PENGHAYATAN KEJAWEN: PERJALANAN MENEMUKAN OTENTISITAS DIRI Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PENGHAYATAN KEJAWEN: PERJALANAN MENEMUKAN
OTENTISITAS DIRI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:
Santo Patrik Dyan Martikatama
NIM : 099114135

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PENGHAYATAN KEJAWEN: PERJALANAN MENEMUKAN
OTENTISITAS DIRI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi


Disusun Oleh:
Santo Patrik Dyan Martikatama
NIM : 099114135

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014

i

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI


SKRIPSI

PENGHAYATAN KEJAWEN: PERJALANAN MENEMUKAN
OTEI\TTISITASDIRI

Oleh:
Santo Patrik Dyan Martikatama
NIM:099114135

Telahdisetujuioleh:

Skripsi,

Yogyakartaif
0 JUN 2014

V. Didik Suryo.H., M.Si.

u


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

SKRIPSI
PENGHAYATANKEJAWEN: PERJALANANMENEMUKAN
OTENTISITAS DIRI

Diperciapkandar ditulis oleh:
Santo Patrik Dya[ Martikatama
NIM: 099U4135

Telahdipertanggungjawabkan
di depanParitia Penguji
padatanggal:8 Apdl 2014
dandinyatakantelah memenuhisyarat
Susunan

PaoitiaPenguji:

NamaLengkap

TandaTangan

/h/

Penguji1

V. Didik SuryoH., M.Si.

Peoguji2

C. WijoyoAdinugroho,M.Psi

Penguji3

Drs.H. Wahludi,M.Si


er"
..-.."--."=...-:"1.:=..

fl I jUN 2014
Yosyakart4
FakultasPsikologi
itas SanataDhama

r.;o
Y14

Dr. Ta$isiusPriyoWidiyanto,M,Si.
iii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI


Aku..Kamu..Kita..Dia..Kami..Mereka..Hanya wadah semata..
Sentuhlah ruang gelap di situ..
Karena di situ tak melihat, tak mendengar, tak bicara, tak apapun..
kecuali sinar menyala..
tanpa itu semua tiada..
Maka pancarkan terangnya, Dyan..

Persembahanku..
untuk energi kehidupan..
yang tak terbilang..
yang meng-Ada..
yang melindungi, menjaga, mengasuh..
rupa-rupa yang tersenyum..
Bapak-Ibu yang segalanya bagiku..
Mbak-Mas dan dua buah hati yang menyokongku..
Putri tunggal yang mencintaiku..
Pak yang selalu membimbingku..
lan pengada-pengada tak tersebutkan yang berarti bagiku..


iv

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PERNYATAAI{ KEASLIAN KARYA

Saya,mahasiswaUniversitasSanataDharrnadenganidentitasdi bawahini:
Nama

: SantoPatrik Dyan Martikatama

NIM

:099114135


FakultavJurusan?rodi : Psikologr
meny?takan bahwa skripsi ini rnerupakan karya sendiri dan belum pemah
diajukan guna mencapaigelar kesarjanaandi perguruantinggi manapun.Karla
hrlis ini tidak memuatkarya ataubagian dari karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkandalamkutipan dan daftar pustakasebagaimana
layaknyakarya ilmiah.
Apabila terjadi pelanggaranterhadap keaslian karya ini, mohon diputuskan
sebagaimana
ssrnestinya.

Yogyakarta,l0 Juni 2014
Yarg menyatakan,

SantoPatrik Dyan Martikatana

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI

TERPUJI

PENGHAYATAN KEJAWEN: PERJALANAN MENEMUKAN
OTENTISITAS DIRI
Studi Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Santo Patrik Dyan Martikatama
ABSTRAK
Kejawen adalah dunia spiritual orang Jawa. Orang Jawa meninggalkan agama guna
mencari bentuk penghayatan spiritual yang dirasa lebih luwes. Penelitian ini menggambarkan
penemuan otentisitas dalam pengalaman hidup orang Jawa dengan menghayati kejawen.
Otentisitas diwujudkan dengan dimensi coherence-cohesion, coherence-continuity, coherencedemarcation; vitality; depth; dan maturity. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi
interpretatif. Subyek dari penelitian ini adalah satu orang dengan kriteria meninggalkan agama.
Pengumpulan data melalui wawancara semi terstruktur. Kredibilitas penelitian yang digunakan
adalah validasi komunikatif. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa orang Jawa dengan
menghayati kejawen mengalami otentisitas berupa ―menemukan keluwesan diri‖ (maturity).
Pengalaman otentisitas ini diawali dengan ―keterkaitan episode masa lalu dalam proses being‖
(coherence-continuity), ―menemukan Tuhan secara spiritual‖ (coherence-demarcation), ―menjadi
diri yang otonom‖ (coherence-cohesion), ―mengatur hidup secara mandiri‖ (depth), dan ―merasa
berdaya dengan kejawen‖ (vitality).

Kata kunci : kejawen, dimensi coherence, vitality, depth, dan maturity, serta fenomenologi
interpretatif

vi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

LIVE IN KEJAWEN: A JOURNEY FINDING SELF AUTHENTICITY
A Psychological Study in Sanata Dharma University
Santo Patrik Dyan Martikatama
ABSTRACT
Kejawen is Javanese’ spiritual world. A Javanese leaves his religion in order to find the
essence of spiritualism, which is more flexible. This research figures out the finding of the
authenticity that is reflected on a Javanese’ life experience, who lives in Kejawen spiritualism. The
authenticity is reflected on some dimensions, namely coherence-cohesion, coherence-continuity,
coherence-demarcation; vitality; depth; and maturity. This research used interpretative
phenomenology approach. The subject of this research was one person who left his religion. The
data collection of this research was done by semi-structured interview. The research credibility
used communicative validity. This research found that a Javanese who lived in Kejawen got the
authenticity, namely ―finding self-flexibility‖ (maturity), the experience of the authenticity was
begun by ―the continuity of a past life episode related to the process of being‖ (coherencecontinuity), ―finding God spiritually‖ (coherence-demarcation), ―being a self-autonomous‖
(coherence-cohesion), ―setting life up independently‖ (depth), and ―feeling empowered by living
in Kejawen‖ (vitality).
Keywords : kejawen, coherence, vitality, depth, and maturity dimensions, interpretative
phenomenology

vii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

LEMBAR PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAII UNTI]K KEPENTINGAN AKADEMIS
Ya g bertalda talgan di bawahini, sayamahasiswaUriversitas Saiata Dharma:
NAMA

: SANTO PATRIK DYAN MARTIKATAMA

NIM

: 099114135

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kqrada
Perpustakaan
Univenitas SanataDhannakarya ilmiah sayayang berjudul:
PenghayatanKejawen: Perjalanan Menemukan Otentisitas Diri
mestinyaurtuk kepentinganakademis.
supayadipergunakansebagaimana
Dengandemikian, pihak PeryustakaanUnive$itas SanataDhama berhak
untuk menfmpan, mengalihkal dalan bentuk media lain, mengelolanyadi
intemet ataumedia lain demi kepentitrganakademistanpaperlu memintaijin dan
sayamaupunmembedkanroyalti kepadasayaselamatetap mencantumkannama
sayasebagaipenulis.
Dernikiafl pelaryataan
ini yang sayabuat dengansebenamya.Terimakasih.
Dibuat di Yogyakarta,
Padatanggal:l0 Juni2014
Ya0g menyatakan,

SantoPatdk Dyan Martikatama

v111

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

KATA PENGANTAR

Sebuah karya apapun dapat terealisasikan apabila dilandasi minat dan
kemauan. Karya tertulis yang disebut ―skripsi‖ ini, alhasil karena penulis
menumbuhkan minat dan kemauan. Penulis terinspirasi oleh Maxim Gorki (18361936) yang mengatakan: “Jika pekerjaan merupakan kenikmatan, maka
kehidupan adalah kesenangan. Jika pekerjaan merupakan kewajiban, kehidupan
adalah perbudakan.”
Terdorong rasa ingin tahu untuk melihat pengalaman otentisitas pada
penghayat kejawen, karya tulis ini direalisasikan. Penulis berharap pengetahuan
ini bisa memberi pengetahuan bagi masyarakat dan penulis pribadi.
Lewat kesempatan ini, penulis ingin memberikan ungkapan syukur dan
terima kasih kepada pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah
membantu proses penelitian. Terima kasih penulis haturkan kepada:
1. Ada yang hadir untuk memberi ruang dan waktu bagi kehidupan.
2. Bapak V. Didik Suryo H., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi.
Matur nuwun atas bantuan, diskusi, saran, dan proses pembelajaran
yang diberikan dari awal hingga skripsi ini terselesaikan.
3. Direksi Universitas Sanata Dharma serta segenap staf dan pengelola
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas
pelayanannya mengantarkan mahasiswa dalam proses being.

ix

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

4. Bapak G. Sugeng Maryadi dan Ibu Sri Suharyanti yang
keberadaannya sangat berarti bagi penulis. Doa, harapan, semangat,
perjuangan, dan pengorbanannya terasa dalam perjalanan penulis.
5. Mbak Fabiola Hendrati, Mas Hipolitus Kristoforus K, Cory dan Tito
yang menjadi inspirasi bagi penulis. Terima kasih atas berbagai
macam bantuannya.
6. Christina Mariana Ayogyani, Pak Karyono, dan Bu Maria yang
kehadirannya memberi warna dan orientasi bagi perjalanan penulis.
―it’s not about choice but it needs my commitment“. Thanks.
7. Budhe Rus dan Pakdhe Pardal yang menguatkan lewat doa. Matur
nuwun.
8. Mas Azat Sudrajat dan Mbak Fany yang memberikan sentuhan seni
kepada penulis selama tinggal di rumah sebelah. Merci.
9. Bapak Djoko Suko yang membantu penulis belajar mengenali
identitas. Matur nuwun telah memberikan pikiran, tenaga, dan waktu
untuk menjadi sahabat diskusi penulis.
10. Bapak Widihasto Wasana Putra atas kesempatannya berbagi
pengetahuan dan pengalaman dalam waktu yang singkat.
11. Bapak Krisno Wibowo dan Eko Hadiyanto atas dorongan,
pemikiran, ajakan, dan kesempatan guna memperluas wawasan
bersama penulis.
12. Japemethe yang tersebar: Ucil, Wahyu, Timo, Bayu, Plenthong,
Betet, Samira, Koen, Yatim, Dion, Kibo, Andang, Elisa, Yutti, Popo,

x

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Yustia, Bram, Widek, Arga, Yudha, Pika, Vico, Anton, Ateng,
Gerald, Dias, Ella, Indro, Tino, Panjul, Gusbay, Albert Mahendra,
Al, Albert Adityas, Partok, Putra, Sandi, Bryan, Gatyo, Adi, Agnes,
Indah, Dinar, Wieana, Bayu Adi, Stepik, Tyas, Deta, Ine, Pakdhe,
Gandring, Simin, Arin, Chisty, Rani, Eka, Yoha, Fandra, Tejo, Uki,
Nana, Sakti, Lintang, Bismo, Dimin.
13. Pengada-pengada lain yang memiliki peran namun tidak sempat
tercantumkan. Terima kasih semuanya.

Akhirnya, penulis menyadari karya tulis ini tidaklah sempurna, seperti pepatah
Jawa: “Jalma tan kena kinira, Gusti tan kena kinaya apa”, yang kira-kira
mengingatkan penulis bahwa manusia tak dapat dikira, Tuhan tak dapat
digambarkan. Oleh karenanya, karya tulis ini mengharapkan segala kritik dan
saran yang membangun, sehingga kesahihan karya tulis ini semakin didekati
secara pasti. Matur nuwun.

Yogyakarta, 10 Juni 2014

Santo Patrik Dyan Martikatama

xi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................

i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING..............................

ii

HALAMAN PENGESAHAN………............................................................

iii

HALAMAN MOTTO. DAN PERSEMBAHAN……..........………….........

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………….....

v

ABSTRAK.....................................................................................................

vi

ABSTRACT.....................................................................................................

vii

LEMBAR PERSETUJUAN KARYA ILMIAH……………........................

viii

KATA PENGANTAR....................................................................................

ix

DAFTAR ISI..................................................................................................

xii

DAFTAR TABEL…………………………………………………………..

xv

DAFTAR GAMBAR.....................................................................................

xvi

DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................

xvii

BAB I. PENGANTAR...................................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah................................................................

1

B. Rumusan Masalah..........................................................................

7

C. Tujuan Penelitian...........................................................................

7

D. Manfaat Penelitian.........................................................................

7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................

9

A. Otentisitas.....................................................................................

9

1. Pengantar pada Pemikiran Heidegger…………………………...

9

xii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

2. Pemikiran Heidegger untuk Memahami Otentisitas……………

10

3. Dimensi Otentisitas…………………………………..................

13

B. Kejawen…....................................................................................

21

1. Karakteristik Orang Jawa……………………………………….

21

2. Kejawen sebagai Penghayatan……………………….................

23

3. Kejawen Bawono Toto………………………………………….

26

4. Kejawen Modern……………………………………..................

27

C. Kejawen sebagai Proses Menjadi Otentik....................................

29

D. Pertanyaan Penelitian………………...........................................

36

BAB III. METODE PENELITIAN…..........................................................

38

A. Jenis Penelitian…………………...................…………………

38

B. Fokus Penelitian........................................................................

39

C. Subyek Penelitian.....................................................................

39

D. Metode Pengumpulan Data………….......................................

40

E. Proses Pengambilan Data……........................................…….

41

F. Metode Analisis Data…………………………………………..

44

F. Kredibilitas Penelitian................................................................

46

BAB IV. DESKRIPSI ANALITIS TERKAIT TEMATIS, ESENSI
PENGALAMAN DAN PEMBAHASAN......................................

48

A. Deskripsi Analitis terkait Tematis..............................................

48

B. Esensi Pengalaman.....................................................................

80

C. Pembahasan…...........................................................................

83

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................

xiii

92

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

A. Kesimpulan.................................................................................

92

B. Saran........................................................................................

93

DAFTAR PUSTAKA…..............................................................................

96

xiv

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Panduan Wawancara…………………………………………….. 41
Tabel 3.2. Pelaksanaan Wawancara………………………………………… 44
Tabel 4.1. Hasil Deskripsi Analitis-Tematis…………………………………78

xv

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Dimensi Otentisitas.................................................................... 20
Gambar 4.1. Struktur Pengalaman.................................................................. 82

xvi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent ...................................................................... 97
Lampiran 2. Verbatim Wawancara ……….................................................... 98
Lampiran 3. Tema-Tema Subyek…………………………………………… 114

xvii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB I
PENGANTAR

A.

Latar Belakang Masalah
Dalam masyarakat Jawa, banyak dijumpai orang Jawa yang
menekuni ritual seperti menjalani puasa ngapit weton (hari lahir pasaran
Jawa). Salah satu abdi dalem Kraton Yogyakarta, berpangkat Raden
Panewu, menceritakan pengalamannya puasa ngapit Jumat Kliwon yang
dimulai pada hari Kamis Wage lalu Jumat Kliwon dan Sabtu Legi. Beliau
percaya bahwa dengan berpuasa, Tuhan akan memberinya kelancaran rejeki.
Beliau juga mendoakan kakang kawah adi ari-ari, yaitu saudara kembarnya
yang dipercayai hidup meskipun tidak berwujud seperti manusia.
Kemudian berdasarkan wawancara terhadap seorang penghayat
ritual budaya Jawa di kota Yogya yang secara jujur menjalani meditasi dan
memberikan sesaji di situs Watu Gilang, Bantul. Ritual meditasi dan
memberikan sesaji di situs Watu Gilang—yang dipercayai oleh masyarakat
sekitar sebagai petilasan Panembahan Senopati—dilakukannya setiap hari
Selasa dan Jumat kliwon. Pria paruh baya itu lebih sreg menjalani ritual
budaya Jawa daripada kebaktian di Gereja.
Stange (2009) mengangkat penelitian mengenai adanya kelompok
orang beragama Islam namun dalam kesehariannya menekuni ritual Jawa.
Orang-orang tersebut tergabung dalam paguyuban yang bernama Sumarah.
Sumarah adalah aliran kebatinan jawa yang salah satu bentuk ritualnya
1

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

2

berupa sujud. Warga Sumarah tetap setia memeluk agama Islam, namun
ritual sujud dipisahkannya dari praktek agama.
Gejala yang memperlihatkan beberapa orang Jawa melakukan puasa
ngapit weton, meditasi dan memberikan sesaji, serta sujud ini memunculkan
pertanyaan; apa artinya gejala yang dialami orang Jawa tersebut?
Penelitian sebelumnya pernah dilakukan Barnes (2005) yang
menemukan adanya kebangkitan ritual asli masyarakat di Indonesia Timur,
khususnya di Kedang, Nusa Tenggara Timur. Kebangkitan ritual di Kedang
merupakan dampak dari perubahan politik di Indonesia terutama setelah
lengsernya Orde Baru. Masyarakat Kedang melaksanakan ritual asli selama
tiga hari untuk merayakan ulang tahun desa. Mereka menemukan
identitasnya dalam perayaan ulang tahun desa.
Penelitian serupa dilakukan oleh Diaz & Sawatzky (1995) terhadap
orang-orang keturunan Indian yang menjalani upacara dan ritual budaya asli
Indian. Penelitian tersebut menggambarkan bahwa orang-orang keturunan
Indian menemukan kembali ―rumahnya‖ setelah hijrah dari kehidupan
modern. Melalui ritual dan upacara, mereka berkesempatan untuk
berhubungan kembali dengan aspek fisik, mental, emosional, psikologis dan
spiritual dari dirinya sehingga hidupnya menjadi bermakna.
Dalam kasus masyarakat asli Amerika utara (Indian) itu diceritakan
bahwa kembali ke ritual asli telah mendorong dan memfasilitasi rekoneksi
masyarakat terhadap adat, budaya, dan alam semesta. Ritual asli membantu
mereka menangani masa transisi dari kehidupan modern kembali ke

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

3

―rumah-nya‖ guna menemukan identitasnya. Ritual berfungsi sebagai
penyangga, melindungi mereka dari mengalami disintegrasi realitas karena
mereka mengetahui dan memahami akan dirinya.
Dalam penelitian tersebut, orang-orang keturunan Indian merasa ada
sesuatu yang hilang dalam budaya modern. Melalui ritual, mereka diajak
untuk memahami siapa diri mereka sehingga mereka menemukan
identitasnya dalam budaya asli. Bagi mereka, ―rumah‖ berarti merupakan
kehidupan yang bermakna dan tempat untuk dimiliki. "Rumah" merupakan
jawaban atas pertanyaan, "Siapakah aku?" dan menjadi bangga karena
menemukan ―aku‖.
Gerakan masyarakat Kedang dan Indian yang menjalani ritual asli
merupakan gerakan kembali kepada keaslian, Diaz & Sawatzky (1995)
menuliskannya sebagai kembali ke ―rumah‖. Gerakan kembali kepada
keaslian ini memiliki kesamaan dengan gerakan otentisitas yang digaungkan
oleh Heidegger (1927/1962).
Otentisitas sendiri didefinisikan dengan beragam, misalnya menjadi
jujur pada diri sendiri. Jujur pada diri sendiri memiliki pengertian bahwa
diri melakukan sesuatu sesuai kenyataaan yang sebenarnya atau dengan
kesungguhan hati (Bovens dalam Martens, 2005). Heidegger (1927/1962)
menjelaskan otentisitas sebagai proses manusia membentuk kemungkinankemungkinan hidup yang pada waktunya akan terhenti oleh kematian.
Dengan menyadari adanya kematian itu manusia berusaha menjalani hidup
dengan otentik.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Gerakan

otentisitas

bermula

dari

keterlemparan.

4

Heidegger

(1927/1962) memunculkan istilah ―keterlemparan‖ sebagai tanda untuk
memahami otentisitas. Keterlemparan itu berupa manusia tidak memilih
namun dilahirkan untuk hidup di dunia. Martens (2005) mengatakan bahwa
pada dasarnya manusia lahir dalam struktur sosial yang telah dibentuk,
dengan adanya aturan-aturan yang wajib dipatuhi.
Keberadaan manusia yang terlempar di dunia ini, disadari atau tidak
membuat manusia menyibukkan diri dengan aktivitas dunianya. Di dalam
kesibukannya tersebut, manusia dihadapkan pada pilihan untuk tenggelam
pada masyarakat, bukan menjadi dirinya sendiri; atau menjadi diri yang
otentik, sesuai dengan potensi-potensi yang ada pada diri sendiri. Oleh
karenanya, setiap manusia bila ditanya pasti akan memilih hidup yang
otentik.
Peneliti melihat gejala masyarakat Jawa yang menjalani ritual asli
seperti puasa ngapit weton, sujud, meditasi dan memberikan sesaji sebagai
gejala orang Jawa yang menemukan otentisitas diri. Bermula dari
keterlemparan orang Jawa dalam aturan-aturan yang mengikat di agama
sehingga menghambat keluarnya potensi-potensi diri. Kemudian orang Jawa
menemukan potensi-potensi dirinya dalam penghayatan ritual asli. Orang
Jawa yang menekuni ritual asli merasa menemukan kesesuaian pemahaman
mengenai dirinya. Dengan memahami dirinya, orang menjadi terbantu
mengenali dirinya yang otentik (Martens, 2005).

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

5

Peneliti menemukan contoh berupa gerakan orang Jawa yang
menggelar ritual asli dan memperkenalkan dirinya sebagai penghayat
kejawen Bawono Toto, artinya orang Jawa dengan penghayatan kejawen
beraliran Bawono Toto. Kejawen sendiri adalah salah satu kepercayaan
yang berasal dari tanah Jawa. Kepercayaan merupakan wadah bagi
keyakinan atau ajaran asli yang tidak dilembagakan seperti halnya agama.
Penghayat kejawen Bawono Toto menceritakan pengalamannya
yang meninggalkan agama kemudian menjalani ritual puasa, meditasi dan
napak tilas. Penghayat kejawen Bawono Toto menjalani ritual puasa,
meditasi dan napak tilas di situs yang sifatnya sakral serta memiliki energi
besar dan positif, misalnya Jambe Pitu (Gunung Selok, Cilacap) dan Mbang
Lampir (Gunung Kidul).
Pengalaman otentisitas yang ditunjukkan oleh seorang penghayat
kejawen Bawono Toto yang meninggalkan agama dengan menghayati ritual
asli apabila dilihat dari psychological well-being mengarah pada dimensi
tujuan hidup dan otonomi. Penghayat yang mengalami keterlemparan di
dalam agama merasa kecewa. Kemudian penghayat menyadari tujuan
hidupnya untuk memperoleh kebahagiaan sehingga mengantarkan dirinya
untuk menghayati ritual asli yang dirasa sesuai dengan pemahaman dirinya.
Penghayat juga memiliki otonomi diri karena tidak tenggelam dalam
tuntutan masyarakat untuk menekuni agama.
Stange (2009) menjelaskan bahwa kejawen adalah semata bersifat
mistik, yakni suatu komitmen terhadap dimensi batin, vertikal, atau spiritual

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

6

dari kehidupan beragama. Namun, peneliti merasa yakin bahwa kejawen
bergerak di domain spiritualitas bukan keagamaan.
Zinnbauer et al., dalam Martens (2003) menunjukkan bahwa
spiritualitas seringkali dipahami tumpang tindih dengan keagamaan. Akan
tetapi, terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. Spiritualitas
mencerminkan ide-ide dan nilai-nilai yang mengacu pada dunia batin
(belum tentu urusan agama), sedangkan keagamaan secara universal adalah
ekspresi dari ide atau praktek, yang berhubungan dengan sistem moral yang
terorganisir (Kernberg dalam Martens, 2003).
Melihat keberadaan manusia pada sosok penghayat kejawen Bawono
Toto, membangkitkan keingintahuan peneliti untuk menyelidiki dunia
penghayat tersebut. Peneliti mensinyalir bahwa gerakan penghayat
mengarah pada proses menjadi diri yang otentik.
Berdasarkan hal di atas, peneliti merasa perlu untuk meneliti
bagaimana pengalaman penemuan otentisitas pada penghayat kejawen
Bawono Toto. Subyek yang dipilih peneliti adalah orang Jawa dikarenakan
faktor sejarah dan budaya yang membentuknya berhubungan dengan
kebatinan. Seperti pendapat Stange (2009), bahwa hakikat kejawen adalah
kebatinan. Penelitian ini akan memeriksa bagaimana pengalaman ritual
penghayat dan mencoba mengkontraskan dengan ritual agama. Hal ini
dilakukan peneliti untuk melihat apa yang menjadi alasan penghayat
menjalani ritual kejawen.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

B.

7

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah bagaimana penemuan otentisitas pada pengalaman
hidup penghayat kejawen?

C.

Tujuan Penelitian
Melalui pemaparan ini, peneliti ingin menggambarkan proses
penemuan otentisitas dalam pengalaman penghayat kejawen.

D.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.

Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberi sumbangan di
bidang psikologi, khususnya psikologi timur, psikologi
indigenous, dan kesehatan mental. Penelitian mengenai dunia
kejawen memberi manfaat bagi eksistensi psikologi timur, yang
mana keberadaannya sebagai pendekatan alternatif dari disiplin
ilmu psikologi Amerika dan Eropa. Pengetahuan mengenai
budaya spiritual Jawa dalam wadah kejawen, diperlukan untuk
menambah pustaka psikologi indigenous. Bagi kesehatan
mental, penelitian ini untuk menggambarkan pertumbuhan diri
yang otentik.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

2.

8

Manfaat Praktis
a) Terkait

dengan

manfaat

teoritis,

dalam

praktisnya

memberikan pengetahuan dan bahan masukan mengenai
pengolahan dimensi spiritual orang Jawa melalui kejawen,
sehingga mendorong perubahan cara pandang masyarakat
yang eksklusif menjadi inklusif terhadap keberadaan
kepercayaan. Harapannya, agar tercipta budaya toleransi
terhadap kepercayaan di luar agama-agama yang diakui
pemerintah.
b) Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi peneliti lain
yang ingin meneliti tentang peran penghayatan kejawen
sehingga menjadi bahan masukan penelitian selanjutnya.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Otentisitas
1.

Pengantar pada Pemikiran Heidegger
Abidin (2007) memaparkan bahwa eksistensialisme merupakan
gerakan filsafat yang memberi inspirasi kepada Martin Heidegger
(1889-1976).

Pemikiran eksistensialisme

merupakan pendekatan

filosofis terhadap realitas, khususnya realitas manusia. Pemikiran ini
pertama kali diusung oleh Kierkegaard (1813-1855) dan Nitzsche
(1844-1900). Menurut Lemay & Pitts (2001), kedua pemikir merupakan
filsuf yang meragukan ide-ide tentang kebenaran. Nitzsche meragukan
kebenaran akan Allah sehingga melihat eksistensi manusia sebagai
manusia

super.

Sebelumnya

Kierkegaard

mencetuskan

bahwa

kebenaran subyektifitas adalah penting karena terbatas oleh waktu.
Setelah itu Lemay & Pitts (2001) mengutarakan kemunculan
seorang tokoh yang merasa memiliki tugas untuk menghancurkan
pengandaian-pengandaian bombas akan kebenaran. Tokoh yang
dimaksud bernama Husserl (1859-1938). Husserl percaya bahwa
pengetahuan ilmiah sangat berguna, tetapi tanpa mengingkari
kegunaannya, ilmu tidak menghasilkan jenis pengetahuan yang
terpenting.
Lebih lanjut, Husserl hadir dengan memperkembangkan metode
9

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

10

filosofis yang disebut fenomenologi. Fenomenologi Husserl menggulati
―pengalaman― atau ―kesadaran― akan sesuatu. Dengan memfokuskan
perhatiannya pada tindakan ―mengalami sesuatu― ini daripada pribadi
yang

sedang

mengalami

atau

obyek

yang

dialami,

Husserl

menghasilkan sejenis pengetahuan baru. Dalam perkembangannya,
metode fenomenologi memberi inspirasi kepada banyak pemikir.
Salah seorang filsuf yang terinspirasi adalah Heidegger, yang
tidak

lain

merupakan

mahasiswa

terbaik

Husserl.

Heidegger

mengadakan penyelidikan akan kebenaran manusia menggunakan
fenomenologi Husserl. Dari situ, Heidegger mengklaim bahwa
pandangannya menandai akhir filsafat.

2.

Pemikiran Heidegger untuk Memahami Otentisitas
Dalam Lemay & Pitts (2001), Heidegger meyakini bahwa sejak
para filsuf mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang dunia,
terdapat masalah yang fundamental bahwa mereka telah mengabaikan
kenyataan yang paling penting, yaitu dunia ada (eksis). Misteri dasar
kehidupan adalah bahwa dunia ada, bukannya ketiadaan. Dunia ada
digambarkan sebagai keberadaan dunia sendiri, yang ditulisnya sebagai
―Ada― (Sein, Being).
Ada (selalu dengan huruf besar) merupakan syarat awal atau
dasar yang memungkinkan segala sesuatu yang lain menjadi ada.
Heidegger menyebut yang lain seperti manusia, planet, hewan,

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

11

tumbuhan sebagai ada (huruf kecil) atau pengada. Pengada-pengada
adalah entitas-entitas yang ada di dunia. Setiap entitas menjadi sebuah
pengada melalui Ada. Tanpa Ada, tanpa eksistensi dasar, pengadapengada tidak mungkin untuk berada.
Manusia yang disebut sebagai pengada, dilabeli nama Dasein
untuk menandai arti eksistensinya. Dasein, secara literal adalah
―berada-di-sana―. Dasein merupakan eksistensi manusia di dunia
empiris ini. Untuk menekankan pentingnya dunia, Heidegger menyebut
kegiatan-kegiatan Dasein sebagai berada-dalam-dunia. Penggunaan
garis hubung menekankan bahwa tidak ada jarak antara manusia dengan
dunia.
Cara paling mudah untuk memahami berada-dalam-dunia
adalah dengan memikirkan kata ―dalam‖ sebagai kata yang memiliki
makna yang sangat eksistensial, yaitu keterlibatan (concerned with),
keterikatan (preoccupation), komitmen, dan keakraban (Abidin, 2007).
Kata ―dunia‖ tidak dimaksudkan sebagai suatu lingkungan fisik
material, melainkan sebagai dunia kehidupan, Husserl menyebutnya
Lebenswelt. May (1967) menjelaskan dunia sebagai struktur hubungan
yang bermakna di mana seseorang ada, dan seseorang itu berpartisipasi
untuk mendisainnya.
Dipaparkan oleh Macquarrie & Robinson (1962) bahwa Dasein
(adanya manusia di dunia ini) tahu-tahu sudah disadari ada begitu saja.
Manusia tidak memilihnya namun sudah ditetapkan atau ditentukan

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

12

untuk lahir dan ada. Inilah keadaan nyata manusia di dunia yang disebut
keterlemparan. Keterlemparan dijelaskan melalui hubungan antara self
dengan they. They (―mereka―) digunakan untuk mewadahi kewajibankewajiban, peraturan-peraturan, dan hal-hal yang menjadi patokan,
keadaan mendesak dan luas dari perhatian dan keinginan menjadidalam-dunia. Dalam hubungan tersebut, kepatuhan manusia kepada
―mereka― merupakan sebuah keterlemparan.
Mudji Sutrisno & Hardiman (1992) mengungkapkan bahwa
manusia yang terlempar di dunia ini diliputi kecemasan akan macammacam hal. Karena cemas terhadap macam-macam hal, manusia sibuk,
aktif dan larut dalam dunia ini sampai lupa mengurus ―ada―-nya sendiri.
Dalam menyibukkan diri tersebut, manusia diajak untuk kembali ke
―ada― dirinya yang otentik oleh dorongan Angst. Angst merupakan
ketakutan eksistensial, sebuah rasa takut bercampur cemas, gelisah, dan
muncul pertanyaan yang berkembang dari kesadaran bahwa kelak
manusia akan mati.
Macquarrie & Robinson (1962) mengatakan bahwa manusia
dapat mengalami proses kembali ke dirinya yang otentik, jika Dasein
secara khusus membawa dirinya keluar dari keadaan keterlemparan di
dalam ―mereka―. Proses ini dilakukan dengan mengabaikan Dasein
yang mengalami keterlemparan di dalam keadaan tidak otentik. Ketika
Dasein membawa dirinya kembali dari ―mereka―, hubungan they-self
(―mereka―-―diri―) dimodifikasi secara eksistensial sehingga diri

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

13

mengalami proses menjadi diri yang otentik. Keotentikan ini
disempurnakan dengan Nachholen einer Wahl- dalam bahasa yang
lebih sederhana adalah diri menentukan potensinya dalam proses
menjadi dan mengambil keputusan secara mandiri. Di dalam Nachholen
einer Wahl, Dasein membuat kemungkinan-kemungkinan, utama dan
terpenting yaitu proses menjadi diri yang otentik.

3.

Dimensi Otentisitas
Untuk memahami kerangka berpikir mengenai otentisitas
diperlukan dimensinya secara psikologis. Dalam Ferrara (1998),
psikoanalisis menyediakan empat dimensi otentisitas atau pemenuhan
identitas individu yaitu coherence, vitality, depth, dan maturity (lebih
ringkasnya lihat gambar 1).
a.

Coherence
Coherence dapat dipahami secara umum sebagai kemungkinan

menyimpulkan modifikasi yang dialami oleh identitas individu selama
masa hidup dalam bentuk narasi. Itu meliputi aspek-aspek dari cohesion
versus fragmentation, continuity versus discontinuity, demarcation
versus indistinctness.
i.

Coherence-cohesion
Cohesion disini mengacu sebagai kualitas seseorang yang

memiliki

integritas,

memiliki

kesatuan,

dan

perasaan

yang

berseberangan dengan diri yang terpecah (fragmentation), takut yang

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

14

tak teratasi, diri yang tenggelam, hancur atau jatuh selamanya, tanpa
arah atau merasa terpisah dari tubuh. Cohesion merupakan aspek dari
coherence sebagai unsur penting untuk kesejahteraan manusia. Manusia
yang hadir dengan membawa rasa diri dipahami oleh sebagian besar
psikoanalisis kontemporer sebagai entitas kohesif dan berbatas tegas
yang seharusnya not be taken for granted. Artinya, manusia yang
menuju ke arah diri yang otentik memiliki kecenderungan untuk
berintegritas, memiliki keterkaitan dan kepaduan dari episode-episode
masa hidupnya sehingga hidupnya tak terampas oleh sesuatu di luar dan
bukan dirinya.
ii.

Coherence-continuity
Aspek yang kedua dari coherence adalah continuity. Secara

literal, continuity diartikan sebagai keadaan yang terus menerus dan
terhubung oleh waktu. Dalam Reflective Authenticity tertulis bahwa
continuity dipahami sebagai persepsi batin seseorang, atau istilahnya
persepsi dari ―going on being‖ seseorang. Persepsi batin dapat diartikan
sebagai kapasitas akan pengalaman yang berkelanjutan dan ada
keterkaitan dalam proses menjadi seseorang sebagai fungsi cohesion
diri. Kemudian disebutkan bahwa hanya diri yang mengintegrasikan
seluruh gambaran diri yang baik dan buruk adalah karakteristik
continuity.
iii.

Coherence-demarcation
Aspek ketiga dari coherence adalah demarcation, sebagai lawan

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

15

dari identitas yang kacau dan renggang. Demarcation secara umum
berkaitan dengan agresivitas dan frustrasi. Proses pembentukan
demarcation dimulai dari kecil. Setiap anak yang mengalami
pengalaman akan kehilangan, frustrasi, dan kekecewaan secara tidak
sadar pasti menimbulkan perasaan yang saling bertentangan terhadap
orang tuanya. Jika perasaan seperti itu, bagaimanapun, tidak melebihi
batas tertentu dari intensitas dan frekuensi, itu berkontribusi pada
pertumbuhan diri yang baik dan memiliki batasan-batasan terhadap
dunia objek.
Lalu demarcation dipahami juga sebagai kecenderungan menuju
individuasi. Jika seorang ibu tidak mampu secara memadai untuk
merespon kebutuhan akan kemandirian dan eksplorasi anak, maka anak
memperoleh tanda batas yang tidak sempurna antara dirinya dengan
dunia obyek. Dalam sebuah essei dari sastrawan Goenawan Muhamad,
―Tembok‖, menggambarkan sebuah negeri terbentuk karena batas kota
yang jelas−tembok kota: demarkasi. Apabila disepadankan dengan
maksud demarcation di sini, pemenuhan identitas seseorang dapat
terjadi karena ada batas antara dirinya dengan dunia luar.
b.

Vitality
Dimensi otentitas berikutnya yaitu vitality. Vitality berarti

pengalaman penuh kegembiraan yang memberdayakan seseorang yang
dihasilkan dari pemenuhan kebutuhan utamanya, dari merasa cocok
dengan ingatan yang telah dimilikinya, dan dari gerakan kesadarannya

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

16

untuk menjadi seseorang yang diinginkan. Dimensi vitality berkaitan
dengan pengalaman menyenangkan dan segera yang dipahami sebagai
cinta dan harga diri yang pantas.
Kebalikan dari vitality dalam hal ini adalah rasa penghinaan atau
malu yang berhubungan dengan representasi diri kita. Vitality dipahami
juga sebagai kapasitas untuk merasa puas atau menikmati dan untuk
mengambil minat dalam kehidupan. Bersama dengan coherence, vitality
sebagai yang sifatnya spontan dan asli dari diri merupakan dimensi
yang penting untuk pemenuhan identitas.
c.

Depth
Selanjutnya, dimensi otentitas yang ketiga adalah depth. Depth

menunjukkan kemampuan seseorang untuk memiliki akses ke jiwa
sendiri dan merefleksikan kesadarannya dalam membentuk identitas.
Depth merupakan dimensi otentitas yang membutuhkan pengetahuan
untuk memahami bawah sadar seseorang. Pertama, untuk memahami
depth perlu melihat dari aspek kognitif murni sebagai pengetahuan akan
diri dan refleksi diri. Dalam tulisan Freud, Interpretation of Dream,
―untuk membuat kesadaran dari bawah sadar seseorang‖ yang berarti
penggerak utama dari jiwa dipahami sebagai keinginan, kita perlu
menyadari akan keinginan bawah sadar yang mempengaruhi motivasi
sadar kita.
Kemudian aspek kedua untuk menerangkan depth, kita
melihatnya sebagai rasa kemandirian. Kemandirian dipahami secara

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

17

luas sebagai rasa bebas dan merdeka dari pengaruh luar. Dalam hal ini,
Freud mengembangkan rumus yang awalnya ―untuk membuat
kesadaran dari bawah sadar seseorang‖ menjadi ―dimana id berada, ego
sebagaimana diharapkan‖. Gagasan baru tentang kemandirian ini
diilustrasikan dalam New Introdutory Lectures sebagai berikut: Freud
menempatkan ego berada di ―daerah pusat musuh‖, dimana ego harus
menaklukkan, dan tujuan terapi psikoanalisis ―untuk memperkuat ego,
untuk membuat ego melepas ketergantungan dari super-ego, untuk
meluaskan ranah perspektif dan memperbaiki organisasinya, sehingga
ego dapat menguasai daerah baru yang awalnya didominasi id‖.
Terakhir, depth diartikan sebagai seseorang yang mampu berdiri
dan mencukupi kebutuhannya sendiri. Kondisi ini termanifestasikan
oleh kapasitas seseorang dalam kesendirian−sebagai kemampuan untuk
menangguhkan sementara hubungan seseorang dengan dirinya yang
obyektif dan menyuarakan haknya untuk mengatasi kebutuhan akan
sesuatu yang dicerminkan dan diidealkan oleh orang lain.
d.

Maturity
Dimensi otentitas yang keempat adalah maturity. Secara umum,

maturity, dipahami sebagai kemampuan dan kemauan seseorang
berkenaan dengan faktisitas dunia alam, sosial, dan internal, tanpa
kehilangan coherence dan vitality-nya. Dimensi maturity meliputi
beberapa aspek khusus. Pertama, maturity dapat dipahami sebagai
kapasitas untuk membedakan antara representasi diri seseorang,

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

18

proyeksi atau hasrat, dan realitasnya. Dalam hal ini, perbedaan maturity
dan immaturity dipahami sebagai pertentangan antara pengujian realitas
yang

setepat-tepatnya

dan

kegemaran

berangan-angan.

Freud

menerangkan pengujian realitas sebagai proses sekunder−diatur oleh
logika, dapat menunda pemuasan, dapat membedakan antara benda dan
manusia, memahami konsep waktu, dan bersentuhan dengan realitas.
Pengertian maturity yang lain adalah kemampuan untuk
membentuk gambaran realistis dari obyek sehingga dapat melihat baik
dan buruknya obyek. Kapasitas tersebut berkembang di tiga taraf.
Pertama, anak kecil merancang ―obyek fantasi sebelah luar‖, dan
biasanya agresif, obyek yang menyebabkan gangguan ―gambar sebelah
dalam‖. Fantasi ini menyertai rasa kemahakuasaan dan meninggalkan
hampir tidak ada ruang untuk pengujian realitas. Akibatnya, proyeksi
―gambar sebelah dalam‖ menjadi kacau dengan properti obyek riil yang
dirasakan anak kecil. Kehadiran obyek riil berkontribusi untuk
meredakan karakter mengerikan dari obyek fantasi. Akhirnya, ego
mencoba untuk mendamaikan keduanya sehingga obyek baru sebelah
dalam, lebih realistis dan integritas.
Lebih lanjut, aspek fundamental dari pemenuhan identitas dalam
maturity tergantung pada pencapaian sebagai berikut: (1) kapasitas
untuk menyusun masa depan, (2) kapasitas untuk memisahkan
karakteristik tunggal, fisik dan psikis, dari obyek cinta seseorang, (3)
kapasitas untuk memahami persamaan dan perbedaan diantara obyek,

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

19

dan (4) kapasitas untuk membedakan antara diri dan obyek.
Aspek kedua dari maturity meliputi kapasitas untuk mengatur
secara pasti kesesuaian antara diri yang ideal dan potensi diri yang
sesungguhnya. Dari perspektif ini, kutub berlawanan dari maturity dan
immaturity diwujudkan melalui pertentangan antara narcissistic
grandiosity, seperti perilaku berlebihan untuk menarik perhatian publik
atau sifat yang diidealkan, dan the perspicuity atau lucidity, dimana
seseorang dibawah petunjuk dari pengalaman dan refleksi, mampu
untuk menyetel diri yang ideal sesuai dengan realitas dari kebutuhan
dan kapasitasnya.
Aspek maturity yang ketiga menampilkan keluwesan yang
berseberangan dengan kekakuan. Individu yang dewasa mengambil
variasi dengan perhitungan, tahu bagaimana memilih jalan alternatif
yang datang dalam dunianya, mudah untuk memahami kesetaraan rute
menuju kematiannya, dan siap mundur apabila jalan yang dipilih
terbukti buntu. Keluwesan berpihak pada kapasitas untuk mendamaikan
tuntutan budaya dengan faktor penggeraknya. Keluwesan juga dapat
dilihat sebagai kapasitas untuk toleransi dengan perasaan yang
bertentangan dalam dirinya. Selain itu, keluwesan terkait dengan
kebijaksanaan, yang dibilang sebagai penerimaan batas-batas kekuatan
fisik, intelektual dan emosional seseorang, sebagai rasa humor dan
ironi.

PLAGIAT MERUPAKAN
MERUPAKAN TINDAKAN
TINDAKAN TIDAK
TIDAK TERPUJI
TERPUJI
PLAGIAT

20

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

B.

21

Kejawen
1.

Karakteristik Orang Jawa
Sebelum masuk pada ranah kejawen, peneliti akan sedikit
mengulas asal-usul munculnya kejawen. Asal-usul keberadaan kejawen
tidak dapat dipisahkan dari empunya–orang Jawa. Munculnya kejawen
bermula dari tanah Jawa sehingga untuk memahami kejawen, peneliti
memulai dari penggambaran orang Jawa.
Dalam Magnis-Suseno (1985), orang Jawa adalah orang yang
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibunya. Bahasa Jawa banyak
digunakan sebagai bahasa komunikasi masyarakat di Jawa bagian
tengah dan Jawa bagian timur. Penggolongan masyarakat Jawa
berdasarkan keberagamaan dalam wujud struktur sosial dimulai oleh
Geertz, dalam bukunya The Religion of Java–diterjemahkan Aswab
Mahasin menjadi Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa
(1989). Geertz mengklasifikasikan abangan sebagai masyarakat desa,
santri sebagai masyarakat kota, dan priyayi sebagai elit birokrat.
Magnis-Suseno (1985) menggolongkan orang Jawa secara
sosial-ekonomis menjadi tiga, yakni wong cilik, priyayi, dan ningrat
(ndara). Golongan sosial wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian
besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota.
Kaum priyayi meliputi kaum pegawai dan orang-orang intelektual.
Termasuk pula sekelompok orang yang memiliki darah bangsawan
(Noer, 1980). Dalam kehidupan orang-orang Jawa tradisional, yang

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

22

termasuk golongan priyayi adalah orang-orang yang duduk dalam atau
mempunyai hubungan dengan pemerintah. Sedangkan kaum ningrat
(ndara) merupakan kelompok kecil tetapi memiliki prestise yang cukup
tinggi. Namun gaya hidup dan cara pandangnya tidak begitu berbeda
dengan kaum priyayi.
Orang Jawa dapat dibedakan lagi secara keagamaan, yakni
golongan abangan dan santri. Kaum abangan dalam kesadaran dan
cara hidupnya lebih ditentukan oleh tradisi-tradisi Jawa pra-Islam,
sehingga dapat disebut Jawa Kejawen. Kaum santri memahami diri
sebagai orang Islam dan hidup menurut ajaran Islam. Sedangkan Noer
(1980) menyebut kelompok santri sebagai golongan ―putihan‖. Kriteria
pembagian antara ―putihan‖ dan ―abangan‖ dapat diterapkan juga pada
golongan priyayi sehingga di dalam golongan ini pun terdapat ulama
atau kiai. Oleh sebab itu pengertian priyayi dapat dipertentangkan
dengan wong cilik atau rakyat biasa.
Pandangan Geertz yang membagi masyarakat Jawa menjadi
abangan, santri, dan priyayi, disikapi oleh Woordward dengan
meringkas ketiga varian tersebut menjadi Islam Mistis dan Islam
Normatif, dalam terj. Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus
Kebatinan (1999). Islam Mistis dianut oleh kaum abangan dan priyayi,
sedangkan Islam Normatif diikuti oleh kalangan santri.
Pengelompokan oleh Woordward ini mendapat kritikan dari
Stange (1998), yang mengatakan bahwa masih ada aliran kepercayaan

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

23

yang ingin berdiri sendiri, atau ingin diakui sebagai agama tersendiri
seperti

penganut

aliran

kepercayaan–kejawen–Agama

Jawi

(Koenjtaraningrat, 1994).
Penganut aliran kepercayaan, kejawen, sering mendapat sebutan
sebagai penghayat. Penghayat memiliki arti orang yang menghayati.
Hayat memiliki sinonim dengan kata hidup. Jadi penghayat kejawen
adalah orang yang menghidupi kejawen atau orang yang hidup dalam
keyakinan dan nilai kejawen.
Dari sini, peneliti akan membahas mengenai kejawen secara
khusus meskipun sumber-sumber yang tertulis terkait oleh pengaruh
dari agama Islam, Hindu–Budha, bahkan tidak menutup kemungkinan
agama Kristen dan Katolik karena seperti pendapat Stange (2009)
bahwa kejawen merupakan dimensi spiritual dari kehidupan beragama
orang Jawa.

2.

Kejawen Sebagai Penghayatan: Memayu Hayuning Bawono
Bagi orang Jawa yang menghayati kejawen, konsep Memayu
Hayuning Bawono sebagai pedoman untuk menciptakan dunia yang
tertib dan tertata. Memayu Hayuning Bawono, secara literal berarti
membuat dunia menjadi indah (Endraswara, 2013). Gerakan orang
Jawa menghayati kejawen karena sebagian besar orang Jawa butuh
merenungkan kembali identitasnya, sehingga mencari pemahaman
mengenai hakekat alam semesta dan Tuhan, serta intisari kehidupan.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

24

Magnis-Suseno (1985) memaparkan bahwa tatanan alam dan
masyarakat sudah ditentukan dalam segala seginya merupakan dasar
pandangan bagi orang Jawa. Setiap individu dalam struktur keseluruhan
itu hanya memainkan peranan yang kecil. Pokok-pokok kehidupan dan
statusnya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya, dan
dalam rangka itu individu dengan sabar harus menanggung kesulitankesulitan hidup. Anggapan ini erat hubungannya dengan kepercayaan
pada bimbingan adikodrati dan bantuan dari pihak roh-roh nenek
moyang, Allah atau Tuhan yang menimbulkan perasaan keagamaan dan
rasa aman.
Keagamaan bagi orang Jawa yang kejawen ditentukan oleh
kepercayaan pada berbagai macam roh yang tak kelihatan, yang dapat
menimbulkan kecelakaan dan menimbulkan berbagai penyakit apabila
mereka dibuat marah atau orang kurang hati-hati. Oleh karenanya,
orang Jawa yang kejawen bisa melindungi diri dengan sekali-sekali
memberi sesajen, dengan minta bantuan orang pinter, dan juga dengan
berusaha

untuk

menghindari

dari

kejutan-kejutan

dan

tetap

mempertahankan batin dalam keadaan tenang dan ikhlas.
Dalam mengekspresikan Memayu Hayuning Bawono, penghayat
kejawen

ada

yang

ikut

paguyuban–kelompok-kelompok

yang

mengusahakan kesempurnaan hidup melalui praktek-praktek asketis,
meditasi, dan mistik. Kebanyakan paguyuban di Jawa merupakan
gerakan lokal, dengan jumlah anggota yang terbatas. Misalnya,

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

25

kelompok Penunggalan, Perukunan Kawula Manembah Gusti, Jiwa
Ayu, dan Pancasila Handayaningratan dari Surakarta; Ilmu Kebatinan
Kasunyatan, Trimurti Naluri Majapahit, Kejawen Urip Sejati, dan
Kasunyatan Bimo Suci dari Yogyakarta; serta Ilmu Sejati dari Madiun.
Kemudian terdapat pula paguyuban yang anggotanya tersebar di
berbagai kota di Jawa, dan terorganisir ke dalam cabang-cabang. Lima
paguyuban yang terbesar adalah Hardapusara di Purworejo, Susila Budi
Darma (SUBUD) yang asalnya berkembang di Semarang, Paguyuban
Ngesti Tunggal (Pangestu) dari Surakarta, Paguyuban Sumarah dan
Sapta Darma dari Yogyakarta.
Di luar itu, banyak juga penghayat kejawen yang tidak ikut
paguyuban. Mereka melakukan praktek-praktek asketis, meditasi, dan
mistik secara sendiri. Biasanya mereka menjalankan praktek itu di
rumah atau tempat-tempat tertentu semisal sungai, gunung, atau situs
yang dipercaya memiliki energi positif.
Oleh karena itu, Kamil (1985) mengatakan bahwa praktek
kejawen dapat dipahami sebagai segala naluri (tradisi atau perbuatan
yang sudah lazim dijalankan) atau adat istiadat leluhur Jawa yang tidak
termasuk aja