Hubungan Nilai Anak Pada Pasangan Usia Subur Akseptor dan Non Akseptor Keluarga Berencana di Kelurahan Pekan Gebang Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat Tahun 2015

(1)

2.1Definisi Nilai Anak Di Dalam Keluarga

Nilai anak adalah fungsi-fungsi yang dilakukan atau dipenuhinya kebutuhan orangtua oleh anak (Esphenshade,1977). Nilai anak bagi orangtua dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui antara lain dari adanya kenyataan bahwa anak menjadi tempat orangtua mencurahkan kasih sayang, anak merupakan sumber kebahagiaan keluarga, anak sering dijadikan pertimbangan oleh sepasang suami istri untuk membatalkan keinginannya bercerai, kepada anak nilai-nilai dalam keluarga disosialisasikan dan harta kekayaan keluarga diwariskan, dan anak juga menjadi tempat orangtua menggantungkan berbagai harapan (Ihromi, 1999).

Penelitian yang dilakukan Puspasari (2014) menyimpulkan bahwa jumlah anak yang ingin dimiliki oleh PUS dipengaruhi oleh nilai anak yang dianut dalam masyarakat, dan penentuan jumlah anak oleh PUS tersebut akan mempengaruhi PUS untuk menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi. Nilai anak berhubungan erat dengan kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat, dimana setiap masyarakat memiliki nilai tertentu mengenai sesuatu yang mereka miliki. Nilai itu umumnya tidak mudah berubah, karena setiap individu telah disosialisasikan dengan nilai-nilai tersebut. Melalui proses sosialisasi, setiap individu anggota masyarakat telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup didalam masyarakat itu, mulai dari kecil sampai dewasa, sehingga konsep-konsep nilai tersebut berakar dalam jiwanya.


(2)

Koentjaraningrat (1981) melihat sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap bernilai dalam hidup, dan biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi individu dalam bertingkah laku. Nilai anak adalah bagian dari nilai budaya dalam suatu masyarakat. Nilai anak merupakan suatu penilaian individu atau masyarakat terhadap arti dan fungsi anak dalam keluarga. Anak secara umum dianggap sebagai salah satu kebutuhan orang-tua, baik sebagai kebutuhan ekonomi, sosial maupun psikologis. Ihromi (1999) berpendapat bahwa nilai anak bagi orang tua dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dari adanya kenyataan bahwa anak menjadi tempat bagi orang tua untuk mencurahkan kasih sayangnya, anak sebagai sumber kebahagiaan keluarga, anak sebagai bahan pertimbangan pasangan suami-istri ketika ingin bercerai, anak sebagai tempat untuk mensosialisasikan nilai–nilai dalam keluarga dan harta kekayaan keluarga diwariskan, dan anak sebagai tempat orang tua dalam menggantungkan berbagai harapannya.

Serupa dengan Koentjaraningrat dan Ihromi, Hoffman (1973) menyampaikan bahwa nilai anak berkaitan dengan fungsi anak bagi orang-tua. Nilai-nilai ini terikat pada struktur sosial dan dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan perubahan sosial. Maksudnya bahwa nilai yang dianut oleh suatu masyarakat akan tercermin dalam kehidupan dan kebiasaan mereka sehari-hari. Begitu juga kebutuhan orang-tua akan perhatian anak (kebutuhan psikologis). Kebutuhan tersebut sudah tentu akan dipengaruhi pula oleh aturan/norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Salah satu


(3)

contoh adanya pengaruh budaya dalam penentuan jumlah anak (nilai anak) adalah adanya pandangan dalam masyarakat yang mengatakan bahwa "Banyak Anak Banyak Rezeki". Pandangan tersebut berkembang akibat adanya anggapan bahwa pasangan yang memiliki jumlah anak yang banyak akan lebih mudah kehidupannya karena terbantu oleh karena adanya anak-anak mereka. Disamping itu banyaknya jumlah anak-anak juga akan memberi anggapan bahwa pasangan suami istri tersebut akan terbantu kehidupannya saat dihari tua nanti. Pandangan masyarakat tersebut dipengaruhi oleh pola kebudayaan zaman dahulu yang masih tradisional.

Nilai anak dalam kehidupan sosial, tampak dalam hal anak berperan sebagai penerus keturunan dan sebagai ahli waris. Dalam peranannya sebagai ahli waris, anak tidak semata-mata mewarisi harta peninggalan orang tua (warisan yang bersifat material), akan tetapi juga mewarisi kewajiban adat (warisan yang bersifat immaterial) (Ihromi, 1999).

2.2Kategori Nilai Anak

Nilai anak dapat ditinjau dalam berbagai segi, yaitu dalam segi agama, sosial, ekonomi, dan psikologis (Ihromi, 1999).

2.2.1 Nilai Anak Segi Agama

Nilai anak dalam segi keagamaan, dilandasi oleh adanya prinsip (utang) secara timbal-balik antara orangtua dan anak. Pembayaran utang tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan kewajiban satu terhadap yang lain. Pengorbanan orangtua terhadap anak mulai dilakukan sejak bayi masih didalam kandungan (Ihromi, 1999). Selain itu anak adalah anugerah dan titipan dari Tuhan yang harus dirawat dan dijaga. Anak


(4)

wajib menghormati dan menyenangkan orang tua semasa hidupnya. Kewajiban tersebut dilandasi oleh adanya utang anak kepada orangtua yang telah melahirkannya. Seperti penderitaan yang dialami oleh ibu dan ayah pada saat lahirnya bayi (anak) tidak dapat dibayar walaupun dalam waktu seratus tahun.

2.2.2 Nilai Anak Segi Sosial

Nilai anak dalam kehidupan sosial, tampak dalam hal anak berperan sebagai penerus keturunan dan sebagai ahli waris. Dalam peranannya sebagai ahli waris, anak tidak semata-mata mewarisi harta peninggalan orangtua (warisan yang bersifat material), akan tetapi juga mewarisi kewajiban adat (warisan yang bersifat immaterial), seperti halnya menggantikan orangtua dalam melakukan proses adat. Pewarisan material dan immaterial tersebut diwarnai oleh sistem kekerabatan patrilineal. Oleh karena itu, warisan diteruskan melalui garis keturunan laki-laki. Kaidah-kaidah hukum adat tersebut merupakan salah satu faktor yang dijadikan pertimbangan oleh pasangan suami istri untuk lebih mengharapkan lahirnya anak laki-laki dibandingkan anak perempuan (Ihromi, 1999).

2.2.3 Nilai Anak Segi Ekonomi

Nilai ekonomi anak dapat dilihat dari peranan anak dalam memberikan bantuan yang bernilai ekonomi kepada orangtua (Ihromi, 1999). Bantuan tersebut umumnya berupa bantuan tenaga kerja maupun bantuan materi. Bantuan tenaga kerja anak mempunyai arti penting dalam hal anak sebagai tenaga kerja dalam usaha tani keluarga. Hal ini merupakan ciri masyarakat tradisional yang anggota masyarakatnya


(5)

kebanyakan hidup bertani. Bantuan semacam ini, umumnya diharapkan dari anak laki-laki. Masyarakat yang anggotanya telah bekerja disektor industri, bantuan anak sebagai tenaga kerja keluarga tidak diperlukan lagi. Dalam masyarakat seperti ini, bantuan ekonomi anak bentuknya berupa materi. Bantuan ekonomi anak dalam bentuk materi, oleh para orang tua diakui sangat penting artinya dalam meringankan beban ekonomi rumah tangga. Nilai ekonomi anak selain dilihat dari peranan anak dalam memberi bantuan yang bernilai ekonomi kepada orangtua, juga dapat dilihat dari adanya pengorbanan orangtua terhadap anak berupa berbagai pengeluaran biaya untuk kepentingan anak. Khotimah (2009) berpendapat bahwa jenis bantuan ekonomi yang diberikan oleh anak laki-laki dan anak perempuan pada prinsipnya tidak berbeda.

2.2.4 Nilai Anak Segi Psikologi

Dari segi psikologis, tampaknya anak mempunyai nilai positif maupun negatif. Nilai psikologis yang positif dapat dilihat dari adanya kenyataan yang dialami oleh para orangtua bahwa anak dapat menimbulkan perasaan aman, terjamin, bangga dan puas. Perasaan semacam ini umumnya dialami oleh suami istri yang telah mempunyai anak laki-laki. Mereka merasa puas, aman dan terjamin karena yakin telah ada anak yang diharapkan menggantikannya kelak dalam melaksanakan kewajiban adat, dilingkungan kerabat maupun masyarakat. Selain itu, anak juga dirasakan dapat menghibur orang tuanya, memberi dorongan untuk lebih semangat bekerja, dan menghangatkan hubungan suami istri. Nilai psikologis yang negatif dapat dilihat dari adanya kenyataan yang dialami


(6)

oleh beberapa orangtua yang anaknya sering sakit, sehingga anaknya itu menimbulkan perasaan khawatir/was-was. Selain itu, ada juga kenyataan bahwa beberapa orangtua mengeluh setelah punya anak, karena merasa kurang bebas kalau akan pergi atau bekerja. Dalam hal seperti ini, anak dirasakan membuat hidupnya repot. Namun demikian, apabila dibandingkan ternyata lebih banyak orangtua yang merasakan bahwa anak mempunyai nilai positif dalam hidupnya (Ihromi, 1999).

2.3 Hubungan Nilai Anak Dengan Jumlah Anak

Jumlah ideal anak dalam satu keluarga dapat merujuk pada jumlah anak yang disampaikan oleh BKKBN. BKKBN dari hasil survei yang dilakukan pada daerah di Kalimantan memperoleh hasil bahwa jumlah anak yang ideal dari satu keluarga adalah berkisar 2 atau 3 anak (BKKBN, 2014c). Jumlah anak sangat berpengaruh dengan nilai anak yang dianut oleh suatu keluarga. Seperti telah disampaikan di atas, bahwa keluarga yang memiliki nilai anak yang bersifat negatif maka jumlah anggota keluarga akan sedikit, sedangkan keluarga yang memiliki nilai anak yang positif akan cenderung memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Ambarsari (1997) yang menemukan bahwa keluarga yang memiliki nilai anak yang positif akan memiliki jumlah anggota keluarga anak yang banyak, begitu pula sebaliknya. Pada masa sekarang ini telah terjadi perubahan pandangan terhadap jumlah anak yang ideal dalam satu keluarga. Bila pada masa dahulu keluarga dengan jumlah anak yang banyak maka akan meningkatkan derajat suatu keluarga, namun pada masa sekarang hal itu


(7)

sudah berubah (Sujarno, dkk. 1999). Masyarakat pada masa sekarang akan memiliki pandangan bahwa jumlah anak yang banyak akan menambah beban hidup keluarga tersebut. Hal ini terjadi sebagai akibat perubahan pola hidup masyarakat, dimana pada masa dahulu untuk mendapatkan penghasilan masyarakat cukup mengandalkan fisik saja, namun pada masa sekarang ini untuk mendapatkan penghasilan yang layak dibutuhkan kemampuan pemikiran yang lebih tinggi dan itu hanya dapat diperoleh dengan mengenyam suatu pendidikan. Mengenyam suatu pendidikan akan membutuhkan biaya tertentu, dan hal inilah yang akan menambah beban hidup keluarga.

Pandangan dari sisi ekonomi terhadap nilai anak juga mengalami perubahan seiring perubahan zaman. Pada masa dahulu kedudukan anak laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Anak laki-laki dari sisi ekonomi memiliki fungsi mencari nafkah, sedangkan anak perempuan hanya bertugas mengurus keluarga di rumah. Perempuan dianggap tidak layak untuk bekerja dan memperoleh pendapatan, sehingga muncul anggapan bahwa laki-laki bertugas dilapangan sedangkan perempuan bertugas di dapur. Pada masa sekarang ini kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama. Akibatnya, tidak ada lagi pemisahan tugas dalam mencari nafkah keluarga (Khairuddin, 1997). Adanya perubahan terhadap pandangan anak laki-laki dan anak perempuan tersebut mengakibatkan keinginan keluarga untuk mendapatkan salah satu jenis kelamin menjadi hilang dan bergeser kepada kualitas kehidupan dari anak tersebut.


(8)

2.4Hubungan Nilai Anak Dengan Keikutsertaan KB

Nilai anak tersebut dapat dipengaruhi oleh nilai kebudayaan dimana PUS itu berada, sehingga kebudayaan satu daerah secara tidak langsung akan mempengaruhi PUS untuk ikut serta didalam mengikuti program KB. Kebudayaan tercipta bukan hanya dari buah pikir dan budi manusia, tetapi juga dikarenakan adanya interaksi antara manusia dengan alam sekitarnya (Koentjaraningrat, 1993). Suatu interaksi dapat berjalan apabila ada lebih dari satu orang yang saling berhubungan atau komunikasi. Dari interaksi itulah terjadi sebuah kebudayaan yang akan mempengaruhi PUS untuk mengikuti program KB. Perubahan kebudayaan bisa saja terjadi akibat perubahan sosial dalam masyarakat, begitu pula sebaliknya. Manusia sebagai pencipta kebudayaan dan pengguna kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan akan selalu ada jika manusia pun ada. Pada suku Bonai menyimpulkan nilai anak yang tinggi cenderung tidak mendukung responden untuk mengikuti program KB. BKKBN (2000) menyimpulkan semakin tinggi nilai anak yang di anut dalam keluarga maka semakin sulit untuk memberikan motivasi agar berpartisipasi dalam program KB.

2.5Definisi Keluarga Berencana

Keluarga Berencana menurut WHO (World Health Organisation) adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk; (a) Mendapatkan objektif - objektif tertentu, (b) Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, (c) Mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan, (d) Mengatur interval di antara kelahiran, (e)


(9)

Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami isteri, dan (f) Menentukan jumlah anak dalam keluarga.

Menurut UU No.10 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera (1992) keluarga berencana adalah upaya peningkatan kepeduliaan dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan (PUP) ,pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.

Tujuan utama program KB nasional adalah untuk memenuhi perintah masyarakat akan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas, menurunkan tingkat atau angka kematian ibu Ibu dan bayi serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi dalam rangka membangun keluarga kecil yang berkualitas. Secara umum tujuan 5 lima tahun kedepan yang ingin dicapai dalam rangka mewujudkan visi dan misi program KB dimuka adalah membangun kembali dan melestarikan pondasi yang kokoh bagi pelaksana program KB Nasional yang kuat dimasa mendatang,sehingga visi untuk mewujudkan keluarga berkuaitas 2015 dapat tercapai.

2.6 Sejarah Keluarga Berencana 2.6.1 Situasi KB di Indonesia


(10)

Tahun 1950-an (Yuhedi & Kurniawati, 2013)

1. Pada era ini, perhatian terhadap masalah kependudukan khususnya terhadap gagasan keluarga berencana telah tumbuh di kalangan tokoh masyarakat.

2. Pemerintah pada waktu itu menyatakan tidak setuju dengan pembatasan kelahiran sebagai upaya pengendalian penduduk (Pidato Presiden Soeharto di Palembang pada tahun 1952).

3. Pada tahun 1957 mulai diorganisasikan pelaksanaannya oleh suatu badan swasta Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Kegiatan PKBI masih sangat terbatas dan dilakukan secara diam-diam karena situasi politik Indonesia tidak memungkinkan.

Awal dekade 1960-an (Yuhedi & Kurniawati, 2013)

1. Indonesia mengalami “baby boom” yang ditandai dengan ledakan

tingkatan kelahiran yang cukup tinggi.

2. Masalah kependudukan tidak mendapatkan penanganan

sewajarnya dari pemerintah orde lama yang berpaham pronatalis. Pemerintah menekankan bahwa jumlah penduduk yang besar merupakan suatu potensi yang besar untuk menggali dan mengolah berbagai sumber kekayaan alam Indonesia tanpa memperhitungkan kualitas sumber daya manusia dan dana yang menopangnya.

3. Pada tahun 1967 Presiden Soeharto dan dua puluh sembilan pemimpin dunia lain menandatangani Deklarasi Kependudukan Sedunia. Penandatanganan tersebut merupakan peristiwa yang menjadi titik balik dari sikap pemerintah Orde Lama yang


(11)

menganut paham pronatalis, menjadi sikap pemerintah Orde Baru yang lebih realistis antinatalis.

4. Pemerintah orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang berorientasi pada pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat mempunyai komitmen politis sangat besar terhadap masalah kependudukan.

5. Pemerintah membentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) yang berstatus sebagai lembaga seni pemerintah.

6. KepPres No.8/1970, LKBN diganti menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang berstatus sebagai lembaga pemerintah penuh.

Tahun 1970 (Yuhedi & Kurniawati, 2013)

1. Tepatnya tanggal 29 Juni 1970, Presiden Soeharto melantik Dewan Pembimbing Keluarga Berencana. Tanggal pelantikan ini kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Program Keluarga Berencana (KB) Nasional.

2. Sejak Pelita I, KB secara resmi menjadi program pemerintah dan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.

3. Selama enam Pelita (1969/1970-1998/1999), pelaksanaan program KB nasional diselenggarakan berdasarkan Ketetapan MPR yang dituangkan dalam GBHN dan Keputusan Presiden tentang Program Keluarga Berencana Nasional.


(12)

4. Landasan legal pelaksanaan program KB nasional semakin kuat dengan disahkannya UU No.10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembngunan Keluarga Sejahtera oleh MPR. 5. Organisasi KB terus berkembang dan makin besar, mulai dari

tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kotamadya, kecamatan/desa, jumlah tenaga, sarana, prasarana dan dana makin meningkat dan merata sesuai tuntutan perkembangan program.

Pelita I = 6 Provinsi Pelita II = 16 Provinsi

Pelita III= Mencakup seluruh provinsi di Indonesia

Era reformasi (Yuhedi & Kurniawati, 2013)

Program KB diarahkan pada pengembangan SDM potensial sehingga diperlukan upaya peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga sebagai prioritas, selain itu juga diarahkan pada pengaturan kelahiran dan pendewasaan usia perkawinan. Perkembangan KB di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dibagi menjadi dua, yaitu faktor penghambat dan faktor pendukung. Faktor yang menghambat penyebarluasan program KB di Indonesia, antara lain budaya, agama, tingkat pengetahuan masyarakat dan wawasan kebangsaan. Faktor pendukung penyebarluasan program KB, antara lain adanya komitmen politis, dukungan pemerintah, dukungan TOGA/TOMA, dan dukungan masyarakat terkait masalah kependudukan.


(13)

2.7Sasaran Keluarga Berencana

Sasaran program keluarga berencana nasional lima tahun kedepan yang sudah tercantum dalam RPJM 2004/2009 adalah sebagai berikut (Yuhedi & Kurniawati, 2013):

1. Menurunkan rata-rata laju pertumbuhan penduduk (LPP) secara nasional menjadi 1,14% per tahun.

2. Menurunkan angka kelahiran TFR menjadi 2,2 setiap wanita. 3. Meningkatkan peserta KB pria menjadi 4,5%.

4. Menurunkan pasangan usia subur PUS yang tidak ingin punya anak lagi dan ingin menjarangkan kelahirannya, tetapi tidak memakai alat kontrasepsi (unmeet need) menjadi 6%.

5. Meningkatkan penggunaan metode kontrasepsi yang efektif dan efisien.

6. Meningkatkan partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang anak.

7. Meningkatkan jumlah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera yang aktif dalam usaha ekonomi produktif.

8. Meningkatkan jumlah institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan KB (Keluarga Berencana) dan Kesehatan Reproduksi.

2.8 Metode Kontrasepsi


(14)

Metode amenore laktasi adalah kontrasepsi yang mengandalkan pemberian ASI tanpa tambahan makanan atau minuman apapun hingga 6 bulan.

2. Metode Kontrasepsi Alamiah

Metode kontrasepsi alamiah merupakan metode untuk mengatur kehamilan secara alamiah, tanpa mengunakan alat apapun.

3. Metode Kalender (Orgino-Knaus)

Metode kalender atau pantang berkala dicetuskan oleh Kyusaku Ogino (Jepang) dan Herman Knaus (Austria) pada tahun 1930. Knaus berpendapat bahwa ovulasi selalu terjadi pada hari ke-15 sebelum menstruasi yang akan datang. Sedangkan Ogino berpendapat bahwa ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-15 sebelum siklus menstruasi berikutnya.

4. Metode Suhu Basal (Termal)

Metode kontrasepsi ini dilakukan berdasarkan pada perubahan suhu tubuh. Pengukuran dilakukan dengan mengukur suhu basal (pengukuran suhu yang dilakukan ketika bangun tidur sebelum beranjak dari tempat tidur).

5. Metode Simpto Termal

Metode ini menggunakan perubahan siklus lender serviks yang terjadi karena perubahan kadar estrogen untuk menentukan saat yang aman bersenggama.


(15)

Koitus Interuptus adalah metode kontrasepsi yang dilakukan dengan mengakhiri senggama sebelum ejakulasi intravaginal terjadi dan ejakulasi dilakukan diluar/jauh dari genital eksternal wanita.

7. Metode Kontrasepsi Sterilisasi Pria dan Wanita

Metode kontrasepsi sterilisasi pada pria merupakan metode kontrasepsi dengan memotong atau menyumbat vas deference melalui operasi. Begitu pula pada wanita kontrasepsi sterilisasi dilakukan dengan cara tubektomi yaitu memotong atau menyumbat saluran tuba falopii pada wanita yang bertujuan mencegah pertemuan sperma dengan ovum.

2.9Metode Kontrasepsi dengan Alat

Metode kontrasepsi dengan alat adalah metode untuk mengatur kehamilan dengan menggunakan alat tertentu seperti: (1) Kondom pria, (2) kontrasepsi barrier intra-vagina, (3) Diafragma, (4) KAP Serviks, (5) Spons, (6) Kondom Wanita, (7) Kontrasepsi kimiawi yang terdiri dari spermisida, (8) Alat kontrasepsi dalam Rahim, (9) Kontrasepsi hormonal (pil dan suntik), (10) Cincin vagina, (11) Kontrasepsi transdermal/koyo, (12) Kontrasepsi darurat yang terdiri dari emergency contraceptive pill dan

morning after IUD insertion.

2.10 Pengertian Pasangan Usia Subur, Akseptor KB dan Non Akseptor KB


(16)

Definisi Pasangan Usia Subur (PUS) menurut BKKBN (2015) adalah pasangan suami isteri yang isterinya berumur antara 19-49 tahun, berkisar antara usia 20-45 tahun dimana pasangan (laki-laki dan perempuan) sudah cukup matang dalam segala hal terlebih organ reproduksinya sudah berfungsi dengan baik. Bila mengikuti pengertian yang disampaikan oleh BKKBN, maka tidak ada batasan umur pada pria untuk menjadi syarat dikatakan Pasangan Usia Subur.

Peserta KB (Akseptor KB) adalah pasangan usia subur yang suami/isterinya sedang memakai atau menggunakan salah satu alat/cara

kontrasepsi modern pada tahun pelaksanaan pendataan

keluarga/pemutakhiran data keluarga (BKKBN, 2015). Sedangkan Bukan Peserta KB (NonAkseptor KB) adalah pasangan usia subur yang tidak memakai atau menggunakan salah satu alat/cara kontrasepi modern, dimana Bukan Peserta KB sedang dalam keadaan salah satu dibawah ini, yaitu: (1) Hamil; adalah pasangan usia subur yang pada saat pendataan keluarga/pemutakhiran data keluarga, tidak menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi karena sedang hamil, (2) Ingin Anak Segera; adalah pasangan usia subur yang pada saat pendataan keluarga/pemutakhiran data keluarga sedang tidak menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi, dan tidak sedang hamil karena menginginkan anak segera (batas waktu kurang dari dua tahun), (3) Ingin Tunda Anak; adalah pasangan usia subur yang apda saat pendataan keluarga/pemutakhiran data keluarga, sedang tidak menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi, tetapi ingin menunda (batas waktu dua tahun atau lebih) untuk kelahiran anak berikutnya, dan (4)


(17)

Tidak Ingin Anak Lagi; adalah pasangan usia subur yang pada saat pendataan/pemutakhiran data keluarga, sedang tidak menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi, tetapi juga tidak menginginkan anak lagi.

2.11 Landasan Teori

Teori Alasan Berperilaku (Theory Of Reasoned Action)

Teori alasan berperilaku merupakan teori perilaku secara umum. Sebenarnya teori ini digunakan dalam berbagai perilaku manusia, khususnya berkaitan dengan masalah sosiopsikologis, kemudian berkembang dan banyak digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang berkaitan dengan perilaku kesehatan (Maulana, 2009). Teori ini menghubungkan antara keyakinan (belief), sikap (attitude), kehendak (intention), dan perilaku. Niat (kehendak) merupakan prediktor terbaik perilaku, artinya jika ingin mengetahui apa yang dilakukan seseorang, cara terbaik adalah mengetahui kehendak orang tersebut. Konsep penting dalam teori ini adalah focus (salience), yaitu mempertimbangkan sesuatu yang dianggap penting.

Niat ditentukan oleh sikap dan norma subjektif. Komponen sikap merupakan hasil pertimbangan untung-rugi dari perilaku tersebut (outcome

of the behavior), dan pentingnya konsekuensi-konsekuensi bagi individu.

Di lain pihak, komponen norma subjektif atau sosial mengacu pada keyakinan sesorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggap penting dan motivasi seseorang-orang untuk mengikuti pikiran tersebut. Jika orang yang dianggap penting (kelompok referensi)


(18)

setuju dengan tindakan tersebut, terdapat kecenderungan positif untuk berperilaku.

Teori Kehendak Perilaku menghubungkan Nilai Keyakinan

(Belief), Sikap (Attitude), kehendak (intensi dalam berperilaku). Intensi

(kehendak) ditentukan oleh: 1. Sikap

Merupakan hasil pertimbangan untung rugi dari perilaku dan pentingnya konsekuensi yang akan terjadi bagi individu.

2. Norma Subjektif.

3. Mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggap penting dan memotivasi seseorang untuk mengikuti pikiran tersebut (Syafruddin & Fratidhina, 2009).


(19)

Gambar 2.1 Theory of Reasoned Action Keyakinan

Berperilaku

Hasil Evaluasi Perilaku

Keyakinan Normatif

Motivasi untuk Melaksanakan

Sikap

Norma subjektif

Niat untuk Menampilkan

Perilaku


(20)

2.12 Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Keterangan :

Garis putus-putus (---) = Variabel yang tidak diteliti

Keyakinan PUS terhadap: Nilai anak dari segi agama

Nilai anak dari segi psikologis Nilai anak dari segi sosial

Nilai anak dari segi ekonomi Hasil Evaluasi Keyakinan Terhadap Nilai Anak Keyakinan Normatif Tentang Jumlah Anak Motivasi memiliki banyak anak atau

sedikit anak berdasarkan orang yang dianggap penting Sikap Norma subjektif

Niat Ikut KB/ Tidak Ikut KB

Perilaku menjadi akseptor KB atau tidak menjadi akseptor KB


(21)

Untuk mengungkapkan perbandingan gambaran nilai anak pada pasangan usia subur Akseptor dan Non Akseptor KB, maka peneliti mencoba mengungkapkannya dengan menggunakan Theory of Reasoned Action (TRA). Teori ini digunakan untuk mengetahui persepsi PUS terhadap nilai anak, dimana peneliti berusaha mengetahui bagaimana keyakinan PUS terhadap nilai anak dari segi agama, psikologi, sosial, dan ekonomi.


(1)

Definisi Pasangan Usia Subur (PUS) menurut BKKBN (2015) adalah pasangan suami isteri yang isterinya berumur antara 19-49 tahun, berkisar antara usia 20-45 tahun dimana pasangan (laki-laki dan perempuan) sudah cukup matang dalam segala hal terlebih organ reproduksinya sudah berfungsi dengan baik. Bila mengikuti pengertian yang disampaikan oleh BKKBN, maka tidak ada batasan umur pada pria untuk menjadi syarat dikatakan Pasangan Usia Subur.

Peserta KB (Akseptor KB) adalah pasangan usia subur yang suami/isterinya sedang memakai atau menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi modern pada tahun pelaksanaan pendataan keluarga/pemutakhiran data keluarga (BKKBN, 2015). Sedangkan Bukan Peserta KB (NonAkseptor KB) adalah pasangan usia subur yang tidak memakai atau menggunakan salah satu alat/cara kontrasepi modern, dimana Bukan Peserta KB sedang dalam keadaan salah satu dibawah ini, yaitu: (1) Hamil; adalah pasangan usia subur yang pada saat pendataan keluarga/pemutakhiran data keluarga, tidak menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi karena sedang hamil, (2) Ingin Anak Segera; adalah pasangan usia subur yang pada saat pendataan keluarga/pemutakhiran data keluarga sedang tidak menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi, dan tidak sedang hamil karena menginginkan anak segera (batas waktu kurang dari dua tahun), (3) Ingin Tunda Anak; adalah pasangan usia subur yang apda saat pendataan keluarga/pemutakhiran data keluarga, sedang tidak menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi, tetapi ingin menunda (batas


(2)

Tidak Ingin Anak Lagi; adalah pasangan usia subur yang pada saat pendataan/pemutakhiran data keluarga, sedang tidak menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi, tetapi juga tidak menginginkan anak lagi.

2.11 Landasan Teori

Teori Alasan Berperilaku (Theory Of Reasoned Action)

Teori alasan berperilaku merupakan teori perilaku secara umum. Sebenarnya teori ini digunakan dalam berbagai perilaku manusia, khususnya berkaitan dengan masalah sosiopsikologis, kemudian berkembang dan banyak digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang berkaitan dengan perilaku kesehatan (Maulana, 2009). Teori ini menghubungkan antara keyakinan (belief), sikap (attitude), kehendak (intention), dan perilaku. Niat (kehendak) merupakan prediktor terbaik perilaku, artinya jika ingin mengetahui apa yang dilakukan seseorang, cara terbaik adalah mengetahui kehendak orang tersebut. Konsep penting dalam teori ini adalah focus (salience), yaitu mempertimbangkan sesuatu yang dianggap penting.

Niat ditentukan oleh sikap dan norma subjektif. Komponen sikap merupakan hasil pertimbangan untung-rugi dari perilaku tersebut (outcome of the behavior), dan pentingnya konsekuensi-konsekuensi bagi individu. Di lain pihak, komponen norma subjektif atau sosial mengacu pada keyakinan sesorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggap penting dan motivasi seseorang-orang untuk mengikuti pikiran tersebut. Jika orang yang dianggap penting (kelompok referensi)


(3)

setuju dengan tindakan tersebut, terdapat kecenderungan positif untuk berperilaku.

Teori Kehendak Perilaku menghubungkan Nilai Keyakinan (Belief), Sikap (Attitude), kehendak (intensi dalam berperilaku). Intensi (kehendak) ditentukan oleh:

1. Sikap

Merupakan hasil pertimbangan untung rugi dari perilaku dan pentingnya konsekuensi yang akan terjadi bagi individu.

2. Norma Subjektif.

3. Mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggap penting dan memotivasi seseorang untuk mengikuti pikiran tersebut (Syafruddin & Fratidhina, 2009).


(4)

Gambar 2.1 Theory of Reasoned Action Keyakinan

Berperilaku

Hasil Evaluasi Perilaku

Keyakinan Normatif

Motivasi untuk Melaksanakan

Sikap

Norma subjektif

Niat untuk Menampilkan

Perilaku


(5)

2.12 Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Keterangan :

Garis putus-putus (---) = Variabel yang tidak diteliti Keyakinan PUS

terhadap:

Nilai anak dari segi agama

Nilai anak dari segi psikologis

Nilai anak dari segi sosial

Nilai anak dari segi ekonomi Hasil Evaluasi Keyakinan Terhadap Nilai Anak Keyakinan Normatif Tentang Jumlah Anak Motivasi memiliki banyak anak atau

sedikit anak berdasarkan orang yang dianggap penting Sikap Norma subjektif

Niat Ikut KB/ Tidak Ikut KB

Perilaku menjadi akseptor KB atau tidak menjadi akseptor KB


(6)

Untuk mengungkapkan perbandingan gambaran nilai anak pada pasangan usia subur Akseptor dan Non Akseptor KB, maka peneliti mencoba mengungkapkannya dengan menggunakan Theory of Reasoned Action (TRA). Teori ini digunakan untuk mengetahui persepsi PUS terhadap nilai anak, dimana peneliti berusaha mengetahui bagaimana keyakinan PUS terhadap nilai anak dari segi agama, psikologi, sosial, dan ekonomi.


Dokumen yang terkait

Hubungan Nilai Anak Pada Pasangan Usia Subur Akseptor dan Non Akseptor Keluarga Berencana di Kelurahan Pekan Gebang Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat Tahun 2015

1 49 94

Faktor-faktor Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur menjadi Akseptor KB di Desa Bandar Klippa Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

6 62 58

Hubungan Nilai Anak Pada Pasangan Usia Subur Akseptor dan Non Akseptor Keluarga Berencana di Kelurahan Pekan Gebang Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat Tahun 2015

0 0 15

Hubungan Nilai Anak Pada Pasangan Usia Subur Akseptor dan Non Akseptor Keluarga Berencana di Kelurahan Pekan Gebang Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat Tahun 2015

0 0 2

Hubungan Nilai Anak Pada Pasangan Usia Subur Akseptor dan Non Akseptor Keluarga Berencana di Kelurahan Pekan Gebang Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat Tahun 2015

0 0 8

Hubungan Nilai Anak Pada Pasangan Usia Subur Akseptor dan Non Akseptor Keluarga Berencana di Kelurahan Pekan Gebang Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat Tahun 2015

0 0 3

Hubungan Nilai Anak Pada Pasangan Usia Subur Akseptor dan Non Akseptor Keluarga Berencana di Kelurahan Pekan Gebang Kecamatan Gebang Kabupaten Langkat Tahun 2015

0 0 12

Determinan Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015

0 0 18

Determinan Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015

0 0 2

Determinan Ketidakikutsertaan Pasangan Usia Subur Menjadi Akseptor Keluarga Berencana Di Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat Tahun 2015

3 6 9