkan perlu adanya penambahan bahan berupa serbuk kayu sebanyak 1.5 kg pada saat limbah kotoran sapi sebanyak 1.2 kg untuk meningkatkan nilai CN ratio. Pemilihan serbuk kayu sebagai bahan campuran untuk meningkatkan nilai CN ratio didasarkan atas ketersediaan bahan di lingkungan sekitar.

Hasil analisis ekonomi berdasarkan perhitungan pada tingkat produksi biogas rata-rata 6.866 liter per hari pada suhu 350C dan tekanan 9.67 atm menunjukkan bahwa penggunaan teknologi biogas sudah layak jika dibandingkan dengan harga LPG pada tingkat harga Rp.15000,-/3 kg. Hasil perhitungan harga biogas sebesar Rp. 0.348/kkal biogas, sedangkan harga LPG sebesar Rp.0.415/kkal LPG, akan tetapi volume yang dihasilkan setiap hari belum dapat memenuhi kebutuhan energi peternak setempat untuk memasak.

Analisis sosial hasil dari wawancara peternak dan masyarakat sekitar menunjukkan bahwa penerapan teknologi biogas ini belum layak diaplikasikan. Peternak lebih suka mengolah limbah kotoran sapi menjadi pupuk organik karena perlu modal yang besar untuk mengolah limbah kotoran sapi menjadi biogas pada saat membangun instalasi tersebut. Peternak juga tidak berminat untuk menggunakan biogas. Masyarakat sekitar lokasi peternakan ingin lingkungan bersih, tetapi keberatan untuk menggunakan biogas berasal dari limbah kotoran sapi tersebut.

Apabila seluruh limbah kotoran sapi yang dihasilkan di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan (±500 kg/hari) dimanfaatkan untuk pembangkit biogas maka diperlukan digester dengan volume 47.5 m3 dengan volume ruang penampung biogas sebesar 15.75 m3. Dengan demikian maka dibutuhkan area bebas dengan diameter 2 m dan kedalaman 5 m untuk dibangun sebagai digester. Dengan produksi biogas pada keadaan optimum sebesar 22500 liter per hari setara dengan 22.5 m3per hari. Apabila peternak hendak membuat digester dengan ukuran tersebut, maka pembuatan digester harus dalam tanah tepat di bawah kandang sapi.

Peningkatan produksi biogas dapat dilakukan dengan memperbesar volume digester, sehingga limbah kotoran sapi yang dimasukkan juga lebih besar. Kebocoran pada sambungan antar pipa dapat dilakukan dengan mengisolasi sambungan antar pipa. Suhu optimum dan stabil dapat diperoleh dengan menempatkan digester dalam tanah, sehingga suhu larutan bahan dalam digester lebih stabil. Apabila digester terdapat di atas permukaan tanah, maka suhu optimum dan stabil dapat diperoleh antara lain dengan cara menutup sebagian digester dengan serbuk kayu.


(4)

STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanain Bogor

Oleh :

NUR ARIFIYA AR F14050764

2009

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


(5)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanain Bogor

Oleh :

NUR ARIFIYA AR F14050764

Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 Februari 1987 Tanggal Lulus : Oktober 2009

Menyetujui, Bogor, Oktober 2009

Ir. Sri Endah Agustina, MS Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Desrial, M. Eng Ketua Departemen


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Studi Awal terhadap Implementasi Teknologi Biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan”.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak yang telah meluangkan ilmu dan waktunya serta dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik berupa materi maupun motivasi. Oleh karena itu penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayahanda (Alm) dan Ibunda tercinta, kakak, adik, dan seluruh keluarga atas do’a, motivasi, dan perhatianbaik dalam bentuk moril dan materi yang telah diberikan selama ini.

2. Ibu Ir. Sri Endah Agustina, MS selaku pembimbing akademik atas bimbingan, arahan, dan bantuan moril serta materi yang diberikan.

3. Dr. Arief Sabdo Yuwono dan Dr. Dyah Wulandani selaku dosen penguji. 4. Bapak G. Radityo Gambiro (Orang Tua Asuh) besarta keluarga dan Mba

Lia yang telah banyak membantu penulis selama di bangku kuliah ini. 5. Keluarga besar H. Abd. Rozaq atas tempat dan kesempatan yang diberikan.

6. Teman-teman TEP 42 atas dukungan serta persahabatannya dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Bang Ipul, bang BK, beserta seluruh keluarga besar yang membantu penulis selama penelitian.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini mungkin belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan sebagai perbaikan. Sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terima kasih.

Bogor, Oktober 2009


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………...i

DAFTAR ISI……….…ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR……….. v

DAFTARLAMPIRAN………..vi

I. PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang………..…..1

B. Tujuan………..…...3

II. TINJAUAN PUSTAKA………..……4

A. Pengertian Biogas .…………....………...4

B. Teknologi Produksi Biogas ………...………...5

C. Manfaat Sitem Pembangkit Biogas ... 15

D. Jenis-Jenis Digester ...……….….… 16 E. Implementasi Teknologi Biogas di Indonesia…………...………….. 19 F. Sapi ……….……. 21

G. Proses Perancangan ……… 21 H. Analisis Teknis ………... 23

I. Analisis Ekonomi ……… 24

J. Analisis Sosial ………. 26

II. METODOLOGI PENELITIAN……….…… 27

A. Waktu dan Tempat Penelitian……….……. 27

B. Tahapan Penelitian ... 27

B.1 Pendekatan Masalah untuk Perancangan ... 28

B.2. Rancangan Instalasi Pembangkit Biogas ... 29

B.3 Pembuatan dan Pemasangan... 31

B.4 Penentuan Parameter dan Metode Pengambilan Data... 32

B.5. Pengujian ... 32

B. 6 Pengolahan Data ... 33


(8)

C. Bahan dan Alat ... 3 5

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Kondisi Umum Peternakan ... 37

A.1 Potensi Bahan Isian dan Potensi Pemanfaatannya ... 37

A.2.Kebutuhan Energi Peternak untuk Memasak... 38

A.3 Kultur Peternak Setempat... 38

A.4 Tata Letak Peternakan... 38

B. Rancangan Instalasi Pembangkit Biogas ... 38

B.1 Kolam Pencampur ... 39

B.2. Digester beserta Saluran Masuk dan KeluarnyaSludge... 39

B.3 Penyalur Biogas... 41

B.4 Penampung Biogas... 42

B.5. Kolam PenampungSludge... 42

B. 6 Kran Pengatur Keluarnya Biogas... 43

C. Unjuk Kerja... 44

C.1 Persiapan Bahan Isian... 44

C.2. Persiapan Pembangkit Biogas ... 44

C.3 Hasil Pengoperasian Sistem Batch... 45

C.4 Hasil Pengoperasian Sistem Kontinyu ... 48

C.5. Hasil Pengoperasian dengan Berbagai Perlakuan ... 50

C. 6 Analisis Bahan Isian ... 53

C.7 Analisis Teknis ... 53

C.8 Analisis Ekonomi ... 55

C.9 Analisis Sosial ... 57

C.10 Perencanaan Penerapan Teknologi Biogas………. 58

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

DAFTAR PUSTAKA……….61


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Data konsumsi BBM di Indonesia untuk tiap sektor ... 2

Tabel 2. Nilai kalor beberapa sumber energi ... . 3

Tabel 3. Komposisi biogas ………..…………...………...….. 4

Tabel 4. Bakteri metanogen ……...……...…...10

Tabel 5. Komposisi dan biogas yang dihasilkan dari berbagai macam limbah... 15

Tabel 6. Jumlah biogas yang dibutuhkan untuk pemakaian tertentu... 15

Tabel 7. Tanaman yang dipupuk dengan tidak difermentasi dansludgebiogas....16

Tabel 8. Perbandingan batang pisang dan kotoran sapi yang optimum ... 24

Tabel 9. Parameter untuk mengetahui potensi biogas ... 28

Tabel 10. Parameter untuk mengetahui kebutuhan energi ... 29

Tabel 11. Bahan alat yang digunakan ... 35


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tahapan fermentasi …………...………...…………. 6

Gambar 2. Digester tipe kubah tetap (fixed-dome) ………...…. 17 Gambar 3. Digester tiper terapung (floating drum)... 18

Gambar 4. Digester balon ... 19

Gambar 5. Diagram proses perancangan... 23

Gambar 6. Diagram proses penelitian………...………....… 25

Gambar 7. Desain digeser PTP-IPB………... 40

Gambar 8. Gambar saat penggalian tanah untuk digester sistembatch……… 40

Gambar 9. Unit sistem pembangkit biogas pada awal pembuatan ………. 41

Gambar 10. Unit sistem pembakit biogasbacthdan kontinyu ……….. 41

Gambar 11 Plastik polyethilen yang digunakan ……… 42

Gambar 12. Kolam penampungsludgesementara ………. 43

Gambar 13. Selang bentuk U ………. 43

Gambar 14. Grafik produksi biogas per hari pada sistembatch………45

Gambar 15. Profil suhu lingkungan dan suhu digester pada sistembatch…… 46

Gambar 16. Derajat keasaman pada hari ke-9 …………...……… 48

Gambar 17. Derajat keasaman pada hari ke-11…………...…..……… 48

Gambar 18. Grafik produksi biogas per hari pada sistem kontinyu ……...….….49

Gambar 19. Profil suhu lingkungan dan suhu digester padasistem kontinyu … 49 Gambar 20. Produksi Biogas pada Saat Diisi Seiap Hari ……….51

Gambar 21. Produksi Biogas pada Saat Diisi Seiap Tiga Hari ………....….51

Gambar 22. Produksi Biogas pada Saat Diisi Seiap Dua Hari ……….. .….52


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil Wawancara Peternak dan Masyarakat sekitar……...…….… 64

Lampiran 2. Lay Out Peternakan ……… 65

Lampiran 3. Perhitungan berdasarkan teori biogas yangdihasilkan…………,.. 66

Lampiran 4. Instalasi Biogas ... …………...…………..…………...…….….. 67

Lampiran 5. Instalasi Tampak Atas …...………....…. 68

Lampiran 6. Instalasi Tampak Depan... 69

Lampiran 7. Gambar Detail... 70

Lampiran 8. Perhitungan Volume Digester ... 71

Lampiran 9. Analisisekonomi unit sistem pembangkit biogas …………..…... 73


(12)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sapi merupakan salah satu hewan ternak yang biasa dipelihara dalam kandang, oleh karena itu limbah kotoran sapi dapat dengan mudah dikumpulkan (Sosroamidjojo, 1975) dalam Sahidu (1983). Limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap hari rata-rata 25 kg (Sosroamidjojo, 1975) dalam Sahidu (1983) dan biasanya langsung dibuang ke selokan dan badan air di lingkungan sekitar sehingga kondisi di sekitar lokasi peternakan sapi menjadi kurang baik. Selain itu limbah kotoran sapi akan menghasilkan gas metana yang merupakan salah satu gas yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global. Oleh karena itu apabila limbah kotoran sapi dibiarkan berada di lingkungan terbuka, maka dapat menyebabkan suhu di permukaan bumi terus meningkat. Limbah kotoran sapi yang langsung dibuang ke badan air juga dapat merusak kualitas air tanah, meresap dan bergabung dengan air tanah.

Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan adanya penanganan yang lebih baik terhadap limbah kotoran sapi yang dihasilkan, agar lingkungan sekitar peternakan tetap terjaga. Limbah kotoran sapi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik atau pun bahan isian untuk menghasilkan biogas. Pemanfaatan limbah kotoran sapi untuk menghasilkan biogas merupakan energi alternatif pilihan yang sangat potensial, karena semakin mahal harga bahan bakar (khususnya kerosene atau minyak tanah) untuk sektor rumah tangga dan kelangkaan sumber energi yang terjadi saat ini. Berikut adalah keuntungan dari penerapan teknologi biogas:

a) lingkungan sekitar peternakan menjadi lebih baik.

b) jumlah limbah kotoran sapi yang dibuang ke lingkungan sekitar berkurang. c) bahan bakar dapat dihasilkan sekaligus memanfaatkan limbah kotoran

sapi.

d) hasil pembakaran biogas relatif lebih bersih dibandingkan pembakaran dengan minyak tanah.


(13)

e) pemanfaatan gas metana yang umumnya dilepaskan pada proses penguraian biomassa dapat menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca. Berikut adalah data konsumsi energi di Indonesia untuk tiap sektor.

Tabel 1. Data konsumsi BBM di Indonesia untuk tiap sektor Tahun Industri

(%)

Rumah Tangga & Komersial (%)

Transportasi (%)

Pembangkit Listrik (%)

1994 23.2 21.6 45.8 9.4

1997 21.1 19 47.9 12

1998 21.5 20.7 48.8 9 2000 21.7 22.2 47.1 9 2003 24 18.2 47 10.7* 2006** 44.1 15.4 36.7 3.9 2007*** 18.2 17.4 50.4 13.9

Sumber: Ditjen Migas, 2003 * : untuk sektor yang lain

** : Indonesia Energy Outlook and Energy Statistics 2006 dalam Hani (2009)

*** : Agenda Riset Energi IPB 2008-2012

Di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan limbah kotoran sapi padat yang dihasilkan telah dimanfaatkan menjadi pupuk organik dan sebagian lain yang merupakan limbah kotoran cair langsung dibuang ke badan air di lingkungan sekitar. Penggunaan teknologi biogas yang akan digunakan di peternakan ini tidak akan mengganggu tingkat produksi pupuk organik, karena limbah sisa dari proses produksi biogas yang berupa lumpur atau sludge juga merupakan pupuk organik.

Pemilihan teknologi biogas sebagai salah satu cara untuk memanfaatkan limbah organik telah lama dilakukan. Namun, di Peternakan Kebagusan, teknologi biogas belum pernah diterapkan sesuai dengan kondisi riil di peternakan tersebut. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan melakukan studi awal kemungkinan penerapan teknologi biogas di peternakan ini, kemudian melakukan analisis kelayakan dari segi teknis, ekonomi, dan sosial yang sesuai dengan kondisi rill di area peternakan tersebut terhadap kemungkinan implementasi instalasi pembangkit biogas. Penelitian yang berkaitan erat dengan analisis kelayakan tersebut sangat diperlukan, untuk mengetahui tingkat penerimaan peternak dan masyrakat sekitar. Berikut adalah jenis sumber energi yang biasa digunakan untuk memasak di Indonesia.


(14)

Tabel 2. Nilai kalor beberapa sumber energi di Indonesia Jenis energi Nilai kalor (kkal/kg)

LPG (kg) 12040

Minyak tanah (kg) 10500

Gas kota (m3) 3600

Arang kayu (kg) 7000

Kayu bakar (kg) 3500

Serbuk kayu (kg) 3200

Batubara * 7200

Gasoline * 11200

Berbagai Jenis Biomassa**

Briket bagasse (kg) 4200

Briket ampas jarak (B2TE-BPPT) (kg) 3900 Briket ampas jarak (Tracon Ind) (kg) 4000 Briket limbah lumpur sawit (kg) 2600 Briket serbuk gergaji (kg) 4500

Briket alang-alang (kg) 3900

Briket arang batok kelapa (kg) 4400

Bonggol jagung (kg) 3700

Briket arang bonggol jagung (kg) 4800 Briket arang ampas gergaji (kg) 4700

Getah jarak (kg) 5600

Kayu bakar (akasia) (kg) 4100

Biogas (m3)*** 4800-6900

Sumber: Hartoyo, 1979 dalam Hartulistiyoso (1987) ** Agustina (2008)

*Loehr (1984) dalam Fauziyah (1996) *** Gunnerson dan Stuckey (1986)

B. Tujuan

Penelitian ini melakukan studi awal kemungkinan penerapan teknologi biogas secara nyata di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan dengan tujuan adalah :

a) Menghitung potensi limbah kotoran sapi yang akan digunakan sebagai bahan baku di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan.

b) Melakukan analisis kelayakan dari segi teknis, ekonomi, dan sosial terhadap implementasi teknologi biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan.

c) Merencanakan penerapan teknologi Biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan.


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Biogas

Biogas merupakan suatu jenis gas yang dapat dibakar, yang diproduksi melalui proses fermentasi anaerobik bahan bakar organik seperti kotoran ternak dan manusia, biomassa, limbah pertanian atau campuran keduanya, di dalam suatu ruangan pencerna (digester) (Abdullah et all, 1998). Menurut Yadvika et al, 2004, dalam Rahman, 2007), biogas merupakan gas hasil pendegradasian substrat organik secara anaerobik. Sedangkan Menurut Sahidu (1983), biogas adalah suatu campuran gas-gas yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen (anaerobic process), dari campuran bahan tersebut dihasilkan gas metana (CH4). Menurut Gunnerson dan Stuckey (1986), menyatakan bahwa nilai kalor gas metana murni sebesar 9100 kkal/m3pada suhu 15.50C dan tekanan 1 atm.

Unit pembangkit biogas tidak hanya menghasilkan gas metana sebagai penyuplai energi, tetapi juga menghasilkan sludge yang dapat digunakan sebagai pupuk ataupun pakan cacing tanah Rubellus rumbricus (Sahidu, 1983). Penggunaan biogas juga merupakan salah satu cara untuk mengurangi polusi udara dan mengurangi pemanasan global akibat emisi gas metana bebas yang merupakan salah satu gas rumah kaca (greenhouse gas) (BPLH, 2009).

Biogas dapat dihasilkan pada lingkungan yang tidak terdapat udara (anaerob), hal ini dikarenakan bakteri yang berperan pada proses ini adalah bakteri anaerob. Berikut adalah komposisi biogas dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi biogas

No. Komponen Biogas Presentase (%) 1. Metana (CH4) 55-65 2. Karbon dioksida 36-45

3. Nitrogen 0-3

4. Hidrogen 0-1

5. Hidrogen sulfida (H2S) 0-1

6. Oksigen 0-1

Sumber: Energy Resources Development Series no.19, Escap, Bangkok dalam Kadir (1987).


(16)

Sedangkan menurut Jones et all, 1980 dalam Abdullah et all, 1998) kandungan gas metana berkisar antara 54-70%. Besarnya nilai kalor yang terdapat dalam biogas tergantung kandungan gas metana dalam biogas tersebut. Semakin tinggi kandungan gas metana maka semakin besar energi (nilai kalor) pada biogas tersebut, begitu pun sebaliknya. Data yang diperoleh dari Kajian Teknologi Energi (2007) menyebutkan bahwa, nilai kalor rendah (LHV) CH4= 50,1 MJ/kg dengan densitas CH4= 0,717 kg/m3.

B. Teknologi Produksi Biogas

Teknologi biogas termasuk ke dalam teknologi konversi energi biomassa yang memerlukan bantuan mikroba dalam proses penerapannya. Mikroba tersebut digunakan untuk membantu proses degradasi bahan organik menjadi biogas yang dapat digunakan sebagai sumber energi baru (Abdullah et all, 2006). Teknologi biogas merupakan teknologi yang memanfaatkan proses fermentasi secara anaerobik bahan-bahan organik oleh bakteri metanogen dalam suatu ruangan pencerna (digester) anaerob (Abdullahet all, 1998). Gas metana yang dihasilkan dapat dibakar sehingga menghasilkan energi panas yang dapat digunakan untuk memasak atau memanaskan sesuatu (Nandiyanto dan Rumi, 2006 dalam Rahman, 2007). Adapun dalam pembentukan biogas perlu diperhatikan beberapa hal, sebagai berikut:

B.1. Tahapan Pembentukan Biogas

Pada proses produksi biogas akan melalui beberapa tahapan yang dilakukan oleh aktifitas berbagai mikroba. Menurut Gijzen (1987) dalam Rahman (2007), dekomposisi anaerobik pada biopolimer organik sangat kompleks menjadi gas metana yang dilakukan oleh aktifitas kombinasi mikroba. Secara umum dekomposisi ini dapat digolongkan dalam empat tahapan, reaksi metabolisis ini memiliki jalur yang cukup kompleks (pada tahap asidogenesis). Berikut adalah diagram tahapan pembentukan biogas:


(17)

Gambar 1. Tahapan fermentasi anaerobik bahan organik menjadi gas metana. (De Wilde dan Vanhille, 1985 dalam Rahman, 2007).

a) Hidrolisis

Menurut Yadvika,et al(2004) dalam Rahman (2007), menyatakan bahwa dalam tahap hidrolisis terjadi pemecahan secara enzimatik dari bahan yang tidak mudah larut seperti lemak, polisakarida, protein, dan asam nukleat menjadi bahan yang mudah larut. Protein dihidrolisis menjadi asam-asam amino, karbohidrat menjadi gula-gula sederhana, sedang lemak diurai menjadi asam-asam berantai pendek (Yani dan Darwis, 1990). Pemecahan ini dilakukan oleh sekelompok bakteri anaerobik, seperti Bactericides dan Clostridia maupun bakteri fakultatif, seperti Streptococci (Yadvika, et al, 2004 dalam Rahman, 2007), dan dibantu oleh enzim selulolitik, lipolitik, proteolitik, dan lanilla sehingga mempercepat dekomposisi polimer menjadi monomer-monomer (NAS, 1977 dalam Rahman, 2007). Ikatan alfa-glikosidik umumnya terdapat pada sebagian besar polimer seperti pati dan glikogen yang dapat dihidrolisis oleh amilase. Pektin lebih mudah didegradasi oleh pektinase atau amilase, sedangkan protein oleh protease dan peptidase. Selulosa merupakan senyawa yang resisten terhadap reaksi hidrólisis.

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Selulose

Polimer Karbohidrat

Lipase Senyawa Bakteri Bakteri Bakteri

Lemak Terlarut Asam Organik Asetat CH4+CO2 asam Alkohol asetat metana

Protease Protein


(18)

b) Asidogenesis

Pada tahap asidogenesis bakteri menghasilkan asam, mengubah senyawa rantai pendek hasil proses pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen dan karbon dioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam. Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan oksigen dan karbon yang diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan. Pembentukan asam pada kondisi anaerobik tersebut penting untuk pembentuk gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Selain itu, bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbondioksida (CO2), asam sulfida (H2S), dan sedikit gas metana (CH4) (Amaru, 2004 dalam Rahman, 2007).

Menurut Bryant (1987) dalam Rahman (2007), produk terpenting dalam tahap asidogenesis adalah asam asetat, asam propionat, asam butirat, H2, dan CO2. Selain itu, dihasilkan sejumlah kecil asam formiat, asam laktat, asam valerat, metanol, etanol, butadienol, dan aseton. Bakteri pembentuk asam biasanya dapat bertahan terhadap perubahan kondisi yang mendadak dari pada bakteri penghasil metana. Bakteri ini jika dalam kondisi anaerobik, mampu memproduksi makanan pokok untuk penghasil metana dan aktifitas enzim yang dihasilkan terhadap protein dan asam amino akan membebaskan garam-garam amino yang merupakan satu-satunya sumber nitrogen yang dapat diterima oleh bakteri penghasil metana (Yani dan Darwis, 1990).

c) Asetogenesis

Tidak semua produk dari asetogenesis dapat digunakan secara langsung pada tahap metanogenesis. Menurut Bryant (1987) dan Hashimoto (1980) dalam Rahman (2007), mengemukakan bahwa alkohol dan asam volatil rantai pendek tidak dapat langsung digunakan sebagai substrat pembentuk metana, tetapi harus dirombak dahulu oleh bakteri asetogenik menjadi asetat, H2dan CO2.


(19)

Asam lemak yang teruapkan dari hasil asidogenesis digunakan sebagai energi oleh beberapa bakteri obligat anaerobik. Tetapi bakteri-bakteri tersebut hanya mampu mendegradasi asam lemak menjadi asam Synthrophobacter wolinii (Weismann, 1991 dalam Hapsari, 2007). Produk yang dihasilkan ini menjadi substrat pada tahap pembentukan gas metana oleh bakteri metanogenik. Setelah asidogenesis dan asetogenesis diperoleh asam asetat, hidrogen, dan karbon dioksida yang merupakan hasil degradasi anaerobik bahan organik.

d) Metanogenesis

Metanogenesis merupakan tahap terakhir dari semua tahap konversi anaerobik dari bahan organik menjadi metana dan karbon dioksida. Pada tahap awal pertumbuhannya, bakteri metanogenik bergantung pada ketersediaan nitrogen dalam bentuk amonia dan jumlah substrat yang digunakan. Pada tahap metanogenesis, bakteri metanogenik mensintesis senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Sebagai contoh bakteri ini menggunakan hidrogen, CO2, dan asam asetat untuk membentuk gas metana dan CO2. Bakteri penghasil asam dan gas metana bekerjasama secara simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan lingkungan yang ideal untuk bakteri penghasil metana. Sedangkan bakteri pembentuk gas metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Tanpa adanya proses simbiotik tersebut, akan menciptakan kondisi toksis bagi mikroorganisme penghasil asam (Amaru, 2004 dalam Rahman, 2007).

Menurut Yani dan Darwis (1990), pembentukan metana oleh bakteri membutuhkan sejumlah energi dan tergantung pada asetat dan CO2 yang terlarut sebagai sumber karbon dan sumber pengoksidasi sebagai pengganti oksigen. Menurut McCarty (1964) dalam Hapsari (2007), bakteri yang bekerja dalam tahap metanogenesis adalah bakteri metanogenik, seperti Metanobacterium omelianski dan Metanobacterium ruminantium. Bakteri ini menggunakan substrat


(20)

sederhana yang berisi asetat atau komponen-komponen karbon tunggal, seperti karbon dioksida, hidrogen, asam format, metanol, metilamin, dan karbon monoksida.

B.2. Mikroba yang Berperan dalam Proses Produksi Biogas

Pada proses pembentukan biogas, bakteri sangat berperan, adapun bakteri yang mempengaruhi proses produksi gas metana adalah bakteri anaerobik. Pada proses pembentukan gas metana, bakteri membutuhkan sejumlah energi. Bakteri anaerobik tidak dapat memanfaatkan asam asetat secara optimal karena dalam proses metabolisme bakteri anaerobik tidak dapat menggunakan oksigen, sehingga kebanyakan bakteri anaerobik melepas kelebihan asam ke lingkungan (Yani dan Darwis,1990). Bakteri anaerobik hanya dapat menggunakan sebagian dari energi glukosa, sehingga akan lebih lambat dibandingkan bakteri aerobik. Bakteri anaerobik yang digunakan pada proses pembuatan biogas adalah bakteri metanogen dan bakteri non-metanogen. Berikut adalah penjelasan tentang pengaruh kedua bakteri tersebut dalam proses produksi biogas.

a. Bakteri Non-metanogen

Menurut Yani dan Darwis (1990), bakteri non-metanogen berperan dalam degradasi limbah organik. Bakteri tersebut memiliki peranan penting pada tahap awal perombakan bahan organik yaitu proses likuifikasi atau hidrolisis dan produksi asam yang menyediakan substrat bagi bakteri metanogen. Selanjutnya bakteri non-metanogen akan mengubah senyawa sederhana tadi menjadi gas metana.

Komponen utama dari limbah organik merupakan selulosa, oleh karena itu dibutuhkan mikroba penghasil selulase untuk menguraikan selulosa. Enzim ini diproduksi oleh sejumlah bakteri dan kapang. Menurut Gijzen (1987) dalam Rahman (2007), bakteri selulolitik yang hidup dalam rumen antara lain Ruminococus albus, bacteroides succinogenes, ruminucoccus flafefaciens succinogenes merupakan


(21)

mikroba yang paling aktif dalam proses degradasi selulosa. Bakteri selulolitik umumnya hidup pada kisaran suhu optimum 300C -350C. b. Bakteri Metanogen

Bakteri penghasil gas metana disebut bakteri metanogen. Bakteri metanogen termasuk bakteri yang sangat sensitif terhadap oksigen dan bakteri ini dikelompokkan kedalam bakteri gram positif dan merupakan bakteri tidak motil. Bakteri metanogen sangat restriktif terhadap alkohol dan asam organik, bahan tersebut dapat dijadikan sumber karbon. Berikut spesies dan senyawa organik yang berperan sebagai substrat serta produk (senyawa-senyawa) yang dihasilkan. Tabel 4. Bakteri metanogen yang berperan dan hasil produknya.

Bakteri Substrat Produk

Metanobacterium formicum CO2 CH4

M. mobilis Format CH4

M. propionicum H2O+CO2 CO2+Asetat

M. sohngenii Propionat CH4

M. suboxydans Kaproat, Butirat CH4+CO2

Metanacoccus mazei Asetat, Butirat Propionat, Asetat

M. vanielii H2O+CO2,Format CH4+CO2

Metanaosarcina bakteri H2O+CO2,Metanol, Asetat CH4, CH4, CH4+CO2

M. metanica Butirat CH4+CO2

B.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Biogas

Pembentukan biogas banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, adapun faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan biogas adalah;

a) Bahan baku

Bahan baku yang digunakan sebaiknya berbentuk bubur atau butiran halus, sehingga proses pembentukan biogas dapat berlangsung dengan sempurna. Apabila bahan baku yang akan digunakan berupa padatan, maka sebaiknya bahan baku dicacah terlebih dahulu sehingga membentuk butiran-butiran halus. Menurut Van Buren (1979) dalam Rahman (2007), agar dapat beraktifitas normal, bakteri penghasil biogas memerlukan substrat dengan kadar padatan 7-10%. Hal ini


(22)

dikarenakan bakteri anaerobik lebih mudah mencerna bahan baku berbentuk bubur.

b) Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan suatu ukuran keasaman atau kebebasan dari suatu larutan dan merupakan logaritma dari perbandingan konsentrasi nitrogen (Yani dan Darwis, 1990). Pertumbuhan bakteri penghasil gas metana akan baik bila pH bahannya pada keadaan alkali (basa). Bila proses fermentasi berlangsung dalam keadaan normal dan anaerobik, maka pH akan secara otmatis berkisar antara 7.0-8.5. Bila derajat keasaman lebih kecil atau lebih besar dari kisaran pH di atas, maka bahan tersebut akan mempunyai sifat toksis terhadap bakteri metanogenik ( Fry, 1974 dalam Rahman, 2007).

Bakteri metanogen sensitif terhadap perubahan pH. Nilai pH optimum dalam pembuatan biogas berkisar 7.0-7.2, meskipun produksi gas dapat dihasilkan pada nilai pH 6.6-7.6 (Anonim, 1981 dalam Wiloso, 1984). Akan tetapi nilai pH terbaik untuk suatu digester biogas yaitu sekitar 7.0. Bila pH di bawah 6.5, aktifitas mikroba akan menurun dan di bawah 5.0 fermentasi akan terhenti (Yani dan Darwis, 1990).

Pada awal penguraian, akan terjadi penurunan pH akibat terbentuknya asam asetat dan hidrogen sehingga penurunan pH menjadi semakin rendah (Rahman, 2007). Dengan begitu akan menghambat pertumbuhan mikroba. Apabila secara alami tidak dapat dimungkinkan terjadinya kenaikan pH dari pH yang rendah, maka dapat ditambahkan kapur sebagai buffer (NAS, 1977 dalam Rahman, 2007). Kapur akan membentuk sistem buffer alami membentuk kalsium karbonat, selain itu dapat digunakan NaOH dan Ca(OH)2 dalam upaya memelihara sistem buffer (Price dan Cheremisinoff, 1981). Buffer yang digunakan dapat berupa amonium hidroksida larutan kapur, natrium karbonat, dan lain-lain.


(23)

Derajat keasaman pada kebanyakan bahan bio adalah pada kisaran 5-9. Pada bahan bio kotoran sapi yang baru dimasukkan umumnya mempunyai pH 7,7. Kemudian setelah dimasukkan ke dalam digester dan dicampur dengan air, keasamannya turun hingga 6,58. Lama proses suatu bahan bio dapat menghasilkan gas CH4 yang optimum sangat tergantung pada temperatur dan lama proses digester. Untuk bahan kotoran sapi misalnya pada temperatur 30-35oC, produksi CH4 optimum terjadi pada hari ke-10. Setelah hari ke-10, produksi gas CH4 akan menurun (Widodoet all, 2006).

c) Temperatur (Suhu)

Pembentukan bakteri anaerob sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, semakin tinggi suhu lingkungan maka bakteri anaerob semakin mudah terbentuk. Suhu optimum untuk pembentukan bakteri anaerob antara 350C - 370C. Gas metana dapat diproduksi pada tiga kisaran temperatur sesuai dengan sifat dan karakteristik bakteri yang hadir. Bakteri psyhrophilic 00C-70C, bakteri mesophilik pada temperatur 130C-400C, sedangkan thermophilic pada temperatur 550 C-600C (Fry, 1974 dalam Rahman, 2007).

Aktifitas bakteri dalam digester untuk menghasilkan gas tergantung pada temperatur lingkungan. Meskipun gas dapat dihasilkan pada suhu 200C-400C, dekomposisi yang lebih cepat akan diperoleh dengan menaikkan suhu digester hingga 400C-600C. Tetapi digester dengan suhu mesofilik merupakan terbaik, karena selang suhu 21-400C lebih mudah dijaga, kadar H2S yang dihasilkan rendah dan bakteri mesofilik lebih toleran terhadap fluktuasi suhu.

Suhu optimum untuk mikroba penghasil biogas antara 300C-350C (Yani da Darwis, 1990). Massa bahan yang sama akan dicerna dua kali lebih cepat pada 35°C dibanding pada 15°C dan menghasilkan hampir 15 kali lebih banyak gas pada waktu proses yang sama (Amaru, 2004 dalam Rahman, 2007).


(24)

d) Pengadukan

Menurut Barnet et all (1979), pengadukan ditujukan untuk mencegah terjadinya endapan, menyeragamkan substrat, meningkatkan laju dekomposisi dan meratakan kontak mikroba dengan substrat yang akan didegradasi. Laju reaksi maksimum akan dicapai bila digester biologinya memiliki pengadukan yang baik dan mikroba dalam kondisi optimum merombak bahan-bahan organik. Viskositas yang rendah dalam fermentor akan mengakibatkan pengendapan padatan, dan menimbulkan permasalahan dalam pengoperasian.

Menurut Apandi (1980) dalam Yulistiawati (2008), pengadukan dibutuhkan untuk menjaga agar kerak jangan sampai menumpuk dipermukaan sehingga menghambat pelepasan gas dari larutannya, menghomogenkan suhu dalam digester, menghomogenkan konsentrasi substrat, melepaskan karbon dioksida agar pH bisa naik sampai pH normal, memperbesar kontak mikroba dengan substrat dan mencegah terjadinya toksik lokal dalam digester. Menurut Barnet (1978) dalam Yulistawati (2008), waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengadukan hanya berkisar dua sampai tiga menit dan dilakukan sekali atau dua kali sehari.

e) C/N Rasio

Dalam kehidupannya mikroba memerlukan unsur makro seperti karbon, nitrogen, fosfor, sulfur dan lain-lain serta unsur mikro seperti natrium, kalsium, magnesium, cobalt, zinkim, besi dan lain-lain. Menurut Yani dan Darwis (1990), mikroba yang berperan dalam proses secara anaerobik membutuhkan nutrisi untuk tumbuh dan berkembang, sumber karbon dan sumber nitrogen. Seandainya dalam substrat hanya terdapat sedikit nitrogen, bakteri tidak akan dapat memproduksi enzim yang dibutuhkan untuk mensintesis senyawa (substrat) yang mengandung karbon. Kesetimbangan karbon dan nitrogen dalam bahan yang digunakan sebagai substrat perlu mendapat perhatian. Oleh karena itu, jika terlalu banyak nitrogen pertumbuhan bakteri akan terhambat, dalam hal ini terutama bahan yang kandungan


(25)

amoniaknya sangat tinggi. Menurut Abdullah, et all (1998), agar pertumbuhan bakteri anaerob optimum, diperlukan rasio optimum C:N berkisar antara 20:1 sampai 30:1.

Menurut Fry (1974) dalam Rahman (2007), perbandingan C/N dari bahan organik sangat menentukan aktifitas mikroba dan produksi biogas. Kebutuhan unsur karbon dapat dipenuhi dari karbohidrat, lemak, dan asam-asam organik, sedangkan kebutuhan nitrogen dipenuhi dari protein, amoniak, dan nitrat. Perbandingan C/N substrat akan berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme.

Menurut Fry dan Merrill (1973) dalam Yulistiawati (2008), perbandingan C/N untuk masing-masing bahan organik akan mempengaruhi komposisi biogas yang akan dihasilkan. Perbandingan C/N yang terlalu rendah akan menghasilkan biogas dengan kandungan CH4rendah, CO2tinggi, H2 rendah, dan N2 tinggi. Perbandingan C/N yang terlalu tinggi akan menghasilkan biogas dengan kandungan CH4 rendah, CO2tinggi, H2tinggi, dan N2rendah. Perbandingan C/N yang seimbang akan mengahasilkan biogas dengan CH4tinggi, CO2sedang, H2dan N2rendah.

f) Kondisi Anaerob

Penguraian senyawa organik pada kondisi aerob akan mengahasilkan CO2, namun apabila pada kondisi anaerob akan mengahasilkan gas metana (Mazumdar, 1982 dalam Hapsari, 2007). Dalam hal pembuatan biogas maka udara sama sekali tidak diperlukan dalam digester. Keberadaan udara menyebabkan gas CH4 tidak akan terbentuk. Oleh karena itu, digester biogas harus tertutup rapat, sehingga tidak ada udara yang masuk. Oksigen dapat membunuh semua bakteri anaerobik penghasil gas metana. Bakteri metanogen termasuk mikroorganisme anaerobik yang sangat sensitif terhadap oksigen, diketahui pertumbuhannya akan terhambat dalam konsentrasi oksigen terlarut 0.01mg/L (Yani dan Darwis, 1990).


(26)

C. Manfaat Sistem Pembangkit Biogas

Pemanfaatan limbah sapi sebagai energi biogas selain dapat mensuplai kebutuhan energi juga dapat mengatasi masalah lingkungan di peternakan setempat.

C.1 Biogas sebagai sumber energi alternatif

Biogas banyak mengandung gas metana, hal inilah yang mengakibatkan biogas dapat dijadikan sumber energi. Pada beberapa literatur sering menyebutkan nilai energi yang berbeda dari komposisi bahan yang sama, hal ini berkaitan erat dengan kondisi lingkungan setempat dan karakteristik substrat yang tidak selalu sama. Berikut adalah komposisi dan nilai energi yang dihasilkan;

Tabel 5. Komposisi limbah dan biogas yang dihasilkan. Bahan baku Nilai energi

(m3/kg kering)

Suhu (0C)

% CH4

Waktu fermentasi Limbah sapi perah 0.23-0.50 11.1-31.1 - -Limbah sapi daging 0.86 34.6 58 10

Limbah ayam 0.31* 37.3 60 30 Limbah kambing** 0.37-0.61 - 64 20 Limbah manusia 0.38 20.0-26.2 - 21

Sumber : Telaah (1980) dalam Fauziyah (1996) * Berdasarkan volatil solid yang masuk

** Termasuk kotoran dan urin

Berikut jumlah gas yang dibutuhkan untuk berbagai pemakaian. Tabel 6. Jumlah biogas yang dibthkan untuk pemakaian tertentu.

Penggunaan Spesifikasi Biogas (m3/jam)

Memasak 2“ burner * 0.33

4“burner* 0.47

Penerangan Per orang / hari 0.34-0.4 1 lampu = 100 lilin 0.13

Sumber : Telaah (1980) dalam Fauziyah (1996) * Efisiensi tidak disebutkan


(27)

C.2 Lumpur sebagai pupuk

Pada proses pembentukan biogas 99 % kandungan nitrogen masih terdapat di dalamnya, sedangkan ±1 % hilang dalam bentuk gas selama proses. Kelebihan pupuk kompos yang diproses secara anaerob amonia yang terbentuk mudah menguap. Percobaan di RRC membandingkan hasil dari 4 tanaman yang dipupuk dengan kotoran tidak difermentasi dan lumpur biogas adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Prosentase hasil tanaman dengan sludge biogas dan pupuk tanpa fermentasi.

Pupuk Jagung (%) Beras (%) Kapas (%) Gandum (%) Pupuk tidak difermentasi 100 100 100 100

Sludgebiogas 128 110 124.7 112.5

Sumber : Telaah (1980) dalam Fauziyah (1996)

C.3 Memperbaiki masalah lingkungan

Dengan memanfaatkan limbah sebagai biogas merupakan cara efektif untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Percobaaan di RRC menyebutkan bahwa telur-telur shchitosome, telur-telur dan larva hookworm setelah fermentasi berkurang sebanyak 99%. Selain itu, selama fermentasi beberapa bibit penyakit mati dalam waktu tertentu, seperti dysentri bacillus (mati setelah 3 jam fermentasi) dan parathypoid bacillus (mati setelah 44 hari)

D. Jenis-Jenis Digester (Tangki Pencernaan)

Ada beberapa jenis digester biogas yang telah dikembangkan data dari Departemen Transmigrasi RI (1986) dalam Hartulistiyoso (1987), diantaranya adalah digester tipe kubah tetap (fixed-dome), digester tipe terapung (floating drum), digester tipe PTP-ITB, dan digester balon (Indartono, 2006). Dari keempat jenis digester biogas yang sering digunakan adalah tipe kubah tetap (fixed-dome) dan tipe drum terapung (floating drum). Beberapa tahun terakhir ini dikembangkan tipe digester balon yang banyak digunakan sebagai digester sedehana dalam skala kecil (Indartono, 2006). Berikut adalah penjelasan secara terperinci ;


(28)

D.1 Digester tipe kubah tetap (fixed-dome)

Digester ini disebut juga digester cina, dinamakan demikian karena digester ini dibuat pertama kali di cina sekitar tahun 1930an, kemudian sejak saat itu digester ini berkembang dengan berbagai model. Pada digester ini memiliki dua bagian yaitu digester sebagai tempat pencerna material biogas dan sebagai rumah bagi bakteri, baik bakteri pembentuk asam ataupun bakteri pembentuk gas metana.

Bagian ini dapat dibuat dengan kedalaman tertentu menggunakan batu, batu bata atau beton. Strukturnya harus kuat karena menahan biogas agar tidak terjadi kebocoran. Bagian yang kedua adalah kubah tetap (fixed-dome). Dinamakan kubah tetap karena bentuknya menyerupai kubah dan bagian ini merupakan tempat pengumpul biogas yang tidak bergerak (fixed). Gas yang dihasilkan dari material organik pada digester akan mengalir dan disimpan di bagian kubah.

Keuntungan dari digester ini adalah perawatannya lebih mudah dan biaya konstruksi lebih murah daripada menggunakan digester terapung, karena tidak memiliki bagian yang bergerak menggunakan besi yang tentunya harganya relatif lebih mahal. Sedangkan kerugian dari digester ini adalah seringnya terjadi kebocoran pada bagian kubah karena


(29)

konstruksi tetapnya dan pada bagian pencerna akibat perubahan suhu dan cuaca.

D.2 Digester tipe terapung (floating drum)

Digester tipe terapung pertama kali dikembangkan di india pada tahun 1937 sehingga dinamakan dengan digester India. Memiliki bagian digester yang sama dengan digester kubah, perbedaannya terletak pada bagian penampung gas menggunakan peralatan bergerak menggunakan drum. Drum ini dapat bergerak naik turun yang berfungsi untuk menyimpan biogas yang dihasilkan. Pergerakan drum mengapung pada cairan, tergantung dari jumlah biogas yang dihasilkan.

Keuntungan dari digester ini adalah dapat melihat secara langsung volume gas yang tersimpan pada drum karena pergerakannya. Karena tempat penyimpanan yang terapung sehingga tekanan gas konstan. Sedangkan kerugiannya adalah biaya material konstruksi dari drum lebih mahal. Faktor korosi pada drum juga menjadi masalah sehingga bagian pengumpul gas pada digester ini memiliki umur yang lebih pendek dibandingkan menggunakan tipe kubah tetap.


(30)

D.3 Digester balon

Digester balon merupakan jenis digester yang banyak digunakan pada skala rumah tangga yang menggunakan bahan plastik sehingga lebih efisien dalam penanganan dan perubahan tempat biogas. Digester ini terdiri dari satu bagian yang berfungsi sebagai digester dan penyimpan gas masing masing bercampur dalam satu ruangan tanpa sekat. Material organik terletak dibagian bawah karena memiliki berat jenis yang lebih besar dibandingkan biogas yang akan mengisi pada rongga atas.

Gambar 4. Digester balon E. Implementasi Teknologi Biogas di Indonesia

Di Indonesia teknologi biogas telah banyak diterapkan, berikut adalah beberapa daerah di Indonesia yang telah menerapkan biogas sebagai sumber energi (Center of Agribusness Development, 1988).

E.1 Kabupaten Bogor

Perkembangan pengolahan kotoran sapi menjadi energi biogas di wilayah kebon Pedes, kabupaten Bogor sudah cukup baik, karena didukung oleh instansi pemerintah, yaitu Dinas Peternakan Kabupaten Bogor. Disini digester dikelola oleh kelompok peternak secara mandiri. Masing-masing peternak rata-rata memiliki 6 sapi, apabila peternak hanya memiliki 1-2 sapi, maka bergabung dengan tetangganya sehingga satu digester untuk beberapa rumah. Tipe digester yang digunakan adalahfixed


(31)

dome. Gas yang dihasilkan digunakan oleh masyarakat untuk memasak dan penerangan lampu.

Selain itu di wilayah Cibanteng Ciampea kabupaten Bogor, juga sudah ada digester di Pondok Pesantren Darul Fallah yang merupakan hasil kerjasama antara Ponpes dengan Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong. Digester ini dibuat untuk kapasitas 10-12 ekor sapi dan jenis disainfixed domedengan biogas dihasilkan sekitar 6 m³ per hari. Biogas yang dihasilkan digunakan untuk memasak dan penerangan lampu. Namun untuk saat ini biogas yang dihasilkan hanya digunakan untuk memasak air bagi pekerja di ponpes tersebut, tidak untuk para santri. E.2 Bandung

Di Bandung digester dibuat dengan menggunakan plastik, hal ini dikarenakan tingkat ekonomi masyarakat rendah sehingga pembuatan digester dari plastik yang diterapkan. Berikut adalah spesifikasi dimensi digester ;

a) Volume Digester : 5.000 liter

b) Volume penampung gas : 2.000 liter

c) Kompor biogas, drum umpan, dan pengamanan gas : @1 buah

d) Selang saluran gas : 20 meter

E.3 Pujon, Malang

Pujon merupakan salah satu tempat peternakan, yang terletak di kabupaten Jurangrejo, desa Pandesari, Malang. Unit biogas yang dibangun berupa digester fixed dome dengan kapasitas 9 m3. Pada tahun 1982 pemerintah membantu pengembangan unit biogas sebanyak 20 unit dengan program Bantuan Presiden (BANPRES). Selanjutnya pada tahun 1987 meningkat menjadi 40 unit hasil kerjasama pemerintah dengan Koperasi Unit Desa (KUD).

E.4 Kediri

Pengembangan unit biogas di kediri dilakukan pada tahun 1983, setelah unit biogas di daerah Pujon sukses dibangun oleh Departemen Pertanian. Pembangunan unit biogas di kediri mengadopsi unit biogas


(32)

yang dikembangkan di Pujon dengan program yang sama yaitu program BANPRES. Unit digester di Kediri, telah memodifikasi instalasi unit biogas pada saluran pemasukan dan pengeluaransludge.

F. Sapi

Sapi merupakan salah satu hewan ternak yang biasa dipelihara dalam kandang, oleh karena itu limbah sapi dapat dengan mudah dikumpulkan (Sosroamidjojo, 1975 dalam Sahidu, 1983). Limbah yang dihasilkan seekor sapi rata-rata 25 kg (Sosroamidjojo, 1975 dalam Sahidu, 1983), namun angka tersbut terlalu besar. Menurut Amaru (2004) dalam Rahman (2007), menyebutkan bahwa limbah sapi per ekor rata-rata mencapai 22 kg/ hari. Berdasarkan data yang lebih mutakhir menunjukkan bahwa pada peternakan sapi perah, sapi potong dan kerbau diperoleh kotoran rata-rata perhari sebesar 12 kg/ekor (Syamsudin dan Iskandar, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa limbah sapi yang dihasilkan oleh seekor sapi cukup besar dan apabila tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan.

G. Proses Perancangam

Perancangan merupakan penciptaan suatu rencana teknis untuk pemecahan suatu masalah, penentuan suatu solusi atas suatu masalah yang belum terpecahkan sebelumnya, atau penentuan solusi baru atas masalah yang sudah dipecahkan dengan cara lain. Tahapan perancangan meliputi rancangan fungsional dan rancangan struktural, perancangan dapat dilakukan berdasarkan ide awal yang belum pernah ada ataupun memperbaiki rancangan dari suatu produk yang telah ada saat ini (Hermawan, 2008).

Proses perancangan diawali dengan kegiatan mengidentifiksi kebutuhan, hal ini timbul karena ketidakpuasan atas suatu kondisi. Kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi permasalah apa yang akan dipecahkan dan tujuan apa yang ingin dicapai dari desain yang akan dibuat. Selanjutnya dilakukan pengumpulan informasi yang berkaitan erat dengan desain yang akan dibuat, mengenai ketersediaan bahan baku, proses pembuatan, dan lain sebagainya (Hermawan, 2008).


(33)

Setelah itu, dilakukan perancangan konsep awal perancangan, kemudian dilanjutkan dengan proses perancangan fungsional untuk menentukan semua fungsi yang dibutuhkan untuk memecahkan suatu masalah. Selanjutnya proses perancangan struktural untuk menentukan bahan dimensi yang sesuai untuk menjalankan semua fungsi yang telah ditentukan pada tiap bagian detail. Ketika semua selesai dilakukan evaluasi terhadap desain yang telah dibuat, kemudian hasil yang telah diperoleh maka dikomunikasi untuk membuat produk hasil rancangan (Hermawan, 2008).

Pada perancangan alat yang menggunakan bahan logam, ada hal-hal yang harus diperhatikan, seperti korosi. Korosi merupakan hasil reaksi kimia dari bahan logam dengan bantuan air dan oksigen. Korosi dapat dihindari dengan memberi lapisan penghalang pada logam agar memisahkan lingkungan dan logam itu sendiri, hal ini juga baik untuk mengendalikan lingkungan mikro pada logam itu sendiri (Trethwey, 1991). Lapisan yang baik untuk menghindari korosi adalan zat cair dan aditif yang dapat membuat cat mempunyai fluiditas dan bila mengering atau menguap meniggalkan suatu selaput padat (Trethwey, 1991). Ketebalan lapisan cat harus merata di seluruh lapisan logam termasuk pada pinggiran, pojok ulir, paku keling, dan sambungan. Kerusakan cat pada bagian tertentu akan menyebabkan keruskan lebih lanjut pada bagian logam yang lainnya (Trethwey, 1991). Berikut adalah bagan alir perancangan,


(34)

Gambar 5. Diagram proses perancangan (Hermawan, 2008) H. AnalisisTeknis

Menurut Widodo et all (2006), analisis teknis dilakukan untuk menguji unjuk kerja digester biogas yang dibuat dengan menggunakan alat ukur seperti termometer, pH meter, gas flowmeter, dan monometer untuk mengukur tekanan. Dengan demikian akan diketahui kondisi dalam digester yang dibuat dan jumlah biogas yang dihasilkan. Menurut Sutanto dan Tjahyono (1988), berdasarkan hasil penelitian pembuatan biogas dari batang pisang menunjukkan bahwa produksi biogas lebih banyak dengan mencampurkan batang pisang dan kotoran sapi, jika dibandingkan dengan kotoran sapi murni. Berikut adalah perbandingan batang pisang dan limbah kotoran sapi terbaik:

ya

tidak Identifikasi kebutuhan

Identifikasi permasalahan

Pengumpulan informasi

Konseptualisasi

Rancangan fungsional

Rancangan struktural

Komunikasi hasil Evaluasi


(35)

Tabel 8. Perbandingan batang pisang dan kotoran sapi yang optimum Batang pisang Kotoran sapi

1 4

2 3

1 2

Sumber : Sutanto dan Tjahyono (1988)

Akan tetapi, apabila perbandingan batang pisang dan kotoran sapi yang digunakan 1:9, maka produksi biogas yang dihasilkan lebih banyak dari kotoran sapi murni (Sutanto dan Tjahyono, 1988). Pada uji bakar biogas yang dihasilkan sebaiknya dilakukan pada saat tekanan gas di atas 15 cm H2O, karena apabila kurang dari itu waktu menyala masih pendek (Heriyanto, 2004).

I. Analisis Ekonomi

Analisis ekonomi perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan suatu alat yang dibuat (Widodo et all, 2006). Analisis ekonomi dapat dilakukan dengan memperhitungkan total biaya investasi yang meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap, sehingga diperoleh biaya pokok

I.1 Biaya tetap

Biaya tetap adalah jenis biaya yang selama satu periode akan tetap jumlahnya. Biaya ini tidak tergantung pada produk yang dihasilkan dan bekerja atau tidaknya mesin serta nilainya relatif tetap. Biaya yang termasuk biaya tetap adalah biaya penyusutan, biaya bunga modal dan asuransi, biaya pajak, dan biaya gudang atau garasi (Pramudya dan Dewi, 1992).

a) Biaya penyusutan

Merupakan penurunan nilai dari suatu alat atu mesin akibat dari pertambahan umur pemakaian. Hal ini dapat diakibatkan karena adanya kerusakan dan komponen yang mengalami aus. Berikut adalah persaman yang digunakan ;


(36)

= − Keterangan :

P : Harga awal (Rp.) S: Harga akhir (Rp.) N: Perkiraan umur ekonomis ( tahun)

b) Biaya bunga modal dan asuransi

Biaya ini semu, karena tidak benar-benar dikeluarkan oleh sistem. Besarnya biaya bunga modal dapat dihitung dengan persamaan :

= ( + 1)

2 Keterangan :

i: Tingkat bunga modal per tahun (%/th) c) Biaya pajak

Pajak untuk mesin dan alat pertanian untuk masing-masing negara berbeda, di Indonesia pajak untuk alat dan mesin pertanian sebesar 2 % dari harga awal.

d) Biaya gudang atau garasi

Biaya ini dapat berupa biaya penyusutan apabila bangunan dibangun sendiri, namun apabila bangunan ini disewa, maka biaya ini adalah biaya sewa bangunan tersebut.

I.2 Biaya tidak tetap

Biaya tidak tetap merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan pada saat alat dan mesin pertanian beroperasi dan jumlahnya tergantung pada jam yang digunakan (Pramudya dan Dewi, 1992). Biaya ini meliputi biaya bahan bakar, pelumas, perbaikan dan pemeliharaan, biaya operator, dan biaya hal-hal khusus.

a) Biaya total

Biaya total merupakan jumlah biaya tetap dan biaya tidak tetap. Nilainya dinyatakan dalan jumlah biaya per tahun atau per jam. Beriut persamaan yang digunakan:


(37)

Keterangan :

BT: biaya tetap BTT: Biaya tidak tetap

x: Lama kerja per tahun (jam atau hari per tahun) b) Biaya pokok

Biaya pokok adalah biaya yang diperlukan untuk memproduksi tiap unit produk yang dihasilkan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut;

= Keterangan:

k: kapasitas alat atau mesin (satuan jumlah volume per satuan waktu)

J. Analisis Sosial

Teknologi biogas sudah terbukti manfaatnya di masyarakat, untuk mendorong kegiatan pertanian yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan kegiatan pertanian perlu dipertimbangkan pemberiaan penghargaan kepada pelaku yang memperhatikan lingkungan berupa potongan pajak dan sangsi bagi yang mengabaikan pencemaran lingkungan (Widodoet all, 2006).

Dukungan dari masyarakat sangat perlu dalam aplikasi teknologi biogas. Proyek ini membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat untuk mempermudah proses dan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sekitar peternakan. Menurut Rakhmat (2004) dalam Sari (2007) pola pikir dan pola sikap seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor individual dan faktor situasional.

Faktor individu adalah faktor yang melekat pada diri individu seseorang seperti umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin, agama,dan bangsa. Semakin lanjut usia seseorang, maka semakin tidak responsif terhadap hal-hal baru. Sedangkan semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin objektif. Faktor situasional merupakan faktor-faktor sosial dan ekonomi seseorang yang bersangkutan. Hal ini akan sangat dipengaruhi oleh faktor kenyamanan seseorang terhadap hal-hal baru.


(38)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan pada bulan Mei 2009 hingga Agustus 2009.

B. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang sesuai dengan diagram alir berikut :

Gambar 6. Diagram alir proses penelitian Pembuatan dan pemasangan alat

Berhasil? Pengumpualan data dan

informasi penunjang

Modifikasi

Perancangan instalasi biogas

Uji fungsional dan penelitian pendahuluan Mulai

Pendekatan masalah

Penentuan parameter dan metode penagmbilan data

Pengujian dan pengambilan data

Pengolahan data dan perencanaan penerapan teknologi biogas

Analsis kelayakan dari segi teknis, ekonomi, dan sosial


(39)

B.1 Pendekatan Masalah untuk Perancangan

Tahapan ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang terdapat di peternakan setempat. Kegiatan yang akan dilakukan adalah mengidentifikasi potensi biogas dan potensi pemanfaatannya, mengamati tata letak peternakan, dan formulasi rancangan instalasi pembangkit biogas yang akan dibangun. Berikut adalah penjelasan secara terperinci :

a) Identifikasi Potensi Bahan Isian dan Potensi Pemanfaatannya

Identifikasi potensi biogas dan potensi pemanfaatannya, ini dilakukan untuk mengetahui potensi penerapan teknologi biogas di peternakan setempat. Berikut adalah pengamatan yang dilakukan : 1) Potensi biogas

Untuk mengetahui potensi biogas di peternakan setempat parameter yang digunakan adalah jumlah limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap hari. Besarnya jumlah limbah kotoran sapi didapat dengan mengetahui jumlah limbah kotoran sapi per hari dan jumlah sapi di peternakan setempat.

Tabel 9. Parameter untuk mengetahui potensi biogas

Parameter Data yang diperlukan

(diukur langsung) Jumlah rata-rata limbah kotoran sapi

per hari (kg / hr)

Jumlah sapi

Jumlah limbah kotoran sapi per hari

2) Kebutuhan energi peternak untuk memasak

Kebutuhan energi untuk memasak dihitung berdasakan parameter nilai kalor yang digunakan (kkal/hr). Nilai kalor yang digunakan dilihat dari lama waktu yang diperlukan oleh peternak untuk memasak (jam) dan bahan bakar yang digunakan. Berikut adalah parameter yang akan diukur ;


(40)

Tabel 10. Parameter untuk mengetahui kebutuhan energi Parameter Data yang diperlukan

(wawancara) Nilai kalor yang digunakan

(kkal/hr)

Jenis bahan bakar (kkal) Lama waktu memasak (jam/hr)

3) Kultur peternak setempat

Kultur peternak yang berkaitan erat dengan pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi biogas untuk memasak adalah kebiasaan peternak untuk ikut serta menjaga dan membersihkan lingkungan sekitar kandang sapi. Dengan demikian akan dapat diketahui kemungkinan tingkat penerimaan peternak untuk menggunakan biogas sebagai bahan bakar baru untuk memasak keluarga peternak setempat. Hal ini juga dapat menunjukan kesediaan peternak untuk merawat dan memasukkan bahan isian ke dalam digester.

b) Mengamati Tata Letak Peternakan

Pengamatan terhadap tata letak peternakan bertujuan untuk menentukan lokasi dan posisi yang tepat untuk membangun instalasi pembangkit biogas.

B.2. Rancangan Instalasi Pembangkit Biogas

Tahapan ini terdiri dari proses perancangan fungsional dan perancangan struktural. Rancangan fungsional bertujuan untuk menentukan semua fungsi-fungsi utama yang diperlukan dan menentukan mekanisme yang dapat digunakan untuk melaksanakan semua fungsi tersebut.

Sedangkan rancangan struktural dilakukan untuk menentukan dimensi dan bahan yang akan digunakan pada tiap-tiap bagian alat pada instalasi pembangkit biogas yang akan dibangun. Penjelasan untuk masing-masing bagian sebagai berikut:

a) Kolam pencampur

Berfungsi untuk mencampur kotoran sapi dan air sebelum masuk ke dalam digester. Bagian ini menggunakan drum plastik dengan


(41)

volume 220 liter dan pada bagian bawah drum diberi lubang, untuk mengeluarkan bahan yang telah di aduk.

b) Saluran pemasukan dan pengeluaran bahan isian

Berfungsi sebagai tempat keluar masuknya bahan isian dari dan ke dalam digester. Bagian ini terbuat dari pipa besi berdiameter 2 inchi dengan panjang 50 cm. Pipa besi digunakan supaya dapat disambungkan pada ruang digester yang terbuat dari drum plat besi. Sedangkan diameter 2 inchi dipilih agar laju masuk bahan isian saat dimasukkan cukup besar, sehingga dapat mendorongsludgeyang lama keluar.

c) Ruang digester

Sebagai tempat terjadinya proses perombakan secara anaerobik. Drum yang digunakan terbuat dari plat besi dengan volume 230 liter. Kemudian dibagian atas dan bawah drum dibuat lubang untuk menyambungakan pipa besi untuk saluran masuk dan keluarnya bahan isian. Digester beserta saluran masuk dan keluarnya bahan isian, menggunakan rancangan PTP ITB.

d) Penyalur gas

Berfungsi untuk menyalurkan biogas yang telah dihasilkan ke penampung gas dan ke kompor untuk digunakan. Penyaluran biogas dari digester ke penampung sementara menggunakan pipa PVC berdiameter 2 cm, panjang ke arah vertikal 1 m, ke arah samping 1 m, dan ke arah depan 60 cm. Semua siku dihubungkan menggunakan sambungan siku untuk pipa PVC. Sedangkan penyalur biogas dari penampung sementara ke kompor menggunakan selang plastik ¼ inchi. Pemilihan pipa PVC berdiameter 2 cm dan selang plastik ¼ inchi, mempertimbangkan ketersediaan bahan di lingkungan sekitar dan kemudahan aliran biogas.

e) Penampung biogas

Berfungsi untuk menyimpan biogas sebelum digunakan, bagian ini menggunakan plastik polyethilen. Hal ini mempertimbangkan aspek ketersediaan bahan di wilayah tersebut.


(42)

f) Kolam penampungsludge

Berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara sisa sludge. Kolam penampung dibuat dengan campuran semen, pasir, dan batu bata dengan dimensi 50 cm x 50 cm x 100 cm. Hal ini digunakan untuk menghindari terjadinya rembesan sludge ke air tanah, sehingga dapat merusak air tanah sekitar peternakan

h. Kran pengatur keluarnya gas

Berfungsi untuk mengatur pengeluaran gas yang akan digunakan. Terbuat dari kran besi yang terdapat pada digester dan kran pada pengeluaran penampung biogas menggunakan kran plastik.

B.3 Pembuatan dan Pemasangan Instalasi Pembangkit Biogas

Pembuatan alat dilakukan di bengkel sekitar peternakan, hal ini bertujuan agar proses transportasi dapat berlangsung lebih mudah. Pemasangan instalasi dilakukan setelah drum dipastikan dalam keadaan baik dan tidak bocor. Bagian yang bocor ditambal menggunakan lem besi, kemudian seluruh lapisan drum dilapisi dengan plinktot untuk menjaga kondisi drum agar tidak bocor.

Kemudian dilanjutkan dengan proses penyambungan berbagai komponen. Sebelum proses penyambungan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan penggalian tanah untuk menempatkan drum dalam tanah. Digester instalasi batch dipendam dalam tanah, sedangkan digester instalasi kontinyu berada di atas permukaan tanah. Setelah digester dipendam dalam tanah, kemudian dilakukan penyambungan ke penyalur biogas menuju penampung yang terbuat dari plastik.

Pada awal pembuatan, penyalur biogas menggunakan selang plastik langsung menuju plastik. Setelah dilakukan perbaikan instalasi, penyalur biogas dari digester ke plastik penampung menggunakan pipa PVC. Penyambungan antar pipa menggunakan lem pipa PVC dan pada sambungan belokan 900 menggunakan sambungan siku. Sedangkan sambungan plastik ke pipa PVC dilakukan dengan mengikat plastik dan pipa dengan karet ban dengan kuat, selanjutnya dikencangkan kembali dengan pengencang yang terbuat dari alumunium. Setelah itu sambungan


(43)

dililit dengan lakban hitam untuk mengencangkan dan memastikan tidak ada udara yang keluar.

Sambungan dari pipa PVC ke saluran biogas menuju kompor menggunakan selang plastik berukuran ¼ inchi, yang disambung dengan menggunakan dop yang dilubangi sebesar selang plastik tersebut. Pada ujung selang plastik disambung dengan selang baja untuk ke kompor gas. Pengencang pada sambungan ini menggunakan pengencang dari alumunium dan lakban hitam agar tidak ada kebocoran.

B.4 Penentuan Parameter dan Metode Pengambilan Data

Parameter teknis diukur setiap hari, yaitu suhu sludge dalam digester, suhu dan tekanan biogas yang dihasilkan, suhu lingkungan, serta volume biogas yang dihasilkan. Sedangkan parameter ekonomi dihitung berdasarkan biogas yang dihasilkan setiap hari pada instalasi kontinyu. Parameter sosial dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan peternak dan masyarakat sekitar peternakan terhadap teknologi biogas yang terdapat pada Lampiran 1.

Pengambilan data dilakukan setiap hari sekali, untuk mengetahui pengaruh beberapa parameter terhadap produksi biogas. Pengukuran suhu sludge dalam digester dilakukan dengan mengambil sludge dari dalam digester, kemudian langsung diukur menggunakan termometer. Sedangkan pengukuran tekanan dan suhu biogas yang dihasilkan diukur dalam plastik penampung. Volume biogas diukur setiap hari berdasarkan dimensi plastik, suhu, dan tekanan biogas. Pada uji bakar dilihat volume dan tekanan biogas serta lama api menyala.

B. 5 Pengujian

Pengujian instalasi pembangkit biogas dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu, tahap persiapan bahan isian, persiapan unit biogas, pengoperasian unit biogas, dan uji bakar biogas.

a) Persiapan bahan isian

Menurut Harahap,et all(1980) dalam Emmanuel (2004), laju produksi biogas tergantung pada bahan isian yang digunakan, dengan kandungan bahan kering optimum berkisar 7-9%. Bahan isian yang


(44)

digunakan adalah limbah kotoran sapi dan air dari Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. Perbandingan limbah kotoran sapi dan air yang digunakan adalah 1:1.5 dengan kadar air 93%. Sebelum bahan isian dimasukkan, perlu dilakukan pengadukan hingga terbentuk lumpur atau bubur.

b) Persiapan instalasi pembangkit biogas

Tahapan ini bertujuan untuk memastikan semua komponen dapat berfungsi dengan baik. Peralatan merupakan faktor yang sangat menentukan hasil biogas yang didapatkan. Oleh karena itu, pengujian sangat perlu dilakukan sebelum alat dioperasikan, yaitu dengan melakukan uji kebocoran digester, sambungan antar pipa, pipa dengan selang, dan tempat penampung biogas.

c) Pengoperasian instalasi pembangkit biogas

Bahan isian yang telah siap digunakan dimasukkan ke dalam drum digester. Bahan isian yang dimasukkan ke dalam digester sebanyak 50% dari volume digester, kemudian dibiarkan sampai produksi biogas habis untuk instalasibatch. Sedangkan pada instalasi kontinyu, bahan isian disiapkan setiap hari, saat produksi biogas mencapai titik maksimum.

d) Uji bakar Biogas

Pengujian biogas yang dihasilkan dilakukan dengan cara uji bakar langsung biogas dari tempat pengeluaran pada selang. Pada saat pengujian dihitung pula lama api menyala.

B. 6 Pengolahan Data dan Perencanaan Penerapan Teknologi Biogas Volume biogas dihitung berdasarkan dimensi plastik penampung biogas dan biogas terukur pada suhu dan tekanan tertentu. Dari jumlah mol inilah dapat diketahui volume biogas pada suhu dan tekanan tertentu. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan berikut :

P.V =n.R.T Keterangan :


(45)

P = tekanan biogas terukur (atm) T = suhu biogas (K)

R = konstanta 0.0821 L atm/ mol .K

n = jumlah mol, denagan konversi 1 mol = 22.4 lt

Perencanaan penerapan teknologi biogas di Peternakan Kebagusan dihitung berdasarkan jumlah limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap hari. Sehingga diketahui volume digester yang dibutuhkan dan jumlah biogas yang dihasilkan pada kondisi oprtimum.

B. 7 Analisis Kelayakan

Analisis yang dilakukan meliputi hal-hal berikut : a) Analisis bahan isian

Pada tahapan analisis ini bertujuan untuk mengetahui CN ratio dan kadar air bahan baku isian.

b) Analisis teknis

Analisis teknis dilakukan berdasarkan pengukuran suhu sludge dalam digester serta volume biogas setiap hari pada tekanan dan suhu saat itu

c) Analisis ekonomi

Analisis ekonomi meliputi besarnya biaya investasi terhadap jumlah biogas yang dihasilkan setiap harinya. Biaya investasi dihitung berdasarkan estimasi harga bahan dan alat konstruksi yang diperlukan serta biaya pengerjaannya dengan memperhitungkan pula umur ekonomis dari instalasi yang dibangun. Sehingga akan diperoleh besarnya harga per liter biogas (Rp./lt) dan harga per kilo kalori biogas, yang akan dibandingkan dengan harga per kilo kalori LPG.

d) Analisis sosial

Analisis sosial diperoleh dari wawancara peternak dan masyarakat sekitar mengenai tingkat penerimaan peternak dan masyarakat sekitar terhadap teknologi biogas. Adapun parameter yang digunakan terlihat pada Lampiran 1.


(46)

Analisis kelayakan dilakukan berdasarkan data hasil pengukuran dan perhitungan yang telah dilakukan sebelumnya serta informasi yang telah diperoleh. Tingkat kelayakan penerapan teknologi biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan dilihat dari masing-masing segi teknis, ekonomi, dan sosial.

Analisis kelayakan dari segi teknis akan menggunakan parameter volume biogas yang dihasilkan dan kandungan CN ratio limbah kotoran sapi di peternakan tersebut. Sedangkan analisis kelayakan dari segi ekonomi menggunakan harga per satu kilo kalori biogas yang dibandingkan dengan harga per satu kilo kalori LPG. Sedangkan analisis kelayakan dari segi sosial dilihat dari tingkat penerimaan peternak dan masyarakat sekitar terhadap teknologi biogas.

Setelah semua analisa kelayakan dilakukan, maka peneliti akan menyatakan rekomendasi-rekomendasi untuk memperoleh kelayakan dari segi teknis, ekonomi, dan sosial secara keseluruhan.

C. Bahan dan Alat

Bahan baku isian yang digunakan untuk memproduksi biogas pada penelitian ini adalah kotoran sapi yang terdapat di wilayah Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. Sedangkan bahan dan alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ;

Tabel 11. Bahan dan alat yang digunakan

No. Alat dan Bahan Unit Spesifikasi Bahan asal

1 Drum 2 230 lt Plat besi

2 Plastik 7 m D = 80 cm Polyethilen

3 Kran 2 D =0.5 “ Plastik

4 Kran 2 D = 0.5 “ Besi

5 Paralon 7 m D = 2 cm PVC

6 Sambungan siku 4 D = 0.5 “ PVC

7 Sambungan T 2 D = 0.5 “ PVC


(47)

Tabel 11. Bahan dan alat yang digunakan (lanjutan)

No. Alat dan Bahan Unit Spesifikasi Bahan asal

9 Pengencang 4 Alumunium

10 Lakban hitam 4 Karet lem

11 Semen 1 bal

12 Pasir 1 gerobak

13 Batu bata 100

14 Lahan

15 Kompor gas LPG

16 Termometer Alkohol

17 Kertas lakmus Merah-biru

18 Korek api 19 Oven


(48)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Peternakan

Penelitian ini dilakukan di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan. Peternakan ini terletak di daerah pemukiman dan terletak di belakang daerah perkantoran. Saluran pembuangan limbah kotoran sapi menuju selokan besar yang terdapat di dataran lebih rendah dari peternakan ini. Limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap harinya telah dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Hanya limbah kotoran cair yang dibuang ke badan air sekitar dan sebagian limbah kotoran padat yang ikut mengalir, sedangkan limbah kotoran sapi yang padat disimpan dalam karung untuk dikeringkan menjadi pupuk.

Sejak bulan Juli 2009 peternakan ini tidak dapat memproduksi pupuk organik, karena lahan yang biasa digunakan sebagai tempat untuk mengeringkan limbah kotoran sapi sudah tidak dapat digunakan lagi. Limbah kotoran sapi yang dihasilkan hanya dimasukkan dalam karung dan diletakkan di sekitar kandang. Hanya sesekali ada pelanggan pupuk yang bersedia membawa limbah kotoran sapi masih dalam keadaan basah untuk dikeringkan di tempat mereka masing-masing. Namun pada bulan Oktober 2009, peternakan ini mulai memproduksi pupuk organik lagi. Pengeringan dan pengomposan dilakukan di bagian depan kandang, di tempat penelitian ini dilakukan.

A.1 Potensi Bahan Isian dan Potensi Pemanfaatannya

Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan memiliki 36 ekor sapi perah (pada tanggal 01 Maret 2009) dengan rincian umur yaitu, 15 ekor berumur kurang dari 1 tahun, 11 ekor berumur kurang dari 10 tahun, dan 10 ekor berumur di atas 10 tahun.

Limbah kotoran sapi yang dihasilkan setiap hari rata-rata ±500 kg dengan kadar air rata-rata 73.79 %, dengan perhitungan setiap sapi menghasilkan ±14 kg/hr/ekor. Limbah kotoran sapi di peternakan ini sudah terpisah dari air sehingga memiliki kadar padatan yang cukup besar. Oleh karenanya jika hendak digunakan sebagai bahan pembuat biogas


(49)

diperlukan kolam pencampur limbah kotoran sapi dan air agar terbentuk lumpur atau bubur sebelum bahan dimasukkan ke dalam digester.

A.2 Kebutuhan Energi Peternak untuk Memasak

Energi yang digunakan peternak setiap hari adalah gas LPG dengan lama penggunaan rata-rata selama 1.5 jam per hari, setara dengan 7224 kkal per hari. Setiap hari peternak memasak sehari-hari untuk sembilan orang. Bahan-bahan yang dimasak setiap hari dengan kompor gas LPG terdiri dari makanan lauk pauk, sayur mayur, nasi, dan air.

A.3 Kultur Peternak Setempat

Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan memiliki dua orang pekerja, satu orang untuk membersihkan kandang dilakukan pada pagi dan sore hari yang dibantu oleh pemilik dan anak peternak. Sedangkan pekerja yang satu mengambil rumput sebagai pakan sapi, pakan yang diberi adalah ampas tahu dan rumput.

A.4 Tata Letak Peternakan

Peternakan memiliki area bebas seluas 3 m x 5 m di bagian depan kandang, tempat ini sangat sesuai untuk dibangun instalasi pembangkit biogas. Selain itu, posisi area ini dekat untuk menjangkau ke dalam rumah dan tidak akan mengganggu aktivitas sehari-hari dari peternak untuk memerah susu dan membersihkan kandang. Tanah lapak milik orang lain yang digunakan sebagai tempat menyimpan besi-besi bekas, lay out peternakan terlihat pada Lampiran 2.

B. Rancangan Instalasi Pembangkit Biogas

Pada proses perancangan instalasi pembangkit biogas harus sesuai dengan kondisi riil di peternakan tersebut, perancangan terdiri dari rancangan fungsional dan struktural. Rancangan fungsional ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan semua fungsi yang dibutuhkan pada pembuatan instalasi pembangkit biogas ini. Sedangkan rancangan struktural ditentukan berdasarkan kesediaan bahan di wilayah tersebut, ekonomi, dan tata letak


(50)

peternak, sehingga diperoleh dimensi dan bahan yang baik untuk menjalankan seluruh fungsi yang telah ditentukan.

B.1 Bak Pencampur

Berdasarkan pengamatan awal dengan mempertimbangkan kadar air kotoran sapi dan tata letak kandang, maka diperlukan bak pencampur kotoran dengan air. Bak pencampur yang digunakan adalah drum plastik dengan volume 220 liter, kemudian diberi lubang pada bagian bawahnya sebagai tempat keluarnya bahan isian yang telah siap dimasukkan. Pemilihan drum berdasarkan posisi digester yang dipendam untuk instalasi batch, sehingga lebih mudah untuk memanfaatkan drum plastik jika dibandingkan dengan membuat kolam penampung dari cor semen dan pasir.

Pada instalasibatch bahan isian dimasukkan sebanyak ½ dari volume digester sebesar 230 liter, sehingga bahan isian yang dimasukkan ke dalam digester seragam dengan mencampurkan bahan isian dalam drum plastik tersebut. Pada instalasi ini bahan isian dimasukkan hanya satu kali, sehingga pada saat drum tidak digunakan, maka drum dapat digunakan untuk hal lain. Sedangkan pada instalasi kontinyu bahan dimasukkan setiap hari setelah produksi biogas maksimum, untuk mencampurkan kotoran sapi dan air menggunakan ember dengan volume 5 liter. Hal ini dikarenakan volume digester kecil dan instalasi pembangkit biogas ini masih skala percobaan, sehingga bahan yang dimasukkan setiap hari pun sedikit (limbah kotoran sapi 1.2 kg dan air 1.8 kg).

B.2 Digester beserta Saluran Masuk dan Saluran KeluarnyaSludge

Desain digester yang digunakan adalah desain PTP-ITB yang terlihat pada Gambar 7, semua bahan yang digunakan pada digester ini adalah besi. Namun instalasi pembangkit biogas yang dibangun disesuaikan dengan kondisi di peternakan tersebut, terutama kondisi tata letak kandang. Hal ini bertujuan agar instalasi pembangkit biogas yang dibangun dapat berjalan dengan baik tanpa mengganggu aktivitas peternak sehari-hari, dapat dirawat dan diperbaiki dengan mudah oleh peternak.


(51)

Digester ini dibuat dua buah, satu untuk instalasibatchyang dipendam dalam tanah dan instalasi kontinyu yang diletakkan di atas permukaan tanah. Pada digester terdapat kran yang berfungsi untuk mengatur keluarnya biogas yang dihasilkan menuju penampung biogas sementara.

Gambar 7. Desain digeser PTP-ITB dalam Abdullahet all(1998). Berikut adalah penggalian tanah untuk menyimpan digester instalasibatch.

Gambar 8. Saat penggalian tanah untuk digester instalasibatch

Saluran masuknya bahan isian ke digester sama dengan saluran keluarnya bahan dari digester, tetapi pada saluran masuk terdapat corong. Pada bagian corong ini dicor dengan campuran dari semen, pasir, dan batu bata untuk menstabilkan posisi corong agar tak bergerak dengan dimensi coran 20 cm x 20 cm x 10 cm. Pada saluran keluarnya sludge juga dicor, supaya lubang keluaran sludge langsung berhubungan dengan kolam penampung sementara.


(52)

B.3 Penyalur Biogas

Pada awal pembuatan instalasi ini, penyalur biogas dari digester ke penampungan gas dan penyalur biogas dari penampung ke kompor gas menggunakan selang plastik berdiameter 1 inchi dan ¼ inchi seperti pada Gambar 9. Penggunaan selang plastik dengan diameter tersebut disesuaikan dengan kran yang terdapat pada digester. Namun setelah diuji, biogas yang dihasilkan tidak mampu naik ke penampung biogas. Hal ini dikarenakan struktur selang plastik yang dapat mengembang, sehingga tekanan yang diperlukan untuk menaikkan biogas ke penampung pun besar.

Gambar 9. Instalasi pembangkit biogas pada awal pembuatan

Setelah itu, penyalur biogas dari digester ke penampung diganti menggunakan pipa PVC berdiameter 2 cm terlihat pada Gambar 10, sambungan antar pipa menggunakan sambungan siku dengan lem pipa PVC.


(1)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

STUDI AWAL TERHADAP IMPLEMENTASI TEKNOLOGI BIOGAS DI PETERNAKAN KEBAGUSAN, JAKARTA SELATAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanain Bogor

Oleh :

NUR ARIFIYA AR F14050764

Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 Februari 1987 Tanggal Lulus : Oktober 2009

Menyetujui, Bogor, Oktober 2009

Ir. Sri Endah Agustina, MS Dosen Pembimbing

Mengetahui,


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Studi Awal terhadap Implementasi Teknologi Biogas di Peternakan Kebagusan, Jakarta Selatan”.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak yang telah meluangkan ilmu dan waktunya serta dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik berupa materi maupun motivasi. Oleh karena itu penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayahanda (Alm) dan Ibunda tercinta, kakak, adik, dan seluruh keluarga atas do’a, motivasi, dan perhatianbaik dalam bentuk moril dan materi yang telah diberikan selama ini.

2. Ibu Ir. Sri Endah Agustina, MS selaku pembimbing akademik atas bimbingan, arahan, dan bantuan moril serta materi yang diberikan.

3. Dr. Arief Sabdo Yuwono dan Dr. Dyah Wulandani selaku dosen penguji. 4. Bapak G. Radityo Gambiro (Orang Tua Asuh) besarta keluarga dan Mba

Lia yang telah banyak membantu penulis selama di bangku kuliah ini. 5. Keluarga besar H. Abd. Rozaq atas tempat dan kesempatan yang diberikan.

6. Teman-teman TEP 42 atas dukungan serta persahabatannya dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Bang Ipul, bang BK, beserta seluruh keluarga besar yang membantu penulis selama penelitian.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini mungkin belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan sebagai perbaikan. Sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terima kasih.

Bogor, Oktober 2009


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………...i

DAFTAR ISI……….…ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR……….. v

DAFTARLAMPIRAN………..vi

I. PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang………..…..1

B. Tujuan………..…...3

II. TINJAUAN PUSTAKA………..……4

A. Pengertian Biogas .…………....………...4

B. Teknologi Produksi Biogas ………...………...5

C. Manfaat Sitem Pembangkit Biogas ... 15

D. Jenis-Jenis Digester ...……….….… 16

E. Implementasi Teknologi Biogas di Indonesia…………...………….. 19

F. Sapi ……….……. 21

G. Proses Perancangan ……… 21

H. Analisis Teknis ………... 23

I. Analisis Ekonomi ……… 24

J. Analisis Sosial ………. 26

II. METODOLOGI PENELITIAN……….…… 27

A. Waktu dan Tempat Penelitian……….……. 27

B. Tahapan Penelitian ... 27

B.1 Pendekatan Masalah untuk Perancangan ... 28

B.2. Rancangan Instalasi Pembangkit Biogas ... 29

B.3 Pembuatan dan Pemasangan... 31

B.4 Penentuan Parameter dan Metode Pengambilan Data... 32

B.5. Pengujian ... 32

B. 6 Pengolahan Data ... 33


(4)

C. Bahan dan Alat ... 3 5

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Kondisi Umum Peternakan ... 37

A.1 Potensi Bahan Isian dan Potensi Pemanfaatannya ... 37

A.2.Kebutuhan Energi Peternak untuk Memasak... 38

A.3 Kultur Peternak Setempat... 38

A.4 Tata Letak Peternakan... 38

B. Rancangan Instalasi Pembangkit Biogas ... 38

B.1 Kolam Pencampur ... 39

B.2. Digester beserta Saluran Masuk dan KeluarnyaSludge... 39

B.3 Penyalur Biogas... 41

B.4 Penampung Biogas... 42

B.5. Kolam PenampungSludge... 42

B. 6 Kran Pengatur Keluarnya Biogas... 43

C. Unjuk Kerja... 44

C.1 Persiapan Bahan Isian... 44

C.2. Persiapan Pembangkit Biogas ... 44

C.3 Hasil Pengoperasian Sistem Batch... 45

C.4 Hasil Pengoperasian Sistem Kontinyu ... 48

C.5. Hasil Pengoperasian dengan Berbagai Perlakuan ... 50

C. 6 Analisis Bahan Isian ... 53

C.7 Analisis Teknis ... 53

C.8 Analisis Ekonomi ... 55

C.9 Analisis Sosial ... 57

C.10 Perencanaan Penerapan Teknologi Biogas………. 58

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

DAFTAR PUSTAKA……….61


(5)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Data konsumsi BBM di Indonesia untuk tiap sektor ... 2

Tabel 2. Nilai kalor beberapa sumber energi ... . 3

Tabel 3. Komposisi biogas ………..…………...………...….. 4

Tabel 4. Bakteri metanogen ……...……...…...10

Tabel 5. Komposisi dan biogas yang dihasilkan dari berbagai macam limbah... 15

Tabel 6. Jumlah biogas yang dibutuhkan untuk pemakaian tertentu... 15

Tabel 7. Tanaman yang dipupuk dengan tidak difermentasi dansludgebiogas....16

Tabel 8. Perbandingan batang pisang dan kotoran sapi yang optimum ... 24

Tabel 9. Parameter untuk mengetahui potensi biogas ... 28

Tabel 10. Parameter untuk mengetahui kebutuhan energi ... 29

Tabel 11. Bahan alat yang digunakan ... 35


(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tahapan fermentasi …………...………...…………. 6

Gambar 2. Digester tipe kubah tetap (fixed-dome) ………...…. 17

Gambar 3. Digester tiper terapung (floating drum)... 18

Gambar 4. Digester balon ... 19

Gambar 5. Diagram proses perancangan... 23

Gambar 6. Diagram proses penelitian………...………....… 25

Gambar 7. Desain digeser PTP-IPB………... 40

Gambar 8. Gambar saat penggalian tanah untuk digester sistembatch……… 40

Gambar 9. Unit sistem pembangkit biogas pada awal pembuatan ………. 41

Gambar 10. Unit sistem pembakit biogasbacthdan kontinyu ……….. 41

Gambar 11 Plastik polyethilen yang digunakan ……… 42

Gambar 12. Kolam penampungsludgesementara ………. 43

Gambar 13. Selang bentuk U ………. 43

Gambar 14. Grafik produksi biogas per hari pada sistembatch………45

Gambar 15. Profil suhu lingkungan dan suhu digester pada sistembatch…… 46

Gambar 16. Derajat keasaman pada hari ke-9 …………...……… 48

Gambar 17. Derajat keasaman pada hari ke-11…………...…..……… 48

Gambar 18. Grafik produksi biogas per hari pada sistem kontinyu ……...….….49

Gambar 19. Profil suhu lingkungan dan suhu digester padasistem kontinyu … 49 Gambar 20. Produksi Biogas pada Saat Diisi Seiap Hari ……….51

Gambar 21. Produksi Biogas pada Saat Diisi Seiap Tiga Hari ………....….51

Gambar 22. Produksi Biogas pada Saat Diisi Seiap Dua Hari ……….. .….52