Gambaran Penggunaan Suplemen Makanan pada Vegetarian di Kota Medan Tahun 2015

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Vegetarianisme

2.1.1. Definisi dan Sejarah Vegetarian

Secara umum, vegetarian adalah pola diet yang tidak mengonsumsi produk-produk dan makanan yang terbuat dari daging hewan dan ikan, serta hanya mengonsumsi makanan yang diolah dari tumbuhan dan bahan-bahan nabati lainnya. Istilah ini muncul pertama kali pada tanggal 30 September 1847, yang dicetuskan oleh Joseph Batherton saat dibentuknya Yayasan Vegetarian Inggris di Northwood Villa, Inggris. Kata ini berasal dari bahasa Latin, yaitu vegetus yang berarti segar atau bugar (Anggen, 2012). Menurut KBBI, vegetarian adalah orang yg (karena alasan keagamaan atau kesehatan) tidak makan daging, tetapi makan sayuran dan hasil tumbuhan (Balai Pustaka, 1994). Berdasarkan hasil penelitian oleh American Dietetics Association (ADA), ada dua cara paling umum untuk mendefinisikan istilah “vegetarian”, yaitu pola diet yang menghindari konsumsi semua produk hewan (vegan); dan pola diet yang menghindari konsumsi daging, tetapi ada mengonsumsi produk telur dan/atau susu (Craig & Mangels, 2009).

Pola makan vegetarian sebenarnya telah dikenal sejak zaman dahulu kala, jauh pada masa Mesir kuno. Dikenal sekelompok warga Mesir yang hanya gemar mengonsumsi sayur dan buah, serta kelompok-kelompok agama di sana yang vegetarian, sekitar tahun 3200 SM. Pada abad ke-7 SM, zaman Yunani kuno, muncul paham vegetarianisme yang dipelopori oleh Phytagoras, seorang filsuf besar pada zaman itu. Dia mengajarkan murid-murid dan para pengikutnya bahwa manusia tidak boleh membantai secara kejam hewan-hewan yang juga adalah makhluk hidup sama seperti manusia. Oleh sebab itu, dia menganjurkan untuk mengikuti pola makan vegetarian, atau pada masa itu disebut “Pola makan Phytagoras”. Di Asia, ada ajaran Hindu kuno yang mengutuk tindakan pembunuhan hewan dan kebiasaan memakan daging. Juga ada ajaran Buddha yang mewajibkan


(2)

pengikutnya untuk mengasihi semua makhluk hidup, termasuk hewan (Sri Rejeki, 2013; Anggen, 2012).

2.1.2. Jenis Vegetarian

Diet vegetarian memiliki beragam jenis, berdasarkan ragam produk makanan yang ikut dikonsumsi selain sayuran dan buah-buahan (Schlenker & Gilbert, 2015; Craig & Mangels, 2009; Anggen, 2012):

Ovo-lacto-vegetarian: + produk telur dan susu  Lactovegetarian: + produk susu saja

Ovovegetarian: + produk telur saja

Pescovegetarian atau Demivegetarian: + produk telur, susu, dan ikan  Pollo-vegetarian: + produk unggas (termasuk daging dan telur), susu, dan

ikan.

Semivegetarian: + produk telur, susu, ikan, serta daging pada situasi tertentu (setengah vegetarian).

Fruitarian: hanya mengonsumsi buah-buahan, biji-bijian, dan kacang-kacangan.

Vegan/Strict Vegetarian: hanya mengonsumsi sayuran dan buah-buahan, tanpa produk hewani.

Raw Foodist: mengonsumsi sayuran dan buah-buahan yang tidak diolah (dimasak).

2.1.3. Prevalensi Vegetarian di Dunia

Pada tahun 2006, berdasarkan survei nasional, sekitar 2,3% dari populasi dewasa AS (4,9 juta jiwa) mengikuti pola makan vegetarian secara konsisten, tanpa unggas, ikan, atau daging. Sekitar 1,4% dari seluruh populasi dewasa AS merupakan vegan (Craig & Mangels, 2009). Berdasarkan data Gallup Poll pada tahun 2012 bulan Juli, dilaporkan bahwa populasi vegetarian AS meningkat menjadi 5% dari total populasi dewasa, dan vegan menjadi 2%. Di India, survei tahun 2001 menunjukkan bahwa populasi vegetarian mencapai 42% dari seluruh populasi penduduk (Delgado, et al., 2003). Di Australia, berdasarkan Newspoll


(3)

Survey tahun 2010, dilaporkan bahwa 7 dari 10 penduduk mulai mengacu ke vegetarianisme, memahami bahwa dengan mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur serta mengurangi konsumsi daging dapat meningkatkan kesehatan (Reid, et al., 2012). Di Indonesia, anggota IVS (Indonesia Vegetarian Society) pada tahun 2007 mencapai 60.000 orang.

2.1.4. Alasan Menjadi Vegetarian

Ada berbagai alasan seseorang memilih untuk menjadi vegetarian, meliputi (Craig & Mangels, 2009; Anggen, 2013; Sri Rejeki, 2012):

1. Kesehatan, termasuk di dalamnya berumur panjang, kecantikan, mencegah berbagai penyakit kronis, dan berat badan ideal.

2. Terpengaruh pergaulan, seperti keluarga atau teman. 3. Peduli akan lingkungan

4. Pemberdayaan hak hewan

5. Ekonomi, kemungkinan karena harga daging jauh lebih mahal daripada sayur ataupun buah.

6. Etika

7. Krisis pangan dunia, akibat pengrusakan lingkungan. 8. Agama (Hindu, Buddha, Adventis, dll.)

2.1.5. Manfaat Vegetarian

Pola diet vegetarian memiliki banyak manfaat, khususnya di bidang kesehatan. Oleh sebab itu, penulis membagi manfaat vegetarian menjadi 2, yaitu manfaat kesehatan dan non-kesehatan.

Manfaat non-kesehatan antara lain (Anggen, 2013; Sri Rejeki, 2012; Schlenker & Gilbert, 2015):

Penghematan

Hal ini disebabkan harga daging dan produk hewani yang lebih mahal daripada produk sayuran maupun buah-buahan.


(4)

Pelestarian lingkungan

Beberapa laporan menunjukkan bahwa produksi protein hewani membutuhkan sumber air tiga kali lebih besar, pupuk 13 kali, dan pestisida 1,5 kali, serta kebutuhan lahan yang sepuluh kali lipat lebih besar daripada kebutuhan produksi protein nabati. Penelitian FAO juga menunjukkan bahwa peternakan merupakan salah satu sumber penyebab efek rumah kaca terbesar dunia (emisi gas metana, karbon dioksida, dan nitrogen oksida).

Manfaat kesehatan antara lain:  Kardiovaskular

Konsumsi buah dan sayur yang cukup setiap hari dapat menurunkan risiko penyakit jantung iskemik, karena nutrisi pada buah dan sayur dapat melindungi jantung dengan serangkaian mekanisme: menurunkan stres oksidasi, memperbaiki kadar lipoprotein, menurunkan tekanan darah, meningkatkan sensitivitas insulin, dan meningkatkan regulasi hemostasis (Dauchet, et al., 2006). Dwyer (1988) dan Craig & Mangels (2009) menemukan hubungan antara BMI, tekanan darah, dan kadar lipid dalam darah dengan risiko penyakit jantung iskemik, antara lain vegetarian memiliki BMI yang lebih rendah, tekanan darah yang lebih rendah dan stabil, serta kadar lipid darah yang lebih rendah dibandingkan dengan non-vegetarian. Lap, et al. (2014) menemukan bahwa risiko penyakit kardiovaskular pada vegetarian menurun hingga lebih dari 50% dibandingkan dengan non-vegetarian, sementara penelitian McEvoy, et al. (2011) menemukan penurunan risiko sebesar 24%. Berbagai penemuan di atas membuktikan, bahwa manfaat pola diet vegetarian pada kesehatan kardiovaskular bersifat signifikan.

Diabetes Melitus tipe II

Pola diet vegetarian juga terbukti dapat menurunkan risiko diabetes mellitus (DM) tipe II. Penelitian menunjukkan, non-vegetarian memiliki risiko DM tipe II sampai dua kali lipat dibandingkan dengan yang vegetarian (Craig &


(5)

Mangels, 2009; Lap, et al., 2014). Risiko tersebut bisa meningkat dengan tingginya prevalensi obesitas di kalangan non-vegetarian, sehingga hiperinsulinemia sering terjadi (Dwyer, 1988). Risiko DM tipe II juga bisa diturunkan dengan peningkatan kadar olahraga dan perubahan pola hidup sehat (McEvoy, et al., 2011). Menurut penelitian Rizzo, et al. (2011), berdasarkan pemeriksaan menunjukkan tekanan darah, kadar glukosa, kadar trigliserida, BMI, dan lingkar pinggang pada vegetarian secara signifikan lebih rendah daripada non-vegetarian, dan kadar HDL yang lebih meningkat. Dari berbagai aspek di atas, risiko sindroma metabolik dan DM tipe II lebih rendah pada vegetarian, sehingga manfaat tersebut nyata bagi kesehatan.

Kanker

Pola diet vegetarian juga berdampak positif bagi penurunan risiko kanker. Jenis kanker beragam, dan data menunjukkan bahwa vegetarian memiliki risiko kanker lebih rendah, khususnya kanker kolorektal dan prostat, dibandingkan non-vegetarian (Craig & Mangels, 2009). Diduga bahwa senyawa fitokimia pada buah dan sayur berfungsi sebagai antioksidan dan antiproliferasi yang poten, sehingga mengganggu proses pembentukan sel kanker. Mekanisme tersebut meliputi: inhibisi proliferasi sel, inhibisi pembentukan DNA, inhibisi enzim fase 1, inhibisi jaras transduksi sinyal dan ekspresi onkogen, termasuk apoptosis dan pemberhentian siklus sel, induksi enzim fase 2, blockade aktivasi factor nucleus kappa-B, dan inhibisi angiogenesis (Craig, 2009). Juga ada hubungan antara konsumsi serat, lemak, kolesterol, dan kalsium dengan risiko kanker kolorektal, yang mengacu pada kadar asam deoksikolat dan litokolat di usus besar (Dwyer, 1988).

Kesehatan Tulang

Meskipun tidak ada perbedaan densitas mineral tulang (BMD) pada vegetarian dibandingkan dengan non-vegetarian, sumber nabati memiliki


(6)

efek positif pada metabolisme tulang, karena kadar yang seimbang antara kalsium dengan vitamin D, vitamin K, magnesium, dan kalium, sehingga distribusi kalsium tulang berjalan dengan baik (Craig & Mangels, 2009; Craig, 2009). Juga ditemukan bahwa isoflavon pada protein nabati memiliki efek positif pada BMD, dengan cara menginhibisi resorpsi tulang dan menstimulasi formasi tulang baru (Craig & Mangels, 2009).

Pencernaan

Gangguan pencernaan, khususnya penyakit divertikulum usus besar, lebih jarang ditemukan pada vegetarian dibandingkan dengan non-vegetarian (Dwyer, 1988). Mekanisme tersebut diduga karena konsumsi serat yang tinggi pada vegetarian (>25 g/hari) dikorelasikan dengan waktu transit pencernaan dan pergerakan pencernaan yang cepat, yang bisa dijadikan sebagai mekanisme biologis untuk menurunkan risiko penyakit divertikulum (Crowe, et al., 2011). Konsumsi serat juga terbukti bisa mencegah konstipasi dan memperlancar buang air besar (Dwyer, 1988; Crowe, et al., 2011).

Manfaat kesehatan lain: menurunkan risiko demensia, batu empedu, batu ginjal, dan juga bermanfaat bagi terapi arthritis reumatoid (Dwyer, 1988 dan Craig & Mangels, 2009).

2.1.6. Nutrisi pada Vegetarian

Pola makan vegetarian, bergantung jenisnya, memiliki implikasi pada kecukupan nutrisi, dilihat dari kadar zat nutrisi dalam darah. Zat-zat tersebut antara lain:

Protein

Sumber protein didapat dari berbagai kacang-kacangan dan polong-polongan, yang memiliki kadar protein adekuat dan fitonutrisi yang berperan mencegah penyakit degeneratif (Schlenker & Gilbert, 2015).


(7)

Menurut Xiao (2008), konsumsi protein yang berasal dari kacang-kacangan berkontribusi untuk menurunkan risiko penyakit jantung koroner, atherosklerosis, DM Tipe 2, dan beberapa jenis kanker seperti kanker payudara dan kanker prostat, serta menjaga kesehatan tulang dan meredakan gejala menopause. Konsumsi kacang-kacangan beserta isoflavon dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner dengan cara menurunkan kadar trigliserida dalam darah/hati, kadar kolesterol total/LDL, meningkatkan kadar kolesterol HDL dan rasio HDL/LDL. Konsumsi protein nabati juga bisa menurunkan tekanan darah (Sacks, et al., 2006), dan sumber protein nabati mengandung asam lemak tak jenuh yang baik bagi kesehatan (Schlenker & Gilbert, 2015). Meskipun demikian, ada berbagai sumber protein nabati yang sulit untuk dicerna, sehingga rekomendasi diet harian meningkat pada vegetarian (Craig & Mangels, 2009). Selain itu, sumber protein hewani memiliki nilai lebih dibandingkan dengan sumber nabati, karena mengandung berbagai mikronutrisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber nabati, seperti vitamin B12, zat besi, dan seng, meskipun memiliki kadar lemak dan kolesterol yang tinggi. Sumber protein hewani seperti susu dan produk susu, telur, dan daging, jika dikonsumsi dalam jumlah sedikit sudah hampir memenuhi kadar gizi harian, dibandingkan dengan sumber protein nabati (Murphy, et al., 2003). Berbagai penelitian menunjukkan, konsumsi protein harian pada vegetarian lebih rendah daripada nonvegetarian (Larsson & Johansson, 2002; Haddad, et al., 1999).

Asam lemak Omega-3

Asam lemak Omega-3 terdiri atas DHA (Docosahexaenoic acid) dan EPA (Eicosapentaenoic acid). Asam lemak jenis ini umumnya ditemukan di dalam sumber ikan, seperti salmon, hering, mackerel, halibut, dan tuna (Schlenker & Gilbert, 2015). Pola diet yang tidak mengonsumsi ikan cenderung kekurangan zat gizi ini (Craig & Mangels, 2009; Sarter, et al., 2014), meskipun memiliki kadar asam lemak Omega-6 yang tinggi


(8)

(McEvoy, et al., 2012). Asam lemak Omega-3 bermanfaat bagi kesehatan kardiovaskular, mata dan otak (Craig & Mangels, 2009). EPA memiliki efek anti-inflamasi yang membantu mencegah penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit autoimun, arthritis dan beberapa jenis kanker. DHA dan EPA juga berperan meningkatkan proses penghantaran sinyal intrasel dan ekspresi gen. DHA banyak terdapat pada korteks serebri, retina, testis, dan cairan semen (Saunders, et al., 2012). Oleh sebab itu, Craig & Mangels (2009) merekomendasikan konsumsi makanan yang difortifikasi dengan DHA dan EPA, ataupun mengonsumsi suplemen minyak ikan.

Zat besi

Fungsi zat besi adalah sebagai komponen sel darah merah untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzin di dalam tubuh (Almatsier, 2010). Zat besi banyak terdapat pada sumber hewani dan terbatas pada sumber nabati. Absoprsi zat besi dalam tubuh bergantung pada beberapa faktor, yaitu bentuk (heme atau non-heme), ciri kimia (feri atau fero), dan bioavailabilitas (interaksi dengan zat lain) (Schlenker & Gilbert, 2015; Almatsier, 2010). Bentuk heme lebih mudah diabsorpsi karena memiliki berat molekul lebih kecil daripada yang non-heme; besi hanya bisa diabsorpsi dalam bentuk fero, sehingga besi feri harus diubah menjadi fero oleh asam lambung, dan jika kadar asam lambung terbatas, maka feri akan terbuang bersama feses; bioavailabilitas zat besi meningkat bila dikonsumsi bersama vitamin C, dan berkurang bila dikonsumsi bersama dengan asam fitat, oksalat, dan tannin. Berdasarkan penjelasan di atas, maka orang vegetarian memiliki kesulitan untuk mendapatkan zat besi yang cukup (Schlenker & Gilbert, 2015; Ball & Bartlett, 1999). Ada penelitian yang menghubungkan pola diet vegetarian dengan risiko menderita anemia defisiensi besi, dan hasilnya terdapat hubungan meskipun tidak signifikan (Dwyer, 1988; Saunders, et al. 2012; Craig & Mangels, 2009).


(9)

Seng

Seng merupakan komponen dari 100 lebih enzim tubuh dan faktor pertumbuhan (Schlenker & Gilbert, 2015). Seng berperan dalam berbagai aspek metabolisme, sintesis DNA, fungsi reproduksi, pembentukan kulit dan kolagen, imunitas, dan fungsi pancaindera (Almatsier, 2010). Seng banyak terdapat pada makanan laut (khususya oyster), daging, telur, dan susu, serta terbatas pada sayur-sayuran (Schlenker & Gilbert, 2015). Sayuran memiliki zat fitat yang dapat menghambat penyerapan seng, sehingga bioavailabilitasnya rendah (Craig & Mangels, 2009; Saunders, et al., 2012), sehingga orang vegetarian perlu mencari cara untuk meningkatkannya dengan cara merendam sayuran sehingga mereduksi ikatan asam fitat dengan seng. Seng juga bisa dikonsumsi dengan jeruk yang mengandung asam sitrat untuk meningkatkan bioavailabilitasnya (Craig & Mangels, 2009).

Iodin

Iodin merupakan komponen utama dari hormone tiroksin, yang diproduksi di kelenjar tiroid. Defisiensi iodin menyebabkan hipotiroidisme atau gondok dan kretinisme. Sumber yang baik untuk mendapatkan iodine adalah makanan laut dan garam yang difortifikasi dengan iodin (Schlenker & Gilbert, 2015; Almatsier, 2010). Vegetarian yang tidak mengonsumsi makanan laut memiliki risiko kekurangan iodin karena sumber nabati memiliki kadar iodin yang terbatas (Craig & Mangels, 2009; Leung, et al., 2011).

Kalsium

Kalsium merupakan mineral dengan kadar terbanyak dalam tubuh, sekitar 1,5-2% berat badan manusia (Almatsier, 2010). Kalsium memiliki banyak fungsi, dengan fungsi utama adalah pembentukan tulang dan gigi. Selain itu, kalsium juga berfungsi dalam penggumpalan darah, transmisi saraf, kontraksi dan relaksasi otot, permeabilitas membrane sel, dan aktivasi


(10)

enzimatik sel. Sumber kalsium terbaik adalah susu dan produk susu, seperti keju dan yogurt. Selain itu, kalsium juga terdapat dalam jumlah terbatas pada sayuran dan makanan yang difortifikasi kalsium (Schlenker & Gilbert, 2015). Pada vegetarian, khususnya lakto-ovo-vegetarian, kecukupan kalsium harian sama dengan yang non-vegetarian, sedangkan orang vegan memiliki kadar kalsium yang lebih rendah (Craig & Mangels, 2009). Kadar kalsium yang rendah disebabkan sayuran yang dikonsumsi memiliki zat fitat dan oksalat, yang menurunkan bioavailabilitas kalsium dengan cara berikatan dengan kalsium dan membentuk zat yang tidak larut dan tidak bisa diabsorpsi. Oleh sebab itu, orang vegan yang tidak mengonsumsi produk susu disarankan mengonsumsi makanan yang difortifikasi kalsium atau suplemen kalsium (Craig & Mangels, 2009; Schlenker & Gilbert, 2015; Weaver & Plawecki, 1999).

Vitamin B12

Vitamin B12 memiliki fungsi pembentukan gugus heme pada hemoglobin, dan defisiensi vitamin B12 menyebabkan anemia megaloblastik (Schlenker & Gilbert, 2015). Sumber vitamin B12 hanya terdapat dalam sumber hewani, dan tidak bisa didapat dari sumber nabati. Oleh sebab itu, orang vegetarian berisiko defisiensi vitamin B12 (Dwyer, 1988; Craig & Mangels, 2009), dan membutuhkan makanan yang difortifikasi atau suplementasi (Craig & Mangels, 2009; Schlenker & Gilbert, 2015; Kwok, et al., 2002). Banyak penelitian telah dilakukan untuk mencari hubungan pola diet vegetarian dengan gejala defisiensi vitamin B12, salah satunya dengan mengukur kadar homosistein, asam metilmalonat, u holotranskobalamin II (Craig & Mangels, 2009; Kwok, et al., 2002).

2.2. Suplemen Makanan

2.2.1. Definisi dan Sejarah Suplemen Makanan

Suplemen makanan didefinisikan oleh DSHEA (Dietary Supplement Health and Education Act) sebagai produk yang bertujuan untuk mencukupkan diet yang


(11)

mengandung bahan makanan atau nutrisi seperti: vitamin; mineral; herbal atau produk tumbuh-tumbuhan; asam amino atau protein; substansi yang dipakai manusia untuk meningkatkan asupan gizi total; atau semacam konsentrat, metabolit, konstituen, ekstrak, atau kombinasi bahan-bahan yang disebutkan di atas (Marra & Boyar, 2009). Suplemen makanan bukanlah makanan pokok atau obat sehingga bertujuan untuk menyembuhkan penyakit atau kelainan pada tubuh manusia (Owens, et al., 2014). Suplemen makanan biasanya dikonsumsi lewat mulut dan terdiri dari beberapa bentuk sediaan, seperti pil, kapsul, tablet, cairan atau sirup, bubuk, atau bentuk lain selama tidak digunakan sebagai makanan pokok, hanya sebagai makanan penunjang saja. (Marra & Boyar, 2009).

Sejarah suplementasi bisa ditelusuri sampai ke masa lampau, seperti perkataan Sir William Osler bahwa “keinginan manusia untuk mengonsumsi obat -obatan membedakan manusia dari hewan”. Hal tersebut ditandai dengan penemuan specimen tanaman obat di dalam usus manusia purba “iceman” berusia 5.300 tahun

di Pegunungan Alpen, Swiss (Halsted, 2003). Pada tahun 400 SM, Hippokrates memberikan senyawa tembaga sebagai obat untuk menyembuhkan bermacam-macam penyakit, termasuk penyakit pernapasan. Pada abad ke-17, senyawa zat besi digunakan untuk menyembuhkan anemia defisiensi besi. Perkembangan pengetahuan mengenai suplemen, khususnya senyawa vitamin berawal pada tahun 1747, ketika Dr. James Lind menemukan senyawa pada buah lemon yang dapat menyembuhkan sariawan, yang sekarang dikenal sebagai vitamin C. Perkembangan pun berlanjut sampai pada tahun 1912, Casimir Funk, seorang ahli biokimia, membuat istilah “vitamine” setelah dr. William Fletcher menemukan senyawa thiamin pada kulit padi (vitamine berasal dari kata Latin vital, yang berarti penting bagi kehidupan dan amine, yaitu senyawa gabungan nitrogen pada thiamin). Sejak saat itu, sampai tahun 1948, semua jenis vitamin, baik larut dalam air maupun lemak, sudah ditemukan, dengan vitamin B12 sebagai vitamin terakhir yang ditemukan. Sejak tahun 1933, vitamin sudah bisa disintesis di laboratorium (vitamin C pertama kali). Dan akhirnya pada tahun 2002, AMA (American Medical Association) mengemukakan bahwa orang dewasa di AS dianjurkan untuk mengonsumsi suplemen multivitamin untuk mengurangi risiko penyakit kronis, dan


(12)

AHA (American Heart Association) menganjurkan konsumsi minyak ikan, baik dari makanan ataupun suplementasi, untuk melindungi kesehatan jantung (Rehnborg, 2009; Clement, 2010).

Sekarang, muncul sebuah proyek bernama The Human Genome Project, yang membantu pawa ilmuwan untuk mempelajari bagaimana pola diet memengaruhi kondisi genetic seseorang (disebut nutrigenomics), dan bagaimana kondisi genetic seseorang memengaruhi pola diet, kerentanan terhadap penyakit tertentu, dan respon terhadap kondisi lingkungan (disebut nutrigenetics). Hal tersebut memberi kesimpulan bahwa tiap orang memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda-beda, bergantung pada kondisi genetik orang tersebut. Diharapkan ke depannya perkembangan tersebut dapat memberikan dampak positif bagi peran suplementasi untuk mencukupi kebutuhan nutrisi tiap orang (personalized health) (Schlenker & Gilbert, 2015).

2.2.2. Prevalensi Penggunaan Suplemen di Dunia

Suplementasi makanan mengalami perkembangan yang signifikan di berbagai belahan dunia. Di AS, berdasarkan survei tahun 1999-2000, 52% orang dewasa dilaporkan mengonsumsi suplemen makanan dalam 1 bulan terakhir, dan berdasarkan survei tahun 1999-2004, 34% anak dan remaja mengonsumsi suplemen makanan berupa vitamin dan mineral. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan yang lebih banyak pada anak-anak antara lain: usia, diet sehat, makanan yang sehat, aktivitas fisik, dan akses kesehatan (Marra & Boyar, 2009). Berdasarkan penelitian Aina & Ojedokun (2014) terhadap mahasiswa kedokteran di Lagos, Nigeria, mayoritas (86,9%) dari 268 mahasiswa dilaporkan pernah mengonsumsi suplemen makanan, dengan 50% mahasiswa mengonsumsinya dalam 12 bulan terakhir. Aljaloud & Ibrahim (2013) melaporkan bahwa 98 dari 105 (93,3%) atlet professional Arab Saudi mengonsumsi suplemen makanan untuk performa dan kesehatan. Penelitian Garcia-Alvarez, et al. (2014) terhadap 6 negara Eropa seperti Inggris, Spanyol, Rumania, Italia, Jerman, dan Finlandia menunjukkan bahwa 767 dari 2.303 orang (32,5%) mengonsumsi suplemen makanan secara rutin dalam 12 bulan terakhir. Di Malaysia, prevalensi penggunaan


(13)

suplemen makanan pada remaja sebanyak 43,8% (Al-Naggar & Chen, 2011). Di Taiwan, sebanyak 45,7% pria dan 34,9% dari wanita lanjut usia (di atas 65 tahun) mengonsumsi sedikitnya satu jenis suplemen makanan (Chen, et al., 2011).

2.2.3. Alasan, Tujuan, dan Manfaat Suplemen

Menurut Carol Ann Rinzler (2006), ada berbagai alasan seseorang mengonsumsi suplemen makanan, yaitu: kemudahan mendapatkan gizi cukup per hari, mencegah kekurangan gizi harian, pola makan tertentu membutuhkan gizi lebih (seperti orang sakit, vegetarian, wanita hamil dan menyusui, premenopause, dan atlet). Berdasarkan berbagai penelitian di seluruh dunia, orang mengonsumsi suplemen makanan dengan alasan yang serupa dan juga bervariasi (Aina & Ojedokun, 2014; Garcia-Alvarez, et al., 2014; Al-Naggar & Chen, 2011; Chen, et al., 2011).

Dr. Brian R. Clement, Ph.D. mengemukakan alasan seseorang harus mengonsumsi suplemen makanan. Sekarang ini buah-buahan dan sayur-sayuran saja tidak cukup untuk mencukupi gizi harian karena berbagai faktor: kualitas tanah; metode penanaman, pemupukan, pengairan, dan penuaian; penggunaan pestisida; serta pemrosesan dan penambahan pengawet dan zat aditif lain. Antara tahun 1973 dan 1997, Departemen Pertanian AS melaporkan bahwa kadar nutrisi pada sayur-sayuran dan buah-buahan menurun secara dramatis. Misalnya, kadar kalsium menurun 55% pada brokoli, tiamin 35%, dan niasin naik 29%. Sayur seperti bawang, wortel, dan lain-lain juga menunjukkan penurunan tajam dalam kadar nutrisinya. Selain itu, pada tahun 2007, Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) melaporkan bahwa kurang dari sepertiga penduduk AS mengonsumsi buah dan sayur sesuai rekomendasi harian. Juga pada tahun 2002, JAMA mempublikasikan sebuah studi yang menyimpulkan bahwa “semua orang dewasa di AS wajib mengonsumsi suplemen makanan harian.” Hal ini disebabkan bahwa selama 30 tahun penelitian, dinyatakan bahwa semua penduduk tidak mengonsumsi nutrisi harian yang cukup, dan defisiensi nutrisi tersebut memiliki hubungan yang erat dengan terjadinya penyakit degeneratif (Clement, 2010).


(14)

Secara umum, suplementasi bermanfaat dalam mencukupi pola diet harian tiap orang (Marra & Boyar, 2009). Sebastian, et al. (2007) dan Murphy, et al. (2007) melaporkan bahwa orang yang mengonsumsi suplemen makanan memiliki kadar gizi yang lebih mendekati rekomendasi harian dibandingkan dengan yang tidak mengonsumsi suplemen makanan. Hanya, belum ada penelitian yang cukup untuk menghubungkan antara suplementasi makanan dengan turunnya risiko penyakit degeneratif (Marra & Boyar, 2009).

2.2.4. Batasan dalam Suplementasi

Walaupun suplemen makanan memiliki manfaat dalam kesehatan, ada batasan-batasan dalam suplementasi. Batasan tersebut dibuat dengan cara membandingkan suplementasi dengan pola diet dengan makanan yang sehat. Rinzler (2006) menyebutkan makanan sehari-hari lebih mudah dan murah daripada suplemen, mengandung zat yang tidak bisa didapatkan dalam suplemen makanan biasa seperti fitonutrisi, serta suplementasi memiliki risiko overdosis jika dikonsumsi secara berlebihan. Oleh sebab itu, cara memilih suplemen yang benar adalah: memilih merek yang ternama, mengecek komposisi zatnya, mencari tanggal kadaluwarsa, menyimpan di tempat yang aman dan nyaman, menilai dosis yang dbutuhkan, dan memilih suplemen yang “alami” dibandingkan dengan “sintetis”.

Suplemen vitamin bila dikonsumsi berlebihan dapat menyebabkan toksisitas. Toksisitas terjadi jika seseorang mengonsumsi suplemen dengan dosis yang dikonsumsi lebih besar berkali lipat dibandingkan dengan dosis anjuran harian (Rinzler, 2006). Misalnya, dosis vitamin A per hari jika melebihi 20x lipat akan menyebabkan gejala seperti sakit kepala, pusing, rambut rontok, kulit kering, nafsu makan menurun, dan lebih berbahaya lagi jika dikonsumsi berlebihan pada ibu hamil karena akan menimbulkan abnormalitas janin (Almatsier, 2010). Gejala toksisitas vitamin D (20x dosis harian) berupa gejala hiperkalsemia, seperti lemah otot, sakit/fraktur tulang, dan kalsifikasi berlebihan pada jaringan selain tulang (Schlenker & Gilbert, 2015; Almatsier, 2010). Untuk vitamin B6, gejala toksisitas antara lain neuropati (kesemutan) jika dikonsumsi dengan dosis 20x lipat dosis harian.


(15)

Selain itu, juga ditemukan interaksi yang tidak sehat antarmineral bila salah satu mineral dikonsumsi secara berlebihan. Misalnya, konsumsi Seng (Zn) berlebihan dapat menurunkan absorpsi Tembaga (Cu), dan Kalsium (Ca) yang berlebih dapat menghambat penyerapan Besi (Fe) (Almatsier, 2010). Jadi, pengguna suplemen perlu memperhatikan khususnya dosis suplemen yang dikonsumsinya.

2.3. Suplementasi pada Vegetarian

Seperti yang telah dijelaskan di atas, orang vegetarian rentan terhadap kekurangan nutrisi yang banyak terdapat pada sumber hewani, seperti vitamin B12, asam lemak Omega 3, kalsium, seng, zat besi, dan protein. Dengan demikian, suplementasi ataupun fortifikasi makanan diperlukan untuk mengatasi kekurangan tersebut.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat pentingnya pemberian suplemen makanan terhadap defisiensi zat tertentu pada vegetarian. Geppert et al. (2005) dan Conquer & Holub (1996) menemukan bahwa suplementasi asam lemak Omega 3 dapat mengoptimalkan kadar omega 3 dalam darah, sehingga dapat menurunkan risiko penyakit jantung pada vegetarian. Benton & Donohue (2010) menemukan, suplementasi kreatin pada vegetarian dapat meningkatkan fungsi kognitif, ditandai dengan meningkatnya oksigenasi otak. Kreatin adalah senyawa yang hanya diperoleh dari sumber hewani. Draper, et al. (1992) menyatakan bahwa orang yang baru memulai pola diet vegetarian disarankan untuk mengonsumsi suplemen makanan untuk mencegah terjadinya defisiensi nutrisi. Zeuschner, et al. (2012) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi defisiensi vitamin B12 adalah dengan mengonsumsi makanan yang difortifikasi dan/atau mengonsumsi suplemen makanan yang mengandung vitamin B12.


(1)

enzimatik sel. Sumber kalsium terbaik adalah susu dan produk susu, seperti keju dan yogurt. Selain itu, kalsium juga terdapat dalam jumlah terbatas pada sayuran dan makanan yang difortifikasi kalsium (Schlenker & Gilbert, 2015). Pada vegetarian, khususnya lakto-ovo-vegetarian, kecukupan kalsium harian sama dengan yang non-vegetarian, sedangkan orang vegan memiliki kadar kalsium yang lebih rendah (Craig & Mangels, 2009). Kadar kalsium yang rendah disebabkan sayuran yang dikonsumsi memiliki zat fitat dan oksalat, yang menurunkan bioavailabilitas kalsium dengan cara berikatan dengan kalsium dan membentuk zat yang tidak larut dan tidak bisa diabsorpsi. Oleh sebab itu, orang vegan yang tidak mengonsumsi produk susu disarankan mengonsumsi makanan yang difortifikasi kalsium atau suplemen kalsium (Craig & Mangels, 2009; Schlenker & Gilbert, 2015; Weaver & Plawecki, 1999).

Vitamin B12

Vitamin B12 memiliki fungsi pembentukan gugus heme pada hemoglobin, dan defisiensi vitamin B12 menyebabkan anemia megaloblastik (Schlenker & Gilbert, 2015). Sumber vitamin B12 hanya terdapat dalam sumber hewani, dan tidak bisa didapat dari sumber nabati. Oleh sebab itu, orang vegetarian berisiko defisiensi vitamin B12 (Dwyer, 1988; Craig & Mangels, 2009), dan membutuhkan makanan yang difortifikasi atau suplementasi (Craig & Mangels, 2009; Schlenker & Gilbert, 2015; Kwok, et al., 2002). Banyak penelitian telah dilakukan untuk mencari hubungan pola diet vegetarian dengan gejala defisiensi vitamin B12, salah satunya dengan mengukur kadar homosistein, asam metilmalonat, u holotranskobalamin II (Craig & Mangels, 2009; Kwok, et al., 2002).

2.2. Suplemen Makanan

2.2.1. Definisi dan Sejarah Suplemen Makanan

Suplemen makanan didefinisikan oleh DSHEA (Dietary Supplement Health and Education Act) sebagai produk yang bertujuan untuk mencukupkan diet yang


(2)

mengandung bahan makanan atau nutrisi seperti: vitamin; mineral; herbal atau produk tumbuh-tumbuhan; asam amino atau protein; substansi yang dipakai manusia untuk meningkatkan asupan gizi total; atau semacam konsentrat, metabolit, konstituen, ekstrak, atau kombinasi bahan-bahan yang disebutkan di atas (Marra & Boyar, 2009). Suplemen makanan bukanlah makanan pokok atau obat sehingga bertujuan untuk menyembuhkan penyakit atau kelainan pada tubuh manusia (Owens, et al., 2014). Suplemen makanan biasanya dikonsumsi lewat mulut dan terdiri dari beberapa bentuk sediaan, seperti pil, kapsul, tablet, cairan atau sirup, bubuk, atau bentuk lain selama tidak digunakan sebagai makanan pokok, hanya sebagai makanan penunjang saja. (Marra & Boyar, 2009).

Sejarah suplementasi bisa ditelusuri sampai ke masa lampau, seperti

perkataan Sir William Osler bahwa “keinginan manusia untuk mengonsumsi obat

-obatan membedakan manusia dari hewan”. Hal tersebut ditandai dengan penemuan specimen tanaman obat di dalam usus manusia purba “iceman” berusia 5.300 tahun di Pegunungan Alpen, Swiss (Halsted, 2003). Pada tahun 400 SM, Hippokrates memberikan senyawa tembaga sebagai obat untuk menyembuhkan bermacam-macam penyakit, termasuk penyakit pernapasan. Pada abad ke-17, senyawa zat besi digunakan untuk menyembuhkan anemia defisiensi besi. Perkembangan pengetahuan mengenai suplemen, khususnya senyawa vitamin berawal pada tahun 1747, ketika Dr. James Lind menemukan senyawa pada buah lemon yang dapat menyembuhkan sariawan, yang sekarang dikenal sebagai vitamin C. Perkembangan pun berlanjut sampai pada tahun 1912, Casimir Funk, seorang ahli biokimia, membuat istilah “vitamine” setelah dr. William Fletcher menemukan senyawa thiamin pada kulit padi (vitamine berasal dari kata Latin vital, yang berarti penting bagi kehidupan dan amine, yaitu senyawa gabungan nitrogen pada thiamin). Sejak saat itu, sampai tahun 1948, semua jenis vitamin, baik larut dalam air maupun lemak, sudah ditemukan, dengan vitamin B12 sebagai vitamin terakhir yang ditemukan. Sejak tahun 1933, vitamin sudah bisa disintesis di laboratorium (vitamin C pertama kali). Dan akhirnya pada tahun 2002, AMA (American Medical Association) mengemukakan bahwa orang dewasa di AS dianjurkan untuk mengonsumsi suplemen multivitamin untuk mengurangi risiko penyakit kronis, dan


(3)

AHA (American Heart Association) menganjurkan konsumsi minyak ikan, baik dari makanan ataupun suplementasi, untuk melindungi kesehatan jantung (Rehnborg, 2009; Clement, 2010).

Sekarang, muncul sebuah proyek bernama The Human Genome Project, yang membantu pawa ilmuwan untuk mempelajari bagaimana pola diet memengaruhi kondisi genetic seseorang (disebut nutrigenomics), dan bagaimana kondisi genetic seseorang memengaruhi pola diet, kerentanan terhadap penyakit tertentu, dan respon terhadap kondisi lingkungan (disebut nutrigenetics). Hal tersebut memberi kesimpulan bahwa tiap orang memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda-beda, bergantung pada kondisi genetik orang tersebut. Diharapkan ke depannya perkembangan tersebut dapat memberikan dampak positif bagi peran suplementasi untuk mencukupi kebutuhan nutrisi tiap orang (personalized health) (Schlenker & Gilbert, 2015).

2.2.2. Prevalensi Penggunaan Suplemen di Dunia

Suplementasi makanan mengalami perkembangan yang signifikan di berbagai belahan dunia. Di AS, berdasarkan survei tahun 1999-2000, 52% orang dewasa dilaporkan mengonsumsi suplemen makanan dalam 1 bulan terakhir, dan berdasarkan survei tahun 1999-2004, 34% anak dan remaja mengonsumsi suplemen makanan berupa vitamin dan mineral. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan yang lebih banyak pada anak-anak antara lain: usia, diet sehat, makanan yang sehat, aktivitas fisik, dan akses kesehatan (Marra & Boyar, 2009). Berdasarkan penelitian Aina & Ojedokun (2014) terhadap mahasiswa kedokteran di Lagos, Nigeria, mayoritas (86,9%) dari 268 mahasiswa dilaporkan pernah mengonsumsi suplemen makanan, dengan 50% mahasiswa mengonsumsinya dalam 12 bulan terakhir. Aljaloud & Ibrahim (2013) melaporkan bahwa 98 dari 105 (93,3%) atlet professional Arab Saudi mengonsumsi suplemen makanan untuk performa dan kesehatan. Penelitian Garcia-Alvarez, et al. (2014) terhadap 6 negara Eropa seperti Inggris, Spanyol, Rumania, Italia, Jerman, dan Finlandia menunjukkan bahwa 767 dari 2.303 orang (32,5%) mengonsumsi suplemen makanan secara rutin dalam 12 bulan terakhir. Di Malaysia, prevalensi penggunaan


(4)

suplemen makanan pada remaja sebanyak 43,8% (Al-Naggar & Chen, 2011). Di Taiwan, sebanyak 45,7% pria dan 34,9% dari wanita lanjut usia (di atas 65 tahun) mengonsumsi sedikitnya satu jenis suplemen makanan (Chen, et al., 2011).

2.2.3. Alasan, Tujuan, dan Manfaat Suplemen

Menurut Carol Ann Rinzler (2006), ada berbagai alasan seseorang mengonsumsi suplemen makanan, yaitu: kemudahan mendapatkan gizi cukup per hari, mencegah kekurangan gizi harian, pola makan tertentu membutuhkan gizi lebih (seperti orang sakit, vegetarian, wanita hamil dan menyusui, premenopause, dan atlet). Berdasarkan berbagai penelitian di seluruh dunia, orang mengonsumsi suplemen makanan dengan alasan yang serupa dan juga bervariasi (Aina & Ojedokun, 2014; Garcia-Alvarez, et al., 2014; Al-Naggar & Chen, 2011; Chen, et al., 2011).

Dr. Brian R. Clement, Ph.D. mengemukakan alasan seseorang harus mengonsumsi suplemen makanan. Sekarang ini buah-buahan dan sayur-sayuran saja tidak cukup untuk mencukupi gizi harian karena berbagai faktor: kualitas tanah; metode penanaman, pemupukan, pengairan, dan penuaian; penggunaan pestisida; serta pemrosesan dan penambahan pengawet dan zat aditif lain. Antara tahun 1973 dan 1997, Departemen Pertanian AS melaporkan bahwa kadar nutrisi pada sayur-sayuran dan buah-buahan menurun secara dramatis. Misalnya, kadar kalsium menurun 55% pada brokoli, tiamin 35%, dan niasin naik 29%. Sayur seperti bawang, wortel, dan lain-lain juga menunjukkan penurunan tajam dalam kadar nutrisinya. Selain itu, pada tahun 2007, Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) melaporkan bahwa kurang dari sepertiga penduduk AS mengonsumsi buah dan sayur sesuai rekomendasi harian. Juga pada tahun 2002, JAMA mempublikasikan sebuah studi yang menyimpulkan bahwa “semua orang dewasa di AS wajib mengonsumsi suplemen makanan harian.” Hal ini disebabkan bahwa selama 30 tahun penelitian, dinyatakan bahwa semua penduduk tidak mengonsumsi nutrisi harian yang cukup, dan defisiensi nutrisi tersebut memiliki hubungan yang erat dengan terjadinya penyakit degeneratif (Clement, 2010).


(5)

Secara umum, suplementasi bermanfaat dalam mencukupi pola diet harian tiap orang (Marra & Boyar, 2009). Sebastian, et al. (2007) dan Murphy, et al. (2007) melaporkan bahwa orang yang mengonsumsi suplemen makanan memiliki kadar gizi yang lebih mendekati rekomendasi harian dibandingkan dengan yang tidak mengonsumsi suplemen makanan. Hanya, belum ada penelitian yang cukup untuk menghubungkan antara suplementasi makanan dengan turunnya risiko penyakit degeneratif (Marra & Boyar, 2009).

2.2.4. Batasan dalam Suplementasi

Walaupun suplemen makanan memiliki manfaat dalam kesehatan, ada batasan-batasan dalam suplementasi. Batasan tersebut dibuat dengan cara membandingkan suplementasi dengan pola diet dengan makanan yang sehat. Rinzler (2006) menyebutkan makanan sehari-hari lebih mudah dan murah daripada suplemen, mengandung zat yang tidak bisa didapatkan dalam suplemen makanan biasa seperti fitonutrisi, serta suplementasi memiliki risiko overdosis jika dikonsumsi secara berlebihan. Oleh sebab itu, cara memilih suplemen yang benar adalah: memilih merek yang ternama, mengecek komposisi zatnya, mencari tanggal kadaluwarsa, menyimpan di tempat yang aman dan nyaman, menilai dosis yang dbutuhkan, dan memilih suplemen yang “alami” dibandingkan dengan “sintetis”.

Suplemen vitamin bila dikonsumsi berlebihan dapat menyebabkan toksisitas. Toksisitas terjadi jika seseorang mengonsumsi suplemen dengan dosis yang dikonsumsi lebih besar berkali lipat dibandingkan dengan dosis anjuran harian (Rinzler, 2006). Misalnya, dosis vitamin A per hari jika melebihi 20x lipat akan menyebabkan gejala seperti sakit kepala, pusing, rambut rontok, kulit kering, nafsu makan menurun, dan lebih berbahaya lagi jika dikonsumsi berlebihan pada ibu hamil karena akan menimbulkan abnormalitas janin (Almatsier, 2010). Gejala toksisitas vitamin D (20x dosis harian) berupa gejala hiperkalsemia, seperti lemah otot, sakit/fraktur tulang, dan kalsifikasi berlebihan pada jaringan selain tulang (Schlenker & Gilbert, 2015; Almatsier, 2010). Untuk vitamin B6, gejala toksisitas antara lain neuropati (kesemutan) jika dikonsumsi dengan dosis 20x lipat dosis harian.


(6)

Selain itu, juga ditemukan interaksi yang tidak sehat antarmineral bila salah satu mineral dikonsumsi secara berlebihan. Misalnya, konsumsi Seng (Zn) berlebihan dapat menurunkan absorpsi Tembaga (Cu), dan Kalsium (Ca) yang berlebih dapat menghambat penyerapan Besi (Fe) (Almatsier, 2010). Jadi, pengguna suplemen perlu memperhatikan khususnya dosis suplemen yang dikonsumsinya.

2.3. Suplementasi pada Vegetarian

Seperti yang telah dijelaskan di atas, orang vegetarian rentan terhadap kekurangan nutrisi yang banyak terdapat pada sumber hewani, seperti vitamin B12, asam lemak Omega 3, kalsium, seng, zat besi, dan protein. Dengan demikian, suplementasi ataupun fortifikasi makanan diperlukan untuk mengatasi kekurangan tersebut.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat pentingnya pemberian suplemen makanan terhadap defisiensi zat tertentu pada vegetarian. Geppert et al. (2005) dan Conquer & Holub (1996) menemukan bahwa suplementasi asam lemak Omega 3 dapat mengoptimalkan kadar omega 3 dalam darah, sehingga dapat menurunkan risiko penyakit jantung pada vegetarian. Benton & Donohue (2010) menemukan, suplementasi kreatin pada vegetarian dapat meningkatkan fungsi kognitif, ditandai dengan meningkatnya oksigenasi otak. Kreatin adalah senyawa yang hanya diperoleh dari sumber hewani. Draper, et al. (1992) menyatakan bahwa orang yang baru memulai pola diet vegetarian disarankan untuk mengonsumsi suplemen makanan untuk mencegah terjadinya defisiensi nutrisi. Zeuschner, et al. (2012) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi defisiensi vitamin B12 adalah dengan mengonsumsi makanan yang difortifikasi dan/atau mengonsumsi suplemen makanan yang mengandung vitamin B12.