REPRESENTASI POLIGAMI DALAM pdf 1

REPRESENTASI POLIGAMI DALAM FILM AYAT-AYAT CINTA

SKRIPSI

Disusun oleh WIMARDANA HERDANTO

NIM 070517974

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Semester Gasal 2009/ 2010

HALAMAN PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Dengan ini saya menyatakan bahwa bagian atau keseluruhan isi dari skripsi dengan judul REPRESENTASI POLIGAMI DALAM FILM AYAT- AYAT CINTA tidak pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademis pada bidang studi dan atau Universitas lain dan tidak pernah pula dipublikasikan / ditulis oleh individu selain penyusun, kecuali bila ditulis dengan format kutipan dalam isi skripsi.

Surabaya, 28 Desember 2009

Wimardana Herdanto

REPRESENTASI POLIGAMI DALAM FILM AYAT-AYAT CINTA SKRIPSI

Maksud: sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi S1 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

Disusun oleh WIMARDANA HERDANTO

NIM 070517974

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Semester Gasal 2009/ 2010

HALAMAN PERSEMBAHAN

Wiemar would say thank’s to…

Allah SWT… & My beloved parents… &

All the people who changed my life…

HALAMAN MOTTO

I am a deeply superficial person.

Andy Warhol (1928 – 1987)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat segala limpahan taufik dan hidayahNya peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk dapat menyelesaikan studi S1 di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga dengan judul “Representasi Poligami Dalam Film Ayat-Ayat Cinta”. Skripsi ini berusaha memberikan penggambaran poligami yang ditampilkan di dalam film Ayat-Ayat Cinta yang dimunculkan oleh sutradara Hanung Bramantyo. Dengan menggunakan metode semiotika akan dapat ditemukan unsur-unsur yang membentuk representasi poligami tersebut.

Berperang melawan rasa malas dan kebingungan sempat terjadi dalam pikiran penulis ketika mengerjakan skripsi ini. Di tengah kebingungan tersebut, dengan semangat dan motivasi yang masih tersisa penulis mulai mengerjakannya. Namun perlahan kebingungan tersebut hilang karena penulis mendapatkan bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen-dosen Departemen Komunikasi Unair atas bantuannya selama ini.

Tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan dan kerja keras. Oleh karena itu, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Penulis mohon maaf atas segala ketidaksempurnaan. Matur Nuwun Sanget.

Surabaya, 28 Desember 2009 Wimardana Herdanto

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis poligami yang direpresentasikan oleh film Ayat-Ayat Cinta. Fenomena poligami yang semakin marak di masyarakat membuat poligami menjadi suatu hal yang menjadi kontroversi. Ada yang pro poligami dan ada juga yang menentang. Berdasarkan fenomena poligami yang yang banyak muncul di media massa pada umumnya dan di dalam film pada khususnya memunculkan pertanyaan penelitian yaitu bagaimana penggambaran poligami dalam film Ayat-Ayat Cinta. Wacana tentang poligami yang semakin marak sejak kemunculan film Ayat-Ayat Cinta membuat peneliti tertarik untuk menemukan penggambaran seperti apa yang dimunculkan dalam film Ayat-Ayat Cinta. Penelitian ini adalah sebuah penelitian analisis semiotik mengenai poligami

yang direpresentasikan oleh film Ayat – Ayat Cinta. representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk media terutama media massa terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pelanggengan budaya patriarki besar pengaruhnya terhadap penggambaran poligami di dalam film Ayat-Ayat Cinta. Untuk membentuk representasi wacana poligami di dalam film Ayat-Ayat Cinta, tidak terlepas dari fenomena dan praktik sosial poligami yang terjadi di masyarakat. Islam yang selama ini menjadi satu-satunya acuan dalam hukum berpoligami ternyata masih banyak disalahrtikan. Interpretasi yang multitafsir terhadap ayat Al Qur’an banyak mempengaruhi praktik sosial poligami yang jauh dari keadilan sebagaimana yang seharusnya tercantum di dalam Al Qur’an. Gerakan feminisme muncul untuk mendobrak budaya patriarki sekaligus sebagai bentuk perlawanan atas kesalahan interpretasi teks yang berlanjut secara turun temurun. Hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah bahwa poligami digambarkan sebagai sebuah pernikahan yang penuh ketidakadilan serta ketidakharmonisan dengan banyaknya intrik dan permasalahan di dalamnya.

Kata kunci: film, semiotik, poligami, gender, islam.

DAFTAR ISI

Halaman Judul Luar i Halaman Judul

ii Halaman Pernyataan Tidak Melakukan Plagiat

iii Halaman Judul Dalam

iv Halaman Persetujuan Pembimbing

v Abstrak

vi Daftar Isi

vii Daftar Gambar

viii

BAB I: PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah I-1

1.2 Perumusan masalah I-12

1.3 Tujuan Penelitian I-12

1.4 Manfaat Penelitian I-12

1.5 Tinjuan Pustaka I-12

1.5.1 Film dan Representasi I-12

1.5.2 Poligami Sebagai Suatu Masalah Sosial I-15

1.5.3 Islam dan Gender I-20

1.5.4 Teori Semiotik I-25

1.6 Metodologi Penelitian I-27

1.6.1 Metode Penelitian I-27

1.6.2 Tipe Penelitian I-28

1.6.3 Subyek Penelitian I-28

1.6.4 Unit Analisis I-28

1.6.5 Teknik Pengumpulan Data I-28

1.6.5 Teknik Analisis Data I-29

BAB II: GAMBARAN UMUM PENELITIAN

2.1 Poligami II-1

2.2 Kemunculan Tema Poligami dalam Sinema II-5

2.3 Film Ayat-Ayat Cinta II-10

BAB III: PEMBAHASAN

3.1 Representasi Latar Belakang Menikah Poligami dalam Tokoh Fahri III-2

3.2 Representasi Poligami dalam Pernikahan Fahri, Aisyah dan Maria III-35

BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan IV-1

4.2 Saran IV-2

DAFTAR PUSTAKA ix

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Poligami secara denotatif didefinisikan sebagai ’sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu

yang bersamaan’ 1 . Secara umum di dunia terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang

wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namun poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi.

Di Indonesia, istilah poligami dibatasi dalam arti yang sama dengan poligini, yaitu ‘sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki

beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan’ 2 hal ini muncul karena lembaga perkawinan di Indonesia hanya mengizinkan poligini, namun

tidak poliandri. Hal ini sesuai dengan ketentuan mengenai poligami di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam 3

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia 2001 2 Ibid.

3 Warneri Putera, Pembagian Harta Benda Perkawinan Akibat Perceraian dalam Perkawinan

Poligami Didasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Tesis. Magister Kenotariatan Universitas Padjadjaran, Bandung, 2004: hal. 52

Dilihat dari segi agama,sebenarnya ada beberapa agama yang membolehkan poligami, salah satunya agama Islam. Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus

dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya. Awal sejarah munculnya poligami menurut Ibnu Abdu al-Salam (Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri, juz II hal. 93), syariat Nabi Musa tidak melarang laki-laki beristeri lebih dari satu. Bahkan, pada waktu itu, laki-laki sangat dianjurkan berpoligami. Ini terkait dengan jumlah laki-laki pada waktu itu yang lebih sedikit dibanding populasi perempuan yang terus meningkat. Sebagaimana yang diceritakan al-Qur’an, Raja Fir’aun, penguasa pada saat itu, melakukan pembunuhan besar-besaran setiap bayi laki-laki yang lahir,

sementara bayi perempuan terus dibiarkan hidup.(QSal-Baqarah[02]:49) 4 Era “kebebasan” laki-laki berakhir pada masa kenabian Isa (alaihi al-

salam). Syariat Isa hanya membolehkan monogami. Konon, ketentuan seperti ini berpulang pada sosok Nabi Isa sendiri. Dalam hal ini Nabi Isa adalah asli produk wanita proses pembuahan janin Isa tanpa ada campuran sperma laki-laki dan ovum wanita. Maryam adalah asal dari Isa, sebagai bentuk “penghormatan” terhadap asal, maka laki-laki tidak boleh beristeri lebih dari satu. Berbeda dengan syariat Nabi Musa yang terlalu ekstrim dalam membebaskan poligami, dan Nabi Isa yang hanya membolehkan monogami, syariat Nabi Muhammad mengambil posisi di tengah-tengah, sebagai sintesis dari syariat Nabi Musa dan Nabi Isa.

4 Ditafsirkan oleh Jamaluddin Mohammad, pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. dalam Sejarah Hukum Poligami, www.majalahladuni.com akses tanggal 12November 2009, 15.44

Nabi Muhammad SAW membolehkan laki-laki beristeri maksimal empat (QS an- Nisa [4]: 03) 5 .

Secara historis, polemik tentang poligami telah muncul seiring dengan perjuangan bangsa Indonesia pada masa kolonial. Setidaknya sejak tahun 1910-an dan 1920-an, perjuangan kaum perempuan Indonesia dalam menentang poligami

tertandai dalam sejarah (Locher-Scholten 2003:40) 6 . Nasionalisme, di samping kesadaran sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat, yang mulai

mengakar dalam jiwa perempuan Indonesia memicu penentangan perempuan terhadap poligami dalam wujud sistem Nyai, yaitu hidup bersama antara perempuan Indonesia dan orang asing, terutama orang Eropa dan Tionghoa

(Locher-Scholten 2003:43) 7 . Polemik tentang poligami timbul-tenggelam, namun selalu menjadi isu yang rentan. Setiap kali terjadi peristiwa yang berkaitan dengan

poligami, pada saat itulah polemik setuju-tidak setuju terhadap poligami pun muncul. Contoh peristiwa besar yang mengangkat kembali polemik poligami adalah perkawinan Soekarno, presiden pertama Indonesia, dengan Hartini pada tahun 1954. Soekarno ketika itu masih menjalani kehidupan pernikahan dengan Fatmawati. Sebagai reaksi atas poligami yang dilakukan Soekarno, Perwani (Persatuan Wanita Indonesia) menyerukan kembali disusunnya Undang-Undang

Perkawinan, yang telah disuarakan sejak tahun 1928 (Wattie 2002) 8 .

5 Ibid. 12November 2009, 15.44 6 Locher-Scholten, Elsbeth. 2003. “Morals, harmony and national identity: ‘Companiate

feminism’ in colonial Indonesia in the 1930s”, Journal of Women’s History (Winter): 14, 4.

7 Ibid. 8 Wattie, Anna Marie. 2002. “Negara dan perempuan: makna hidup dan perjuangan Kartini untuk

bangsa”. Makalah, Peringatan Hari Kartini, Center for Population and Policy Studies, Gadjah Mada University, 21 April.

Memandang fenomena poligami di Indonesia, berikut alasan yang diberikan oleh tokoh-tokoh Indonesia ketika memutuskan untuk hidup berpoligami (dalam Dinata, 2006: 14-27):

1) Puspo Wardoyo

Pemilik Rumah Makan “Wong Solo” ini, mengungkapkan bahwa alasannya berpoligami adalah karena ia ingin berbagi kepemimpinan kepada perempuan lain, walaupun ia mengakui betapa sulitnya membagi cinta dengan adil kepada keempat orang isterinya. Menurut Puspo, sudah menjadi fitrahnya untuk berpoligami karena secara materiil dan spirituil ia mengganggap dirinya mampu.

2) Mamiek “Srimulat”

Salah satu anggota grup lawak “Srimulat” ini menganggap bahwa sudah menjadi kodrat dan takdirnya untuk berpoligami. Secara historis, kakeknya beristeri dua belas, sementara bapaknya memiliki enam orang isteri, di mana Mamiek adalah anak dari isteri bapaknya yang pertama. Mamiek yang mempunyai 3 (tiga) orang istri ini mengaku bahwa sebagai suami yang berpoligami ia memiliki banyak kekurangan, antara lain kurangnya rasa tanggung jawab terhadap istri-istrinya.

3) Raden Ayu Sitoresmi

Memandang dari sisi wanita yang dipoligami, Raden Ayu Sitoresmi, seorang pekerja seni, memberikan alasan ia bersedia dipoligami karena ingin mendapatkan bimbingan untuk mendalami Islam dari suaminya, Debby Nasution. Ia mengakui bahwa ia pun kadang merasa cemburu Memandang dari sisi wanita yang dipoligami, Raden Ayu Sitoresmi, seorang pekerja seni, memberikan alasan ia bersedia dipoligami karena ingin mendapatkan bimbingan untuk mendalami Islam dari suaminya, Debby Nasution. Ia mengakui bahwa ia pun kadang merasa cemburu

Dari pendapat para tokoh di Indonesia tersebut dapat disimpulkan bahwa alasan mereka berpoligami adalah karena latar belakang historis keluarga yang memang terbiasa berpoligami serta didukung juga dengan kekuatan materiil dan spirituil para pelakunya. Selain itu juga dengan alasan pembimbingan spirituil untuk lebih mendalami agama Islam itu sendiri. Namun tetap saja terselip kekurangan dalam kehidupan poligami mereka. Dari rasa kekurangadilan serta kesulitan membagi cinta dan tanggung jawab kepada para istri yang dipoligami tersebut.

Sebagai seorang tokoh yang cukup dikenal di masyarakat, tentu saja sangat mudah menjumpai mereka di media massa dengan berita – beritanya. Pada akhirnya isu poligami yang melekat pada tokoh – tokoh tersebut akan juga menjadi pembicaraan yang menarik di masyarakat. Media massa dapat dikatakan sebagai salah satu bagian penting dalam masyarakat. Media massa tidak hanya merupakan sebuah kekuatan potensial, tetapi juga merupakan agen sosialisasi untuk menyampaikan nilai-nilai yang telah disepakati bersama. Media massa mempunyai beberapa fungsi penting, yaitu :

1. Media massa merupakan sumber kekuatan, yakni alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunkan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya yang lain.

Hal ini terlihat dari bagaimana isu – isu poligami yang muncul di media dapat menjadi suatu acuan bagi masyarakat untuk memandang dan menilai poligami dari sudut pandang media yang dikonsumsi tersebut. Ini tentu saja menguatkan fungsi sumber kekuatan dan alat control dari media massa itu sendiri.

2. Media massa telah menjadi sumber yang dominan, bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media juga menampilkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan dan hiburan. Segala macam produk media saat ini sangat mudah untuk dibaurkan dengan isu poligami itu sendiri. Mulai dari berita, infotainment, sinetron hingga film semuanya dengan mudah dapat diselipkan isu poligami.

3. Media massa merupakan industri yang berubah dan berkembang dengan menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait.(Mc. Quail. 1989 : 3 ) Dengan berkembangnya industri media massa seperti film maka segala hal

yang berhubungan dengan produk media akan semakin mudah didapatkan oleh masyarakat. Dengan asumsi tersebut, media massa dapat dikatakan sebagai salah satu komponen penting dalam masyarakat. Media massa tidak hanya merupakan sebuah kekuatan potensial, tetapi juga merupakan agen sosialisasi untuk menyampaikan nilai-nilai yang telah disepakati bersama, dengan penyampaian yang komunikatif dan persuasif. Disamping itu media merupakan cerminan dari yang berhubungan dengan produk media akan semakin mudah didapatkan oleh masyarakat. Dengan asumsi tersebut, media massa dapat dikatakan sebagai salah satu komponen penting dalam masyarakat. Media massa tidak hanya merupakan sebuah kekuatan potensial, tetapi juga merupakan agen sosialisasi untuk menyampaikan nilai-nilai yang telah disepakati bersama, dengan penyampaian yang komunikatif dan persuasif. Disamping itu media merupakan cerminan dari

9 Menurut McQuail (2000) , Film (media massa), budaya (culture), dan masyarakat (society) adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan. Film merupakan

suatu produk budaya yang memanifestasikan gagasan-gagasan suatu masyarakat mengenai suatu realita (objek). Objek tersebut tidak serta merta ditampilkan sebagaimana adanya, melainkan mengalami sebuah presentasi ulang yang merupakan hasil konstruksi pihak yang memproduksi teks tersebut. Film dianggap mampu memberikan hiburan pada penontonnya. Film menampilkan perpaduan antara gambar (visual) dan suara (audio). Pada dasarnya manusia adalah mahluk yang selalu membutuhkan hiburan, dengan mobilitas dan kesibukan yang selalu hadir dalam kehidupannya, ditambah faktor lain seperti stress, kejenuhan dan kebosanan. Masyarakat selalu mencari sesuatu yang dapat menghibur dan memberi suasana baru untuk sejenak melupakan kepenatan. Banyak jenis hiburan yang bisa didapat oleh masyarakat sebenarnya, tidak hanya film, namun pada masa sekarang masyarakat cenderung memilih sesuatu dari segi kepraktisan.

9 Diambil dari McQuail, Dennis. 2000. “Theory of Media and Theory of Society” dalam Mass Communication Theories, Sage Publication: London. Hal. 61.

Isu – isu tentang kehidupan poligami juga diangkat ke media film layar lebar. Sebagai salah satu contoh adalah kehidupan Raja Siam, Thailand, yaitu Raja Mongkut, di akhir abad ke-19 (sembilan belas). Raja ini memiliki satu orang isteri dengan banyak selir, dan anak-anaknya yang berjumlah sekitar 100 (seratus) orang itu mendapatkan pendidikan dari guru khusus asal Inggris, Anna Leonowens. Cerita tentang Raja Siam dan wanita Inggris ini diangkat ke layar lebar dalam 4 (empat) versi, film pertama berjudul Anna And The King of Siam yang diedarkan pada 1 Januari 1946. Film ini bergenre drama musikal yang dibintangi oleh Irene Dunne dan Rex Harrison serta disutradarai oleh John

Cromwell 10 . Sepuluh tahun kemudian film tersebut diproduksi ulang dengan judul The King and I yang dibintangi oleh Deborah Kerr dan Yul Brynner dengan

disutradarai oleh Walter Lang dan Ernest Lehman 11 . Pada 19 Maret 1999 muncul film dengan judul yang sama yaitu The King and I namun kali ini berjenis film

animasi yang dibuat oleh Richard Rich serta diproduseri oleh Gary Barber, Robert Mandell, dan James G. Robinson. Dan delapan bulan kemudian tepatnya pada 17 Desember 1999 20th Century Fox Distribution memproduksi film dengan judul Anna and The King dengan genre drama aksi – romantis dan dibintangi artis papan atas Hollywood Jodie Foster dan Chow Yun Fat serta disutradarai oleh Andrew Tennant dan Jeff Balsmeyer.

Film yang menceritakan kehidupan Raja Mongkut dan Anna Leonowens ini memang tidak menceritakan konflik yang terjadi pada kehidupan perkawinan

10 http://movies.yahoo.com/movie/1800198916/details, Anna and The King of Siam, Yahoo! Movies,

11 Ibid.

poligami, namun setidaknya film ini menggambarkan bahwa salah seorang Raja Siam mempraktekan perkawinan poligami dalam kehidupannya, yang kemudian diangkat ke dalam media film. Resensi mengenai film ini, yaitu Anna & The King (17 Desember 1999) menyebutkan:

”The epic tale, set in Thailand in the late 19th century, chronicles to true life adventures of British governess Anna Leonowens, who is hired by the king of Siam to educate his many children. Soon after her arrival in this exotic, unfamiliar land, Anna finds herself engaged in a battle of wits-and

in a deepening relationship-with the strong-willed ruler 12 .”

Di Amerika Serikat, tema poligami baru-baru ini juga diangkat dalam sebuah serial TV berjudul Big Love, yang turut diproduseri oleh aktor peraih piala Oscar, Tom Hanks, dan diedarkan oleh jaringan TV Amerika Serikat, HBO. Kehidupan poligami pria ini diperankan oleh aktor Bill Paxton, yang berperan sebagai Bill Henrickson, pemilik jaringan supermarket yang memiliki tiga orang istri dan tujuh orang anak yang tinggal di pinggiran kota Salt Lake City, Utah. Ketiga isteri Bill adalah Barb, Nicki, dan Margene. Mereka tinggal terpisah, namun berdekatan. Hubungan mereka bisa dibilang rukun, bahkan setiap minggunya mereka mengadakan rapat untuk membahas berbagai hal seputar kehidupan rumah tangga. Di kawasan tempat tinggal mereka poligami tidak dibenarkan secara hukum, namun karena mereka merasa nyaman dengan kehidupan mereka, maka seluruh keluarga Bill Hanrickson kompak dalam

12 Ibid.

menjaga kerahasiaan kehidupan berpoligami mereka. Di Amerika Serikat, Big Love ditayangkan perdana pada 12 Maret 2006, pukul 22.00 waktu setempat. Media sempat gencar memberitakan serial ini karena tema yang diangkat sangat

tidak biasa 13 . Di Indonesia, sinetron bertema poligami ditayangkan di salah stasiun

televisi swasta, RCTI, setiap hari Senin pukul 20.00. Sinetron yang berjudul Istri Untuk Suamiku produksi Rapi Films ini dibintangi oleh Inneke Koesherawati, Teddy Syah, dan Febi Febiola, serta disuradarai oleh Umam AP.. Untuk layar lebar, film bertema poligami diangkat oleh rumah produksi Kalyana Shira Film melalui sutradara Nia Dinata. Film berjudul Berbagi Suami (2006) ini dibintangi oleh artis senior Jajang C. Noer, artis penyanyi Shanty, dan Dominique.

Setelah kemunculan film Berbagi Suami kemudian muncul satu film lagi yang mengangkat tema poligami yaitu Ayat – Ayat Cinta. Ayat – Ayat Cinta merupakan film yang diangkat dari novel yang berjudul sama karangan Habiburrahman El Shirazy. Ayat – Ayat Cinta diproduksi oleh MD Pictures, diproduseri oleh Dhamoo Punjabi dan Manoj Punjabi. Film ini dibintangi oleh Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carissa Putri, Zaskia Adya Mecca, Melanie Putria, dan Mieke Wijaya. Setelah dirilis resmi pada 28 Februari 2008, film garapan rumah produksi MD Pictures ini berhasil menorehkan sejarah sebagai film paling laris sepanjang masa. Baru empat hari diputar, Ayat-Ayat Cinta sudah membukukan jumlah 700.000 penonton. Jumlah penonton terus bertambah hingga

13 http://www.detikhot.com/index/php/tainment.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/13/time/15060/idnews /557727/idkanal/231, Poligami Ala Amerika, Ine Yordenaya – Detik Hot, 13 http://www.detikhot.com/index/php/tainment.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/13/time/15060/idnews /557727/idkanal/231, Poligami Ala Amerika, Ine Yordenaya – Detik Hot,

Film ini bercerita tentang kisah hidup Fahri bin Abdillah (Fedi Nuril) adalah pelajar Indonesia yang berusaha menggapai gelar masternya di Al Ahzar. Berjibaku dengan panas-debu Mesir. Berkutat dengan berbagai macam target dan kesederhanaan hidup. Bertahan dengan menjadi penerjemah buku-buku agama. Semua target dijalani Fahri dengan penuh antusiasme kecuali satu: menikah. Karena Fahri adalah laki-laki taat yang begitu memiliki niat kuat. Fahri tidak mengenal pacaran sebelum menikah.

Fahri kurang artikulatif saat berhadapan dengan makhluk bernama perempuan. Hanya ada sedikit perempuan yang dekat dengannya selama ini. Neneknya, Ibunya dan saudara perempuannnya. Pada akhirnya Fahri diceritakan memiliki dua orang istri yaitu Maria Girgis (Carissa Putri) dan Aisyah (Rianti

Cartwright) kemudian dia hidup bahagia dengan kedua istrinya itu 14 . Dilatarbelakangi fenomena tersebut peneliti ingin melihat bagaimana

poligami direpresentasikan dalam film Ayat – Ayat Cinta. Wacana tentang poligami yang semakin marak sejak kemunculan film Ayat-Ayat Cinta membuat peneliti untuk menemukan penggambaran seperti apa yang dimunculkan dalam film Ayat-Ayat Cinta. Penelitian ini adalah sebuah penelitian analisis wacana (discourse analysis) mengenai wacana poligami yang direpresentasikan oleh film Ayat – Ayat Cinta.

14 http://id.wikipedia.org/wiki/Poligami, Poligami, Wikipedia Indonesia, 11 oktober 2009, 15.42

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagaimana poligami direpresentasikan dalam film Ayat – Ayat Cinta?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan representasi poligami dalam film Ayat – Ayat Cinta, hingga dapat menjadi masukan bagi Studi Komunikasi khususnya studi tentang media dan gender serta kajian sinema.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu data yang menghasilkan gambaran mengenai poligami dalam film Ayat – Ayat Cinta dan mengerti nilai- nilai apa sajakah yang ditampilkan dalam film ini sehingga dapat dikaji ulang tentang efek yang mungkin ditimbulkan dari representasi tersebut, serta mampu menambah kajian- kajian mengenai Ilmu Komunikasi selanjutnya khususnya dalam bidang kajian sinema.

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Film dan Representasi

Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara

dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. 16

Dalam hal ini, representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk media (terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar

bergerak atau film. 17 Film merupakan penemuan teknologi baru pada akhir abad kesembilan

belas. Perannya sebagai salah satu sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu. Film menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, komedi, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat secara umum (McQuail, 1987:13). Film diproduksi dengan merekam orang dan obyek yang sesungguhnya, atau dengan menciptakan mereka menggunakan teknik animasi dan atau special effect. Film terdiri dari beberapa individual frames, tetapi images ini ditunjukkan dalam rangkaian atau berturut –

15 Chris Barker, Cultural Studies Theory and Practice, New Delhi: Sage, 2004, hlm. 8 16 Nuraini Juliastuti, Representasi, Newsletter KUNCI

No.4, http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm 17 http://www.aber.ac.uk/media/Modules/MC30820/represent.html No.4, http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm 17 http://www.aber.ac.uk/media/Modules/MC30820/represent.html

Konsep representasi sendiri dilihat sebagai sebuah produk dari proses representasi. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan (atau lebih tepatnya dikonstruksikan) di dalam sebuah teks tapi juga dikonstruksikan di dalam proses produksi dan resepsi oleh masyakarat yang

mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan tadi. 18 Dalam pembahasan film sebagai representasi budaya, film tidak hanya

mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai representasi budaya.

Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film,

fotografi, dan sebagainya (Juliastuti, 2000.) 19 dan konsep representasi ini selalu melibatkan konstruksi terhadap realitas dan tetap mendasarkan diri pada realitas

yang menjadi referensinya. Meskipun banyak anggapan bahwa representasi pada film dianggap menggambarkan dunia secara tidak lengkap dan sempit, tapi film pun berusaha untuk menampilkan secara lebih utuh dan menyerupai sebenarnya. Karena

18 Ibid. 19 Nuraini Juliastuti, Representasi, Newsletter KUNCI

No.4, http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm No.4, http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm

Representasi poligami dalam film Ayat – Ayat Cinta merupakan proses pengkonstruksian dari realita dan representasi budaya yang berhubungan dengan kehidupan poligami. Representasi poligami yang ditampilkan dalam film Ayat- Ayat Cinta merupakan proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yaitu film. Dalam menggambarkan poligami di Ayat-Ayat Cinta, peran pembuat film sangat berpengaruh terhadap hasil penggambaran poligami tersebut. Meskipun ada juga nilai-nilai yang berasal dari konstruksi di dalam proses produksi dan resepsi oleh masyakarat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan tadi.

1.5.2 Poligami Sebagai Suatu Masalah Sosial

Para ulama klasik dari kalangan mufassir (penafsir) maupun fakih (ahli hukum) berpendapat, berdasarkan (QS an-Nisa [4]: 03) pria muslim dapat menikahi empat perempuan. Tafsir ini telah mendominasi nalar seluruh umat Islam. Tetapi, ulama seperti Muhammad Abduh (1849-1905) tidak sepakat dengan penafsiran itu. Baginya diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang. Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat mati dalam peperangan antara suku dan kabilah. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu. Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak- Para ulama klasik dari kalangan mufassir (penafsir) maupun fakih (ahli hukum) berpendapat, berdasarkan (QS an-Nisa [4]: 03) pria muslim dapat menikahi empat perempuan. Tafsir ini telah mendominasi nalar seluruh umat Islam. Tetapi, ulama seperti Muhammad Abduh (1849-1905) tidak sepakat dengan penafsiran itu. Baginya diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang. Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat mati dalam peperangan antara suku dan kabilah. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu. Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak-

Beliau juga menjelaskan tiga alasan haramnya poligami. Pertama, syarat poligami adalah berbuat adil. Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan hampir mustahil, sebab Allah sudah jelas mengatakan dalam QS.4:129 bahwa lelaki tidak akan mungkin berbuat adil. Kedua, buruknya perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Ketiga, dampak psikologis anak-anak dari hasil pernikahan poligami. Mereka tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran sebab ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istri yang lain.

Abduh menjelaskan hanya Nabi Muhammad SAW saja yang dapat berbuat adil sementara yang lain tidak, dan perbuatan yang satu ini tak dapat dijadikan patokan sebab ini kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri-istrinya. ‘Abduh membolehkan poligami hanya kalau istri itu mandul. Fatwa dan tafsiran Abduh tentang poligami membuat hanya dialah satu-satunya ulama di dunia Islam yang secara tegas mengharamkan poligami. Nabi Muhammad adalah manusia percontohan dalam segala praktek kehidupan termasuk berpoligami. Ada beberapa catatan penting dalam praktek poligami rasulullah saw yang dapat kita tiru dan kita teladani jika ingin merasakan rahmat berpoligami:

1. Adil dalam lingkup ekonomis: Rasulullah saw menyimpankan persediaan pangan untuk seluruh istrinya selama setahun penuh. Istri rasulullah tidak pernah kekurangan pangan walaupun beliau sering menderita lapar.

2. Adil dalam lingkup biologis: Rasulullah saw memiliki kekuatan jima’ yang setara dengan empat puluh laki-laki. Beliau mampu menyenangkan para istri secara biologis secara merata.

3. Adil dalam lingkup dakwah dan sosial: Rasulullah saw mendelegasikan para istrinya untuk menjelaskan banyak hal yang berkaitan dengan wanita dalam ibadah, akhalaq dan mu’amalah (pemberdayaan perempuan). Banyak suku yang tunduk dan berIslam karena Rasulullah menikahi salah seorang wanita terhormat dari kalangan sebuah suku.

4. Adil dalam lingkup ke-wanitaan: Rasulullah saw tidak pernah membandingkan pelayanan dan rupa seorang istrinya di hadapan istri yang lain. Beliau minta izin istri-istrinya jika ingin berada lebih lama dengan Aisyah binti Abu Bakr. Betapa rasulullah saw menjaga perasaan seorang wanita dengan sangat teliti.

5. Adil dalam lingkup keturunan: Rasulullah saw tidak pernah menelantarkan anakanak yang lahir dari pernikahan beliau ataupun anak- anak yatim yang dibawa oleh para istri Rasulullah saw yang memang para

janda. 20

Dr Najmân Yâsîn dalam kajian mutakhirnya tentang perempuan pada abad pertama Hijriah (abad ketujuh Masehi) menjelaskan memang budaya Arab pra- Islam mengenal institusi pernikahan tak beradab (nikâh al-jâhili) di mana lelaki dan perempuan mempraktikkan poliandri dan poligami.

20 Abu Faqih, Menerjemahkan Legalitas Poligami dalam Kehidupan Bermasyarakat. Sumber www.al-ikhwan.net diakses tanggal 20 desember 2009, 15.33 wib.

Pertama, pernikahan sehari, yaitu pernikahan hanya berlangsung sehari saja. Kedua, pernikahan istibdâ’ yaitu suami menyuruh istri digauli lelaki lain dan suaminya tidak akan menyentuhnya sehingga jelas apakah istrinya hamil oleh lelaki itu atau tidak. Jika hamil oleh lelaki itu, maka jika lelaki itu bila suka boleh menikahinya. Jika tidak, perempuan itu kembali lagi kepada suaminya. Pernikahan ini dilakukan hanya untuk mendapat keturunan. Ketiga, pernikahan poliandri jenis pertama, yaitu perempuan mempunyai suami lebih dari satu (antara dua hingga sembilan orang). Setelah hamil, istri akan menentukan siapa suami dan bapak anak itu. Keempat, pernikahan poliandri jenis kedua, yaitu semua lelaki boleh menggauli seorang wanita berapa pun jumlah lelaki itu. Setelah hamil, lelaki yang pernah menggaulinya berkumpul dan si anak ditaruh di sebuah tempat lalu akan berjalan mengarah ke salah seorang di antara mereka, dan itulah bapaknya. Kelima pernikahan-warisan, artinya anak lelaki mendapat warisan dari bapaknya yaitu menikahi ibu kandungnya sendiri setelah bapaknya meninggal. Keenam, pernikahan-paceklik, suami menyuruh istrinya untuk menikah lagi dengan orang kaya agar mendapat uang dan makanan. Pernikahan ini dilakukan karena kemiskinan yang membelenggu, setelah kaya perempuan itu pulang ke suaminya. Ketujuh, pernikahan-tukar guling, yaitu suami-istri mengadakan saling tukar pasangan. Praktik pernikahan Arab pra-Islam ini ada yang berlangsung

hingga masa Nabi, bahkan hingga masa Khulafâ al-Rashidîn 21 . Dalam struktur masyarakat Muslim, praktek poligami tidak bisa dianggap

sebagai sebuah kelaziman sosial. Banyak data menunjukkan bahwa poligami,

21 lihat Najmân Yâsîn, al-Islâm Wa al-Jins Fî al-Qarn al-Awwal al-Hijri, Beirut: Dâr ‘Atiyyah, 1997, h. 24-28 21 lihat Najmân Yâsîn, al-Islâm Wa al-Jins Fî al-Qarn al-Awwal al-Hijri, Beirut: Dâr ‘Atiyyah, 1997, h. 24-28

XVII menunjukkan bahwa dari dua ribu warga kelas menengah, hanya dua puluh saja yang melakukan poligami. 22

Peringkat (rating) praktek poligami pantas saja rendah, karena terkendala tidak hanya oleh tantangan jaminan kesejahteraan materi bagi para istri, tetapi juga dari hambatan persepsi sosial yang negatif terhadap praktek tersebut. Seperti halnya masyarakat modern, masyarakat Muslim waktu itu juga beranggapan bahwa poligami adalah tindakan yang bisa mengancam lestarinya kesepakatan

suami dan istri untuk berasosiasi dalam institusi keluarga. 23 Rendahnya persentase praktek poligami tersebut menunjukkan tingginya

komitmen kaum lelaki untuk menerapkan konsep poligami dalam Islam. Islam mensyaratkan terpenuhinya kondisi-kondisi tertentu sebelum mereka melakukannya. Persentase tersebut juga mengindikasikan kuatnya resistensi kelompok perempuan, yang secara kodrati memandang poligami sebagai sikap keberpihakan kepada kaum lelaki. Dua indikasi tersebut sangat niscaya terjadi saat itu. Masyarakat Muslim adalah masyarakat ekumenikal, dimana agama sangat berperan penting dalam proses pembentukan perilaku dan tindakan penganutnya. Karena itu, tindakan mereka selalu memiliki argumentasi

keagamaan, termasuk dalam kasus poligami. 24

22 Leila Ahmed, Gender in Islam (London: Yale University Press, 1992), 107. 23 Ibid. 24 Ibid.

Sementara itu di di indonesia sendiri praktek pernikahan poligami sudah diatur di dalam Undang – Undang. UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membolehkan poligami dengan syarat atas izin istri pertama. UU ini diperkuat dengan keluarnya UU RI No 7/1989 tentang Pengadilan Agama, khususnya Pasal 49 yang mengatakan pengadilan agama menangani masalah perkawinan (seperti mengurusi poligami) dan lainnya. Kompilasi Hukum Islam semakin memperjelas kebolehan poligami di Indonesia. Keadaan ini tentu tidak menguntungkan perempuan Muslim Indonesia. Karena itu saatnya sekarang dibuat UU antipoligami untuk melindungi perempuan Muslim Indonesia. Kalaupun harapan ini tak kesampaian. Sudah saatnya perempuan tegas di hadapan teks yang dipelintir mereka yang berkepentingan dengan poligami.

Film Ayat-Ayat Cinta yang muncul dengan mengusung tema poligami tentu saja memiliki sebuah sudut pandang tersendiri dalam menggambarkan kehidupan poligami berdasarkan realita sosial. Dengan setting film yang mengusung tema Islami maka sejarah hukum pernikahan dalam Islam dijadikan acuan untuk melihat bagaimana pengaplikasian hukum Islam dalam pernikahan poligami yang digambarkan dalam film Ayat-Ayat Cinta. Dalam realitas sosial pun poligami dalam hukum pernikahan masih menjadi suatu pembahasan yang pelik.

1.5.3 Islam dan Gender

Dewasa ini agama, dalam hal ini Islam mendapat ujian baru, karena agama sering dianggap biang masalah, bahkan dijadikan kambing hitam atas terjadinya Dewasa ini agama, dalam hal ini Islam mendapat ujian baru, karena agama sering dianggap biang masalah, bahkan dijadikan kambing hitam atas terjadinya

memposisikan perempuan. 25 Pada dasarnya Islam hadir di muka bumi dengan misi pokok untuk

membebaskan manusia dari semua bekenggu yang menghimpitnya dalam bentuk diskriminasi atas dasar perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit dan anarki sosial karena adanya pola relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Dalam

Islam, semua manusia di hadapan Allah dinilai sama dan sejajar. 26 Misi utama Islam adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk anarki,

ketimpangan dan ketidakadilan. Di dalam Islam, ada beberapa isu kontroversial berkaitan dengan relasi gender, antara lain; asal usul penciptaan perempuan, konsep kewarisan, nilai persaksian, pernikahan poligami, hak-hal reproduksi, hak

talak perempuan serta peran publik perempuan. 27

25 Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial. (Yogyakarta, PUSTAKA PELAJAR, 2007) Hal.128-129

26 Ridwan, M.Ag. Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto, Pusat Studi Gender STAIN, 2006 ) hal. 109

27 Nasarudin Umar, Bias Gender Dalam Penafsiran Al Qur’an, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu Tafsir, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2002, Hal 1. Dalam Ibid. hal 110.

Beberapa isu kontroversial diatas, hingga sekarang menjadi perdebatan akademik di kalangan umat Islam dengan perspektif dan argumentasi yang berbeda-beda. Perbincangan mengenai wacana gender menjadi isu yang sensitif di kalangan umat Islam oleh karena wacana ini berhimpitan dengan persoalan

tafsiran agama yang diyakini sebagai kebenaran mutlak. 28 Di samping itu secara konseptual kehadiran wacana gender masih banyak disikapi oleh sebagian umat

Islam dengan perasaan ’curiga’ karena cenderung merubah tatanan sosial dan tafsir keagamaan yang sudah dianggap mapan atau bahkan dianggap sebagai

doktrin agama itu sendiri. 29 Pembahasan tentang tema perempuan tidak hanya terbatas pada lingkup

wacana, tetapi sudah merambah ke wilayah implementasi. Hampir setiap negara Islam, misalnya, sudah memiliki kementerian yang melakukan berbagai program pemberdayaan perempuan. Di Indonesia, misalnya, terdapat ”Kantor Kementrian Pemberdayaan Perempuan”, sedangkan di Bangladesh terdapat ”Ministry of

Women’s Affairs” atau ”Ministry of Social Welfare and Women’s Affair” 30 . Bermacam upaya pemberdayaan perempuan pun dilakukan dengan melibatkan

berbagai komponen sosial termasuk kalangan ’ulama’. Kalangan ulama yang sejak era klasik sudah membahas tema perempuan seperti tertuang dalam berbagai ilmu keislaman, memang memegang posisi sentral di lingkungan masyarakat Muslim. Mereka yang disebut sebagai kelompok pemimpin informal (native

28 Ridwan, M.Ag. Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto, Pusat Studi Gender STAIN, 2006 ) hal. 110

29 Ibid. hal 110. 30 Naila Kabeer, “ The Quest for National Identity: Women, Islam and the State in Bangladesh,”

dalam Deniz Kandiyoti (ed.) Women, Islam and the state (Philadelphia: Temple University Press, 1991), 128, 130.

leaders), tidak hanya mampu melakukan persuasi opini kepada pengikutnya, tetapi juga mampu mentransmisikan berbagai gagasan baru sampai ke eselon sosial terbawah (the lowest social echelon). Tidak sedikit dari kalangan mereka yang berpandangan sangat progressive tentang prinsip kesetaraan gender.

Sebagai pemegang otoritas keagamaan (the guardians of shari’ah), para ulama memang berkewajiban mensosialisasikan sikap Islam terhadap kaum perempuan. Mereka harus berani mengkritik pendapat para fuqaha’ (jurists) yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Pengkajian terhadap pemikiran hukum para fuqaha’ memang menunjukkan terjadinya bias gender dalam berbagai keputusan hukum yang mereka berlakukan kepada lelaki dan perempuan. Suami tidak hanya menerima otoritas untuk mengatur urusan keagamaan istrinya, tetapi juga memperoleh hak untuk mendominasi kehidupan keseharian istri tersebut. Paradigma maskulinitas yang mendasari berbagai keputusan hukum para fuqaha’ ini menjadi sebab utama terbentuknya sikap diskriminatif komunitas Muslim terhadap kaum wanitanya. Kehidupan komunitas Muslim memang dikendalikan oleh institusi hukum (fiqh). Pengendalian seperti tersebut terjadi, karena agama dalam hal ini Islam selalu diidentikkan dengan fiqh.

Pengidentikkan semacam itu menyebabkan aktualisasi ajaran Islam non- fiqh yang tidak bias gender tidak mampu mengubah sikap diskriminatif

komunitas Muslim terhadap kaum perempuan 31 . Dalam pandangan Islam, lelaki dan perempuan memiliki kapasitas hak dan kewajiban yang sama untuk bisa

menjadi seorang hamba yang baik. Prinsip kesetaraan ini bisa dilihat, misalnya,

31 Untuk mengetahui bias hukum Islam terhadap perempuan, baca Najla Hamadeh, “Islamic Family Legislation : The Authoritarian Discourse of Silence “ dalam Mai Yamani, Feminism and

Islam : Legal and Literary Perspectives (New York: New York University Press, 1986) Islam : Legal and Literary Perspectives (New York: New York University Press, 1986)

untuk mengakses derajat tersebut 32 . Al-Quran sendiri menegaskan bahwa lelaki dan perempuan memiliki

kapasitas yang sama, baik kapasitas moral, spiritual, maupun intelektual. Demikian pula Al-Quran tidak membedakan kapasitas lelaki dan perempuan dalam mengaktualisasikan ajaran Islam. Keduanya memiliki kemampuan yang

sama untuk bisa menjadi manusia yang baik 33 . Prinsip kesetaraan tersebut dimaksudkan untuk membentuk hubungan

harmonis antara lelaki dan perempuan. Realisasi prinsip kesetaraan ini di antaranya tercermin dalam konsep perkawinan. Perkawinan dalam Islam didasarkan pada akad kontrak antara dua orang yang sepakat (consenting

partners) untuk membangun kebersamaan hidup 34 . Sekalipun akad kontrak tersebut merefleksikan prinsip kesetaraan, Islam ternyata lebih memberikan

kepedulian pada kaum perempuan 35 . Kepedulian lebih ini dilakukan, karena perempuan secara kodrati lebih rentan untuk kehilangan hak-haknya dalam

persekutuan keluarga. Pada akhirnya prinsip kesetaraan tersebut menjadi sebab terbukanya peluang bagi perempuan menjadi patner lelaki dalam mengarungi kehidupan mereka. Sejarah Islam mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah

32 Javad Nurbakhsh, sufi Women, Leonard Lewishon (ter.) (London : Khaniqahi-Nimatullahi Publications, 1990), 11

33 Ibid., 4; 1. 34 Al-Quran, 4: 4; 4 : 24. 35 Ibid., 2: 238; 4: 34.

memperlakukan istrinya sebagai teman dalam urusan rumah tangga saja, tetapi memerankan mereka sebagai partner dalam mengatasi berbagai tantangan hidup.

Film Ayat-Ayat Cinta merupakan film dengan latar belakang Islam. Dalam film ini sangat kental dengan pembahasan tentang Islam. Penggambaran Islam yang ditampilkan disini patut untuk dilihat dan dicermati apakah dikonstruksi dari sudut pandang akar kebudayaan Islam yang masih asli atau Islam yang telah dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarki.

1.5.4 Teori Semiotik

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua itu dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semua itu

dianggap sebagai tanda. 36

36 Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Jogjakarta;Jalasutra. Hal.12

Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) tanda adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda, di sana ada system. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indera kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk. Aspek lainnya disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan

oleh aspek pertama. 37 Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan

ungkapan ( level of expression ) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya.

Petanda terletak pada level of content ( tingkatan isi atau gagasan ) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Tanda akan selalu mengacu pada ( mewakili ) sesuatu hal ( benda ) yang lain. Ini disebut. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Menurut Eco ( 1979:59 )Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka

dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian. 38

Oleh karena dalam teks film Ayat – Ayat Cinta terangkum berbagai tanda, maka digunakan icon, index dan simbol untuk mengklasifikasikan sebuah tanda secara spesifik. Dalam penelitian ini yang diutamakan adalah representasi dalam teks film Ayat – Ayat Cinta sebagai suatu signifikasi dalam pembentukan makna.

37 Ibid. hal .13 38 Ibid.

Realitas sosial tersebut, oleh sutradara dipaparkan secara eksplisit dalam pemilihan gambar, setting, warna dalam teks film Ayat – Ayat Cinta.

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode analisis semiotik. Adapun yang menjadi obyek penelitian adalah film Ayat – Ayat Cinta. Dalam film ini ingin dicari dan dianalisis bagaimanakah penggambaran poligami dalam film Ayat – Ayat Cinta.

1.6.2 Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, yang dimaksud deskriptif disini yaitu untuk menggambarkan representasi poligami yang ditampilkan dalam film Ayat-Ayat Cinta.

1.6.3 Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah film Ayat-Ayat Cinta dan yang akan digunakan sebagai instrumen analisis adalah teks, berupa narasi dan cuplikan gambar dari film Ayat-Ayat Cinta tersebut yang dijadikan sampel untuk kemudian dianalisis.

1.6.4 Unit Analisis

Unit analisis pada penelitian ini yaitu teks yang berada pada cuplikan adegan dalam film Ayat-Ayat Cinta. Pengertian teks yang paling sederhana adalah ” kombinasi tanda-tanda”. Sebuah teks merupakan kombinasi elemen tanda-tanda dengan kode dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.

1.6.5 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan terhadap sistem tanda yang ditunjukkan dalam rekaman film “Ayat – Ayat Cinta” versi DVD original. Sesuai dengan ilustrasi model metode semiotik yang dibuat Peirce, data yang digunakan untuk memperoleh hasil penelitian berupa representasi poligami dalam film Ayat-Ayat Cinta didapatkan melalui metode narasi teks. Metode narasi teks memungkinkan peneliti untuk memperoleh deskripsi teks yang kemudian akan dianalisis.

1.6.6 Teknik Analisis Data

Setelah melakukan pengolahan analisis tahap awal dan menemukan makna eksplisit yang diusung oleh ‘teks’, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan analisis sosial. Caranya dengan menghubungkan antara makna eksplisit yang ada dalam ‘teks’ dengan konteksnya. Dengan analisis tersebut akan diperoleh makna implisit ‘teks’ Setelah melakukan pengolahan analisis tahap awal dan menemukan makna eksplisit yang diusung oleh ‘teks’, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan analisis sosial. Caranya dengan menghubungkan antara makna eksplisit yang ada dalam ‘teks’ dengan konteksnya. Dengan analisis tersebut akan diperoleh makna implisit ‘teks’

BAB II GAMBARAN UMUM PENELITIAN

2. 1. Poligami

Praktik poligami sudah berlaku pada bangsa - bangsa sebelum Islam. Praktik ini di-sunnah-kan pada umat Yahudi, disyariatkan pada umat Persi, dan